Anda di halaman 1dari 9

REFRESHING

Disusun Oleh:
GITA MONIKA

PEMBIMBING:
Dr.Indragiri, Sp.AN

BAGIAN/SMF ANESTESI
RUMAH SAKIT ISLAM JAKARTA PONDOK KOPI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2010

Obat-obat opioid yang biasanya digunakan dalam anastesi antara lain adalah morfin, petidin
dan fentanil.
Analgesik opioid merupakan kelompok obat yang memiliki sifat-sifat seperti opium maupun
morfin. Meskipun mempelihatkan berbagai efek farmakologik yang lain, golongan obat ini
digunakan terutama untuk meredakan atau menghilangkan rasa nyeri.
Pengaruh dari berbagai obat golongan opioid sering dibandingkan dengan morfin, dan tidak
semua obat golongan opioid yang dipasarkan di Indonesia. Akan tetapi dengan sediaan yang
sudah ada kiranya penangganan nyeri yang membutuhkan obat opioid dapat dilakukan.
Terbatasnya peredaran obat tersebut tidak terlepas pada kekhawatiran terjadinya
penyalahgunaan obat.
Dahulu digunakan istilah analgesik narkotik untuk analgesik kuat yang mirip morfin. Istilah
ini berasal dari kata yunani yang berarti stupor. Istilah narkotik ini telah lama ditinggalkan
jauh sebelum ditemukannya ligand yang mirip opioid endogen dan reseptor untuk zat ini.
Dengan ditemukannya obat yang bersifat campuran agonis dan antagonis opioid yang tidak
meniadakan ketergantungan fisik akibat morfin maka penggunaan istilah analgesik narkotik
untuk pengertian farmakologik tidak sesuai lagi.
1. DEFINISI
Opioid adalah semua zat baik sintetik atau natural yang dapat berikatan dengan reseptor
morfin, misalnya. Opioid disebut juga sebagai analgesia narkotik yang sering digunakan
dalam anastesia untuk mengendalikan nyeri saat pembedahan dan nyeri paska pembedahan.
2. KLASIFIKASI OPIOID
Yang termasuk golongan opioid ialah : (1) obat yang berasal dari opium-morfin ; (2) senyawa
semisintetik morfin ; (3) senyawa sintetik yang berefek seperti morfin.
Didalam klinik opioid dapat digolongkan menjadi lemah (kodein) dan kuat (morfin). Akan
tetapi pembagian ini sebetulnya lebih banyak didasarkan pada efikasi relatifnya, dan
bukannya pada potensinya. Opioid kuat mempunyai rentang efikasi yang lebih luas, dan
dapat menyembuhkan nyeri yang berat lebih banyak dibandingkan dengan opioid lemah.
Penggolongan opioid lain adalah opioid natural (morfin, kodein, pavaperin, dan tebain),
semisintetik (heroin, dihidro morfin/morfinon, derivate tebain) dan sintetik (petidin, fentanil,
alfentanil, sufentanil dan remifentanil).
Sedangkan berdasarkan kerjanya pada reseptor opioid maka obat-obat Opioid dapat
digolongkan menjadi ;

Agonis opoid
Merupakan obat opioid yang menyerupai morfin yang dapat mengaktifkan reseptor,
tertama pada reseptor m, dan mungkin pada reseptor k contoh ; morfin, papaveretum,
petidin (meperidin, demerol), fentanil, alfentanil, sufentanil, remifentanil, kodein,
alfaprodin.

Antagonis opioid
Merupakan obat opioid yang tidak memiliki aktivitas agonis pada semua reseptor dan
pada saat bersamaan mencegah agonis merangsang reseptor, contoh ; nalokson.

Agonis-antagonis (campuran) opioid


Merupakan obat opioid dengan kerja campuran, yaitu yang bekerja sebagai agonis
pada beberapa reseptor dan sebagai antagonis atau agonis lemah pada reseptor lain,
contoh pentazosin, nabulfin, butarfanol, bufrenorfin.

MEKANISME KERJA
Reseptor opioid sebenarnya tersebar luas diseluruh jaringan system saraf pusat, tetapi lebih
terkonsentrasi di otak tengah yaitu di sistem limbic, thalamus, hipothalamus corpus striatum,
system aktivasi retikuler dan di korda spinalis yaitu substantia gelatinosa dan dijumpai pula
di pleksus saraf usus. Molekul opioid dan polipeptida endogen (metenkefalin, beta-endorfin,
dinorfin) berinteraksi dengan reseptor morfin dan menghasilkan efek.
Reseptor tempat terikatnya opioid disel otak disebut reseptor opioid dan dapat
diidentifikasikan menjadi 5 golongan, yaitu antara lain:

Reseptor m (mu) : m-1, analgesia supraspinal, sedasi.


m-2, analgesia spinal, depresi nafas, euphoria, ketergantungan
fisik, kekakuan otot.

Reseptor d (delta) : analgesia spinal, epileptogen.


Reseptor k (kappa) : k-1, analgesia spinal.
k-2 tak diketahui.
k-3 analgesia supraspinal.

Reseptor s (sigma) : disforia, halusinasi, stimulasi jantung.


Reseptor e (epsilon) : respon hormonal.

Suatu opioid mungkin dapat berinteraksi dengan semua jenis reseptor akan tetapi dengan
afinitas yang berbeda, dan dapat bekerja sebagai agonis, antagonis, dan campuran.
Opioid mempunyai persamaan dalam hal pengaruhnya pada reseptor ; karena itu efeknya
pada berbagai organ tubuh juga mirip. Perbedaan yang ada menyangkut kuantitas, afinitas
pada reseptor dan tentu juga kinetik obat yang bersangkutan.

Secara umum, efek obat-obat narkotik/opioid antara lain ;


A. Efek sentral ;
a. Menurunkan persepsi nyeri dengan stimulasi (pacuan) pada reseptor opioid (efek analgesi).
b. Pada dosis terapik normal, tidak mempengaharui sensasi lain.
c. Mengurangi aktivitas mental (efek sedative).
d. Menghilangkan konplik dan kecemasan (efek transqualizer).
e. Meningkatkan suasana hati (efek euforia), walaupun sejumlah pasien merasakan
sebaliknya (efek disforia).
f. Menghambat pusat respirasi dan batuk (efek depresi respirasi dan antitusif).
g. Pada awalnya menimbulkan mual-muntah (efek emetik), tapi pada akhirnya menghambat
pusat emetik (efek antiemetik).
h. Menyebabkan miosis (efek miotik).
i. Memicu pelepasan hormon antidiuretika (efek antidiuretika).
j. Menunjukkan perkembangan toleransi dan dependensi dengan pemberian dosis yang
berkepanjangan.
B.Efek perifer ;
a. Menunda pengosongan lambung dengan kontriksi pilorus.
b. Mengurangi motilitas gastrointestinal dan menaikkan tonus (konstipasi spastik).
c. Kontraksi sfingter saluran empedu.
d. Menaikkan tonus otot kandung kencing.
e. Menurunkan tonus vaskuler dan menaikkan resiko reaksi ortostastik.
f. Menaikkan insidensi reaksi kulit, urtikaria dan rasa gatal karena pelepasan histamin, dan
memicu bronkospasmus pada pasien asma.

MORFIN
Meskipun morfin dapat dibuat secara sintetik, tetapi secara komersial lebih mudah dan
menguntungkan, yang dibuat dari bahan getah papaver somniferum. Morfin paling mudah
larut dalam air dibandingkan golongan opioid lain dan kerja analgesinya cukup panjang (long
acting).
Efek kerja dari morfin (dan juga opioid pada umumnya) relatife selektif, yakni tidak begitu
mempengaharui unsur sensoris lain, yaitu rasa raba, rasa getar (vibrasi), penglihatan dan
pendengaran ; bahakan persepsi nyeripun tidak selalu hilang setelah pemberian morfin dosis
terapi.
Efek analgesi morfin timbul berdasarkan 3 mekanisme ; (1) morfin meninggikan ambang
rangsang nyeri ; (2) morfin dapat mempengaharui emosi, artinya morfin dapat mengubah
reaksi yang timbul dikorteks serebri pada waktu persepsi nyeri diterima oleh korteks serebri
dari thalamus ; (3) morfin memudahkan tidur dan pada waktu tidur ambang rangsang nyeri
meningkat.
Farmakodinamik
Efek morfin terjadi pada susunan syaraf pusat dan organ yang mengandung otot polos. Efek
morfin pada system syaraf pusat mempunyai dua sifat yaitu depresi dan stimulasi.
Digolongkan depresi yaitu analgesia, sedasi, perubahan emosi, hipoventilasi alveolar.
Stimulasi termasuk stimulasi parasimpatis, miosis, mual muntah, hiper aktif reflek spinal,
konvulsi dan sekresi hormone anti diuretika (ADH).
Farmakokinetik
Morfin tidak dapat menembus kulit utuh, tetapi dapat menembus kulit yang luka. Morfin juga
dapat mmenembus mukosa. Morfin dapat diabsorsi usus, tetapi efek analgesik setelah
pemberian oral jauh lebih rendah daripada efek analgesik yang timbul setelah pemberian
parenteral dengan dosis yang sama. Morfin dapat melewati sawar uri dan mempengaharui
janin. Ekresi morfin terutama melalui ginjal. Sebagian kecil morfin bebas ditemukan dalam
tinja dan keringat.
Indikasi
Morfin dan opioid lain terutama diidentifikasikan untuk meredakan atau menghilangkan nyeri
hebat yang tidak dapat diobati dengan analgesik non-opioid. Lebih hebat nyerinya makin
besar dosis yang diperlukan. Morfin sering diperlukan untuk nyeri yang menyertai ; (1) Infark
miokard ; (2) Neoplasma ; (3) Kolik renal atau kolik empedu ; (4) Oklusi akut pembuluh
darah perifer, pulmonal atau koroner ; (5) Perikarditis akut, pleuritis dan pneumotorak
spontan ; (6) Nyeri akibat trauma misalnya luka bakar, fraktur dan nyeri pasca bedah.
Efek samping
Efek samping morfin (dan derivat opioid pada umumnya) meliputi depresi pernafasan,
nausea, vomitus, dizzines, mental berkabut, disforia, pruritus, konstipasi kenaikkan tekanan
pada traktus bilier, retensi urin, dan hipotensi.

Dosis dan sediaan


Morfin tersedia dalam tablet, injeksi, supositoria. Morfin oral dalam bentuk larutan diberikan
teratur dalam tiap 4 jam. Dosis anjuran untuk menghilangkan atau mengguranggi nyeri
sedang adalah 0,1-0,2 mg/ kg BB. Untuk nyeri hebat pada dewasa 1-2 mg intravena dan dapat
diulang sesuai yamg diperlukan.

PETIDIN
Petidin ( meperidin, demerol) adalah zat sintetik yang formulanya sangat berbeda dengan
morfin, tetapi mempunyai efek klinik dan efek samping yang mendekati sama. Secara kimia
petidin adalah etil-1metil-fenilpiperidin-4-karboksilat.
Farmakodinamik
Meperidin (petidin) secara farmakologik bekerja sebagai agonis reseptor m (mu). Seperti
halnya morfin, meperidin (petidin) menimbulkan efek analgesia, sedasi, euforia, depresi nafas
dan efek sentral lainnya. Waktu paruh petidin adalah 5 jam. Efektivitasnya lebih rendah
dibanding morfin, tetapi leih tinggi dari kodein. Durasi analgesinya pada penggunaan klinis
3-5 jam. Dibandingkan dengan morfin, meperidin lebih efektif terhadap nyeri neuropatik.
Perbedaan antara petidin (meperidin) dengan morfin sebagai berikut :
1. Petidin lebih larut dalam lemak dibandingkan dengan morfin yang larut dalam air.
2. Metabolisme oleh hepar lebih cepat dan menghasilkan normeperidin, asam
meperidinat dan asam normeperidinat. Normeperidin adalah metabolit yang masih
aktif memiliki sifat konvulsi dua kali lipat petidin, tetapi efek analgesinya sudah
berkurang 50%. Kurang dari 10% petidin bentuk asli ditemukan dalam urin.
3. Petidin bersifat atropin menyebabkan kekeringan mulut, kekaburan pandangan dan
takikardia.
4. Seperti morpin ia menyebabkan konstipasi, tetapi efek terhadap sfingter oddi lebih
ringan.
5. Petidin cukup efektif untuk menghilangkan gemetaran pasca bedah yang tidak ada
hubungannya dengan hipiotermi dengan dosis 20-25 mg i.v pada dewasa. Morfin
tidak.
6. Lama kerja petidin lebih pendek dibandingkan morfin.
Farmakokinetik
Absorbsi meperidin setelah cara pemberian apapun berlangsung baik. Akan tetapi kecepatan
absorbsi mungkin tidak teratur setelah suntikan IM. Kadar puncak dalam plasma biasanya
dicapai dalam 45 menit dan kadar yang dicapai antar individu sangat bervariasi. Setelah
pemberian meperidin IV, kadarnya dalam plasma menurun secara cepat dalam 1-2 jam
pertama, kemudian penurunan berlangsung lebih lambat. Kurang lebih 60% meperidin dalam
plasma terikat protein. Metabolisme meperidin terutama dalam hati. Pada manusia meperidin

mengalami hidrolisis menjadi asam meperidinat yang kemudian sebagian mengalami


konyugasi. Meperidin dalam bentuk utuh sangat sedikit ditemukan dalam urin. Sebanyak 1/3
dari satu dosis meperidin ditemukan dalam urin dalam bentuk derivat N-demitilasi.
Meperidin dapat menurunkan aliran darah otak, kecepatan metabolik otak, dan tekanan intra
kranial. Berbeda dengan morfin, petidin tidak menunda persalinan, akan tetapi dapat masuk
kefetus dan menimbulkan depresi respirasi pada kelahiran.
Indikasi
Meperidin hanya digunakan untuk menimbulkan analgesia. Pada beberapa keadaan klinis,
meperidin diindikasikan atas dasar masa kerjanya yang lebih pendek daripada morfin.
Meperidin digunakan juga untuk menimbulkan analgesia obstetrik dan sebagai obat
preanestetik, untuk menimbulkan analgesia obstetrik dibandingkan dengan morfin, meperidin
kurang karena menyebabkan depresi nafas pada janin.
Dosis dan sediaan
Sediaan yang tersedia adalah tablet 50 dan 100 mg ; suntikan 10 mg/ml, 25 mg/ml, 50 mg/ml,
75 mg/ml, 100 mg/ml. ; larutan oral 50 mg/ml. Sebagian besar pasien tertolong dengan dosis
parenteral 100 mg. Dosis untuk bayi dan anak ; 1-1,8 mg/kg BB.
Efek samping
Efek samping meperidin dan derivat fenilpiperidin yang ringan berupa pusing, berkeringat,
euforia, mulut kering, mual-muntah, perasaan lemah, gangguan penglihatan, palpitasi,
disforia, sinkop dan sedasi.

FENTANIL
Fentanil adalah zat sintetik seperti petidin dengan kekuatan 100 x morfin. Fentanil
merupakan opioid sintetik dari kelompok fenilpiperedin. Lebih larut dalam lemak dan lebih
mudah menembus sawar jaringan.
Farmakodinamik
Turunan fenilpiperidin ini merupakan agonis opioid poten. Sebagai suatu analgesik, fentanil
75-125 kali lebih potendibandingkan dengan morfin. Awitan yang cepat dan lama aksi yang
singkat mencerminkan kelarutan lipid yang lebih besar dari fentanil dibandingkan dengan
morfin. Fentanil (dan opioid lain) meningkatkan aksi anestetik lokal pada blok saraf tepi.
Keadaan itu sebagian disebabkan oleh sifat anestetsi lokal yamg lemah (dosis yang tinggi
menekan hantara saraf) dan efeknya terhadap reseptor opioid pada terminal saraf tepi.
Fentanil dikombinasikan dengan droperidol untuk menimbulkan neureptanalgesia.
Farmakokinetik
Setelah suntikan intravena ambilan dan distribusinya secara kualitatif hampir sama dengan
dengan morfin, tetapi fraksi terbesar dirusak paru ketika pertama kali melewatinya. Fentanil

dimetabolisir oleh hati dengan N-dealkilase dan hidrosilasidan, sedangkan sisa


metabolismenya dikeluarkan lewat urin.

Indikasi
Efek depresinya lebih lama dibandingkan efek analgesinya. Dosis 1-3 /kg BB analgesianya
hanya berlangsung 30 menit, karena itu hanya dipergunakan untuk anastesia pembedahan dan
tidak untuk pasca bedah. Dosis besar 50-150 mg/kg BB digunakan untuk induksi anastesia
dan pemeliharaan anastesia dengan kombinasi bensodioazepam dan inhalasi dosis rendah,
pada bedah jantung. Sediaan yang tersedia adalah suntikan 50 mg/ml.
Efek samping
Efek yang tidak disukai ialah kekakuan otot punggung yang sebenarnya dapat dicegah
dengan pelumpuh otot. Dosis besar dapat mencegah peningkatan kadar gula, katekolamin
plasma, ADH, rennin, aldosteron dan kortisol.
Obat terbaru dari golongan fentanil adalah remifentanil, yang dimetabolisir oleh esterase
plasma nonspesifik, yang menghasilkan obat dengan waktu paruh yang singkat, tidak seperti
narkotik lain durasi efeknya relatif tidak tergantung dengan durasi infusinya.

DAFTAR PUSAKA
1. Muhardi dan Susilo, Penanggulangan Nyeri Pasca Bedah, Bagian Anestiologi dan Terapi
Intensif FK-UI, Jakarta 1989, hal ; 199.
2. Latief. S. A, Suryadi K. A, dan Dachlan M. R, Petunjuk Praktis Anestesiologi, Edisi II,
Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK-UI, Jakarta, Juni, 2001, hal ; 77-83, 161.
3. H. Sardjono, Santoso dan Hadi rosmiati D, farmakologi dan terapi, bagian farmakologi
FK-UI, Jakarta, 1995 ; hal ; 189-206.
4. Samekto wibowo dan Abdul gopur, farmako terapi dalam neuorologi, penerbit salemba
medika ; hal : 138-143.
5. Sunatrio. S, ketamin vs Petidin as Analgetic for Tiva with Propofol, majalah Kedokteran
Indonesia, vol : 44, nomor : 5, mei 1994, hal ; 278-279.
6. Omorgui, s, Buku Saku Obat-obatan Anastesi, Edisi II, EGC, Jakarta, 1997, hal ; 203-207.

Anda mungkin juga menyukai