Anda di halaman 1dari 11

MEMBUNGKAM

KAUM FANATIK

Islam yang lebih toleran berhadapan dengan kaum ekstremis di negara berpenduduk
Muslim terbesar di dunia.

Oleh Michael Finkel


Foto oleh James Nachtwey

DIA SENDIRILAH YANG MEMBUKAKAN PINTU. Tidak ada pengawal bersenjata, tidak ada
upaya untuk bersembunyi. Abu Bakar Baasyir tinggal di sebuah rumah satu lantai yang bersahaja di
pondok pesantren yang ikut ia dirikan di desa Ngruki yang tenang, di tengah-tengah dataran tinggi pada
pusat pulau utama di Indonesia, Jawa. Baasyir berusia 71 tahun, berperawakan kurus, berjanggut putih,
dan dengan mata hitam berbinar yang tampak lebih besar di balik kacamata berbingkai emas. Dia

Membungkam Kaum Fanatik 1


dituduh sebagai pemimpin spiritual kelompok Islam militan, Jemaah Islamiyah yang terkait dengan
sedikitnya setengah lusin peristiwa pengeboman di Indonesia selama 10 tahun terakhir, termasuk ledakan
yang meluluhlantakkan klub malam di Bali pada 2002 dan, mungkin, bom bunuh diri di sejumlah hotel
mewah di Jakarta pada Juli 2009.
Baasyir menyangkal dirinya terlibat dalam tindak kekerasan dan, seperti seorang pemimpin
mafia yang sukses, mengelak dari keterkaitan yang bisa dibuktikan dengan setiap serangan itu. Dia
menjalani hukuman penjara dua kali—total keduanya kurang dari empat tahun—atas dakwaan ringan
yang tidak terkait langsung dengan pengeboman itu. Namun, pondok pesantren yang didirikannya jelas-
jelas merupakan pusat jaringan kaum jihad yang bermaksud mendirikan negara Islam di Asia Tenggara;
beberapa orang lulusan Ngruki pernah dijatuhi hukuman atas keterlibatan mereka dalam beberapa upaya
pengeboman besar. Tidak diragukan lagi bahwa ajaran Baasyir telah menjadi inspirasi bagi ratusan,
mungkin ribuan, upaya pembunuhan atau serangan terhadap kelompok Muslim “sesat” yang berada di
luar arus utama Islam. Meski demikian, dia sendirilah yang membukakan pintu rumahnya. “Silakan
masuk,” katanya dalam bahasa Indonesia. “Silakan diminum jusnya.”
Baasyir mengenakan kemeja panjang yang longgar, topi haji putih, dan arloji besar. Tidak ada
kursi di kamar tamunya dan tidak ada hiasan, hanya ada dinding putih, tanaman dalam pot, dan sebuah
meja rendah tempat toples plastik berisi kue wijen. Dia duduk di lantai, bertelanjang kaki, di karpet
berwarna hijau daun. Putranya yang sudah dewasa Abdul Rahim menyuguhkan jus melon dalam gelas
tinggi yang bening.
“Islam tidak mengenal kekerasan,” kata Baasyir dengan suaranya yang parau dan berat sambil
menggerak-gerakkan tangan kirinya seperti seorang konduktor. “Tetapi, jika ada gangguan yang
dilancarkan musuh, kami berhak menggunakan kekerasan untuk melawannya. Itulah yang kami
namakan jihad. Tidak ada kehidupan yang lebih mulia daripada mati syahid.” Dia memuji peristiwa 11
September dan bom Bali. Pengeboman-pengeboman itu, begitu dia bersikeras, bukanlah aksi terorisme.
Pengeboman itu hanyalah “reaksi atas perbuatan musuh-musuh Islam.”
Indonesia terhampar di sudut peta dunia, tebaran pulau tidak jauh di utara Australia. Meski
begitu, kekerasan di kawasan ini dapat terasa getarannya di seluruh dunia. Indonesia adalah negara
berpenduduk Muslim terbanyak di dunia dengan jumlah mencapai 207 juta orang—36 juta lebih banyak
daripada negara berpenduduk Muslim terbanyak kedua di dunia Pakistan dan dua pertiga dari jumlah
penduduk di semua negara Timur Tengah. Penduduk Muslim di negeri ini sangat taat; survei terkini oleh
Pew Global Attitudes menunjukkan bahwa Indonesia adalah salah satu negara yang penduduknya paling
religius di dunia. Indonesia juga negara demokrasi yang sedang tumbuh pesat, negara demokrasi ketiga
terbesar di dunia, setelah India dan Amerika Serikat.

Membungkam Kaum Fanatik 2


Namun, Indonesia adalah negara demokrasi baru, masih tertatih-tatih—baru sekitar satu
dasawarsa lebih diktator maya negara ini, Suharto, disingkirkan. Berakhirnya masa pemerintahan
Soeharto memberi bangsa Indonesia kebebasan baru dalam berekspresi, meski hal itu juga berarti
membebaskan kaum radikal semacam Baasyir yang mengasah pandangan ekstremnya selama masa
pembuangan yang panjang di Malaysia; ke negara itulah dia melarikan diri setelah ditahan karena
menentang Suharto. Setahun setelah bom Bali 2002, terjadi pengeboman pertama hotel JW Marriott di
Jakarta, lalu pada 2004 serangan bom menghantam Kedutaan Australia, juga di Jakarta, dan pada 2005
terjadi tiga kali serangan bom bunuh diri, lagi-lagi di Bali. Baru beberapa bulan lalu, setelah cukup lama
tidak terjadi pengeboman yang membuat banyak pakar mulai yakin bahwa ancaman terorisme sudah
sangat berkurang, terjadi lagi pengeboman di Hotel Ritz-Carlton dan sekali lagi di JW Marriott. Semua
kejadian ini tersebar di beberapa titik saja di negara yang luas ini. Namun, seperti peribahasa Indonesia,
“Karena nila setitik, rusak susu sebelanga.”
Memang begitulah, 17.500 pulau di Indonesia kadang dapat terasa seperti begitu banyak kelereng
di atas meja yang goyah. Dimiringkan sedikit saja, semua kelereng itu bergulir ke satu arah. Belum lama
ini, pada 2005, Indonesia tampak seperti condong ke paham Islam radikal, menegaskan kekhawatiran
dunia barat bahwa negara itu menjadi tempat berlindung para teroris. Selama beberapa dasawarsa,
masyarakat Indonesia semakin terbuka keislamannya: Jama‟ah mesjid bertambah banyak dan busana
Muslim menjadi semakin populer. Pada 1990-an, semakin banyak pemerintah daerah yang mulai
memberlakukan peraturan yang diinspirasi oleh syariah atau hukum Islam, dan dukungan untuk partai
politik Islam terus meningkat. Makin lama, kelompok militan Islam yang mendukung perjuangan dengan
kekerasan untuk membentuk Indonesia sebagai republik Islam tampaknya telah menenggelamkan suara
mayoritas Muslim Indonesia yang berpendapat bahwa keimanan mereka dapat hidup berdampingan
dengan mulus bersama kehidupan modern dan nilai-nilai demokrasi.
Namun dalam beberapa tahun terakhir, meskipun orang Indonesia terus mengamalkan ajaran
Islam dalam kehidupan pribadi mereka dengan penuh semangat, cukup jelas bahwa kebanyakan orang
Indonesia tidak menginginkan agama memasuki ranah politik. “Begitu banyak orang yang menyamakan
kesalehan Muslim dengan paham radikal,” kata Sidney Jones, pakar tentang Indonesia dari organisasi
nirlama International Crisis Group yang sudah bermukim di negara ini selama lebih dari 30 tahun.
“Indonesia sarat dengan contoh yang menunjukkan mengapa anggapan itu keliru.” Di saat sejumlah
politisi Islam bergerak untuk mengatur tata busana kaum wanita dan melarang kegiatan seperti yoga,
Muslim moderat mulai menyuarakan pendapat mereka. Pada pemilihan calon legislatif Indonesia pada
April 2009, para calon yang didukung organisasi Islam mendapatkan suara kurang dari 23 persen,
merosot dari 38 persen pada 2004.

Membungkam Kaum Fanatik 3


Meskipun peristiwa pengeboman belum lama ini menjadi sebuah kemunduran, belakangan ini
Indonesia dipandang sukses menyikapi kaum ekstremis yang mendukung kekerasan. Pihak berwenang
berhasil menangkap sedikitnya 200 anggota Jemaah Islamiyah dalam lima tahun terakhir, meskipun
beberapa tokohnya yang berbahaya masih tetap buron. Banyak penganut paham radikal beralih
mendukung penegakan hukum Islam. Bahkan Abu Bakar Baasyir, sejak dibebaskan dari penjara pada
2006, menjaga jarak dengan faksi Jamaah Islamiyah yang lebih militan, dan mulai menggalakkan
perjuangan mendukung syariah sebagai cara bagi umat Islam meraih sasaran mereka guna mengubah
negara demokrasi menjadi republik Islam.
Baasyir yakin bahwa lembaga penyusun undang-undang buatan manusia—parlemen,
pengadilan—adalah penghinaan terhadap kekuasaan Tuhan. “Allah sudah mengirimkan buku petunjuk
mengenai cara memperlakukan manusia,” katanya. “Buku itu adalah Quran.” Menurut pandangannya,
tidak perlu lagi ada aturan lain. “Islam dan demokrasi,” dia menyimpulkan, “tidak bisa hidup
berdampingan.” Setelah Suharto tidak berkuasa lagi dan pemerintah terpusat sudah melemah,
pemerintah daerah dapat menentukan sendiri apakah akan memberlakukan peraturan berdasarkan
hukum syariah. Di sejumlah tempat yang sudah melaksanakan hal ini, kata Baasyir, segala sesuatunya
menjadi lebih baik. Jauh lebih baik. “Saksikan saja sendiri,” katanya.
PROVINSI ACEH yang berada di ujung barat laut kepulauan Indonesia, sekarang mungkin paling
dikenal karena penderitaannya akibat terjangan hebat tsunami pada Desember 2004 yang menewaskan
lebih dari 160.000 jiwa. Namun selama berabad-abad, wilayah Aceh dikenal sebagai salah satu dari
kawasan Muslim yang taat di seluruh Asia. Julukan Aceh adalah “serambi Mekah” dan banyak
penduduknya tampak seperti duduk di serambi ini dengan membelakangi kawasan Indonesia lainnya,
mengamalkan Islam dengan cara yang lebih mirip dengan yang dilaksanakan di seberang samudra, di
Jazirah Arab. Di sini, tidak seperti di kawasan lain di Indonesia, kita dapat menyaksikan penerapan
hukum Islam secara lebih ketat. Pada 1999, pemerintah pusat membuka jalan bagi Aceh untuk menjadi
provinsi pertama yang menegakkan hukum syariah sebagai hukum pidana.
Devi Faradila adalah seorang wanita yang modis, 35 tahun, ibu dua anak, dan anggota dewan
perwakilan rakyat daerah di Provinsi Aceh. Ketika aku mengunjungi Aceh, dia adalah pemimpin unit
Polisi Syariah Banda Aceh yang seluruhnya wanita. Polisi Syariah adalah polisi kota yang bertugas
mengawasi kepatuhan menjalankan peraturan daerah di ibukota provinsi itu. Pada hari Jumat—menurut
peraturan provinsi Aceh pada hari itu semua pria Muslim harus ke mesjid—Faradila menyiapkan unitnya
untuk bertugas, menghentikan permainan tenis meja di posnya, menggerak-gerakkan jarinya kepada dua
orang petugas yang sedang asyik ber-sms.

Membungkam Kaum Fanatik 4


Faradila dan 13 orang rekannya yang wanita mengenakan topi hitam untuk melengkapi pakaian
seragam mereka—sepatu hitam, celana panjang hitam, blus hitam, dan jilbab hijau daun—lalu naik ke
mobil pikap yang dilengkapi pengeras suara. Faradila, yang mengemudikan pickup itu, mengenakan
sarung tangan kulit, mengoleskan lipstik, lalu mengenakan kacamata hitam. Wakilnya naik ke mobil dan
duduk di sebelahnya. Yang lain duduk di bak mobil pickup itu.
Mobil itu bergerak perlahan mengelilingi kota dan Faradila terus meneriakkan pengumuman
melalui pengeras suara. “Ayo cepat, Saudara-saudara! Salat Jumat sudah akan dimulai.” “Hentikan
semua kegiatan. Sudah waktunya untuk salat.” Para lelaki di jalanan atau di toko—penjual karpet, tukang
mebel, penjual buah-buahan, tukang tembok—menoleh dan memandang mereka. Beberapa orang
melihat arloji masing-masing. “Hari ini hari Jumat. Lelaki wajib menjalankan salat Jumat.”
Aceh adalah satu-satunya provinsi di Indonesia yang memiliki unit polisi syariah; seluruhnya ada
800 orang polisi, kebanyakan pria, yang mengawasi daerah itu siang dan malam. Namun, pada tengah
hari di hari Jumat , hari Sabat bagi Muslim, penegakan hukum syariah diserahkan kepada kaum wanita,
yang boleh salat di rumah. Faradila mengemudikan pickup-nya dengan cepat mengelilingi mesjid besar
berkubah lima di pusat kota, kemudian menuju pesisir pantai, yang tampak menawan hati, dengan
pegunungan menjulang hijau dari lautan, dan mencekam—lubang-lubang raksasa berubah menjadi lahan
berawa akibat tsunami. Salah seorang polisi yang duduk di belakang melihat seorang gadis sedang
berjalan di trotoar tanpa mengenakan jilbab, tindakan sembrono di sebuah kota yang penduduk
wanitanya yang Muslim menutup hampir seluruh tubuhnya. Pickup itu segera berdenyit dan berhenti.
“Jilbab! Jilbab! Jilbab!” si polisi berteriak. Gadis itu terperangah. Dia memberikan tanda seperti orang
berpantomim bahwa dia akan segera mengenakan jilbab, dan pickup itu terus melaju.
Ketika waktu salat kian dekat, imbauan Faradila menjadi lebih gencar. “Tutup tokonya!” “Cepat
ke mesjid terdekat!” Pikap itu berhenti di depan gedung bertingkat dua yang sudah butut, di pasar ikan,
dan di sanggar seni, tempat yang biasa digunakan orang untuk minum-minum. Tim polisi itu melompat
turun dari pikap—ibarat para bidadari Charlie‟s Angels bergaya Taliban. Dua orang pria segera tertangkap
basah. Mereka penjual ikan, begitu kata mereka, dan bau badan mereka pasti mengganggu jamaah
mesjid. Para polisi wanita itu tetap saja memberikan surat peringatan.
Sebuah buklet yang disebarluaskan, berjudul Sekilas tentang Syariah Islam di Aceh—di
sampulnya terdapat gambar seorang pria sedang dicambuk—merangkum peraturan itu. Jika Anda
tertangkap sedang berjudi: enam hingga 12 cambukan. Bergaul dengan lawan jenis secara tidak patut:
tiga hingga sembilan cambukan. Minum minuman keras: 40 cambukan. Tidak melaksanakan salat Jumat
tiga kali berturut-turut: tiga cambukan. Cambuknya, menurut buklet itu, harus terbuat dari rotan yang
tebalnya setengah hingga satu sentimeter. Di pos Polisi Syariah Banda Aceh, dua cambuk dipajang,

Membungkam Kaum Fanatik 5


masing-masing sepanjang tongkat dan kelenturannya seperti alat pemukul lalat . Di situ juga terdapat
album foto yang dipenuhi foto pencambukan; lebih dari 100 foto sejak 2005. Orang yang melaksanakan
hukuman cambuk itu mengenakan jubah merah hati, sarung tangan putih, dan tudung penutup wajah.
Jumlah khalayak yang menonton sangat banyak. Jajak pendapat menunjukkan bahwa, meskipun
sebagian besar orang Indonesia mengatakan mereka ingin hukum syariah menjadi landasan kehidupan
masyarakat, mereka merasa tidak nyaman tentang pemberlakuan hukuman badan seperti itu. Di luar
Aceh, penerapan peraturan berbasis-agama masih sporadis, dengan beberapa daerah melarang perjudian
atau minum minuman keras, atau mengharuskan kaum wanita mengenakan jilbab. Meskipun demikian,
peraturan tersebut diberlakukan oleh politisi sekuler yang memandang hukum Islam sebagai cara untuk
membina nama baik di kalangan konstituen yang taat atau mengalihkan perhatian dari korupsi yang
masih merajalela. Di masa depan, begitu kata para pakar, memainkan “kartu Islam” mungkin tidak akan
menjadi daya pikat yang bisa menarik massa besar seperti yang terjadi tiga atau empat tahun yang lalu.
Kecuali, mungkin, di Aceh, yang tampaknya mempercepat proses Islamisasinya dan bahkan
mempertimbangkan untuk menerapkan hukum potong tangan bagi pencuri, sesuai dengan hukuman
menurut Quran. Hukuman seperti ini disetujui oleh Faradila. Hukum syariah, begitu dia bersikeras, telah
menjadikan Banda Aceh lebih bermartabat dan jauh lebih aman. Dia ingin menyaksikan hukum Islam
lebih diperluas cakupannya. “Memotong tangan,” katanya, “dalam situasi yang tepat, bisa menjadi
pelajaran bagi orang lain. Tindak kejahatan bisa menurun drastis.” Merajam penzina juga bagus. “Apabila
kita mau mengamalkan Islam,” katanya, “kita harus menegakkan hukum.”
ISLAM FUNDAMENTALIS belum lama dikenal di Indonesia dan di sini bentuk agama yang
kalem dan tidak berapi-api sudah lama diamalkan, sering disebut dengan “Islam yang Tersenyum.” Islam
mula-mula tiba di sini seperti tibanya berbagai hal lain ke kepulauan ini—lewat laut. Tanah vulkanik di
kepulauan ini sungguh ideal untuk menanam rempah-rempah, dan pada abad ke-12, sebagian besar
pedagang yang mengambil lada dan pala dan cengkih Indonesia ke dunia Barat adalah kaum Muslim dari
Timur Tengah. Bagi produsen Indonesia, berpindah agama menjadi Islam memberikan beberapa
keuntungan—mitra dagang lebih menyukai sesama Muslim.
Penyebaran Islam ke Indonesia berlangsung secara bertahap dan damai. Apa yang dicapai dalam
seabad nan hiruk-pikuk dan simbahan darah di Timur Tengah, berlangsung berlangsung dengan santai di
Indonesia selama separuh milenium. Kepulauan Indonesia yang tersebar di bentangan samudra hampir
5000 kilometer dihuni oleh ratusan kelompok etnik dan mereka menganut berbagai agama. Islam turut
berperan mempersatukan penduduk yang sebelumnya terpecah-pecah menjadi budaya kawasan nan
tunggal. Pada saat VOC yang dikelola Belanda menguasai perdagangan rempah-rempah pada abad ke-17,
Islam telah menyebar ke hampir semua masyarakat pesisir Indonesia. “Islam berhasil masuk Indonesia

Membungkam Kaum Fanatik 6


dengan baik karena agama ini mampu menampung budaya dan berbagai agama yang sudah ada saat itu,”
kata Syafii Anwar, direktur pelaksana International Center for Islam and Pluralism di Jakarta. “Bahkan
dalam arsitektur mesjid pun, gaya lokal tetap dipertahankan.”
Meskipun demikian, ketika penataan kembali dunia pasca Perang Dunia II membuka jalan
menuju kemerdekaan dari penjajahan Belanda, presiden pertama Indonesia Sukarno memilih untuk
tidak menetapkan agama resmi negara. Menciptakan republik Islam, menurut Sukarno, dapat
mengucilkan kalangan minoritas non-Muslim; Sukarno sendiri dilahirkan oleh wanita Bali yang memiliki
akar agama Hindu, sementara ayahnya seorang Muslim. Presiden kedua Indonesia Suharto mengambil
alih kekuasaan pada 1966, ketika meletus kekerasan antikomunis yang menewaskan setengah juta jiwa,
dan untuk sementara waktu dia berhasil meredam kekejaman dan memupuk pertumbuhan ekonomi.
Namun, rezim pemerintahannya sarat penindasan dan bergaya militer. Pengunduran diri Suharto pada
1998 dipicu oleh gerakan pro-demokrasi yang dipimpin mahasiswa, berkekuatan jutaan orang yang
sebagian besar Muslim—perkembangan yang oleh sejumlah ahli sejarah dikatakan sebagai tonggak
sejarah dalam Islam modern.
Namun, akhir rezim Suharto juga menegaskan perpecahan di dalam masyarakat Muslim, antara
pihak yang mendukung perpaduan tradisional antara Islam dengan kepercayaan setempat dan pihak yang
berupaya “menyucikan” Islam dan mengikis nuansa regionalnya. Pertikaian ini berlanjut sampai
sekarang, dikobarkan antara lain oleh ide dan praktik yang berasal dari aliran Wahabi yang ketat di Arab
Saudi, yang mendanai sejumlah universitas Islam dan pondok pesantren di seluruh Indonesia.
Meski begitu, di seluruh negeri ini Islam terus berpadu dengan begitu banyak kepercayaan dan
tradisi pribumi. Pukulan bedug yang dulu selalu berkaitan dengan berbagai upacara rakyat sering kali
digunakan sebelum adzan, mengawali lantunan ayat-ayat Quran yang diperdengarkan lewat pengeras
suara dari menara mesjid. Kelompok Islam di Pulau Lombok bahkan suka minum arak kelapa tradisional
dalam upacara perayaan, meskipun Quran melarang orang minum minuman beralkohol.
MUNGKIN UNGKAPAN KHAS “Islam yang Tersenyum” dapat ditemukan di Jakarta, ibukota
Indonesia yang kacau dan berantakan. Di sini dapat dijumpai mal dan bioskop megah nan mewah dengan
nama seperti Hypermart dan Blitzmegaplex sedang dibangun, dan gedung pencakar langit mewah
berbatasan dengan kawasan kumuh yang padat penduduk. Di sinilah, di gang berkerikil, terdapat kantor
Ki Demit yang berdebu dan penuh barang. Ki adalah panggilan kehormatan bagi penganut aliran
kebatinan Indonesia. Ki Demit yang berarti Hantu Kecil adalah lelaki 28 tahun, berwajah kekanak-
kanakan, dan putra seorang ki juga—Hantu Besar. Dia juga cucu serta buyut sederetan ahli kebatinan.
“Aku memiliki garis keturunan ahli kebatinan yang paling sakti di Indonesia,” katanya.

Membungkam Kaum Fanatik 7


Di kebanyakan tempat di Timur Tengah, pernyataan seperti itu bisa dianggap bid‟ah—segala
sesuatu yang bersifat paranormal yang tidak berkaitan dengan Allah dilarang dalam Islam—tetapi, pada
kain batik hitam di ruang tunggu Ki Demit tertulis daftar keahliannya. Yang tercantum antara lain santet,
pelet, kekebalan, dan kejantanan. Satu dinding dipenuhi foto para selebritis—bintang sinetron, penyanyi,
pelawak—yang pernah meminta bantuan Ki Demit atau ayahnya.
Para pelanggan Ki Demit duduk bersila di lantai di hadapannya, dengan kipas angin yang
suaranya berdenyit di langit-langit. Ruangannya pun dipenuhi lilin, botol minyak wangi, tasbih, dan pisau
antik. “Aku bisa membaca pikiran orang dan aku dapat melihat apa yang akan terjadi,” katanya. “Tapi,
aku tidak bermaksud menyaingi Tuhan. Aku hanya perantara Tuhan.” Di banyak akhir pertemuan, dia
memberikan kepada pelanggannya segenggam bunga kering yang menurutnya sudah diberi kekuatan
gaib. Setelah pelanggannya mandi dengan air bunga itu, katanya, jampi-jampinya akan mulai bekerja.
“Aku Muslim yang baik,” begitu Ki Demit bersikeras. “Tentu saja aku salat lima waktu. Tentu saja aku
berpuasa di bulan Ramadan. Tetapi, jauh sebelum Islam datang ke Indonesia, leluhurku melaksanakan
ritual ini. Ayahku mengajariku sebagai seorang ki, dan apabila aku punya anak lelaki, tentu aku akan
mengajarinya juga. Aku pemeluk Islam yang taat, tetapi aku juga mengamalkan kesaktianku. Kita tidak
bisa main-main dengan kesaktian ini.”
DI BAGIAN KOTA yang berseberangan dengan rumah Ki Demit terdapat studio televisi tempat
penyanyi merangkap pembawa acara bincang-bincang Dorce Gamalama merekam acara hariannya (acara
televisi itu berakhir Mei 2009). Dorce adalah Oprah Indonesia dan dikenal luas dengan nama panggilan
Bunda. Dalam studio, dia merekam acaranya di hadapan penonton yang kebanyakan wanita setengah
baya dan berjilbab—Muslim konservatif tampaknya merupakan penggemar setianya, mungkin karena
Dorce sendiri, di balik semangat meluap-luap dan senyum lebarnya, adalah seorang Muslim yang taat. Di
dekat rumahnya di Jakarta, dia membangun mesjid sendiri.
Oh ya, satu hal lagi: Dorce terlahir sebagai laki-laki. Dia seorang waria. Dia mengalami “kondisi”
tersebut, begitu dia menyebutnya, sepanjang hidupnya dan melakukan operasi kelamin pada usia 20-an
tahun. Dia pernah menikah dua kali, keduanya dengan pria. Dia punya 300 pasang sepatu dan seribu wig.
Dia suka menyanyi, berjoget, dan melontarkan lelucon ringan yang menyerempet porno. Dia sering
bercanda menertawakan diri sendiri.
Acara bincang-bincangnya, yang menampilkan sejumlah bintang film, pemusik, dan
olahragawan, menayangkan obrolan khas bernuansa Indonesia—keunikan dirinya menyebabkanya dapat
mengungkapkan secara bebas sesuatu yang orang lain mungkin sungkan mengemukakannya. Dia
berceloteh tentang masalah perkawinan, dan bicara blak-blakan tentang seks. (“Para wanita, kalau kalian
ingin bercinta, tidak usah menunggu ajakan suami. Langsung saja ajak suami untuk bercinta.”)

Membungkam Kaum Fanatik 8


Di kamar gantinya setelah suatu acara berlangsung, dia menendang sepatunya sampai lepas dan
menyambut penggemar yang terus berdatangan. Seorang pemuda 19 tahun berkata, “Aku suka acara
Bunda karena Bunda menggemaskan.” Seorang wanita 90 tahun berkata, “Aku ingin sekali mencium
Bunda.” Sepanjang pembicaraan itu, dia jarang berhenti bicara, mengenang saat-saat awal dia memasuki
dunia hiburan, ketika dia menampilkan acara hiburan di atas pesawat dalam penerbangan carteran ke
Mekah. Hanya di Indonesialah seorang penyanyi waria dianggap layak pergi menunaikan ibadah haji.
“Aku orang normal,” katanya. “Aku berperilaku sebagai seorang wanita. Aku juga bisa bersikap
santun! Aku tidak setuju dengan seks sebelum menikah.” Ketika ditanya apakah keyakinannya lebih
penting daripada kariernya, dia tampak tersinggung berat. “Hidupku untuk Tuhan,” katanya.
ITULAH YANG DIKATAKAN SEMUA ORANG: kaum militan, penganut aliran kebatinan, polisi
syariah, bintang TV. Bersatu dalam menyembah kepada Tuhan, berbeda-beda dalam cara yang dianggap
tepat untuk mengungkapkan cara menyembah. Bentuk Islam yang sesuai dengan pola pikir generasi
berikutnya—Islam Tersenyum yang toleran atau Islam berhaluan keras dan kadang bengis yang didukung
para ektremis—dapat menentukan jalan yang diambil Indonesia dan mungkin memberikan model untuk
masa depan Islam global. Salah satu tempat untuk memperkirakan arahnya adalah di pondok-pondok
pesantren, terutama pondok yang berada di ujung jalan pedesaan di Ngruki, tempat Abu Bakar Baasyir
mengajar.
Pesantren itu sebenarnya sebuah tempat yang nyaman, beberapa gedung bertembok putih
dengan atap genting berwarna merah dan biru. Di luar pintu gerbang tampak seorang lelaki menjual susu
jahe dengan gerobak yang ditarik sepeda. Di depan mesjid pesantren, di tengah pondok, tampak deretan
sandal jepit warna-warni dalam kotak-kotak rak kayu. Teriakan terdengar dari lapangan basket. Sekitar
1.500 orang santri, santri perempuan sedikit lebih banyak daripada santri lelaki, bersekolah di pesantren
yang menyediakan pendidikan tingkat SMP dan SMU. Para santri tinggal di asrama, 20 hingga 30 orang
per kamar, dan tidur di kasur yang digelar di lantai.
Di kamar gantinya setelah suatu acara berlangsung, dia menendang sepatunya sampai lepas dan
menyambut penggemar yang terus berdatangan. Seorang pemuda 19 tahun berkata, “Aku suka acara
Bunda karena Bunda menggemaskan.” Seorang wanita 90 tahun berkata, “Aku ingin sekali mencium
Bunda.” Sepanjang pembicaraan itu, dia jarang berhenti bicara, mengenang saat-saat awal dia memasuki
dunia hiburan, ketika dia menampilkan acara hiburan di atas pesawat dalam penerbangan carteran ke
Mekah. Hanya di Indonesialah seorang penyanyi waria dianggap layak pergi menunaikan ibadah haji.
“Aku orang normal,” katanya. “Aku berperilaku sebagai seorang wanita. Aku juga bisa bersikap
santun! Aku tidak setuju dengan seks sebelum menikah.” Ketika ditanya apakah keyakinannya lebih
penting daripada kariernya, dia tampak tersinggung berat. “Hidupku untuk Tuhan,” katanya.

Membungkam Kaum Fanatik 9


ITULAH YANG DIKATAKAN SEMUA ORANG: kaum militan, penganut aliran kebatinan, polisi
syariah, bintang TV. Bersatu dalam menyembah kepada Tuhan, berbeda-beda dalam cara yang dianggap
tepat untuk mengungkapkan cara menyembah. Bentuk Islam yang sesuai dengan pola pikir generasi
berikutnya—Islam Tersenyum yang toleran atau Islam berhaluan keras dan kadang bengis yang didukung
para ektremis—dapat menentukan jalan yang diambil Indonesia dan mungkin memberikan model untuk
masa depan Islam global. Salah satu tempat untuk memperkirakan arahnya adalah di pondok-pondok
pesantren, terutama pondok yang berada di ujung jalan pedesaan di Ngruki, tempat Abu Bakar Baasyir
mengajar.
Pesantren itu sebenarnya sebuah tempat yang nyaman, beberapa gedung bertembok putih
dengan atap genting berwarna merah dan biru. Di luar pintu gerbang tampak seorang lelaki menjual susu
jahe dengan gerobak yang ditarik sepeda. Di depan mesjid pesantren, di tengah pondok, tampak deretan
sandal jepit warna-warni dalam kotak-kotak rak kayu. Teriakan terdengar dari lapangan basket. Sekitar
1.500 orang santri, santri perempuan sedikit lebih banyak daripada santri lelaki, bersekolah di pesantren
yang menyediakan pendidikan tingkat SMP dan SMU. Para santri tinggal di asrama, 20 hingga 30 orang
per kamar, dan tidur di kasur yang digelar di lantai.
Noor Huda Ismail adalah mantan santri di Ngruki, sekarang berusia 36 tahun dan pakar tentang
isu-isu keamanan di Asia Tenggara. Dialah yang kuajak untuk membantuku menyiapkan wawancara
untuk artikel ini. Setelah bom Bali pertama, kata Ismail, pemerintah Indonesia mengirim tim penyelidik
ke Ngruki. Hasilnya tidak meyakinkan. “Tidak ada yang khusus tentang terorisme dalam kurikulum,” kata
Ismail. “Tampilan Ngruki sama saja dengan sekolah pada umumnya. Tidak ada yang dirahasiakan—
kecuali jika Anda „dicomot.‟”
Selama di Ngruki, Ismail memang dicomot. “Indoktrinasi yang kujalani berlangsung di luar
kelas,” katanya. “Diawali dengan beberapa kali pertemuan kecil, pertemuan antara guru dan santri dalam
acara olahraga, ketika jalan-jalan siang. Kepadaku dikatakan bahwa musuh kami kuat.” Dia adalah calon
kuat, begitu menurut pendapatnya, karena kemahirannya berbahasa Inggris dan Arab.
“Tepat sebelum lulus,” kata Ismail, “aku diundang ke salah satu rumah guru. Aku duduk di tikar
di lantai. Cahaya lampunya redup. Kami bertiga di situ, semuanya santri. Pesan yang kami terima adalah
bahwa Islam adalah satu-satunya jalan keselamatan dan jika aku ingin masuk surga, aku harus bergabung
dengan pasukan mereka. Usiaku baru 15 tahun.” Salah seorang teman sekamar Ismail adalah Hutomo
Pamungkas yang sekarang menjalani hukuman penjara seumur hidup karena terlibat dalam bom Bali.
“Sungguh mencengangkan karena ternyata tidak banyak di antara kami yang beralih menjadi ekstremis,”
ujar Ismail.

Membungkam Kaum Fanatik 10


Robert W Hefner, antropolog yang mempelajari politik Muslim di Indonesia, percaya bahwa
paham ekstrem Islam telah kehilangan sebagian besar momentumnya di kepulauan ini, meskipun
mungkin mustahil menghentikan semua serangan. Pujian utama harus diberikan kepada kepolisian
Indonesia yang bukan saja berhasil menangkap ratusan pendukung Islam garis keras, namun juga
berhasil “meluluhkan hati” sejumlah militan narapidana dengan menawarkan kunjungan istri untuk
menyalurkan kebutuhan biologis dan beasiswa untuk anak-anak mereka. Namun, perubahan itu juga
berkat upaya puluhan tahun yang dilancarkan para pendidik Islam yang menerapkan reformasi di sekolah
mereka. Sejak 2004, semua murid yang bersekolah di pesantren harus mendapatkan pelajaran
kewarganegaraan, hak asasi manusia, dan demokrasi. Bahkan Ngruki, kendati memiliki reputasi sebagai
sarang penganut paham radikal, menerima garis haluan yang ditetapkan pemerintah itu.
Pada akhirnya, Indonesia mungkin memang terlalu luas dan beragam sehingga mustahil
dimasukkan ke dalam definisi Islam yang sempit. Bahkan sesuatu yang bersifat sekuler seperti remaja
Indonesia yang meniru American Idol bisa menunjukkan betapa beragamnya Islam di Indonesia. Pada
sesi yang belum lama ini usai, dua finalisnya sama-sama wanita Muslim. Yang seorang mengenakan
jilbab, sementara yang lainnya tidak. Tampaknya tidak ada yang mempermasalahkan hal ini. Motto
nasional Indonesia pun adalah “Bhinneka Tunggal Ika—berbeda-beda, tetapi tetap satu.”
“Islam di Indonesia ibarat sebuah tenda raksasa yang menampung semua suara untuk saling
berbicara,” kata Robin Bush dari Asia Foundation. Kelompok minoritas, begitu dia menjelaskan, dapat
menerima banyak perhatian dari media dan membuat orang takut menyuarakan pendapat mereka secara
terbuka. Mereka bahkan mengirimkan orang untuk melaksanakan bom bunuh diri ke hotel. Namun,
jangkauan mereka belum sampai ke kotak suara.
Tentu saja hal ini dapat berubah. Korupsi pejabat pemerintah yang masih terus terjadi, pemimpin
mirip-Suharto, seorang imam kharismatis yang dapat mempersatukan orang-orang yang tidak puas—
semua ini mungkin saja menggoyahkan keseimbangan Indonesia. “Kalau pemerintahan kami yang
sekuler gagal memberikan kesejahteraan bagi rakyat, Jamaah Islamiyah bisa merekrut banyak orang yang
resah ini,” kata Ismail. “Menurut pendapatku, kami akan terus-menerus berubah,” dia menambahkan.
“Apabila pengaruh barat menjadi terlalu kuat, unsur-unsur Islam akan semakin lantang. Manakala suara
Islam terlalu nyaring, semakin nyaring pula suara pihak sekuler. Akan selalu begitu keadaannya. Naik
dan turun. Naik dan turun. Inilah Indonesia.”

Membungkam Kaum Fanatik 11

Anda mungkin juga menyukai