Anda di halaman 1dari 3

Siapakah Ulil Amri?

8.55 AM | Author: el-Hafiy

Soal:
Siapa sebenarnya ulil amri yang keputusannya layak ditaati? Dalam hal apa ulil amri wajib ditaati? Dalam hal apa pula ulil amri tidak
boleh

ditaati?

Jawab:
Secara harfiah, frasa ulil amri (uli al-amr) dan wali al-amr mempunyai konotasi yang sama, yaitu al-hakim (penguasa). Jika wali adalah
bentuk mufrad (tunggal) maka uli adalah jamak (plural). Namun demikian, kata uli bukan jamak dari kata wali. Al-Quran menggunakan
frasa

ulil

amri

dengan

konotasi

dzawi

al-amr,

yaitu

orang-orang

yang

mempunyai

(memegang)

urusan.[1]

Ini berbeda dengan frasa wali al-amr, yang hanya mempunyai satu makna harfiah, yaitu al-hakim (penguasa).[2] Karena itu, frasa ulil amri
bisa disebut musytarak (mempunyai banyak konotasi). Imam al-Bukhari memaknai frasa tersebut dengan dzawi al-amr (orang-orang yang
mempunyai dan memegang urusan). Ini juga merupakan pendapat Abu Ubaidah. Adapun Abu Hurairah ra. memaknai frasa tersebut dengan
al-umara (para penguasa); Maimun bin Mahran dan Jabir bin Abdillah memaknainya dengan ahl al-ilm wa al-khayr (ahli ilmu dan orang
baik); Mujahid, Atha, Abi al-Hasan dan Abi al-Aliyah memaknainya dengan al-ulama (ulama). Dalam riwayat lain, Mujahid
menyatakan bahwa mereka adalah Sahabat. Bahkan Ikrimah menyebutkan lebih spesifik, mereka adalah Abu Bakar dan Umar.[3]
Imam ar-Razi telah mengumpulkan pendapat para mufassir dalam kitabnya tentang makna frasa ini. Beliau menyatakan, bahwa ulil amri
mempunyai banyak konotasi. Pertama: Khulafaur Rasyidin. Kedua: Komandan detasemen. Ketiga: para ulama yang mengeluarkan fatwa
hukum syariah serta mengajarkan agama kepada masyarakat. Keempat: pendapat Syiah Rawafidh, bahwa mereka adalah imam yang
maksum.[4]
Terkait ulil amri, Allah SWT berfirman:




Wahai orang-orang yang beriman taatilah Allah, taatilah Rasul serta ulil amri di antara kalian. Jika kalian berselisih dalam suatu urusan,
maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul jika kalian memang mengimani Allah dan Hari Akhir. Itu lebih baik dan merupakan sebaikbaik

penjelasan

(QS

an-Nisa

[4]:

59).

Konotasi kata ulil amri di sini, menurut Ibn Abbas, adalah al-umara wa al-wullat (para penguasa). Konteks ayat ini juga turun berkaitan
dengan kewajiban untuk menaati penguasa.[5] Karena itu, ulil amri dengan konotasi penguasa dalam konteks ini jelas lebih tepat ketimbang
konotasi ulama atau yang lain. Dengan demikian, ayat ini jelas memerintahkan agar menaati penguasa. Namun, penguasa seperti apa?
Sayyidina Ali bin Abi Thalib-karrama-Llahu wajhah-menjelaskan, bahwa seorang imam/kepala negara wajib memerintah berdasarkan
hukum yang diturunkan oleh Allah, serta menunaikan amanah. Jika dia melakukan itu maka rakyat wajib untuk mendengarkan dan
menaatinya.[6] Karena itu, konteks menaati ulil amri dalam surat an-Nisa [4]: 59 di atas tidak berlaku mutlak, sebagaimana menaati Allah
dan Rasul-Nya yang maksum; tetapi terikat dengan ketaatan ulil amri tersebut kepada perintah dan larangan Allah dan Rasul-Nya. Sebab,
dengan tegas Nabi saw. bersabda:

Tidak boleh ada sedikit pun ketaatan kepada makhluk dalam melakukan maksiat kepada Khaliq (Allah SWT) (HR Ahmad).

Hukum dan perundang-undangan yang diterapkan penguasa bisa diklasifikasikan menjadi dua. Pertama: hukum dan perundang-undangan
yang bersifat syari (al-ahkam wa al-qawanin al-ijraiyyah). Kedua: hukum dan perundang-undangan yang bersifat administratif (al-ahkam
wa al-qawanin al-ijraiyyah). Hukum dan perundang-undangan yang pertama seperti sistem pemerintahan, ekonomi, sosial, pendidikan,
politik luar negeri, atau hukum-hukum syariah yang lain, seperti penentuan awal/akhir Ramadhan. Dalam hal ini, tidak boleh seorang pun
penguasa atau seorang Muslim mengkaji atau mengambil dari sumber lain, selain syariah Islam. Adapun hukum dan perundang-undangan
kedua seperti peraturan lalu lintas, KTP, SIM, Paspor dan sejenisnya. Dalam hal ini, penguasa atau seorang Muslim bisa mempelajari atau
mengambil

dari

sumber

manapun,

selama

tidak

bertentangan

dengan

syariah

Islam.[7]

Karena itu, konteks perintah ketaatan di dalam surat an-Nisa [04]: 59 di atas berlaku untuk: Pertama, penguasa Muslim yang menerapkan
syariah Islam secara kaffah. Kedua, penguasa Muslim yang menerapkan syariah Islam secara parsial; dia wajib ditaati dalam konteks syariah
yang dia terapkan, seperti peradilan agama Islam (mahkamah syariah) yang mengatur kawin, cerai dan sebagainya, termasuk ketika seorang
penguasa menyerukan jihad untuk melawan pendudukan negara kafir penjajah. Ketiga, penguasa Muslim yang tidak menerapkan syariah
Islam, baik secara kaffah maupun parsial. Dalam hal ini, dia hanya ditaati dalam konteks hukum dan perundang-undangan yang bersifat
ijrai saja. Lebih dari itu, hukum menaati penguasa tersebut bukan saja tidak wajib, tetapi justru tidak dibolehkan.
Menarik untuk disebut di sini, bahwa keputusan pemerintah dalam menentukan awal/akhir Ramadhan adalah keputusan yang berkaitan
dengan hukum syariah, bukan masalah yang terkait dengan ijrai. Karena ini merupakan masalah hukum syariah, maka prosedur istidlal dan
istinbat yang benar harus ditempuh sehingga hukum yang dijadikan sebagai keputusan benar-benar merupakan hukum syariah. Dari aspek
dalil, rukyat harus didahulukan ketimbang hisab. Sebab, hisab hanyalah saranan untuk melakukan rukyat. Bukan sebaliknya, jika rukyat
bertentangan dengan hisab, maka rukyat harus ditolak, karena dianggap mustahil. Sikap yang terakhir ini jelas keliru, karena tidak dibangun
berdasarkan

satu

dalil

syariah

pun.

Memang, ada dalil yang digunakan, seperti frasa faqduru lahu (perkirakanlah) yang terdapat dalam hadis Nabi saw.:


Jika

kalian

terhalang

mendung

maka

perkirakanlah

(hitung)

bulan

itu.

Dalil sebenarnya sangat jauh dari konotasi hisab. Sebab, dalam hadis lain dinyatakan, fa akmilu iddata Syabana tsalatsina yawm[an]
(maka

sempurnakanlah

hitungan

Syaban

menjadi

tiga

puluh

hari).

Dengan demikian, jika prosedur istidlal dan istinbat ini ditempuh dengan benar, maka perbedaan antara hisab dan rukyat tersebut bisa
diselesaikan. Sebab, masing-masing bisa didudukkan secara proporsional tanpa menegasikan satu dengan yang lain. Ini jika perbedaan
tersebut terjadi karena faktor fikih maupun astronomi. Namun, jika masalahnya adalah masalah politik, maka solusinya haruslah solusi
politik. Di sinilah fungsi imam/kepala negara yang merupakan institusi dengan otoritas untuk menghilangkan perselisihan, sebagaimana
dalam kaidah syariah:

Perintah

imam/kepala

negara

bisa

menghilangkan

perselihan

pendapat.

Namun, kaidah ini hanya berlaku efektif jika imam/kepala negara tersebut memang wajib ditaati. Sebaliknya, jika dia tidak wajib ditaati,
maka perintahnya tidak akan pernah bisa menghilangkan perselisihan. Sebagai contoh, pemerintah memutuskan awal/akhir Ramadhan

berdasarkan hisab, dengan menolak rukyat, padahal syariah menetapkan harus tunduk pada hasil rukyat, maka keputusan seperti ini tidak
akan pernah bisa menghilanghkan perselisihan di tengah-tengah umat. Sebab, keputusan itu sendiri merupakan keputusan yang batil, dan
tidak

boleh

ditaati.

WalLahu

alam.

[hti]

Catatan kaki:

[1] Abu al-Ala al-Mubarakfuri, Tuhfadzu al-Ahwadzi: Syarah Sunan at-Tirmidzi, Dar al-Fikr, Beirut, III/207. [2] Al-Allamah Syaikh
Taqiyuddin

an-Nabhani,

[3]

As-Syakhshiyyah

Abu
ar-Razi,

al-Islamiyyah

al-Juz

al-Ala

[4]

Al-Fakhr

Tafsir

[5]

As-Syaukani,

Naylu

al-Awthar

fi

[6]

Al-Baghawi,

Tafsir

al-Quran,

Dar

as-Tsani,

Dar

al-Ummah,

al-Mubarakfuri,

ar-Razi,
Syarh

Dar

Ihya

Muntaqa

al-Kutub

al-Ilmiyyah,

cet.

Muktamadah.

Ibid,

at-Turats

al-Akhbar,

Beirut,

Dar

Beirut,

III/207.

al-Arabi,
al-Fikr,
t.t,

surat

Beirut,

Beirut,

X/107.

1994,

an-Nisa

VIII/46.

[04]:

59.

[7] Dr. Muhammad Ahmad Mufti dan Dr. Sami Shalih al-Wakil, Legislasi Hukum Islam vs Legislasi Hukum Sekuler, Pustaka Thariqul Izzah,
Bogor, cet. I, 2006, 32.

http://syabab1924.blogspot.com/2011/09/siapakah-ulil-amri.html, diakses 24/08/2015

Anda mungkin juga menyukai