BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut disebabkan oleh kuman gram
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut disebabkan oleh kuman gram
negatif Salmonella typhi. Selama terjadi infeksi, kuman tersebut
bermultiplikasi dalam sel fagositik mononuklear dan secara berkelanjutan
dilepaskan ke aliran darah.
2.2 Epidemiologi
Demam tifoid merupakan penyakit endemik di Indonesia. Penyakit ini
termasuk penyakit menular yang tercantum dalam undang-undang nomor
6 tahun 1962 tentang wabah. Surveilans Departemen Kesehatan RI,
frekuensi kejadian demam tifoid di Indonesia pada tahun 1990 sebesar 9,2
dan pada tahun 1994 terjadi peningkatan frekuensi menjadi 15,4 per
10.000 penduduk. Dari survey berbagai rumah sakit di Indonesia dari
tahun 1981 sampai dengan 1986 memperlihatkan peningkatan jumlah
penderita sekitar 35,8% yaitu dari 19.596 menjadi 26.606 kasus. Case
Fatality Rate (CFR) demam tifoid pada tahun 1996 sebesar 1,08% dari
seluruh kematian di Indonesia.
2.3 Etiologi
Demam tifoid disebabkan oleh jenis salmonella tertentu yaitu S. typhi, S.
paratyphi A, S. paratyphi B, dan S. paratyphi C.Demam yang disebabkan
oleh S. Typhi cenderung untuk menjadi lebih berat daripada bentuk infeksi
salmonella yang lain. Salmonella merupakan bakteri batang gram negatif
yang bersifat motil, tidak membentuk spora, dan tidak berkapsul.
Kebanyakkan strain meragikan glukosa, manosa dan manitol untuk
menghasilkan asam dan gas, tetapi tidak meragikan laktosa dan sukrosa.
Organisme salmonella tumbuh secara aerob dan mampu tumbuh secara
anaerob fakultatif. Kebanyakan spesies resistent terhadap agen fisik namun
dapat dibunuh dengan pemanasan sampai 54,4 C (130 F) selama 1 jam
atau 60 C (140 F) selama 15 menit. Salmonella tetap dapat hidup pada
suhu ruang dan suhu yang rendah selama beberapa hari dan dapat bertahan
hidup selama berminggu-minggu dalam sampah, bahan makannan kering,
agen farmakeutika,dan bahan tinja. Salmonella memiliki antigen somatik
O dan antigen flagella H. Antigen O adalah komponen lipopolisakarida
dinding sel yang stabil terhadap panas sedangkan antigen H adalah protein
labil panas. Antigen Vi adalah simpai atau kapsul kuman. Masa inkubasi S.
typhi adalah 3-21 hari.
2.4 Patogenesis
Salmonella typhimasuk ketubuh manusia melalui makanan dan air yang
tercemar. Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian
lagi masuk ke usus halus. Jika IgA kurang baik pertahanannya, maka
kuman akan menembus sel-sel epitel terutama sel M dan menuju ke
lamina propia. Di lamina propia kuman akan berkembangbiak. Sebagian
kuman akan ditangkap dan digagosit oleh sel mononuklear, namun masih
dapat hidup di dalam makrofag tersebut, dibawa ke Payers patch ileum
distal, menuju kelenjar getah bening mesenterika, melalui duktus
toraksikus ke sirkulasi darah, terjadilah bakteriemi I namun masih
asimtomatik. Setelah berkembangbiak di RES dan tersebar ke organ-organ
RES seperti hati dan limpa, kuman akan keluar dari makrofag,
berkembangbiak di luar sel atau ruang sinusoid dan masuk lagi ke dalam
sirkulasi darah, maka terjadilah bakteriemi II yang dapat menimbulkan
gejala-gejala sistemik.
Dari hepar, kuman masuk ke kantong empedu, berkembangbiak, dan
diekskresi secara intermiten ke lumen usus bersama-sama dengan cairan
empedu. Sebagian akan keluar lewat feses, dan sisanya akan menembus
usus masuk ke darah.
Interaksi Salmonella typhidengan makrofag memunculkan mediatormediator lokal sehingga peyers patches mengalami hiperplasi jaringan,
nekrosis dan ulkus (hipersensitivitas tipe IV/lambat). Secara imunulogi, di
usus diproduksi IgA sekretorik yang berfungsi mencegah melekatnya
Salmonella typhi pada mukosa usus. Imunitas humoral sistemik,
diproduksi IgM dan IgG untuk memudahkan fagositosis Salmonella typhi
oleh makrofag. Imunitas seluler berfungsi untuk membunuh Salmonalla
intraseluler.
Pada gejala sistemik timbul demam, instabilitas vaskuler, inisiasi
sistem beku darah, depresi sumsum tulang, bahkan nekrosis organ bila
2.6 Diagnosa
Diagnosa demam tifoid dapat ditegakkan melalui anamnesis dan
pemeriksaan fisik serta ditunjang oleh pemeriksaan laboratorik seperti
ditemukannya leukopenia, anesonofilia, dan
permulaan
terdapat
timbulnya
gejala.
Mungkin
anemia
dan
trombositopenia ringan.
Pada pemeriksaan sumsung tulang dapat ditemukan gambaran sumsum
tulang berupa hiperaktif RES dengan adanya sel makrofag sedangkan
sistem eritropoesis, granulopoesis, dan trombopoesis berkurang.
Pada biakan empedu dapat ditemukan kuman Salmonella typhi dalam
darah penderita biasanya dalam minggu pertama sakit. Selanjutnya lebih
sering ditemukan dalam urin dan feces dan mungkin akan tetap positif
untuk waktu yang lama. Oleh karena itu pemeriksaan yang positif dari
contoh darah digunakan untuk menegakkan diagnosis, sedangkan
pemeriksaan negatif dari contoh urin dan fases 2 kali berturt-turut
digunakan untuk menentukan bahwa penderita telah benar-benar sembuh
dan bukan karier.
Pemeriksaan Widal dapat dipakai untuk mendukung adanya diagnosis
demam tifoid, namun sekarang pemeriksaan Widal sudah mulai
ditinggalkan. Prinsip pemeriksaannya ialah reaksi aglutinasi yang terjadi
bila serum penderita dicampur dengan suspensi antigen Salmonella typhi.
Pemeriksaan yang positif ialah bila terjadi reaksi aglutinasi. Dengan jalan
mengencerkan serum, maka kadar zat anti dapat ditentukan, yaitu
pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan reaksi aglutinasi. Untuk
menegakkan diagnosis yamg perlu diperlukan ialah titer zat anti tehadap
antigen O. titer yang bernilai 1/200 atau lebih dan atau menunjukkan
kenaikan yang progresif diperlukan untuk membuat diagnosis. Titer
tersebut mencapai puncaknya bersamaan dengan penyembuhan penderita.
Titer terhadap antigen H tidak diperlukan untuk diagnosis karena dapat
tetap tinggi setelah mendapat imunisasi atau penderita telah lama sembuh.
Tidak selalu pemeriksaan widal positif walaupun penderita sungguhsungguh menderita demam tifoid sebagaimana terbukti pada autopsi
setelah penderita meninggal dunia.
Ciprofloksasin
20
mg/kgbb/hari
selama
hari
atau
kotrimoksasol,
dan
lain-lain.
Dianjurkan
pemberian
2.9 Komplikasi
a. Komplikasi intestinal umumnya jarang terjadi, akan tetapi sering
fatal. Pada usus halus dapat terjadi :
1) Perdarahan usus. Bila sedikit hanya ditemukan jika
dilakukan pemeriksaan darah samar pada tinja dengan
menggunakan benzidin. Bila perdarahan banyak terjadi
melena dan bila berat dapat disertai perasaan nyeri perut
dengan tanda-tanda renjatan.
2) Perforasi usus. Timbul biasanya pada minggu ketiga atau
setelah itu dan terjadi pada bagian distal ileum. Perforasi
yang tidak disertai peritonitis hanya dapat ditemukan bila
terdapat udara di rongga peritoneum, yaitu pekak hati
menghilang dan terdapat udara diantara hati dan diafragma
pada foto rontgen abdomen yang dibuat dalam keadaan
tegak.
3) Peritonitis. Biasanya menyertai perforasi tetapi dapat terjadi
tanpa perforasi usus. Ditemukan gejala abdomen akut yaitu
nyeri perut yang hebat, dinding abdomen tegang (defense
muscular) dan nyeri pada tekanan.
4) Komplikasi ekstra-intestinal yang terjadi karena lokalisasi
peradangan akibat sepsis (bakteremia) yaitu meningitis,
kolesistis, ensefalopati dan lain-lain. Selain itu, komplikasi
ekstra-intestinal dapat terjadi karena infeksi sekunder
misalnya pada bronkopneumonia.Dehidrasi dan asidosis
dapat timbul akibat masukan makanan yang kurang dan
perspirasi akibat suhu tubuh yang tinggi.
2.9
Prognosis
Umumnya prognosis tifus abdominalis pada anak baik asal
penderita cepat berobat. Mortalitas pada penderita yang dirawat
ialah 6%. Prognosis menjadi buruk bila terdapat gejala klinis yang
berat seperti:
1) Panas tinggi(hiperpireksia) atau febris kontinu
2) Kesadaran menurun sekali yaitu stupor, koma atau delirium
BAB III
DAFTAR PUSTAKA
1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. 4th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006.
p1752-1757
2. Centers for Disease Control and Prevention. Typhoid fever. October 5, 2010.
[cited 2011Jan8].[Internet]Available at:
http://www.cdc.gov/nczved/divisions/dfbmd/diseases/typhoid_fever/
3. Klotchko A, Mark RW. Salmonellosis. Mar 31, 2009.[cited 2011 Jan 11].
[Internet] Available at: http://emedicine.medscape.com/article/228174-overview
4. Fauci AS, et al. Harrisons Manual of Medicine. 17 th ed. New York: McGraw
Hill; 2009. p 456-457
5. Bhan MK, Bahl R, Bhatnagar S. Typhoid and parattyphoid fever. Lancet. Aug
2005;366:749-62.
6. Brusch J. Typhoid fever. April 8, 2010. [cited 2011 Jan 11]. [Internet] Available
at: http://emedicine.medscape.com/article/231135-overview
7. Klotchko A. Salmonellosis. Mar 31, 2009. [cited 2011 Jan 8]. [Internet]
Available at: http://emedicine.medscape.com/article/228174-media
10
8. Kim AY, Goldberg MB, Rubin RH. Salmonella infections. In: Gorbach SL,
Bartlett JG, Blacklow NR, eds. Infectious Diseases. 3rd ed. Lippincott Williams
and Wilkins; 2004:68.