Anda di halaman 1dari 26

GUBERNUR JAWA TIMUR

PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR


NOMOR 80 TAHUN 2014
TENTANG
PEMANFAATAN RUANG PADA KAWASAN PENGENDALIAN KETAT
SKALA REGIONAL DI PROVINSI JAWA TIMUR
GUBERNUR JAWA TIMUR,
Menimbang : bahwa dalam rangka mengatur pemanfaatan ruang pada
kawasan yang memerlukan pengawasan khusus dan
pembatasan pamanfaatannya, maka untuk mempertahankan
daya dukung, mencegah dampak negatif dan menjamin proses
pembangunan berkelanjutan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 124 Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 5
Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi
Jawa Timur Tahun 2011-2031, perlu membentuk Peraturan
Gubernur Jawa Timur tentang Pemanfaatan Ruang Pada
Kawasan Pengendalian Ketat Skala Regional di Provinsi Jawa
Timur;
Mengingat :

1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1950 tentang Pembentukan


Propinsi Djawa Timur (Himpunan Peraturan Peraturan
Negara Tahun 1950) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1950 tentang Perubahan
dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1950 (Himpunan
Peraturan Peraturan Negara Tahun 1950);
2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi
Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3419);
3. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor
167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3888);
4. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya
Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4377);
5. Undang-Undang

- 25. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor
132, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4444);
6. Undang-Undang
Nomor
23
Tahun
2007
tentang
Perkeretaapian (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2007 Nomor 65, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4722);
7. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007
Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4725);
8. Undang-Undang
Nomor
1
Tahun
2009
tentang
Penerbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4956);
9. Undang-Undang
Nomor
4
Tahun
2009
tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4959);
10. Undang-Undang
Nomor
32
Tahun
2009
tentang
Perlindungan
dan
Pengelolaan
Lingkungan
Hidup
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5059);
11. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar
Budaya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992
Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5168);
12. Undang-Undang
Nomor
23
Tahun
2014
tentang
Pemerintahan
Daerah
(Lembaran
Negara
Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5587);
13. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2006 tentang
Irigasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006
Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4624);
14. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006 tentang Jalan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor
86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4655);
15. Peraturan

- 315. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2008 tentang Air


Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 83, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4859);
16. Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2009 tentang
Penyelenggaraan
Perkeretaapian
(Lembaran
Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 129, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5048);
17. Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2009 tentang
Kepelabuhanan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 151, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5070);
18. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang
Penyelenggaraan Penataan Ruang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 21, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5103);
19. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2010 tentang
Wilayah Pertambangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2010 Nomor 28, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5110);
20. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang
Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan
Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2010 Nomor 29, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5111);
21. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 tentang
Penggunaan Kawasan Hutan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2010 Nomor 30, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5112);
22. Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2010 tentang
Pengusahaan Pariwisata Alam di Suaka Margasatwa,
Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata
Alam (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010
Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5116);
23. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2011 tentang
Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian
Alam (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5217);

24. Peraturan

- 424. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2011 tentang


Sungai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5230);
25. Peraturan Presiden Nomor 27 Tahun 2008 tentang Badan
Pengembangan Wilayah Surabaya Madura sebagaimana
telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 23 Tahun
2009 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor
27 Tahun 2008 tentang Badan Pengembangan Wilayah
Surabaya Madura
26. Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2010 tentang
Penggunaan Kawasan Hutan Lindung untuk Penambangan
Bawah Tanah;
27. Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang
Pengelolaan Kawasan Lindung;
28. Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 2011 tentang
Penetapan Cekungan Air Tanah;
29. Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2012 tentang
Penetapan Wilayah Sungai;
30. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 5 Tahun 2004
tentang Kawasan Keselamatan Operasi Penerbangan di
Sekitar Bandar Udara Juanda Surabaya;
31. Peraturan
Menteri
Pekerjaan
Umum
Nomor
20/PRT/M/2010 tentang Pedoman Pemanfaatan dan
Penggunaan Bagian-Bagian Jalan;
32. Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral
Nomor 0225K/11/MEM/2010 tentang Rencana Induk
Jaringan Transmisi dan Distribusi Gas Bumi Nasional
Tahun 2010 2025;
33. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.18/Menhut-II/2011
tentang
Pedoman
Pinjam
Pakai
Kawasan
Hutan
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri
Kehutanan
Nomor
P.38/Menhut-II/2012
tentang
Perubahan Atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor
P.18/Menhut-II/2011 tentang Pedoman Pinjam Pakai
Kawasan Hutan;
34. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 36 Tahun 2011
tentang Perpotongan dan/atau Persinggungan Jalur Kereta
Api dengan Bangunan Lain;
35. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 43 Tahun 2011
tentang Rencana Induk Perkeretaapian Nasional;

36. Peraturan

- 536. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 51 Tahun 2011


tentang Terminal Khusus dan Terminal untuk Kepentingan
Sendiri;
37. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 52 Tahun 2011
tentang Pengerukan Dan Reklamasi;
38. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 69 Tahun 2013
tentang Tatanan Kebandarudaraan Nasional;
39. Peraturan Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur
Nomor 11 Tahun 1991 tentang Penetapan Kawasan
Lindung di Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur
(Lembaran Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur
Tahun 1991 Nomor 1 Seri C);
40. Peraturan Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur
Nomor 10 Tahun 1995 tentang Pertambangan Bahan
Galian Golongan C di Propinsi Daerah Tingkat I Jawa
Timur (Lembaran Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa
Timur Tahun 1996 Nomor 3 Seri B);
41. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 5 Tahun
2011 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air (Lembaran
Daerah Provinsi Jawa Timur Tahun 2011 Nomor 5 Seri D,
Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Jawa Timur
Nomor 5);
42. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 5 Tahun
2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Tahun
2011-2031 (Lembaran Daerah Provinsi Jawa Timur Tahun
2012 Nomor 3 Seri D, Tambahan Lembaran Daerah
Provinsi Jawa Timur Nomor 15);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan

PERATURAN GUBERNUR TENTANG PEMANFAATAN RUANG


PADA KAWASAN PENGENDALIAN KETAT SKALA REGIONAL
DI PROVINSI JAWA TIMUR.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1

Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan:


1. Pemerintah Provinsi adalah Pemerintah Daerah Provinsi
Jawa Timur.
2. Gubernur adalah Gubernur Jawa Timur.
3. Ruang adalah wadah yang meliputi ruang daratan, ruang
lautan dan ruang udara sebagai satu kesatuan wilayah,
tempat manusia dan makhluk lainnya hidup dan melakukan
kegiatannya serta memelihara kelangsungan kehidupannya.
4. Rencana

- 6-

4. Rencana Tata Ruang adalah hasil perencanaan tata ruang.


5. Pemanfaatan Ruang adalah upaya untuk mewujudkan
struktur ruang dan pola ruang sesuai dengan rencana tata
ruang meliputi penyusunan dan pelaksanaan program
beserta pembiayaannya.
6. Kawasan Lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan
fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang
mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan.
7. Sungai adalah alur atau wadah air alami dan/atau buatan
berupa jaringan pengaliran air beserta air didalamnya, mulai
dari hulu sampai muara, dengan dibatasi kanan dan kiri
oleh garis sempadan.
8. Sumber Daya Air adalah air, sumber air dan daya air yang
terkandung didalamnya.
9. Sumber air adalah tempat atau wadah air alami dan/atau
buatan yang terdapat pada, di atas, ataupun di bawah
permukaan tanah.
10. Wilayah Sungai yang selanjutnya disingkat WS adalah
kesatuan wilayah pengelolaan sumber daya air dalam satu
atau lebih daerah aliran sungai dan/atau pulau-pulau kecil
yang luasnya kurang dari atau sama dengan 2.000 km.
11. Daerah Aliran Sungai yang selanjutnya disingkat DAS
adalah

suatu

wilayah

daratan

yang

merupakan

satu

kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang


berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air
yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara
alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis
dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang
masih terpengaruh aktivitas daratan.
12. Cekungan Air Tanah yang selanjutnya disingkat CAT adalah
suatu wilayah yang dibatasi oleh batas hidrogeologis, tempat
semua kejadian hidrogeologis seperti proses pengimbuhan,
pengaliran, dan pelepasan air tanah berlangsung.
13. Pemohon

adalah

perorangan,

badan,

atau

instansi

pemerintah yang melakukan pembangunan di kawasan


pengendalian ketat.
14. Badan

- 714. Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang


merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun
yang tidak melakukan usaha yang meliputi Perseroan
Terbatas, Perseroan Komanditer, Perseroan lainnya, Badan
Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah dengan
nama dan dalam bentuk apapun, Firma, Kongsi, Koperasi,
Dana Pensiun, Persekutuan, Perkumpulan, Yayasan,
Organisasi Massa, Organisasi Sosial Politik atau Organisasi
yang sejenis, Lembaga, Bentuk Usaha Tetap, dan bentuk
Badan lainnya.
15. Skala Regional adalah batasan fisik, lingkup pelayanan dan
fungsional dari kegiatan yang terdapat pada Kawasan
Pengendalian Ketat yang menjadi lingkup kewenangan
Pemerintah Provinsi untuk mengaturnya.
16. Instansi teknis tertentu adalah instansi vertikal yang
mempunyai kewenangan pengelolaan kawasan tertentu.
17. Izin Pemanfaatan Ruang yang selanjutnya disingkat IPR
adalah
izin
yang
dipersyaratkan
dalam
kegiatan
pemanfaatan ruang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
18. Izin Prinsip adalah izin yang diberikan oleh Pemerintah atau
Pemerintah Daerah untuk menyatakan suatu kegiatan
secara prinsip diperkenankan untuk diselenggarakan atau
beroperasi.
19. Tim Asistensi adalah tim yang bertugas memberikan
rekomendasi
dan/atau
pertimbangan
teknis
atas
permohonan Izin Pemanfaatan Ruang pada kawasan
pengendalian ketat skala regional di Provinsi Jawa Timur.
20. Tim Pengendalian adalah tim teknis yang beranggotakan
Satuan Kerja Perangkat Daerah di lingkungan Pemerintah
Daerah Provinsi Jawa Timur dan Instansi teknis dengan
tugas melaksanakan pengawasan terhadap pemanfaatan
ruang baik yang sudah memiliki Izin Pemanfaatan Ruang
maupun yang belum memiliki Izin Pemanfaatan Ruang.
BAB II
KAWASAN PENGENDALIAN KETAT
Pasal 2
Kawasan pengendalian ketat (High Control Zone) merupakan
kawasan yang memerlukan pengawasan secara khusus dan
dibatasi pemanfaatannya untuk mempertahankan daya
dukung, mencegah dampak negatif, dan menjamin proses
pembangunan yang berkelanjutan.
Pasal 3

- 8Pasal 3
Kawasan pengendalian ketat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 mempunyai kriteria:
a. bersifat strategis terhadap upaya mewujudkan penataan
ruang;
b. pemanfaatan ruang pada kawasan sekitarnya yang
berdampak pada penurunan kualitas dan merusak
lingkungan;
c. pemanfaatan ruang pada kawasan yang memiliki dampak
lintas wilayah;
d. kecenderungan perkembangan tinggi; dan
e. bersifat strategis dalam mendukung perwujudan tujuan
pembangunan wilayah.
Pasal 4
Kawasan pengendalian ketat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 meliputi:
a. kawasan perdagangan regional;
b. kawasan kaki jembatan Suramadu di Kota Surabaya dan
Kabupaten Bangkalan yang meliputi kawasan tertentu/fair
ground, interchange jalan akses dan/atau rencana reklamasi
pantai;
c. wilayah aliran sungai, sumber air dan stren kali dengan
sempadannya;
d. kawasan yang berhubungan dengan aspek pelestarian
lingkungan hidup meliputi kawasan resapan air atau
sumber daya air, dan kawasan konservasi hutan bakau;
e. transportasi terkait kawasan jaringan jalan, perkeretaapian,
area/lingkup kepentingan pelabuhan, dan kawasan sekitar
bandara;
f. prasarana wilayah dalam skala regional lainnya seperti area
di sekitar jaringan pipa gas, jaringan Saluran Udara
Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET), dan Tempat Pemrosesan
Akhir (TPA) terpadu;
g. kawasan rawan bencana;
h. kawasan lindung prioritas dan pertambangan skala regional;
i. kawasan konservasi alami, budaya, dan yang bersifat unik
dan khas;
j. kawasan untuk kegiatan yang menggunakan bahan baku
dan/atau mempunyai pengaruh antar wilayah di Jawa
Timur;
k. kawasan

- 9k. kawasan untuk kegiatan yang mengubah rona wilayah dan


administratif Jawa Timur; dan
l. kawasan lainnya yang dianggap memenuhi kriteria kawasan
pengendalian ketat.
Pasal 5
(1) Kawasan perdagangan regional sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 huruf a merupakan tempat yang
dipergunakan untuk aktivitas perdagangan antar wilayah
yang didorong untuk memenuhi kebutuhan regional
dan/atau nasional.
(2) Kawasan perdagangan regional sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat menampung kegiatan perdagangan dari
semua komoditas baik pertanian, industri pengolahan
maupun jasa dalam jumlah besar, serta merupakan pusat
koleksi dan distribusi barang dengan jaminan kualitas dan
harga yang ditunjang oleh infrastruktur transportasi yang
memadai.
Pasal 6
(1) Kawasan kaki jembatan Suramadu di Kota Surabaya dan
Kabupaten Bangkalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
huruf b merupakan kawasan yang memiliki kesatuan
fungsional dengan pembangunan Jembatan Suramadu yang
pengembangannya diarahkan untuk kawasan permukiman,
perdagangan dan jasa, pariwisata, serta pengembangan
kawasan industri.
(2) Kawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
a. kawasan tertentu/fair ground;
b. interchange jalan akses; dan/atau
c. rencana reklamasi pantai.
Pasal 7
(1) Wilayah aliran sungai, sumber air, dan stren kali dengan
sempadannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c
merupakan kawasan yang terkait dengan upaya menjaga
fungsi tanah serta kualitas dan kuantitas air dalam rangka
pemenuhan kebutuhan air yang bersifat lintas wilayah.
(2) Wilayah aliran sungai, sumber air, dan stren kali dengan
sempadannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
meliputi:
a. DAS dan sumber air;
b. Mata Air dan waduk.
(3) DAS

- 10 (3) DAS dan sumber air sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf a, meliputi:
a. WS Bengawan Solo yang terdiri dari DAS Bengawan Solo,
dan DAS Kali Lamong;
b. WS Brantas yaitu DAS Brantas;
c. WS Welang Rejoso yang terdiri dari DAS Legundi, DAS
Banyubiru, DAS Gending, DAS Pesisir, DAS Welang, DAS
Kedunggalen, DAS Petung dan DAS Gembong;
d. WS BaruBajulmati yang terdiri dari DAS Baru, DAS
Glondong, DAS Bajulmati, DAS Bomo, dan DAS
Blambangan;
e. WS PekalenSampean yang terdiri dari DAS Pekalen,
DAS Sampean, DAS Deluwang, DAS Penjalinan, dan DAS
Banyuputih;
f. WS MaduraBawean yang terdiri dari DAS Budur, DAS
Bumianyar, DAS Tamberu, dan DAS Blega; dan
g. WS Bondoyudo-Bedadung yang terdiri dari DAS
Bondoyudo, DAS Bedadung, DAS Mayang, dan DAS
Gladak.
(4) Mata air dan waduk sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf b, meliputi:
a. Mata Air Umbulan; dan
b. Waduk yang berada di WS Bengawan Solo, WS Brantas,
WS Welang Rejoso, WS Pekalen Sampean, WS Baru
Bajulmati, WS Bondoyudo Bedadung, dan WS Kepulauan
Madura.
Pasal 8
(1) Kawasan yang berhubungan dengan aspek pelestarian
lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
huruf d merupakan kawasan lindung yang terkait dengan
fungsi kelestarian lingkungan hidup.
(2) Kawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi
kawasan resapan air atau sumber daya air dan kawasan
konservasi hutan bakau/mangrove.
(3) Kawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang harus
dikendalikan pemanfaatannya terdiri dari:
a. kawasan hutan lindung yang berada di wilayah
kabupaten/kota;
b. kawasan konservasi yang terdiri atas cagar alam, suaka
margasatwa, taman nasional, taman wisata alam, dan
taman hutan raya;
c. Kawasan

- 11 c. Kawasan pantai berhutan bakau/mangrove yang


tersebar di sepanjang pantai utara, pantai timur, dan
pantai selatan Jawa Timur serta wilayah pesisir
kepulauan; dan
d. Kawasan imbuhan air tanah yang merupakan daerah
resapan air yang mampu menambah air tanah secara
alamiah pada cekungan air tanah.
Pasal 9
(1) Lokasi kawasan hutan lindung sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 ayat (3) huruf a terdapat di Kabupaten
Bangkalan, Kabupaten Banyuwangi, Kabupaten Blitar,
Kabupaten Bojonegoro, Kabupaten Bondowoso, Kabupaten
Jember, Kabupaten Jombang, Kabupaten Kediri, Kabupaten
Lamongan, Kabupaten Lumajang, Kabupaten Madiun,
Kabupaten Magetan, Kabupaten Malang, Kabupaten
Mojokerto,
Kabupaten
Nganjuk,
Kabupaten
Ngawi,
Kabupaten Pacitan, Kabupaten Pamekasan, Kabupaten
Pasuruan, Kabupaten Ponorogo, Kabupaten Probolinggo,
Kabupaten Situbondo, Kabupaten Sumenep, Kabupaten
Trenggalek, Kabupaten Tuban, Kabupaten Tulungagung,
Kota Batu, dan Kota Kediri.
(2) Lokasi kawasan konservasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 ayat (3) huruf b, meliputi:
a. Kawasan yang memiliki fungsi hutan cagar alam terdapat
di Kabupaten Sumenep, Kabupaten Malang, Kabupaten
Gresik, Kabupaten Tuban, Kabupaten Kediri, Kabupaten
Ponorogo, Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Bondowoso,
Kabupaten Jember, dan Kabupaten Banyuwangi;
b. Kawasan suaka margasatwa berlokasi di Dataran Tinggi
terletak di Kecamatan Krucil, Sumber Malang, Panti, dan
Sukorambi,
Kabupaten
Situbondo,
Kabupaten
Bondowoso, Kabupaten Probolinggo, dan Kabupaten
Jember serta Pulau Bawean di Kecamatan Sangkapura
dan Kecamatan Tambak di Kabupaten Gresik;
c. Taman Nasional berlokasi di Taman Nasional Bromo
Tengger Semeru, Taman Nasional Baluran, Taman
Nasional Meru Betiri, dan Taman Nasional Alas Purwo;
d. Taman Wisata Alam berlokasi di Gunung Baung yang
berada di Kecamatan Purwosari dan Tretes di Kecamatan
Prigen Kabupaten Pasuruan dan di Kawah Ijen
Kecamatan Licin Kabupaten Banyuwangi dan Kecamatan
Klabang Kabupaten Bondowoso; dan
e. Taman

- 12 e. Taman Hutan Raya (Tahura) terletak di Kabupaten


Mojokerto, Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Malang,
Kabupaten Kediri, Kabupaten Jombang, dan Kota Batu.
(3) Lokasi
kawasan
pantai
berhutan
bakau/mangrove
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf c,
meliputi:
a. pesisir pantai timur Surabaya dan Sidoarjo;
b. konservasi pesisir Teluk Lamong;
c. pesisir Situbondo;
d. Segoro Anakan Banyuwangi;
e. pesisir selatan pantai Pulau Nusa Barung Kabupaten
Jember;
f. pesisir selatan Pantai Pulau Sempu Kabupaten Malang;
g. reboisasi hutan mangrove di bagian pesisir selatan Jawa
Timur kecuali pada kawasan yang digunakan sebagai
budidaya; dan
h. pesisir utara dan selatan Madura.
(4) Lokasi kawasan imbuhan air tanah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 ayat (3) huruf d, meliputi:
a. daerah imbuhan pada 4 CAT lintas provinsi, meliputi:
CAT Lasem, CAT Randublatung, CAT Wonosari dan CAT
Ngawi-Ponorogo; dan
b. daerah imbuhan pada Cekungan Air Tanah Lintas
Kabupaten/Kota meliputi CAT Surabaya-Lamongan, CAT
Tuban, CAT Panceng, CAT Brantas, CAT Bulukawang,
CAT Pasuruan, CAT Probolinggo, CAT Jember-Lumajang,
CAT Besuki, CAT Bondowoso-Situbondo, CAT Wonorejo,
CAT Ketapang, CAT Sampang-Pamekasan, dan CAT
Sumenep.
Pasal 10
Transportasi terkait kawasan jaringan jalan, perkeretaapian,
kawasan/lingkup kepentingan pelabuhan, dan kawasan sekitar
bandara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf e
merupakan kawasan di sekitar prasarana transportasi regional
yang memiliki aksesbilitas tinggi dan bersifat regional.
Pasal 11
(1) Kawasan jaringan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
10 yang merupakan Kawasan Pengendalian Ketat, meliputi:
a. Kawasan jaringan jalan dengan kewenangan nasional
dan provinsi, jaringan jalan dengan fungsi arteri primer
dan kolektor primer, jaringan jalan bebas hambatan,
serta jaringan jalan strategis provinsi dan nasional.
b. Kawasan

- 13 b. Kawasan jaringan jalan berdasarkan bagian-bagiannya,


terdiri atas:
1. ruang manfaat jalan, meliputi badan jalan, saluran
tepi jalan dan ambang pengaman;
2. ruang milik jalan meliputi ruang manfaat jalan dan
sejalur tanah tertentu di luar ruang manfaat jalan;
3. ruang pengawasan jalan yaitu ruang tertentu di luar
ruang milik jalan yang ada dibawah pengawasan
penyelenggara jalan; dan
4. daerah diluar ruang pengawasan jalan
(2) Area Pengendalian Ketat pada kawasan sekitar rencana
pembangunan jalan baru mengikuti ketentuan bagianbagian jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
sesuai dengan lokasi/titik koordinat rencana trase jaringan
jalan.
(3) Perizinan pemanfaatan ruang pada bagian Jalan Nasional
harus terlebih dahulu mendapat persetujuan prinsip dari
penyelenggara jalan.
(4) Perizinan pemanfaatan ruang pada bagian Jalan Provinsi
harus terlebih dahulu mendapat rekomendasi teknis dari
Dinas Pekerjaan Umum Bina Marga Provinsi.
Pasal 12
Kawasan jaringan perkeretaapian sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10 meliputi ruang manfaat jalur kereta api, ruang milik
jalur kereta api, ruang pengawasan jalur kereta api, dan
kawasan di luar ruang pengawasan jalur rel kereta api.
Pasal 13
(1) Kawasan/lingkup kepentingan pelabuhan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 meliputi Kawasan Keselamatan
Operasional Pelayaran di sekitar Pelabuhan, terdiri atas:
a. Kawasan Alur Pelayaran di dalam Daerah Lingkungan
Kerja (DLKr) dan Daerah Lingkungan Kepentingan
(DLKp) Pelabuhan;
b. Kolam Pelabuhan terkait kedalaman terhadap dasar laut
(seabad);
c. Kawasan kemungkinan bahaya kecelakaan kapal;
d. Kawasan di dalam DLKr dan DLKp yang menyebabkan
perubahan garis dan kontur pantai akibat reklamasi dan
pengerukan;
e. Kawasan

- 14 e. Kawasan di sekitar daerah operasional pelabuhan di


wilayah DLKr dan DLKp meliputi area tempat berlabuh,
area alih muat kapal, area tempat sandar kapal, area
kolam putar, area pemanduan dan penundaan kapal,
area keperluan keadaan darurat, area alur pelayaran,
area fairway, areal pindah labuh kapal, area percobaan
berlayar, area perairan wajib pandu, area fasilitas
pembangunan
dan
pemeliharaan
kapal,
area
penempatan kapal mati dan area pengembangan
pelabuhan lainnya sesuai Rencana Induk Pelabuhan
(RIP); dan
f. Kawasan di sekitar penempatan Alat Bantu Navigasi
Pelayaran (ABNP).
(2) Kawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
kawasan di sekitar pelabuhan pengumpul, pelabuhan
pengumpan regional, pelabuhan pengumpan lokal dan di
Terminal Khusus (Tersus), baik pelabuhan yang sudah ada
maupun yang akan direncanakan yang tercantum dalam
dokumen perencanaan.
Pasal 14
Kawasan sekitar bandara sebagaimana dimaksud dalam
Pasal
10,
merupakan
Kawasan
Keselamatan
Operasi
Penerbangan di sekitar bandar udara yang meliputi:
a. kawasan ancangan pendaratan dan lepas landas;
b. kawasan kemungkinan bahaya kecelakaan;
c. kawasan di bawah permukaan transisi;
d. kawasan di bawah permukaan horizontal dalam;
e. kawasan di bawah permukaan kerucut;
f. kawasan di bawah permukaan horizontal luar; dan
g. kawasan di sekitar penempatan alat bantu navigasi
penerbangan.
Pasal 15
Kawasan sekitar prasarana wilayah dalam skala regional seperti
area di sekitar jaringan pipa gas, Jaringan SUTET, dan TPA
terpadu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf f
merupakan kawasan yang dapat dipergunakan untuk
pembangunan fasilitas penunjang keberadaan prasarana
tersebut serta untuk pembangunan fasilitas umum seperti jalan
dan Ruang Terbuka Hijau dengan tidak membahayakan dan
mengganggu kinerja prasarana wilayah.
Pasal 16

- 15 Pasal 16
(1) Kawasan rawan bencana alam sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 huruf g merupakan kawasan bencana yang
diakibatkan oleh peristiwa yang disebabkan oleh alam, baik
kawasan
yang
sudah
ditetapkan
dalam
RTRW
Kabupaten/Kota, maupun yang belum ditetapkan dalam
RTRW Kabupaten/Kota.
(2) Kawasan rawan bencana alam sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi kawasan:
a. rawan tanah longsor;
b. rawan letusan gunung api; dan
c. rawan luapan lumpur.
(3) Pemanfaatan ruang pada kawasan rawan bencana alam
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan kawasan
sekitarnya dapat dilakukan dengan tidak mengganggu fungsi
lindung dan dengan persyaratan yang ketat.
Pasal 17
(1) Kawasan lindung prioritas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 huruf h merupakan kawasan yang diutamakan
dalam upaya menjaga fungsi lindung kawasan meliputi
Gunung Prahu dan kawasan cagar alam geologi berupa
kawasan keunikan bentang alam.
(2) Kawasan lindung prioritas sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) tidak dapat dialihfungsikan dan hanya digunakan
sebagai pelestarian sumberdaya alam.
(3) Kawasan keunikan bentang alam sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) berupa kawasan bentang alam karst.
Pasal 18
Kawasan pertambangan skala regional sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 huruf h merupakan kawasan di area
pertambangan yang menjadi kewenangan Pemerintah dan/atau
Pemerintah Provinsi yang dalam pengelolaannya dapat
memberikan dampak pada penurunan kualitas lingkungan,
konflik sosial, dan konflik pemanfaatan ruang.
Pasal 19
(1) Kawasan konservasi alam, budaya dan yang bersifat unik
dan khas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf i,
merupakan
kawasan
untuk
melestarikan
dan
mengembangkan sumber daya alam, manusia dan buatan.
(2) Kawasan

- 16 (2) Kawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:


a. kawasan keunikan batuan dan fosil;
b. kawasan keunikan proses geologi;
c. cagar budaya dan ilmu pengetahuan; dan
d. kawasan lindung spiritual dan kearifan lokal.
Pasal 20
(1) Kawasan untuk kegiatan yang menggunakan bahan baku
dan/atau mempunyai pengaruh antar wilayah di Jawa
Timur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf j,
merupakan kawasan yang melayani kegiatan dan produksi
yang

dianggap

berpengaruh

secara

luas

lintas

kabupaten/kota.
(2) Kegiatan

sebagaimana

dimaksud

pada

ayat

(1)

perlu

dikendalikan untuk menciptakan sinergitas dan efisiensi


antar kegiatan, antar fungsi, ataupun antar kawasan.
Pasal 21
(1) Kawasan untuk kegiatan yang mengubah rona wilayah dan
administratif Jawa Timur sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 huruf k, merupakan kegiatan yang mencakup
wilayah lintas kabupaten/kota, atau dapat berupa kegiatan
yang berdampak lintas kabupaten/kota sehingga perlu
adanya pengendalian oleh provinsi dalam rangka menjaga
keterhubungan antar kabupaten/kota yang memperhatikan
aspek lingkungan hidup berkelanjutan.
(2) Kawasan untuk kegiatan yang mengubah rona wilayah dan
administratif Jawa Timur sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) berupa kawasan perbukitan/pegunungan yang tidak
termasuk kawasan lindung.
Pasal 22
(1) Kawasan lainnya yang dianggap memenuhi kriteria kawasan
pengendalian ketat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
huruf l, merupakan kawasan pengendalian ketat yang
memenuhi kriteria tertentu dan dapat ditetapkan sebagai
kawasan yang perlu dikendalikan secara ketat.
(2) Kawasan lainnya yang dianggap memenuhi kriteria kawasan
pengendalian ketat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. Kawasan

- 17 a. Kawasan Khusus Madura dengan luas wilayah 600


(enam ratus) Ha dalam satu kesatuan dengan wilayah
pelabuhan peti kemas dengan perumahan dan industri
termasuk jalan aksesnya; dan
b. Kawasan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang
merupakan kawasan lahan pertanian yang ditetapkan
sebagai lahan pertanian pangan berkelanjutan yang
harus dilindungi dan dilarang untuk dialihfungsikan.
BAB III
IZIN PEMANFAATAN RUANG
Pasal 23
(1) Pemanfaatan Ruang pada kawasan pengendalian ketat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 harus mendapatkan
IPR dari Gubernur.
(2) IPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
sebelum pelaksanaan izin lingkungan dan pembangunan
fisik.
(3) IPR berfungsi sebagai dasar dalam pemberian izin prinsip,
izin lokasi di kabupaten/kota, dan izin teknis lainnya yang
disyaratkan.
(4) Pemanfaatan ruang yang diharuskan mendapatkan IPR
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. kegiatan
pemanfaatan
ruang
yang
baru
akan
dilaksanakan; dan/atau
b. pemanfaatan ruang untuk mendukung kegiatan pada
kawasan yang telah terbangun.
(5) Jenis pelayanan yang diberikan terkait dengan IPR meliputi
perizinan langsung dan perizinan tidak langsung.
(6) Perizinan langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
merupakan perizinan yang prosesnya melibatkan satu
institusi yang berwenang langsung terhadap perizinan pada
kawasan pengendalian ketat.
(7) Perizinan tidak langsung sebagaimana dimaksud pada
ayat (5) merupakan perizinan yang prosesnya melibatkan
lebih dari satu institusi yang memiliki kewenangan pada
kawasan pengendalian ketat.
Pasal 24
(1) Permohonan IPR dilakukan dengan mengisi formulir
permohonan yang ditanda tangani oleh pemohon perorangan
atau pemimpin badan usaha, dengan dilampiri:
a. data

- 18 a. data pemohon, terdiri atas:


1. foto copy KTP/Kartu Identitas lainnya; dan
2. foto copy NPWP.
b. foto copy akte pendirian perusahaan dan/atau akte
perubahan yang telah disahkan oleh pejabat yang
berwenang, apabila permohonan IPR diajukan oleh
Badan Usaha;
c. Surat kuasa, berupa:
1. Surat Kuasa dari Pimpinan Badan Usaha (direktur
utama/direktur) kepada yang ditunjuk dalam Badan
Usaha dimaksud apabila permohonan diajukan bukan
oleh Pimpinan Badan Usaha; atau
2. Surat Kuasa dari Pemohon kepada orang lain yang
ditunjuk bilamana pengurusan dilakukan oleh orang
lain tersebut.
d. uraian rencana/proposal pemanfaatan lahan dan alokasi
waktu pelaksanaan kegiatan (hardcopy dan softcopy);
e. peta yang disertai koordinat geografis dan foto lokasi
(hardcopy dan softcopy);
f.

bahan presentasi IPR (hardcopy dan softcopy) untuk jenis


perizinan tidak langsung;

g. rekomendasi teknis dan/atau pertimbangan teknis dari


instansi teknis untuk perizinan langsung.
(2) Dalam hal perizinan yang dimohonkan merupakan perizinan
penggunaan ruang pengawasan jalan pada Jalan Nasional,
maka harus melampirkan surat persetujuan prinsip dari
Penyelenggara Jalan dan rekomendasi teknis dari Dinas
Pekerjaan Umum Bina Marga Provinsi;
(3) Dalam hal perizinan yang dimohonkan merupakan perizinan
penggunaan ruang pengawasan jalan pada Jalan Provinsi,
maka harus melampirkan surat rekomendasi teknis dari
Dinas Pekerjaan Umum Bina Marga Provinsi;
(4) Dalam hal perizinan yang dimohonkan berada pada kawasan
yang merupakan kewenangan instansi teknis tertentu dan
kegiatan tidak diatur dalam rencana tata ruang wilayah,
maka diperlukan rekomendasi persetujuan pemanfaatan
ruang kawasan dari instansi teknis tersebut.
(5) Kegiatan yang harus mendapat IPR adalah keseluruhan
rangkaian

fungsi

kegiatan

walaupun

ada

bagian

dari

kegiatan tidak berada di kawasan pengendalian ketat.


(6) Semua

- 19 (6) Semua berkas persyaratan perizinan yang telah diserahkan


dan sesuai dengan ketentuan menjadi hak Pemerintah
Provinsi.
Pasal 25
(1) Permohonan IPR yang sudah sesuai persyaratan akan
diproses sesuai jenis pelayanan perizinannya.
(2) Bagi jenis perizinan tidak langsung sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 23 ayat (7), proses penerbitan IPR dilakukan
melalui rapat koordinasi Tim Asistensi.
(3) Apabila

dalam

proses

pembahasan

rapat

koordinasi

diperlukan peninjauan lapangan, maka Tim Asistensi dapat


melakukan peninjauan lapangan sesuai kesepakatan dalam
rapat koordinasi.
Pasal 26
(1) IPR diberikan Gubernur setelah mendapatkan rekomendasi
teknis dari Ketua Tim Asistensi.
(2) Tim

Asistensi

sebagaimana

dimaksud

pada

ayat

(1)

ditetapkan dengan Keputusan Gubernur.


Pasal 27
(1) IPR berlaku selama tidak terjadi perubahan data sesuai
dengan ketentuan dalam IPR yang sudah diterbitkan.
(2) Dalam rangka memastikan pelaksanaan kegiatan sesuai IPR
yang diterbitkan dilakukan pemantauan dan evaluasi.
(3) Pemantauan dan Evaluasi dilakukan oleh Tim Asistensi
bersama Tim Pengendalian.
Pasal 28
(1) Pemantauan sebagaimana dimaksud pada Pasal 27 ayat (2)
dilakukan

untuk

memantau

pelaksanaan

kegiatan

pemanfaatan ruang agar sesuai dengan kewajiban pemegang


izin yang dipersyaratkan dalam dokumen IPR.
(2) Pemantauan untuk kegiatan yang telah mendapatkan IPR
dilaksanakan dengan ketentuan:
a. untuk kegiatan dengan alokasi waktu kurang dari
2 (dua) tahun, pemantauan dilaksanakan sekurangkurangnya

(satu)

kali

sebelum

kegiatan

selesai

dilaksanakan.
b. untuk

- 20 b. untuk kegiatan dengan alokasi waktu 2 (dua) tahun atau


lebih, pemantauan dilaksanakan pada 1 (satu) tahun
pertama.
(3) Dalam kaitannya dengan kegiatan pemantauan, penerima
IPR diwajibkan melaporkan data perizinan yang disyaratkan
sebelum melaksanakan kegiatan fisik kepada administrator
pelayanan perizinan terpadu.
Pasal 29
(1) Evaluasi sebagaimana dimaksud pada Pasal 27 ayat (2)
dilakukan untuk

menilai pelaksanaan kegiatan sesuai

alokasi waktu yang direncanakan dan ketentuan minimal


kegiatan yang harus dilaksanakan sesuai dengan proposal
permohonan izin.
(2) Evaluasi dilaksanakan dengan ketentuan:
a. untuk kegiatan dengan alokasi waktu kurang dari 2
(dua) tahun, evaluasi dilakukan pada saat kegiatan
selesai dilaksanakan sesuai dengan alokasi waktu dalam
proposal permohonan izin;
b. untuk kegiatan dengan alokasi waktu 2 (dua) tahun atau
lebih,

evaluasi

dilakukan

setiap

selanjutnya evaluasi dilakukan

pada

(dua)

tahun,

saat kegiatan

selesai dilaksanakan.
(3) Apabila kegiatan yang dilaksanakan tidak sesuai dengan
alokasi waktu dan/atau tidak memenuhi persyaratan minimal
kegiatan yang harus dilaksanakan pada saat evaluasi, maka
pemegang IPR dengan persyaratan tertentu dapat diberikan
tambahan waktu untuk menyelesaikan kegiatan.
Pasal 30
(1) Pemberian tambahan waktu sebagaimana dimaksud pada
Pasal 29 ayat (3) diberikan kepada pemegang IPR, dengan
syarat :
a. sedang mengurus izin lainnya yang diwajibkan dalam
IPR dan dibuktikan dengan surat pernyataan dari
pejabat

instansi

terkait

yang

menjelaskan

bahwa

pemegang IPR sedang melaksanakan proses perizinan;


atau
b. sudah

- 21 b. sudah menyelesaikan kewajiban perizinan dalam IPR


tetapi waktu penyelesaian proses perizinannya melebihi
perkiraan alokasi waktu dalam proposal pengajuan
permohonan IPR.
(2) Pemberian tambahan waktu sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. pemberian tambahan waktu diberikan paling banyak 2
(dua) kali;
b. pemberian waktu pertama diberikan selama 2 (dua)
tahun dan 1 (satu) tahun untuk pemberian tambahan
waktu kedua;
c. pemohon mengajukan permohonan pemberian tambahan
waktu penyelesaian kegiatan;
d. permohonan sebagaimana dimaksud pada huruf c harus
diajukan paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja setelah
hasil evaluasi diterima oleh pemohon;
e. apabila ketentuan waktu sebagaimana dimaksud pada
huruf d tidak dipenuhi, maka IPR menjadi tidak berlaku;
dan
f. proses permohonan pemberian tambahan waktu
penyelesaian kegiatan IPR dilakukan sesuai prosedur
dan mekanisme pengajuan permohonan IPR baru dengan
mengajukan surat permohonan pemberian tambahan
waktu penyelesaian kegiatan yang ditanda tangani oleh
pemohon perorangan atau pemimpin badan usaha,
dengan melampirkan:
1) surat
izin
pemanfaatan
ruang
yang
sudah
diterbitkan;
2) surat pernyataan dari pejabat instansi terkait yang
menjelaskan
bahwa
pemegang
IPR
sedang
melaksanakan
proses
perizinan
sebagaimana
disyaratkan dalam dokumen IPR;
3) persyaratan perizinan yang sudah dipenuhi sesuai
dokumen IPR;
4) berita acara hasil evaluasi terhadap IPR yang sudah
diterbitkan sebelumnya;
5) surat kuasa bila diurus oleh orang lain yang bukan
pemohon atau Surat kuasa dari pemimpin badan
usaha bila permohonan diajukan bukan oleh
pemimpin badan usaha dan dokumen pergantian
pimpinan bila terjadi pergantian pimpinan yang tidak
sesuai dengan data permohonan IPR; dan
6) dokumen persyaratan permohonan IPR sebelumnya
yang mengalami perubahan data.
Pasal 31

- 22 Pasal 31
(1) Dalam hal kegiatan yang sudah mendapatkan IPR tidak
memenuhi ketentuan alokasi waktu dan/atau persyaratan
minimal kegiatan dan tidak melebihi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1), maka IPR dibatalkan.
(2) Pemohon yang IPRnya dibatalkan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat mengajukan permohonan IPR baru.
(3) Permohonan IPR baru oleh pemohon yang sama pada lokasi
yang sama hanya dapat diajukan maksimal 2 (dua) kali.
(4) Pengajuan IPR baru sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dapat dilakukan maksimal 6 (enam) bulan sejak IPR
dibatalkan.
(5) Bagi pemohon yang telah mendapat IPR baru sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) yang pada saat evaluasi kegiatan
belum memenuhi ketentuan persyaratan minimal kegiatan
yang harus dilaksanakan sesuai alokasi waktu, tetapi
memenuhi ketentuan pada Pasal 30 Ayat (1) dapat diberikan
tambahan waktu 1 (satu) tahun untuk menyelesaikan
kegiatan sesuai ketentuan.
(6) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak
menghilangkan hak orang lain/atau Badan Usaha lain
untuk memperoleh IPR pada lokasi yang sama.
Pasal 32
(1) Dalam hal terjadi perubahan data dalam IPR yang sudah
ditetapkan
kegiatan

dan/atau

akan

dimungkinkan

dilakukan

untuk

pengembangan

dilakukan

perubahan

terhadap IPR yang sudah diterbitkan.


(2) Proses perubahan IPR dilakukan sesuai prosedur dan
mekanisme pengajuan permohonan IPR baru.
(3) Permohonan perubahan dilakukan dengan mengajukan
surat permohonan perubahan IPR yang ditanda tangani oleh
pemohon perorangan atau pemimpin badan usaha, dengan
melampirkan:
a. surat IPR yang sudah diterbitkan;
b. persyaratan

perizinan

yang

sudah

dipenuhi

sesuai

dokumen IPR;
c. berita acara hasil tinjauan lapangan terhadap IPR yang
sudah

diterbitkan

sebelumnya

(apabila

dilakukan

tinjauan lapangan);
d. proposal

- 23 d. proposal terkait perubahan kegiatan pemanfaatan ruang;


e. surat kuasa bila diurus oleh orang lain yang bukan
pemohon; dan
f.

dokumen persyaratan permohonan IPR sebelumnya yang


mengalami perubahan data.

(4) Dalam hal pemohon berbentuk badan usaha, ketentuan


sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditambah dengan surat
kuasa

dari

pemimpin

badan

usaha

bila

permohonan

diajukan bukan oleh pemimpin badan usaha dan dokumen


pergantian pimpinan bila terjadi pergantian pimpinan yang
tidak sesuai dengan data permohonan IPR yang akan
diubah.
Pasal 33
(1) IPR yang telah diberikan dapat dicabut apabila:
a. tidak

memenuhi

ketentuan

sebagaimana

dimaksud

dalam Pasal 29 ayat (3) dan Pasal 30 ayat (1);


b. melanggar ketentuan-ketentuan yang disyaratkan dalam
surat izin dan peraturan perundang-undangan; dan
c. izin yang dikeluarkan instansi yang menjadi syarat
dalam IPR dibatalkan dan/atau dicabut.
(2) Pencabutan Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a dan huruf b dilakukan setelah pemegang izin
mendapatkan

surat

peringatan sebanyak

(tiga) kali

berturut-turut dengan tenggang waktu masing-masing 7


(tujuh) hari kerja.
BAB IV
PEMBINAAN, PEMANTAUAN DAN EVALUASI
Pasal 34
(1) Pembinaan, pemantauan dan evaluasi dilakukan secara
berkala terhadap IPR yang dilakukan oleh tim sesuai dengan
kewenangannya.
(2) Pembinaan,

pemantauan

dan

evaluasi

sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) meliputi bidang teknis, operasional


dan administrasi.
(3) Pembinaan

sebagaimana

merupakan

upaya

pemanfaatan

ruang

dimaksud

untuk
yang

pada

meningkatkan

terkait

dengan

ayat

(1)

kinerja

pengendalian

pemanfaatan ruang pada kawasan pengendalian ketat.


(4) Pengawasan

- 24 (4) Pemantauan terhadap pemanfaatan ruang dilaksanakan


untuk mengetahui:
a. pemanfaatan ruang yang belum memiliki izin dan/atau
rekomendasi;
b. pemanfaatan ruang yang sudah memiliki rekomendasi
dari Kabupaten/Kota tetapi belum memiliki izin dari
Pemerintah Provinsi; dan
c. pemanfaatan ruang yang sudah sesuai dengan ketentuan
dalam izin yang diterbitkan.
(5) Evaluasi terhadap pemanfaatan ruang dilaksanakan untuk
mengetahui:
a. pelaksanaan pemanfaatan ruang yang disesuaikan
dengan alokasi waktu yang direncanakan dan ketentuan
persyaratan dalam IPR.
b. permasalahan yang dihadapi dalam pemanfaatan ruang
sesuai IPR yang diterbitkan.
Pasal 35
(1) Bentuk pembinaan, meliputi:
a. koordinasi penyelenggaraan pemanfaatan ruang pada
kawasan pengendalian ketat;
b. sosialisasi peraturan perundang-undangan dan pedoman
pelaksanaan pengendalian pemanfaatan ruang yang
terkait dengan kawasan pengendalian ketat;
c. pemberian bimbingan, supervisi, dan konsultasi
pelaksanaan pengendalian ruang pada kawasan
pengendalian ketat;
d. pelatihan;
e. penelitian dan pengembangan;
f. pengembangan sistem informasi dan komunikasi
penataan ruang pada kawasan pengendalian ketat;
g. penyebarluasan informasi terkait kawasan pengendalian
ketat kepada masyarakat; dan
h. pengembangan
kesadaran
dan
tanggung
jawab
masyarakat.
(2) Bentuk pemantauan, meliputi:
a. pemantauan rutin;
b. pemeriksaan data; dan
c. pelaporan
(3) Bentuk evaluasi, meliputi:
a. pemeriksaan data;
b. penilaian kesesuaian pemanfaatan ruang; dan
c. pelaporan
Pasal 36

- 25 Pasal 36
Uraian lebih rinci mengenai pemanfaatan ruang pada kawasan
pengendalian ketat dan album petanya, mekanisme perizinan,
pelaksanaan pembinaan, pemantauan dan evaluasi; Formulir
Permohonan

IPR;

Formulir

pemberian

tambahan

waktu

penyelesaian kegiatan IPR; Formulir Perubahan IPR; Formulir


pengecekan kelengkapan persyaratan teknis dan administrasi;
Formulir

Berita

Pemanfaatan
Lapangan

Ruang;

dan

Pemanfaatan

Acara

Rapat

Formulir

Formulir
Ruang

Koordinasi
Berita

Berita

Acara

tercantum

Tim

Acara

Asistensi
Peninjauan

Evaluasi

dalam

Kegiatan

Lampiran

yang

merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Gubernur


ini.
BAB IV
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 37
(1) Pada saat Peraturan Gubernur ini mulai berlaku:
a. pemanfaatan

ruang

yang

baru

dalam

tahap

pembangunan dan belum memiliki IPR harus segera


mengajukan IPR dan menghentikan kegiatannya sampai
diterbitkannya IPR; dan
b. pemanfaatan ruang yang sudah beroperasi dan belum
mempunyai IPR, harus segera mengurus IPR tanpa
harus menghentikan kegiatannya dan dalam waktu
paling lama 6 (enam) bulan harus sudah memiliki IPR.
(2) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b tidak dipenuhi, maka kegiatan pemanfaatan ruang
harus segera dihentikan.
BAB V
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 38
Pada saat Peraturan Gubernur ini mulai berlaku, Peraturan
Gubernur

Jawa

Timur

Nomor

61

Tahun

2006

tentang

Pemanfaatan Ruang Pada Kawasan Pengendalian Ketat di


Provinsi Jawa Timur, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 39

- 26 Pasal 39
Peraturan

Gubernur

ini

mulai

berlaku

pada

tanggal

diundangkan.
Agar

setiap

orang

mengetahuinya,

memerintahkan

pengundangan Peraturan Gubernur ini dengan penempatannya


dalam Berita Daerah Provinsi Jawa Timur.

Ditetapkan di Surabaya
pada tanggal 26 Nopember 2014
GUBERNUR JAWA TIMUR
ttd.
Dr. H. SOEKARWO

LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai