Anda di halaman 1dari 7

JANJI BAHAGIAKU

Lulusan terbaik di universitas ternama di Jakarta bukan merupakan hal yang sudah
sepatutnya untuk disyukuri. Tidak lantas selesai begitu saja, lulusan terbaik diharapkan akan
menjadi output yang terpuji juga. Hal yang bersifat akademis tetapi dalam praktiknya tidak
sesuai maka akan menimbulkan berbagai spekulasi. Sesuatu yang membanggakan bagi diriku
adalah ketika aku tidak mengecewakan kedua orang tuaku. Gelar lulusan terbaik ini aku
persembahkan kepada mereka yang senantiasa ada untukku sampai saat ini. Betapa tidak
menyedihkan dulu, setelah aku lulus dari sekolah menengah atas di Solo aku harus
mengarungi kehidupan Kota Jakarta sendiri. Apalagi latar belakang keluargaku yang berasal
dari keleuarga menengah ke bawah. Tetapi beruntungnya, aku tercatat sebagai mahasiswi
bidik misi yang terdaftar di universitas ternama di Jakarta. Masih teringat bagaimana
beratnya orang tuaku melepaskan putri sematawayangnya pergi jauh dari istana sederhana
untuk pertama kalinya. Pak, Buk, Madina diterima di salah satu universitas di Jakarta. Dan
Madina tercatat sebagai mahasiswa bidik misi. Jadi biayanya udah ditanggung sama
pemerintah, Pak, Buk. Madina mohon izin dan doa restu dari bapak ibu untuk melanjutkan
kuliah di Jakarta kataku merunduk di meja makan yang tadinya diselimuti suasana
hangatnya keluarga. Hening. Bapak dan ibuku tidak lantas langsung merespon
pembicaraanku. Mereka malah menatapku dengan suatu ekspresi antara senang, bangga dan
sedikit terselip kesedihan. Jakarta? tanya bapakku memecahkan keheningan. Kulihat
sekilas ibu menggenggam tangan bapak lalu menatapnya dan sedikit tersenyum
menentramkan. Nduk, tuntutlah ilmu walaupun ke negeri Cina, karena menuntut ilmu itu
fardu atas setiap muslim kata ibuku kemudian membereskan makanan di meja makan.
Setelah selesai membantu ibuku merapikan meja makan, aku kemudian masuk ke kamar.
Dinding-dinding kayu yang diam seolah kemudian berbicara meneruskan gelombang suara
yang berasal dari samping kamarku. Kamar bapak dan ibuku. Apakah kuliah itu harus di
Jakarta ya, Bu? suara yang berat terdengar di seberang sana. Mungkin itulah yang Madina
inginkan, Pak. Jangan sampai anak kita satu-satunya itu cuma jadi petani kayak kita. Jadi,
tugas kita adalah mendukung dan mendoakannya terdengar suara ibu. Tapi mengapa harus
di Jakarta, Bu? Bukankah di Solo juga banyak tempat kuliah yang bagus? Apalagi dia anak
kita satu-satunya. Perempuan lagi suara bapak. Kemudian hening beberapa saat. Apa dia
juga akan pergi meninggalkan kita? lanjut Bapak. Hush, Bapak ini jangan ngomong
sembarangan. Madina kan ndak akan ninggalin kita, Pak. Nanti, semisal kita kangen kita kan
bisa jenguk Madina Pak. Sambil lihat Monas gitu suara ibu yang sedikit menggoda Bapak.

Yah kalo kita itu masih kuat ke Jakarta, Bu. Kalau kita sudah tua renta, ndak bisa ngapangapain. Siapa yang bakal ngerawat kita? tanya Bapak. Ya tinggal kita telepon Madina
suruh pulang ke rumah lah, Pak. Sudah-sudah. Sudah malam ini, istirahat Pak suara ibu
mengakhiri pembicaraan malam itu. Sedangkan disebelah kamar kedua orang tua itu, ada
sebuah ruang yang terjaga berisi seonggok manusia meringkuk beku. Sesekali dia menyeka
bulir air mata yang tidak bisa dibendungnya. Aku berjanji, bagaimanapun aku nanti, aku akan
selalu ada bersama Bapak dan Ibuku. Sampai akhir hayatku, mereka adalah surga yang harus
aku jaga. Aku berjanji.
Janjiku terus aku jaga. Setiap harinya aku menelepon bapak ibu dan sebulan sekali
aku pulang ke Solo. Ketika aku tidak bisa pulang, itu karena aku sedang tidak punya ongkos
pulang atau karena sedang membantu penelitian dosen dan setiap usai dari kegiatan-kegiatan
itu akan kutemukan penyesalanku diiringi isakan tangis. Benar seperti dugaan Bapak dulu,
Bapak dan Ibu tidak pernah ke Jakarta. Itu menjadikanku was-was kalau-kalau satu diantara
atau keduanya sakit. Sedihnya lagi, ketika mereka susah atau sakit, mereka juga tidak pernah
cerita. Pasti mereka akan bilang kalau mereka sehat, baik-baik saja dan bercerita kalau
mereka panen padi secara sukses lalu akan mengirimkan uang untukku. Perih. Kadangkadang aku ingin cuti kuliah untuk bisa kembali ke Solo dan hidup bersama Bapak dan Ibu.
Namun, Bapak dan Ibu selalu berhasil melarangku dengan alasan mereka tidak ingin anak
satu-satunya bernasib sama dengan mereka. Disetiap akhir pembicaraan, Bapak selalu
berpesan dengan nada bercandanya bahwa aku harus menjadi orang yang sukses dahulu
kemudian baru kembali ke Solo. Dengan cara yang luar biasa itulah Bapak dan Ibu senantiasa
menguatkan tekadku untuk menuntut ilmu. Berkat dukungan mereka aku menjadi seperti
sekarang ini. Aku sangat bersyukur.
Awalnya aku terpaksa mengikuti organisasi kampus karena kegiatan tersebut sangat
menguras tenaga, waktu dan pikiranku. Padahal aku harus bekerja part-time di sebuah tempat
makan untuk tambahan uang saku sekaligus harus terus belajar agar aku bisa mencapai target
IPK yang disyaratkan bagi mahasiswa bidik misi. Namun ditahun kedua, aku mulai terbiasa
hingga pada akhirnya aku berkenalan dan akrab dengan salah seorang mahasiswa berprestasi
di kampusku. Mbak Ina seniorku, mahasiswa semester lima. Mbak Ina-lah yang pada
akhirnya mengenalkanku pada dunia penelitian. Gagal berulang kali sudah menjadi hal biasa
bagiku. Seperti kata Mbak Ina setiap aku berkonsultasi atas kegagalanku, jika satu proposal
penelitian tidak disetujui, maka harus ada dua proposal, jika dua proposal penelitian tidak
disetujui maka harus ada tiga proposal dan seterusnya. Aku belajar banyak dari Mbak Ina
yang tidak pernah mengenal kata menyerah dan harus terus berusaha. Di tahun ketiga

akhirnya aku memutuskan untuk tidak mengikuti organisasi lagi agar aku bisa fokus pada
penelitianku. Beberapa waktu lalu, aku diminta bantuan Mbak Ina untuk melanjutkan
penelitiannya karena Mbak Ina harus ke luar negeri. Penelitian tersebut merupakan penelitian
dosen dan Mbak Ina diminta untuk membantu penelitian dosen tersebut. Awalnya dosen
tersebut tidak percaya akan kemampuanku. Benar, mana mungkin aku bisa menyamai
kemampuan Mbak Ina. Tetapi aku tidak boleh berkecil hati dan aku harus terus berusaha.
Meskipun aku tidak bisa menyamai kemampuan Mbak Ina aku mempunyai cara tersendiri
yang unik untuk mengatasinya. Pada akhirnya aku dipercayai dosen untuk membantunya.
Madina, besok observasi di Bandung bisa?. Siap, Profesor! jawabku dengan semangat.
Itulah caraku. Setiap kali aku diminta bantuan, maka aku langsung berkata siap. Meskipun
terkesan ceroboh karena aku tidak mempertimbangkan segala hal entah itu bagaimana aku
harus menuju ke Bandung, tidur dimana, bagaimana nanti kuliahku yang akan keteteran akan
tetapi aku yakin aku bisa mengatasi dan memikirkan solusinya setelah aku menjalaninya. Dan
itu akhirnya terbukti. Semua kendala dapat teratasi. Research is addictive.
Usai wisuda, aku masih mempunyai beberapa proyek dengan para profesor yang
belum terselesaikan. Salah satunya dengan Profesor Claudia. Madina, kamu bisa tidak
membuat esay? tanyanya. Bisa, Prof. Eh? Esai, Prof? Apa kita butuh esai untuk penelitian
ini? tanyaku masih bingung karena tidak biasanya Profesor Claudia meminta esai. Esai
untuk kamu sendiri. Kemampuan bahasa Inggris kamu, oke punya kan? Siapkan itu semua
ya! kata Profesor Claudia yang terkenal gaul dan fun itu. Beliau kemudian menjelaskan
bahwa aku akan direkomendasikannya untuk melanjutkan S-2 di Eropa. Di Eropa nanti,
sembari aku melanjutkan studiku aku wajib membantu penelitian Profesor Claudia. Oleh
karena itu aku harus segera membuat esai dan mempersiapkan semuanya. Beneran itu,
Prof? tanyaku dengan bahagia. Jangan buang-buang waktu Madina. Prepare it soon! kata
Profesor Claudia yang kemudian meninggalkan ruangan laboratorium. Aku ternganga dan
seolah tidak percaya. Mendengar kesempatan emas. Tidak. Bahkan itu seperti kesempatan
berlian bagiku, aku sangat bahagia. Impian-impianku selama ini, menjadi seorang ilmuwan
sedikit demi sedikit akan terwujud. Sang Pencipta memang selalu melihat kita. Dia tahu siapa
yang tengah bekerja keras untuk mengubah nasibnya. S-2 di Eropa yang tidak pernah
terbayangkan, sudah dekat di depan pelupuk mata. Bahkan aku akan mendapatkan beasiswa
dan kehidupanku di Eropa akan mendapat akomodasi dari pemerintah. Disamping itu, aku
masih bisa melakukan eksperimen-eksperimen di Eropa bersama Prof. Claudia. Terima kasih,
Penciptaku. Terima kasih, Bapak Ibu. Berkat doa kalian, aku bisa seperti ini.

Bapak? Ibu? Bagaimana keadaan mereka sekarang ini? Setelah acara wisuda beberapa
waktu lalu, Bapak dan Ibu yang tidak sempat mampir ke Monas akhirnya memutuskan untuk
kembali ke Solo. Katanya mereka tidak betah tinggal di Jakarta dan tidak tahan jika harus
meninggalkan rumah lama-lama. Sedangkan aku mau tidak mau harus tinggal di Jakarta
untuk beberapa waktu, karena terkait dengan beberapa pekerjaanku.
Seperti malam-malam bisanya yang begitu terasa panas disini, meskipun orang selalu
menggambarkan dinginnya malam karena mereka tidak menemukan kehangatan matahari.
Aku menatap cahaya lampu kota yang memenuhi pemukiman. Kesendirian yang biasa
kurasakan, entah mengapa hari ini semakin kentara. Penyesalanku selalu datang dan bulir air
mata yang kubiarkan tidak dapat tertahankan. Aku menyesal karena aku tidak jadi pulang ke
Solo bersama orang tuaku. Apakah aku telah melanggar janjiku sendiri? Satu pertanyaan itu
selalu mengoyak nuraniku. Aku telah melanggar janjiku sendiri. Kalimat itu seolah
menghakimi diriku yang kini hanya bisa duduk dengan penyesalan-penyesalan yang tidak ada
gunanya. Aku sangat rindu pada kedua orang tuaku. Ketika mereka ke Jakarta, aku tidak
berdaya melawan regulasi kampus tentang serangkaian acara wisuda mulai dari gladi bersih
dan lain-lain hanya untuk menjemput kedua orang tuaku di stasiun dan bahkan untuk
menatapnya lalu bercakap-cakap selayaknya keluarga. Maafkan aku Pak, Bu. Atas
ketidakmampuanku ini, aku seperti anak yang durhaka kataku lirih dan tanpa sadar tetesan
air mata semkain deras dan menjadi. Kemudian aku menyekanya dan menarik napas dalamdalam berusaha menenangkan diri. Aku meraih handphoneku, kemudian kutelepon Bapak
Ibuku. Halo, Pak,Bu! Bagaimana keadaan, Bapak dan Ibu? Disini Madina alhamdulillah
sehat kataku. Halo, Madina! Bapak dan Ibumu disini juga sehat, Nduk! kata Bapak yang
kemudian terdengar suara Ibuku. Mana, Pak. Gantian Inu yang ngomong. Halo, Madina!
Ini Ibumu. Sehat kan, Nduk? Kapan kamu pulang?tanya Ibuku. Aku terdiam memikirkan
suatu jawaban yang tepat. Kami terdiam. Mendengar suara Bapak dan Ibu saja aku bisa
menangis entah bahagia karena kerinduanku terobati atau sedih karena aku tidak bisa hadir
setiap harinya di antara mereka. InsyaAllah, secepatnya Bu. Doakan Madina ya, Bu biar
disini semuanya lancar jawabku menahan napas yang tersengal-sengal. Iya pasti, Nduk!
Bapak dan Ibu disini selalu mendoakanmu kata keduanya. Secepatnya Madina akan pulang
ke Solo begitu semua urusan disini selesai. Ya sudah kalau begitu, sudah larut malam, Bapak
dan Ibu sebaiknya istirahat kataku. Iya, Madina kami tunggu di Solo. Assalammulaikum
Ibu kemudian menutup teleponnya. Waalaikumsalam jawabku. Setiap kali aku merasakan
suatu perasaan lega setelah aku menelepon Bapak dan Ibuku. Suara mereka selalu membuat
diriku tenang dan tentram. Namun, berbeda dengan kali ini. Aku merasakan sesuatu yang

masih mengganjal di hatiku. Salahku sendiri yang tidak langsung berterus terang menjelaskan
tentang rencana S-2ku di eropa. Aku kini menjadi semakin bingung dan gelisah.
Satu minggu setelah perbincangan mengenai kapan aku akan pulang ke Solo, akhirnya
aku telah menyelesaikan sejumlah proyek penelitian. Mengenai tawaran Profesor Claudia,
rupanya tidak mampu aku abaikan karena itulah impianku yang selama ini aku genggam erat.
Pengajuan beasiswa telah diterima dan aku juga sudah mendapatkan kampus tujuan dimana
aku bisa melanjutkan studiku. Tempat tinggal pun akan disediakan sebuah asrama oleh pihak
kampus dan biaya keseharian sudah ditanggung oleh negara asal. Segala surat perizinan
sudah aku kantongi. Semuanya serba mudah dan dilancarkan. Sehingga aku semakin yakin
karena semuanya ditampakkan mudah oleh Sang Maha Kuasa. Aku tinggal mohon izin dan
doa restu pada kedua orang tuaku. Setelah itu bisa langsung terbang ke Eropa.
Usai mengemas barang-barang dan pakaianku, aku kemudian bertolak ke tanah
kelahiranku Solo dengan menggunakan kereta. Aku memilih keberangkatan malam agar
nantinya, aku sampai di Solo pagi hari dan bisa membuat kejutan untuk Bapak dan Ibu. Aku
sengaja tidak memberi tahu kedua orang tuaku itu agar aku bisa memberikan kejutan kepada
mereka berdua. Tidak lupa aku membawakan oleh-oleh kecil untuk mereka.
Laju kereta menapaki besi-besi sejajar rasanya tidak secepat laju jantungku yang
begitu berdebar karena tidak sabar untuk bertemu orang yang tercinta. Begitu bahagianya,
sampai-sampai aku tidak tertidur sepanjang malam itu. Aku membayangkan bagaimana
gembiranya Bapak dan Ibu nanti melihat aku pulang. Waktu berjalan begitu lambat saat aku
menunggu momen bahagiaku. Tetapi waktu tidak pernah bisa berbohong karena pada
akhirnya waktulah yang akan menjawab apa, siapa, kapan, mengapa, bagaimana dan dimana
aku sekarang. Aku kembali menginjakkan kakiku di tanah Solo. Secepat mungkin aku
berhambur mencari Bapak Ibuku yang biasanya berada di meja makan kalau pagi hari.
Bapak, Ibu! Madina Pulang! teriakku memenuhi seluruh ruang rumahku. Berulang kali aku
berteriak, tidak ada satu jawabanpun yang aku dengar. Lalu aku berinisiatif mencari ke
sawah. Di sawah aku bertentu dengan salah seorang tetanggaku. Eh, Mbak Madina ya?
Kapan pulang dari Jakarta? tanya Pak Tejo tetanggaku. Iya, Pak. Baru saja sampai ini, Pak.
Ohiya, Pak. Bapak Ibu saya sudah kesini belum ya, Pak? Saya cari dirumah kok ndak
ada?tanyaku. Lhoh belum pulang to, Mbak? Ibunya Mbak Madina kan kemarin pingsan,
karena ndak sadar-sadar terus dibawa ke rumah sakit jelas Pak Tejo. Aku terpaku tanpa bisa
berkata-kata lagi. Aku berlari sekencang-kencangnya mencari ojek untuk segera sampai di
rumah sakit. Berbagai macam pikiran negatif muncul dibenakku. Bagaimana jika aku
kehilangan salah satu surgaku? Apa ini balasan karena aku tidak menjaganya?

Perasaanku menjadi semakin kalut dan tidak karuhan ketika aku tidak menemukan
mereka di ruang dimana ibu dirawat. Lagi-lagi aku hanya bisa terduduk dan meratapi
penyesalan dengan isakan tangis yang tak ada gunanya. Aku menemukan diriku yang tidak
berguna. Sekolah tinggi-tingi tetapi menjaga kedua orang tuaku saja aku tidak bisa. Untuk
apa hidupku? Untuk apa kesuksesanku jika tidak untuk mereka? Dalam kepasrahan diri ini,
aku mnyerahkan segalanya pada Sang Maha Pengasih dan Penyayang. Jika Dia menjatuhkan
azab untukku, itu memang karena dosaku yang terlalu keji karena menyia-nyiakan kedua
orang tuaku. Tubuhku seketika lemas dan tidak tahu arah. Dimana aku harus mencari
mereka? Aku hanya bisa meringkuk ditepian teras dan lunglai untuk melihat handphone yang
berdering. Dari kejauhan terdengar suara. Halo, Nduk? Kamu dimana? suara Bapak.
Bapak? Ini Bapak kan? Bapak dimana? suaraku tersedu-sedu. Di rumah....jawab Bapak
yang kemudian tidak terdengar lagi karena aku menutup teleponnya.
Sesegera mungkin tanpa memperhatikan menusia-manusia disekelilingku, sebisa
mungin aku berlari menembus ruang dan waktu. Entah tersandung, menabrak benda maupun
orang lain aku tidak peduli akan itu. Dalam benakku hanya Bapak. Hanya Ibu. Bagaimana
bisa aku selama ini bersikap kepada kedua orang tuaku seperti ini? Tuhan, karena aku gagal
menjaganya maka setidaknya lindungilah mereka.
Bapak! Ibu! teriakku memasuki kamar dimana Ibu dibaringkan. Sebuah pelukan
hangat menyambutku. Lagi-lagi derai air mata tidak tertahankan. Kuciumi tangan renta yang
selama ini bekerja keras membesarkanku, kening berkeriput yang senantiasa selalu
memikirkan bagaimana aku bisa hidup hingga seperti sekarang ini dan kubelai jemari yang
selama ini mengajarkanku betapa hidup ini perlu sebuah perjuangan. Kubisikan cinta dengan
segenap rasa yang kumiliki pada telinga yang tidak pernah bosan mendengar tangisan, tawa,
keluh kesah dan beraneka ragam emosiku. Kutatap sepasang bola mata yang tak pernah lelah
memperhatikan tumbuh kembang diriku. Ibu kenapa? tanyaku. Ibu hanya tersenyum
memandangku. Kepulanganku seolah menjadi obat mujarab bagi Ibuku. Bagi Bapak juga.
Meskipun aku sudah berumur dua puluh dua tahun, namun aku tetaplah seorang anak-anak
bagi kedua orang tuaku. Itu memang sebuah kenyataan. Orang tuaku kadang-kadang
memanjakanku, dengan melarangku untuk membantu pekerjaan mereka bik di rumah
maupun di sawah. Tapi, tetap saja aku keras kepala melakukan segalanya demi kedua orang
tuaku.

Hari-hari kami lewati dengan kebahagiaan yang tidak bisa tertandingi oleh keluarga
manapun hingga pada akhirnya waktu itu tiba. Aku berterus terang tentang tawaran untuk
melanjutkan kuliah S-2 di Eropa. Sama seperti sebelumnya. Mereka selalu mendukung apa
yang aku inginkan. Meskipun ada sebuah kebahagiaan yang begitu menggebu, namun ada
perasaan perih menyelimuti kebahagiaan itu. Sehingga kebahagiaan itu tidak tampak pada
diriku. Aku menemukan diriku yang mulai goyah. Ketika orang lain berlomba-lomba untuk
mendapatkan kesempatan itu, justru aku.... Nduk, Nduk, tuntutlah ilmu walaupun ke negeri
Cina, karena menuntut ilmu itu fardu atas setiap muslim lagi-lagi Ibu mengatakan hal itu
padaku. Aku hanya tersenyum menatapnya lalu memeluknya. Tanpa mendengar
penjelasannya, aku merasakan ada suatu perasaan yang tertahankan di sebuah pelukan Ibu.
Bapak tidak berkomentar apa-apa. Bapak hanya berdiri memandangku dengan ekspresi antara
senang dan sedih. Kami bangga, Nduk! Meskipun kamu itu anak petani, kamu bisa sampai
kuliah di Eropa. Kami sangat bersyukur punya anak seperti kamu. Mikul dhuwur mendem
jero, ya Nduk sekilas kulihat Bapak

meneteskan air mata. Mereka mendukung dan

mendoakanku agar sukses kuliah S-2 di Eropa. Lagi-lagi semua dilancarkan. Namun, bukan
perasaan lega yang kudapat setelah mengutarakannya malahan kemantapan hatiku semakin
goyah. Berbagai macam bahan pertimbangan bermunculan. Untuk mengatasinya, akhirnya
aku melakukan sholat istiqoroh untuk meminta petunjuk pada Maha Pemberi Petunjuk.
Keesokan harinya. Sekarang udara yang kuhirup semakin terasa segar dan bebas.
Tidak ada keraguan maupun kebimbangan lagi. Pada akhirnya aku memutuskan untuk
membatalkan kuliah S-2 ku ke Eropa tapi aku akan tetap berusaha membantu Profesor
Claudia. Menurutku, itu bukanlah suatu bentuk tindakan menyia-nyiakan kesempatan yang
tidak mungkin datang kembali. Tapi, percayalah. Sang Maha Kuasa pada akhirnya
menghadiahiku dengan hal-hal yang sangat menakjubkan dan tidak pernah terbayangkan
olehku. Aku bisa merintis sebuah pusat penelitian kecil-kecilan di Solo sembari melanjutkan
studiku di Yogyakarta. Janjiku beserta tekadku seperti diamini oleh para malaikat dan direstui
oleh Sang pencipta. Dengan begitu, aku bisa merawat orang tuaku dan tinggal bersama-sama.
Sesuatu yang begitu dekat dengan sehari-hari dan sangat sederhana terkadang terlupakan
karena hal-hal yang membahagiakan diawalnya. Orang tua yang merawat anaknya sejak
dalam kandungan hingga dewasa memang tidak pernah meminta imbalan sekalipun. Akan
tetapi, apakah itu adil jika seorang anak meninggalkan kedua orang tuanya demi kebahagiaan
atau kesuksesan dirinya? Bagaimanapun aku nanti, aku akan selalu ada bersama Bapak dan
Ibuku. Sampai akhir hayatku, mereka adalah surga yang harus aku jaga. Bagiku janjiku itu
adalah bahagia sejatiku. Aku berjanji.

Anda mungkin juga menyukai