Anda di halaman 1dari 22

TUGAS KLIPING ARTIKEL

DR.Sudung Nainggolan

Disusun oleh :
ANGELINE PATRICIA
1061050138

KEPANITERAAN ILMU KEDOKTERAN KOMUNITAS


PERIODE 5 OKTOBER 12 DESEMBER 2015
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
JAKARTA
2015
1

RUANG LINGKUP KESEHATAN LINGKUNGAN


1. Penyediaan Air
2. Pengelolaan Limbah
3. Sanitasi Makanan
4. Sanitasi Perumahan
5. Pencemaran Lingkungan
6. P)engendalian Vektor Penyakit
7. Kesehatan dan Keselamatan Kerja
8. Pengelolaan Sampah
9. Limbah Rumah Sakit

1. ARTIKEL PENYEDIAAN AIR MINUM


Oleh : Leo Sapto Adji Widodo, ST - Project Officer PAMSIMAS Jateng, Asisten Bina Teknik
Satker Pengembangan Air Minum dan Sanitasi Provinsi Jawa Tengah Dinas Cipta Karya
dan Tata Ruang Provinsi Jawa Tengah
Edukasi air dan sanitasi yang berkelanjutan, merupakan salah satu usaha yang dapat
dilakukan agar generasi penerus memiliki kerangka berpikir yang baik terhadap sanitasi.
Program PAMSIMAS merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan universal akses air
minum dan sanitasi tahun 2019, yang pelaksanaannya berbasis pemberdayaan masyarakat
menuju perubahan perilaku dalam Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS).
Masalah air bersih dan sanitasi tampaknya masih merupakan problema bangsa, baik
pemerintah atau masyarakat secara keseluruhan. Cakupan air minum dan sanitasi yang rendah
sangat berdampak pada kesehatan masyarakat. Ini bisa dilihat dari hasil penelitian Jim
Woodcock, seorang konsultan masalah air dan sanitasi dari bank dunia, yang hasilnya adalah
100.000 bayi di Indonesia tewas setiap tahunnya yang disebabkan oleh diare, penyakit yang
paling mematikan nomor dua setelah infeksi saluran pernapasan akut. Penyebab utamanya,
jelas buruknya akses terhadap air bersih serta sanitasi.
Program PAMSIMAS (Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat) merupakan
salah satu kegiatan strategis untuk mencapai tujuan peningkatan derajat kesehatan,
produktifitas kerja dan kualitas hidup, utamanya masyarakat berpenghasilan rendah. Peran
aktif dan keterlibatan masyarakat menjadi modal efektif untuk mencapai keberhasilan
program ini, khususnya di bidang kesehatan.
Karena dalam implementasinya PAMSIMAS mempunyai 5 komponen, yakni (1)
pemberdayaan masyarakat dan pengembangan kelembagaan lokal, (2) peningkatan perilaku
higienis dan pelayanan sanitasi, (3) penyediaan sarana air minum dan sanitasi umum, (4)
insentif desa dan (5) dukungan implementasi dan manajemen program.
Dalam bidang kesehatan, pelaksanaan kegiatan pada program PAMSIMAS menggunakan
pendekatan CLTS atau Community Lead Total Sanitation atau akrab disebut STBM (sanitasi
total berbasis masyarakat). Strategi STBM merupakan strategi yang berfokus pada perubahan
perilaku, penciptaan kebutuhan dan meningkatkan supply pasar untuk memenuhi kebutuhan
tersebut yang didukung dengan lingkungan yang kondusif baik dari aspek regulasi,
penganggaran dan penerapan monitoring dan evaluasi secara berkala, dengan menerapkan
Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS).
Beberapa perilaku di bidang kesehatan, yang sampai saat ini masih terjadi adalah, masih
adanya masyarakat yang buang air besar sembarangan (BABS), pembuangan tinja balita di
3

tempat terbuka, cuci tangan yang belum benar dan kurang menjaga kualitas air dan
penggunaan air aman dari pencemaran. Sehingga Menteri Kesehatan, melalui Surat Edaran
No. 132 tahun 2013, menghimbau untuk meningkatkan kebutuhan masyarakat terhadap
sanitasi dengan pemberdayaan melalui metoda pemicuan dan pemasaran sanitasi. Dan yang
paling penting adanya pencapaian minimal satu desa /kelurahan terverifikasi Stop Buang Air
Besar Sembarangan (SBS) setiap tahunnya untuk setiap wilayah kerja Puskesmas.
Dan sejalan dengan komitmen Pemerintah Indonesia dalam mencapai target Millenium
Development Goals (MDGs), yaitu berkurangnya setengah jumlah penduduk yang tidak
terlayani air minum dan sanitasi yang layak pada tahun 2015.
Pemerintah telah berupaya meningkatkan akses air minum, dimana terjadi peningkatan akses
air minum sebesar 4,2% per tahun dalam periode 2011-2013, dengan capaian tersebut akses
air minum pada akhir tahun 2013 menjadi sebesar 67,7%. Sehingga diharapkan pada tahun
2015 dapat mencapai bahkan melebihi target MDGs yaitu sebesar 68,8 %.
Namun demikian tantangan pemenuhan kebutuhan air minum dan sanitasi masyarakat masih
sangat besar dengan adanya target pencapaian akses air minum dan sanitasi untuk 100%
penduduk (universal access) pada tahun 2019. Sebagaimana tercantum dalam Rencana
Pembangunan Jangan Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, yang mengamanatkan
terwujudnya 100% akses aman air minum, bebas kumuh, dan 100% akses sanitasi yang layak
pada akhir tahun 2019.
Untuk mencapai tujuan bersama ini, akan tumbuh solidaritas sosial antar anggota masyarakat,
akan tumbuh lagi jiwa gotong royong antar warga. Mereka akan bergotong royong membantu
warga yang kurang mampu, yang lebih kaya akan membantu yang miskin. Dengan
kepemimpinan lokal mereka akan mencari model-model sarana yang sederhana dan
terjangkau oleh ekonomi mereka. Semua proses ini akan membutuhkan waktu, sehingga
membutuhkan kesabaran dan upaya yang terus-menerus, walau proses berjalan lambat, tetapi
jika semua masyarakat telah muncul kesadarannya, maka proses selanjutnya akan berjalan
lebih cepat. Sehingga PHBS di masyarakat akan tercapai dengan nyaman.
Edukasi air dan sanitasi yang berkelanjutan, merupakan salah satu usaha yang dapat
dilakukan agar generasi penerus memiliki kerangka berpikir yang baik terhadap sanitasi.
Masalah air dan sanitasi tidak hanya menjadi tanggung jawab sektor pekerjaan umum dan
kesehatan, namun sektor pendidikan juga ikut bertanggung jawab terhadap kerangka pikir
sanitasi. Karenanya, bukan tidak mungkin pendidikan air bersih dan sanitasi dijadikan
kurikulum muatan local. Sehingga ke depan anak-anak mampu menjadi agen perubahan,
yang dapat melakukan perubahan terhadap keadaan sanitasi di wilayahnya.
KESIMPULAN
Program pemerintah yang menggunakan CLTS atau yang berfokus pada perubahan perilaku
masyarakat sangat baik karena menciptakan kesadaran pada masyarakat demi terciptanya air
bersih.

Perilaku masyarakat yang masih menuang tinja sembarangan harus diperbaiki dengan
berbagai pendekatan dan akan tumbuh solidaritas sosial antar anggota masyarakat. Peran aktif
dan keterlibatan masyarakat menjadi modal efektif untuk mencapai keberhasilan program
dari pemerintah.
Untuk mencapai PHBS harus di awali dari kesadaran dari masyarakat sendiri untuk
menerapkan perilaku sehat.
Untuk mengatasi keterbatasan akses air minum dan sanitasi tersebut perlu diupayakan
pendekatan yang tepat bagi masyarakat, karena yang berproses adalah masyarakat. Ini
dimaksudkan guna terjaminnya keberlangsungan sarana prasarana yang dibangun, maupun
keberlanjutan pasca program. Karenanya, usaha pemerintah dan partisipasi masyarakat harus
ditumbuhkembangkan seoptimal mungkin sehingga dicapai hasil yang paling efektif.

2. ARTIKEL PENGELOLAAN LIMBAH


Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (limbah B3) merupakan sisa dari suatu usaha dan/atau
kegiatan yang mengandung bahan berbahaya dan beracun. Oleh karena sifat dan
karakteristiknya yang dapat membahayakan lingkungan dan kesehatan manusia, maka
pengelolaannya harus mengikuti prinsip pengelolaan mulai dari sejak limbah B3 tersebut
dihasilkan hingga dikelola pada fasilitas akhir pengelolaan (from cradle to grave). Prinsip
from cradle to grave tersebut telah terakomodasi dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup serta Peraturan Pemerintah
Nomor 18 Tahun 1999 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 85 Tahun 1999 tentang Pengelolaan
Limbah B3, dimana setiap penghasil limbah B3 wajib melakukan pengelolaan limbah B3
yang dihasilkannya.
Pengelolaan limbah B3 itu sendiri mempunyai arti suatu rangkaian manajemen limbah B3
yang meliputi kegiatan pengurangan, penyimpanan, pengumpulan, pemanfaatan,
pengangkutan, pengolahan dan penimbunan limbah B3. Rangkaian pengelolaan limbah B3
tersebut harus diawasi pelaksanaannya antara lain diatur dengan skema izin dan atau
rekomendasi pengelolaan limbah B3. Hingga tahun 2012, jumlah izin dan rekomendasi
pengelolaan limbah B3 yang telah diterbitkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup kurang
lebih ada 598 izin/rekomendasi dengan rincian sebagai berikut :

Selain masalah pengelolaan limbah B3 yang terkait dengan izin/rekomendasi, permasalahan


lain yang dihadapi Kementerian Lingkungan Hidup saat ini yaitu terdeteksi dan
terkuatifikasinya lahan terkontaminasi limbah B3 baik yang dilakukan baik oleh sektor
industri maupun oleh masyarakat dalam arti ilegal. Limbah B3 ditemukan ditimbun langsung
ke lingkungan baik disengaja maupun tidak disengaja. Untuk itu, Kementerian Lingkungan
Hidup telah menerbitkan peraturan terkait penanganan lahan terkontaminasi limbah B3
melalui Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 33 tahun 2009 tentang Tata Cara
Pemulihan Lahan Terkontaminasi Limbah B3. Tercatat sebanyak 299.677,538 ton limbah B3
yang telah ditimbun langsung ke lingkungan pada periode tahun 2010-2013. Dari data
tersebut sebanyak 278.631,41 ton limbah B3 sudah dilakukan pemulihan dan sisanya 21.046,
13 masih dalam proses pemulihan di KLH.
Dalam upaya meningkatkan kualitas pengelolaan limbah B3 terhadap badan usaha dan atau
kegiatan yang telah memiliki izin termasuk pengelolaan lahan terkontaminasi limbah B3,
maka diperlukan upaya pembinaan dan bimbingan teknis oleh Kementerian Lingkungan
Hidup. Upaya pembinaan dan bimbingan teknis tersebut merupakan sarana untuk
6

meningkatkan kinerja pengelolaan limbah B3 dan menjadi ajang komunikasi serta bertukar
informasi dalam pelaksanaan dan penyempurnaan terhadap kebijakan peraturan tentang
limbah B3 yang sedang disusun oleh Kementerian Lingkungan Hidup. Sehingga diharapkan
pengelolaan limbah B3 dapat dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan tidak ada
lagi kasus-kasus pencemaran lingkungan yang diakibatkan dari salahnya pengelolaan limbah
B3.
KESIMPULAN
Limbah B3 tidak boleh dibuang dengan cara yang sama dengan pembuangan limbah biasa.
Pengelolaan limbah B3 itu sendiri mempunyai arti suatu rangkaian manajemen limbah B3
yang meliputi kegiatan pengurangan, penyimpanan, pengumpulan, pemanfaatan,
pengangkutan, pengolahan dan penimbunan limbah B3. Rangkaian pengelolaan limbah B3
tersebut harus diawasi pelaksanaannya antara lain diatur dengan skema izin dan atau
rekomendasi pengelolaan limbah B3.

3. ARTIKEL SANITASI MAKANAN


Makanan adalah kebutuhan pokok manusia yang dibutuhkan setiap saat dan
memerlukan pengelolaan yang baik dan benar agar bermanfaat bagi tubuh. Menurut WHO,
yang dimaksud makanan adalah : Food include all substances, whether in a natural state or
in a manufactured or preparedform, wich are part of human diet.Batasan makanan tersebut
tidak termasuk air, obat-obatan dan substansi-substansi yang diperlukan untuk tujuan
pengobatan.
Makanan yang dikonsumsi hendaknya memenuhi kriteria bahwa makanan tersebut
layak untuk dimakan dan tidak menimbulkan penyakit, diantaranya :
1. Berada dalam derajat kematangan yang dikehendaki
2. Bebas dari pencemaran di setiap tahap produksi dan penanganan selanjutnya.
3. Bebas dari perubahan fisik, kimia yang tidak dikehendaki, sebagai akibat dari pengaruh
enzym, aktifitas mikroba, hewan pengerat, serangga, parasit dan kerusakan-kerusakan
karena tekanan, pemasakan dan pengeringan.
4. Bebas dari mikroorganisme dan parasit yang menimbulkan penyakit yang dihantarkan
oleh makanan (food borne illness).
Higiene dan Sanitasi
Pengertian higiene menurut Depkes adalah upaya kesehatan dengan cara
memelihara dan melindungi kebersihan individu subyeknya. Misalnya mencuci tangan
untuk melindungi kebersihan tangan, cuci piring untuk melindungi kebersihan piring,
membuang bagian makanan yang rusak untuk melindungi keutuhan makanan secara
keseluruhan.

Sanitasi

makanan

adalah

salah

satu

usaha

pencegahan

yang

menitik

beratkan kegiatan dan tindakan yang perlu untuk membebaskan makanan dan minuman
dari segala bahaya yang dapat menganggu atau memasak kesehatan, mulai dari sebelum makanan
diproduksi, selama dalam proses pengolahan, penyimpanan, pengangkutan, sampai
pada saat dimana makanan dan minuman tersebut siap untuk dikonsumsikan kepada
masyarakat atau konsumen. Sanitasi makanan ini bertujuan untuk menjamin keamanan dan
kemurnian makanan, mencegah konsumen dari penyakit, mencegah penjualan makanan
yang akan merugikan pembeli. mengurangi kerusakan / pemborosan makanan. Dalam
pengelolaan makanan ada 6 prinsip yang harus di perhatikan yaitu:

KESIMPULAN
Semua jenis bahan makanan perlu mendapat perhatian secara fisik serta kesegarannya
terjamin, terutama bahan-bahan makanan yang mudah membusuk atau rusak seperti daging,
ikan, susu, telor, makanan dalam kaleng, buah, dsb. Baham makanan yang baik kadang kala
tidak mudah kita temui, karena jaringan perjalanan makanan yang begirtu panjangdan melalui
jaringan perdagangan yang begitu luas. Salah satu upaya mendapatkan bahan makanan yang
baika dalah menghindari penggunaan bahan makanan yang berasal dari sumber tidak jelas
(liar) karena kurang dapat dipertanggung jawabkan secara kualitasnya. Makanan juga harus
diperhatikan dalam kebersihan proses produksinya. Hal ini sangat baik untuk mencegah
timbulnya penyakit yang di timbulkan dari bahan makanan.

4. Sanitasi Perumahan
KESEHATAN PERUMAHAN DAN LINGKUNGAN PEMUKIMAN
Soedjajadi Keman
Bagian Kesehatan Lingkungan FKM Universitas Airlangga
JURNAL KESEHATAN LINGKUNGAN, VOL. 2, NO. 1, JULI 2005 : 29 -42
PENDAHULUAN
Setiap manusia dimanapun berada membutuhkan tempat untuk tinggal yang disebut rumah.
Rumah berfungsi sebagai tempat untuk melepaskan lelah, tempat bergaul dan membina rasa
kekeluargaan diantara anggota keluarga, tempat berlindung dan menyimpan barang berharga,
dan rumah juga merupakan status lambang sosial (Azwar, 1996; Mukono, 2000). Perumahan
merupakan kebutuhan dasar manusia dan juga merupakan determinan kesehatan masyarakat.
Karena itu pengadaan perumahan merupakan tujuan fundamental yang kompleks dan
tersedianya standar perumahan merupakan isu penting dari kesehatan masyarakat. Perumahan
yang layak untuk tempat tinggal harus memenuhi syarat kesehatan sehingga penghuninya
tetap sehat. Perumahan yang sehat tidak lepas dari ketersediaan prasarana dan saran a yang
terkait, seperti penyediaan air bersih, sanitasi pembuangan sampah, transportasi, dan
tersedianya pelayanan sosial (Krieger and Higgins, 2002). Rumah adalah struktur fisik terdiri
dari ruangan, halaman dan area sekitarnya yang dipakai sebagai tempa t tinggal dan sarana
pembinaan keluarga (UU RI No. 4 Tahun 1992). Menurut WHO, rumah adalah struktur fisik
atau bangunan untuk tempat berlindung, dimana lingkungan berguna untuk kesehatan
jasmani dan rohani serta keadaan sosialnya baik untuk kesehatan kelu arga dan individu
(Komisi WHO Mengenai Kesehatan dan Lingkungan, 2001). Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa rumah sehat adalah bangunan tempat berlindung dan beristirahat serta
sebagai sarana pembinaan keluarga yang menumbuhkan kehidupan sehat secara fis ik, mental
dan sosial, sehingga seluruh anggota keluarga dapat bekerja secara produktif. Oleh karena itu
keberadaan perumahan yang sehat, aman, serasi, teratur sangat diperlukan agar fungsi dan
kegunaan rumah dapat terpenuhi dengan baik. Perumahan adalah kelompok rumah yang
berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau hunian yang dilengkapi dengan prasarana
10

lingkungan yaitu kelengkapan dasar fisik lingkungan, misalnya penyediaan air minum,
pembuangan sampah, listrik, telepon, jalan, yang memungkinkan lingkungan pemukiman
berfungsi sebagaimana mestinya; dan sarana lingkungan yaitu fasilitas penunjang yang
berfungsi untuk penyelenggaraan serta pengembangan kehidupan ekonomi, sosial dan
budaya, seperti fasilitas taman bermain, olah raga, pendidikan, pertok oan, sarana
perhubungan, keamanan, serta fasilitas umum lainnya. Perumahan sehat merupakan konsep
dari perumahan sebagai faktor yang dapat meningkatkan standar kesehatan penghuninya.
Konsep tersebut melibatkan pendekatan sosiologis dan teknis pengelolaan faktor risiko dan
berorientasi pada lokasi, Soedjajadi Keman, Kesehatan Perumahan 31 bangunan, kualifikasi,
adaptasi, manajemen, penggunaan dan peme - liharaan rumah dan lingkungan di sekitarnya,
serta mencakup unsur apakah rumah tersebut memiliki penyediaan air minum dan sarana
yang memadai untuk memasak, mencuci, menyimpan makanan, serta pembuangan kotoran
manusia maupun limbah lainnya (Komisi WHO Mengenai Kesehatan dan Lingkungan,
2001). Menurut American Public Health Association (APHA) rumah dikatakan sehat apabila :
(1) Memenuhi kebutuhan fisik dasar seperti temperatur lebih rendah dari udara di luar rumah,
penerangan yang memadai, ventilasi yang nyaman, dan kebisingan 45-55 dB.A.; (2)
Memenuhi kebutuhan kejiwaan; (3) Melindungi penghuninya dari penularan penyakit
menular yaitu memiliki penyediaan air bersih, sarana pembuangan sampah dan saluran
pembuangan air limbah yang saniter dan memenuhi syarat kesehatan; serta (4) Melindungi
penghuninya dari kemungkinan terjadinya kecelakaan dan bahaya kebakaran, seperti fondasi
rumah yang kokoh, tangga ya ng tidak curam, bahaya kebakaran karena arus pendek listrik,
keracunan, bahkan dari ancaman kecelakaan lalu lintas (Sanropie, 1992; Azwar, 1996).
Komponen yang harus dimiliki rumah sehat (Ditjen Cipta Karya, 1997) adalah : (1) Fondasi
yang kuat untuk mene ruskan beban bangunan ke tanah dasar, memberi kestabilan bangunan ,
dan merupakan konstruksi penghubung antara bagunan dengan tanah; (2) Lantai kedap air
dan tidak lembab, tinggi minimum 10 cm dari pekarangan dan 25 cm dari badan jalan, bahan
kedap air, unt uk rumah panggung dapat terbuat dari papan atau anyaman bambu; (3)
Memiliki jendela dan pintu yang berfungsi sebagai ventilasi dan masuknya sinar matahari
dengan luas minimum 10% luas lantai; (4) Dinding rumah kedap air yang berfungsi untuk
mendukung atau menyangga atap, menahan angin dan air hujan, melindungi dari panas dan
debu dari luar, serta menjaga kerahasiaan ( privacy) penghuninya; (5) Langit-langit untuk
menahan dan menyerap panas terik matahari, minimum 2,4 m dari lantai, bisa dari bahan
papan, anyaman bambu, tripleks atau gipsum; serta (6) Atap rumah yang berfungsi sebagai
penahan panas sinar matahari serta melindungi masuknya debu, angin dan air hujan.
Pemukiman adalah bagian dari lingkungan hidup diluar kawasan hutan lindung, baik yang
berupa kaw asan perkotaan atau pedesaan. Pemukiman berfungsi sebagai lingkungan tempat
tinggal atau hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan
(UU RI No. 4/1992). Kawasan pemukiman didominasi oleh lingkungan hunian dengan fungsi
utama seb agai tempat tinggal yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan,
tempat bekerja yang memberi pelayanan dan kesempatan kerja terbatas yang mendukung
perikehidupan dan penghidupan. Satuan lingkungan pemukiman adalah kawasan perumahan
dalam berbaga i bentuk dan ukuran dengan penataan tanah dan ruang, prasarana dan sarana
lingkungan terstuktur yang memungkinkan pelayanan dan pengelolaan yang optimal.
Prasarana lingkungan pemukiman adalah kelengkapan dasar fisik lingkungan yang
11

memungkinkan lingkungan pemukiman dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Prasarana


utama meliputi jaringan jalan, jaringan pembuangan air limbah dan sampah, jaringan
pematusan air hujan, jaringan pengadaan air bersih, jaringan listrik, telepon, gas, dan
sebagainya. Jaringan primer prasarana lingkungan adalah jaringan utama yang
menghubungkan a ntara kawasan pemukiman atau antara kawasan pemukiman dengan
kawasan lainnya. Jaringan sekunder prasarana lingkungan adalah jaringan cabang dari
jaringan primer yang melayani kebutuhan di dal am satu satuan lingkungan pemukiman.
Sarana lingkungan pemukiman adalah fasilitas penunjang yang berfungsi untuk
penyelenggaraan dan pengembangan kehidupan ekonomi, sosial dan budaya. Contoh sarana
lingkungan pemukiman adalah fasilitas pusat perbelanjaan, pelayanan umum, pendidikan dan
kesehatan, tempat peribadatan, rekreasi dan ola h raga, pertamanan, pemakaman. Selanjutnya
istilah utilitas umum mengacu pada sarana penunjang untuk pelayanan lingkungan
pemukiman, meliputi jaringan air bersih, listrik, telepon, gas, transportasi, dan pemadam
kebakaran. Utilitas umum membutuhkan pengelolaan profesional dan berkelanjutan oleh
suatu badan usaha.

KESIMPULAN
Rumah yang merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia diharuskan merupakan tempat
yang nyaman dan aman untuk dihuni. Rumah yang baik harus menunjang kebutuhan hidup
manusia yang tinggal didalamnya. Kawasan pemukiman didominasi oleh lingkungan hunian
dengan fungsi utama seb agai tempat tinggal yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana
lingkungan, tempat bekerja yang memberi pelayanan dan kesempatan kerja terbatas yang
mendukung perikehidupan dan penghidupan. Satuan lingkungan pemukiman adalah kawasan
perumahan dalam berbaga i bentuk dan ukuran dengan penataan tanah dan ruang, prasarana
dan sarana lingkungan terstuktur yang memungkinkan pelayanan dan pengelolaan yang
optimal.Rumah dan lingkungannya harus senantiasa dijaga untuk menunjang kesehatan dan
kenyamanan bagi penghuninya.

12

5. Artikel Pengendalian Vektor


PENGENDALIAN VEKTOR
Oleh Komariah, Seftiani dan Tan Malaka
STIK Bina Husada Palembang
Sekitar 10 juta spesies serangga yang hidup di dunia dan telah terindentifikasi sekitar
1 juta jenis, dari 1 juta spesies tersebut hampir 100.000 spesiesnya adalah spesies kupu-kupu
dan lebah, seperti kita ketahui lebah merupakan penghasil madu yang mempunyai
keuntungan secara finansial, tetapi hal yang lebih penting adalah spesies dari serangga ini
juga merupakan vektor pembawa berbagai penyakit bagi manusia. Vektor juga mempunyai
pengaruh yang sangat besar terhadap kesehatan, selain sebagai vektor penyakit secara
langsung juga dapat menyebabkan entomophobia, gangguan ketenangan, yang dapat
menyebabkan penyakit scabies dan myasis. Secara tidak langsung dapat menjadi reservoir
agent penyakit dan di sektor pertanian dapat menjadi penyebab gagal panen, dan di tubuh
manusia dapat menjadi parasit. Pengendalian vektor adalah mengenal, mengevaluasi, dan
mengendalikan vektor.Selanjutnya untuk dapat mengevaluasi status suatu daerah dalam hal
penyakit ditularkan vektor perlu dipahami epidemiologi, parasitologi, dan ekologi vektor
dalam kaitannya dengan berbagai indeks vektor. Sedangkan untuk mengendalikan vektor
khususnya menurunkan densitas populasi vektor, perlu dipahami ekologi, teknik pengelolaan
lingkungan, pengendalian secara fisik dan kimia.

KESIMPULAN
Vektor merupakan salah satu yang sangat berperan aktif dalam menularkan penyakit.
Pengendalian masyarakat terhadap vektor sangat berguna untuk mengurangi jumlah
kesakitan akibat penularan vektor. Vektor di tanggulangi dapat mencegah tingginya penularan
penyakit.

13

6. ARTIKEL PENCEMARAN LINGKUNGAN HIDUP


Pencemaran lingkungan hidup harus menjadi perhatian yang serius di era saat ini.
Meningkatnya kegiatan industri seperti pertambangan telah banyak mengganggu ekosistem
lingkungan hidup dengan kegiatan penebangan pohon dan kebisingan alat-alat pertambangan
yang digunakan
Inti dari permasalahan lingkungan hidup adalah hubungan makhluk hidup, khususnya
manusia dengan lingkungan hidupnya. Ilmu tentang hubungan timbal balik makhluk hidup
dengan lingkungan hidupnya di sebut ekologi.
Lingkungan hidup adalah sistem yang merupakan kesatuan ruang dengan semua benda, daya,
keadaan dan makhluk hidup, termasuk di dalamnya manusia dengan perilakunya, yang
mempengaruhi kelangsungan peri kehidupannya dan kesejahteraan manusia serta makhluk
hidup lainnya.
Dari definisi diatas tersirat bahwa makhluk hidup khususnya merupakan pihak yang selalu
memanfaatkan lingkungan hidupnya, baik dalam hal respirasi, pemenuhan kebutuhan pangan,
papan dan lain-lain. Dan, manusia sebagai makhluk yang paling unggul di dalam
ekosistemnya, memiliki daya dalam mengkreasi dan mengkonsumsi berbagai sumber-sumber
daya alam bagi kebutuhan hidupnya.
Di alam terdapat berbagai sumber daya alam. yang merupakan komponen lingkungan yang
sifatnya berbeda-beda, dimana dapat digolongkan atas :

Sumber daya alam yang dapat diperbaharui (renewable natural resources)

Sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui (non-renewable natural resources).
Berbagai sumber daya alam yang mempunyai sifat dan perilaku yang beragam tersebut saling
berinteraksi dalam bentuk yang berbeda-beda pula. Sesuai dengan kepentingannya maka
sumber daya alam dapat dibagi atas;
(a). fisiokimia seperti air, udara, tanah, dan sebagainya,
(b). biologi, seperti fauna, flora, habitat, dan sebagainya, dan
(c). sosial ekonomi seperti pendapatan, kesehatan, adat-istiadat, agama, dan lain-lain.
Interaksi dari elemen lingkungan yaitu antara yang tergolong hayati dan non-hayati akan
menentukan kelangsungan siklus ekosistem, yang didalamnya didapati proses pergerakan
energi dan hara (material) dalam suatu sistem yang menandai adanya habitat, proses adaptasi
dan evolusi.Dalam memanipulasi lingkungan hidupnya, maka manusia harus mampu
mengenali sifat lingkungan hidup yang ditentukan oleh macam-macam faktor. Berkaitan
dengan pernyataan ini, sifat lingkungan hidup dikategorikan atas dasar :
(1). Jenis dan jumlah masing-masing jenis unsur lingkungan hidup tersebut,
(2). hubungan atau interaksi antara unsur dalam lingkungan hidup tersebut,
(3). kelakuan atau kondisi unsur lingkungan hidup, dan
(4). faktor-faktor non-materil, seperti cahaya dan kebisingan.
14

KESIMPULAN
Pencemaran lingkungan hidup merupakan permasalahan yang dialami oleh masyarakat bumi.
Perilaku perilaku masyarakat yang tidak bertanggungjawab dapat menyebabkan kerugian
yang besar bagi bumi.

7. ARTIKEL K3
Kondisi keselamatan dan kesehatan kerja (K3) perusahaan di Indonesia secara umum
diperkirakan termasuk rendah. Pada tahun 2005 Indonesia menempati posisi yang buruk jauh
di bawah Singapura, Malaysia, Filipina dan Thailand. Kondisi tersebut mencerminkan
kesiapan daya saing perusahaan Indonesia di dunia internasional masih sangat rendah.
Indonesia akan sulit menghadapi pasar global karena mengalami ketidakefisienan
pemanfaatan tenaga kerja (produktivitas kerja yang rendah). Padahal kemajuan perusahaan
sangat ditentukan peranan mutu tenaga kerjanya. Karena itu disamping perhatian perusahaan,
pemerintah juga perlu memfasilitasi dengan peraturan atau aturan perlindungan Keselamatan
dan Kesehatan Kerja. Nuansanya harus bersifat manusiawi atau bermartabat.
Keselamatan kerja telah menjadi perhatian di kalangan pemerintah dan bisnis sejak
lama. Faktor keselamatan kerja menjadi penting karena sangat terkait dengan kinerja
karyawan dan pada gilirannya pada kinerja perusahaan. Semakin tersedianya fasilitas
keselamatan kerja semakin sedikit kemungkinan terjadinya kecelakaan kerja.
Di era globalisasi dan pasar bebas WTO dan GATT yang akan berlaku tahun 2020
mendatang, kesehatan dan keselamatan kerja merupakan salah satu prasyarat yang ditetapkan
dalam hubungan ekonomi perdagangan barang dan jasa antar negara yang harus dipenuhi
oleh seluruh negara anggota, termasuk bangsa Indonesia. Untuk mengantisipasi hal tersebut
serta mewujudkan perlindungan masyarakat pekerja Indonesia; telah ditetapkan Visi
Indonesia Sehat 2010 yaitu gambaran masyarakat Indonesia di masa depan, yang
penduduknya hidup dalam lingkungan dan perilaku sehat, memperoleh pelayanan kesehatan
yang bermutu secara adil dan merata, serta memiliki derajat kesehatan yang setinggitingginya.
Pelaksanaan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) adalah salah satu bentuk upaya
untuk menciptakan tempat kerja yang aman, sehat, bebas dari pencemaran lingkungan,
sehingga dapat mengurangi dan atau bebas dari kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja
yang pada akhirnya dapat meningkatkan efisiensi dan produktivitas kerja.
Kecelakaan kerja tidak saja menimbulkan korban jiwa maupun kerugian materi bagi
pekerja dan pengusaha, tetapi juga dapat mengganggu proses produksi secara menyeluruh,
merusak lingkungan yang pada akhirnya akan berdampak pada masyarakat luas.

15

Penyakit Akibat Kerja (PAK) dan Kecelakaan Kerja (KK) di kalangan petugas
kesehatan dan non kesehatan kesehatan di Indonesia belum terekam dengan baik. Jika kita
pelajari angka kecelakaan dan penyakit akibat kerja di beberapa negara maju (dari beberapa
pengamatan) menunjukan kecenderungan peningkatan prevalensi. Sebagai faktor penyebab,
sering terjadi karena kurangnya kesadaran pekerja dan kualitas serta keterampilan pekerja
yang kurang memadai. Banyak pekerja yang meremehkan risiko kerja, sehingga tidak
menggunakan alat-alat pengaman walaupun sudah tersedia. Dalam penjelasan undangundang nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan telah mengamanatkan antara lain, setiap
tempat kerja harus melaksanakan upaya kesehatan kerja, agar tidak terjadi gangguan
kesehatan pada pekerja, keluarga, masyarakat dan lingkungan disekitarnya.
Setiap orang membutuhkan pekerjaan untuk memenuhi kebutuan hidupnya. Dalam
bekerja Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) merupakan faktor yang sangat penting untuk
diperhatikan karena seseorang yang mengalami sakit atau kecelakaan dalam bekerja akan
berdampak pada diri, keluarga dan lingkungannya. Salah satu komponen yang dapat
meminimalisir Kecelakaan dalam kerja adalah tenaga kesehatan. Tenaga kesehatan
mempunyai kemampuan untuk menangani korban dalam kecelakaan kerja dan dapat
memberikan penyuluhan kepada masyarakat untuk menyadari pentingnya keselamatan dan
kesehatan kerja.
Kesimpulan
Pelaksanaan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) adalah salah satu bentuk upaya
untuk menciptakan tempat kerja yang aman, sehat, bebas dari pencemaran lingkungan,
sehingga dapat mengurangi dan atau bebas dari kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja
yang pada akhirnya dapat meningkatkan efisiensi dan produktivitas kerja.
Kecelakaan kerja tidak saja menimbulkan korban jiwa maupun kerugian materi bagi
pekerja dan pengusaha, tetapi juga dapat mengganggu proses produksi secara menyeluruh,
merusak lingkungan yang pada akhirnya akan berdampak pada masyarakat luas.
Penyakit Akibat Kerja (PAK) dan Kecelakaan Kerja (KK) di kalangan petugas kesehatan dan
non kesehatan kesehatan di Indonesia belum terekam dengan baik. Jika kita pelajari angka
kecelakaan dan penyakit akibat kerja di beberapa negara maju (dari beberapa pengamatan)
menunjukan kecenderungan peningkatan prevalensi.

16

8. ARTIKEL PENGELOLAAN SAMPAH


Peresmian Bank Sampah & Pengelolaan Sampah Dengan Sistem 3R di Kantor KLH
Prinsip dasar pengelolaan sampah yang ramah lingkungan adalah harus diawali oleh
perubahan cara kita memandang dan memperlakukan sampah. Paradigma pengelolaan
sampah yang bertumpu pada pendekatan akhir sudah saatnya ditinggalkan dan diganti dengan
paradigma baru pengelolaan sampah. Paradigma baru adalah memandang sampah sebagai
sumber daya yang mempunyai nilai ekonomis dan dapat dimanfaatkan, misalnya untuk
kompos dan pakan ternak. Pengelolaan sampah tidak hanya dilakukan pada rumah tangga
saja, tetapi juga dapat dilakukan di perkantoran sebagai bagian dari perwujudan Ecooffice.Prinsip utama mengelola sampah yang benar adalah mencegah timbulnya sampah,
mengguna-ulang sampah, dan mendaur-ulang sampah. Itulah prinsip 3R. Jika prinsip tersebut
dijalankan dengan konsisten, maka akan mendatangkan out put yang nyata, yaitu mengurangi
beban polutan, mendatangkan manfaat ekonomi dan menjadikan lingkungan bersih, yang
pada akhirnya menghasilkan outcome yang dapat langsung dirasakan, yaitu kesehatan dan
penghasilan. Namun demikian, pelaksanaan prinsip kelola sampah dengan 3R belum menjadi
budaya dan kebiasaan di perkantoran. Untuk itu kantor Kementerian Lingkungan Hidup
dalam rangka melakukan tindakan nyata pengelolaan sampah perkantoran, akan mengolah
sampah anorganik (sampah kering) yang berasal dari kegiatan perkantoran melalui kegiatan
Bank Sampah dan Daur Ulang dan sampah organik yang berasal dari egiatan trimming taman
dan kantin kantor melalui kegiatan komposting dan pembuatan pellet pakan ternak.
Bank Sampah dan 3R
Tujuan dibangunnya bank sampah sebenarnya bukan bank sampah itu sendiri. Bank sampah
adalah strategi untuk membangun kepedulian masyarakat agar dapat berkawan dengan
sampah untuk mendapatkan manfaat ekonomi langsung dari sampah. Jadi, bank sampah tidak
dapat berdiri sendiri melainkan harus diintegrasikan dengan gerakan 3R sehingga manfaat
langsung yang dirasakan tidak hanya ekonomi, namun pembangunan lingkungan yang bersih,
hijau dan sehat.Dalam sambutannya, Menteri Lingkungan Hidup, Prof. Dr. Balthasar
Kambuaya, MBA mengatakan, mengajak masyarakat memilah sampah adalah pekerjaan
yang sangat sulit karena menyangkut kebiasaan, budaya, pemahaman, dan ketidakpedulian
sebagian besar masyarakat yang masih rendah. Sebagai langkah nyata mempromosikan dan
mengimplementasikan 3R dalam pengelolaan sampah di Indonesia, maka sudah
selayaknyalah KLH menjadi contoh pengelolaan sampah instansi-instansi baik di tingkat
Pusat maupun Daerah.

17

Kesimpulan
Volum sampah yang meningkat dan tidak segera di kelola akan berdampak buruk terhadap
lingkungan dan kehidupan masyarakat. Tidak ada salahnya jika kita mulai membiasakan diri
untuk membuang sampah pada tempatnya dan juga memilah berdasarkan jenis sampah.
Berikut adalah hal-hal yang dapat dilakukan untuk mengurangi permasalahan sampah.
1. Membuang sampah pada tempatnya dimanapun kita berada, baik di rumah, sekolah,
maupun di lingkungan sekitar. Jika tempat sampah tidak ada, bersedia untuk menyimpan
sejenak sampai menemukan tempat sampah terdekat
2. Memilah sampah sesuai dengan kategorinya, misalnya sampah kering dan sampah basah
(sampah organik dan sampa anorganik), sampah yang bisa didaur ulang dan sampah yang
tidak bisa di daur ulang dan sebagainya.
3. Mengurangi pemakaian plastik atau pembelian barang berbahan plastik. Hal ini disebabkan
karena plastik sulit diurai dan terbuat dari minyak bumi. Selain itu, proses pembuatan plastik
menghasilkan polusi udara yang cukup tinggi . Dengan mengurangi penggunaan plastik maka
kita daat menekan sampah plastik dan polusi udara yang dihasilkan.
Kegunaan bank sampah adalah untuk mengendalikan sampah yang semakin menumpuk

18

9. ARTIKEL LIMBAH RUMAH SAKIT


Pengelolaan Limbah B3 dan Limbah Medis Cair Rumah Sakit
Sebagaimana kita ketahui, dampak negatif dari aspek kesehatan lingkungan, sebuah sarana
pelayanan kesehatan seperti rumah sakit juga dapat menjadi sumber masalah bagi
lingkungan. Kondisi ini terutama jika limbah yang dihasilkan sebagai akibat aktifitas
pelayanan kesehatan tidak dikelola dengan baik. Sebagaimana diungkapkan Said (1999),
rumah sakit dalam menjalankan fungsi operasionalnya menghasilkan limbah, baik itu limbah
domestik, limbah padat, limbah cair dan limbah gas serta limbah radioaktif.
Kondisi diatas disebabkan karena berbagai kegiatan di rumah sakit berpotensi menghasilkan
berbagai karakteristik dan jenis limbah. dan berpotensi menghasilkan dampak yang
digolongkan sebagai limbah yang mengandung Bahan Berbahaya Beracun (B3), yang
berbahaya terhadap kehidupan manusia, seperti pembuangan bekas jarum suntik, bekas jarum
infus, yang dapat merupakan vektor pembawa bibit penyakit (Selamet, 2000).
Beberapa kegiatan lain yang menghasilkan limbah, adalah kegiatan radiologi, kedokteran
nuklir, pengobatan cancer dan limbah laboratorium yang sebagian merupakan limbah dengan
kandungan B3. Dengan kata lain limbah cair B3 dapat memberikan dampak pada kesehatan
akibat kontak dengan B3 atau terpapar oleh pencemar melalui berbagai cara maka dampak
kesehatan yang timbul bervariasi dari ringan, sedang sampai berat bahkan sampai
menimbulkan kematian, tergantung dari dosis dan waktu perjalanan. Jenis penyakit yang
ditimbulkan, pada umumnya merupakan penyakit non infeksi antara lain : keracunan,
kerusakan organ, kanker, hypertensi, asma brochioli, pengaruh pada janin yang dapat
mengakibatkan lahir cacat (cacat bawaan), kemunduran mental, gangguan pertumbuhan baik
fisik maupun psikis, gangguan kecerdasan dan lain-lain (Salvato, 1982).
Tindakan pertama yang harus dilakukan sebelum melakukan pengelolaan limbah cair adalah
tindakan pencegahan. Tindakan tersebut dilakukan dalam bentuk pengurangan volume atau
19

bahaya dari limbah yang dikeluarkan ke lingkungan. Tindakan itu dikenal dengan istilah
minimasi limbah. Keuntungan yang diperoleh dari upaya minimisasi limbah adalah sebagai
berikut: penggunaan sumberdaya alam lebih efisien, efisiensi produksi meningkat, mencegah
atau mengurangi terbentuknya limbah dan bahan pencemar pada umumnya, mencegah
pindahnya pencemar antar media, mengurangi terjadinya resiko kesehatan manusia dan
lingkungan, mendorong dikembangkan dan dilaksanakannya teknologi bersih dan produk
akrab lingkungan. Mengurangi biaya pentaatan hukum, terhindar dari biaya pembersihan
lingkungan, meningkatakan daya saing di pasar internasional, pendekatan pengaturan bersifat
fleksibel dan sukarela (Soemantojo, 1994).
Pengelolaan limbah cair merupakan upaya untuk mengurangi volume, konsentrasi atau
bahaya limbah, setelah keluar dari proses produksi (end of pipe) melalui proses fisik, kimia
dan biologi. Pengelolaan limbah yang sesuai standar baku mutu lingkungan perlu di
informasikan kepada masyarakat agar tidak menimbulkan persepsi yang negatif yang pada
akhirnya akan merugikan rumah sakit itu sendiri. Menurut Soemantojo (1994), tujuan utama
dari pengelolaan limbah cair rumah sakit untuk mendegadrasikan pencemarannya, sehingga
kualitas efluen yang dihasilkan memenuhi syarat-syarat tertentu.
Limbah, limbah cair dan limbah B3
Limbah merupakan sisa suatu usaha dan/atau kegiatan. Sedangkan, limbah bahan berbahaya
dan beracun adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan yang mengandung bahan berbahaya
dan/atau beracun yang karena sifat dan/atau konsentrasinya dan/atau jumlahnya, baik secara
langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan/atau merusakkan lingkungan
hidup, dan/atau dapat membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup
manusia, serta makhluk hidup lain.
Limbah cair adalah semua bahan buangan yang berbentuk cair yang kemungkinan
mengandung mikroorganisme pathogen, bahan kimia beracun, dan radioaktivitas. Baku mutu
limbah cair rumah sakit adalah batas maksimal limbah cair yang diperbolehkan dibuang ke
lingkungan dari suatu kegiatan rumah sakit.
Sebagaimana diperkirakan WHO (1999), bahwa sekitar 10%-25% limbah yang dihasilkan
oleh rumah sakit merupakan limbah yang telah terkontaminasi oleh infectious agent dan
potensial mambahayakan kesehatan manusia dan lingkungan. Kejadian infeksi nosokomial,
juga sering terjadi di Rumah Sakit. Sebagai contoh, keberadaan alat suntik jika pengelolaan
pembuangannya tidak benar, berpotensi besar dapat menularkan penyakit kepada pasien lain,
pengunjung rumah sakit dan puskesmas, petugas kesehatan, maupun masyarakat umum.
Hal tersebut juga diungkapkan Selamet (2000), bahwa dalam melakukan fungsinya, rumah
sakit menghasilkan berbagai buangan dan sebagian daripadanya merupakan limbah
berbahaya dan beracun, diantaranya adalah :
1. Limbah infeksius, yang terdiri atas exkreta, spesimen laboratorium bekas balutan,
jaringan busuk dan lain-lain. Limbah tajam, yang terdiri atas pecahan peralatan gelas
seperti thermometer, jarum bekas dan alat suntik, limbah plastik, bekas kemasan obat
dan barang, cairan infus, spuit sekali pakai/disposable perlak.

20

2. Limbah jaringan tubuh, seperti sisa amputasi, plasenta yang tidak etis dibuang
sembarang.
3. Limbah sitotoxik, yakni sisa obat pembunuh sel yang digunakan untuk mengobati
penyakit kanker.
4. Limbah kimia dari laboratorium, rumah obat. Limbah radioaktif, limbah cucian
pakaian, limbah dapur dan limbah cair domestik.
5. Karakteristik limbah cair rumah sakit sangat penting untuk diketahui, terutama dalam
kaitannya dengan dampak yang ditimbulkan, serta upaya pengendaliannya. Limbah
cair diuji berdasarkan zat-zat yang terkandung didalamnya dan dikelompokan atas
tiga kategori kualitas karateristik fisik, kimia dan biologi
6. Menurut Soemantojo (1992), tindakan pertama yang harus dilakukan sebelum
melakukan pengelolaan limbah cair adalah tindakan pencegahan. Tindakan tersebut
dilakukan dalam bentuk pengurangan volume atau bahaya dari limbah yang
dikeluarkan ke lingkungan. Tindakan itu dikenal dengan istilah minimasi limbah.
Minimasi meliputi beberapa tindakan dengan urutan prioritas sebagai berikut;
Reduksi pada sumbernya (reduce); Pemanfaatan limbah yang terdiri dari kegiatan
penggunaan kembali (reuse), daur ulang (recycling) dan pemulihan kembali
(recovery); Pengolahan limbah; Pembuangan limbah cair sisa pengolahan.
7. Pendekatan konsep minimasi limbah dibandingkan dengan pendekatan konsep end-ofpipe akan lebih rendah biaya dan minimal resiko dibandingkan konsep end-of-pipe
yang dapat menimbulkan permasalahan sebagai berikut : pengolahan limbah cair,
padat, atau gas memiliki resiko pindahnya polutan dari suatu media ke media
lingkungan lainnya, dimana dapat menimbulkan masalah lingkungan yang sama
gawatnya, atau berakhir sebagai sumber pencemar secara tak langsung pada media
yang sama. Walaupun tidak setinggi biaya pemulihan kerusakan lingkungan,
pengolahan limbah memerlukan biaya tambahan pada proses produksi, sehingga biaya
per satuan produk naik. Hal ini juga akan menyebabkan para pengusaha enggan
mengoperasikan peralatan pengolahan limbah yang telah dimiliki.
8. Pengembangan teknologi pengolahan limbah tidak mendorong upaya ke arah
pengurangan limbah pada sumbernya serta kurang menjanjikan pemanfaatan limbah
lebih jauh. Teknologi pengolahan limbah yang ada saat ini belum berhasil atau sangat
berfluktuasi dalam efisiensi. Effluent yang diolah masih mengandung bahan
pencemar.
9. Pendekatan pengendalian pencemaran memerlukan berbagai perangkat peraturan,
selain menuntut tersedianya biaya dan sumberdaya manusia yang handal dalam
jumlah memadai untuk melaksanakan pemantauan, pengawasan, dan penegakan
hukum, lemahnya kontrol sosial, terbatasnya sarana dan prasarana, serta kurangnya
jumlah kemampuan tenaga pengawas menyebabkan hukum sulit untuk ditegakkan.
Terkait dengan hal ini, antra lain kemudian ditetapkan baku mutu lingkungan, sebagai
sebuah instrument pengelolaan lingkungan hidup.
21

10. Fungsi Baku Mutu Lingkungan adalah untuk menilai bahwa lingkungan telah rusak
atau tercemar dan untuk mengetahui telah terjadi perusakan atau pencemaran
lingkungan. Untuk keperluam ini juga digunakan nilai ambang batas (NAB), yang
merupakan batas-batas daya dukung, daya tenggang dan daya toleransi atau
kemampuan lingkungan. Nilai ambang batas tertinggi dan terendah dari kandungan
zat-zat, mahluk hidup atau komponen-komponen lain dalam setiap interaksi yang
berkenaan dengan lingkungan khususnya yang mempengaruhi mutu lingkungan.
Dapat dikatakan lingkungan tercemar apabila kondisi lingkungan telah melewati
ambang batas (batas maksimum dan batas minimum) yang telah ditetapkan
berdasarkan baku mutu lingkungan.
11. Baku mutu lingkungan ini diatur sesuai peraturan Menteri Negara Kependudukan dan
Lingkungan Hidup Nomor KEP-03/MENKLH/I I/1991 tentang baku mutu air pada
sumber air, baku mutu limbah cair, baku mutu udara ambien, baku mutu udara emisi
dan baku mutu air laut. (Bapedal, 2001).
12. Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 18/1999 Jo. PP No.85/1999, antara lain
disebutkan bahwa Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3),
merupakan sisa atau suatu usaha dan atau kegiatan yang mengandung bahan
berbahaya dan/atau beracun yang karena sifat dan/atau persentasinya dan/atau jumlah,
baik secara langsung maupun tidak langsung dapat mencemarkan dan/atau merusak
lingkungan hidup dan/atau membahayakan lingkungan hidup kesehatan.
Referrence, antara lain : Said. 1999. Pengololaan Air Limbah Rumah Sakit, BPPT;
Salvato, A.J. 1982. Environmental and Engineering and Sanitasion Thrid Edition;
Selamet, J. 2000. Kesehatan Lingkungan. GMU Press; Sumantojo, W.R. 1992.
Minimisasi Limbah; dan Pembangunan; BAPEDAL. 2001. Himpunan Peraturan tentang
Pengelolaan Limbah B3
KESIMPULAN
Kegiatan rumah sakit yang sangat kompleks tidak saja memberikan dampak positif bagi
masyarakat sekitarnya tetapi juga mungkin dampak negatif itu berupa cemaran akibat proses
kegiatan maupun limbah yang dibuang tanpa pengelolaan yang benar. Pengelolaan limbah
rumah sakit yang tidak baik akan memicu resiko terjadinya kecelakaan kerja dan penularan
penyakit dari pasien ke pasien yang lain maupun dari dan kepada masyarakat pengunjung
rumah sakit. Oleh kerna itu untuk menjamin keselamatan dan kesehatan tenaga kerja maupun
orang lain yang berada dilingkungan rumah sakit dan sekitarnya perlu kebijakan sesuai
manajemen keselamatan dan kesehatan kerja dengan melaksanakan kegiatan pengelolaan dan
monitoring limbah rumah sakit sebagai salah satu indikator penting yang perlu diperhatikan.
Rumah sakit sebagai institusi yang sosial ekonominya kerena tugasnya memberikan
pelayanan kesehatan kepada masyarakat tidak terlepas dari tanggung jawab pengelolaan
limbah yang ditimbulkan.

22

Anda mungkin juga menyukai