Anda di halaman 1dari 13

PENGARUH BANYAKNYA ANGGOTA DPR PEREMPUAN

TUGAS PAPER HUKUM TATA NEGARA

NAMA

: YENAWATI

NIM

: 15/382610/HK/20677

UNIVERSITAS GADJAH MADA


FAKULTAS HUKUM
2016

A. PENDAHULUAN
Paper ini membahas mengenai pengaruh yang dapat ditimbulkan dengan banyaknya
perempuan yang menduduki kursi DPR. Fungsi legislasi DPR adalah merancang kebijakan
yang dapat mengakomodir kepentingan masyarakat, termasuk kepentingan perempuan, yang
menduduki separuh jumlah penduduk Indonesia. Salah satu upaya untuk merespon kebutuhan
tersebut adalah dengan peningkatan jumlah perempuan di kursi DPR agar tidak kalah suara
dalam proses pembuatan kebijakan. Kepentingan yang berbeda-beda antara laki-laki dan
perempuan mengakibatkan laki-laki tidak dapat mewakili kepentingan daripada perempuan,
begitu juga sebaliknya. Dengan masuknya perempuan menjadi anggota DPR dalam posisi
sebagai pemberi dan pengambil keputusan, maka aspirasi dan kepentingan perempuan dapat
disalurkan.
Indonesia adalah salah satu negara yang telah meratifikasi konvensi hak-hak politik
perempuan. Dalam konvensi tersebut, pada pasal 2 dinyatakan bahwa Perempuan berhak
dipilih bagi semua badan yang dipilih secara umum, diatur oleh hukum nasional, dengan
syarat-syarat yang sama dengan laki-laki, tanpa ada diskriminasi. Pada Pasal 3 berbunyi
Perempuan berhak untuk memegang jabatan publik dan menjalankan semua fungsi publik,
dengan syarat-syarat yang sama dengan laki-laki, tanpa ada diskriminasi. Menindaklajuti
ratifikasi konvensi tersebut, pemerintah lalu mengeluarkan regulasi yang memberi peluang
kepada perempuan untuk berkiprah lebih luas dalam politik, salah satunya adalah paket
undang-undang politik yang menjamin hak-hak perempuan untuk memilih dan dipilih dalam
pemilu, pilpres, dan pilkada dan tindakan afirmasi terhadap perempuan dalam bidang politik.
UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD yang berbunyi :
Setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD Provinsi,

dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan


keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%.
Dari waktu ke waktu, tindakan afirmasi ini semakin disempurnakan. Hal ini dapat terlihat
ketika DPR menyusun RUU Paket Politik yang digunakan dalam pelaksanaan Pemilu 2009,
yaitu UU Nomor 22 Tahun 2007 tentang penyelenggaraan Pemilu, UU Nomor 2 Tahun 2008
tentang Partai Politik sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 2 tahun 2011 tentang
partai politik, dan UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD.
UU Nomor 22 Tahun 2007 pasal 6 ayat (5) berbunyi: Komposisi keanggotaan KPU,
KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota memperhatikan keterwakilan perempuan sekurangkurangnya 30% (tiga puluh perseratus).
UU Nomor 2 Tahun 2011 pasal 2 menyatakan: Pendirian dan pembentukan partai poltik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyertakana 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan
perempuan. Pada ayat sebelumnya dinyatakan bahwa: Partai politik didirikan dan dibentuk
oleh paling sedikit 50 (lima puluh) orang warga negara Indonesia yang telah berusia 21 (dua
puluh satu) tahun dengan akta notaris.
Pada UU Nomor 2 Tahun 2011 pasal 20 dinyatakan bahwa: Kepengurusan partai politik
tingkat provinsi dan kabupaten/kota sebagimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (2) dan ayat
(3) disusun dengan memperhatikan keterwakilan perempuan paling rendah 30% (tiga puluh
perseratus) yang diatur dalam AD dan ART Partai Politik masing-masing.
Ketentuan lebih maju lagi dalam tindakan afirmatif adalah dengan penerapan zipper
system, yang diatur dalam pasal 55 ayat (2) UU Nomor 8 Tahun 2012, yang berbunyi: Di
dalam daftar bakal calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap 3 (tiga) orang bakal

calon terdapat sekurang-kurangnya 1 (satu) orang perempuan bakal calon. Pada ayat (1)
diatur bahwa nama-nama calon dalam daftar bakal calon disusun berdasarkan nomor urut.
Untuk menjamin bahwa partai politik peserta pemilu mematuhi ketentun 30%
keterwakilan perempuan sehingga angka keterwakilan perempuan di lembaga legislatif dapat
meningkat dibanding hasil pemilu sebelumnya, KPU mengeluarkan Peraturan KPU Nomor 7
tahun 2013 tentang pencalonann anggota DPR, DPRD Provinsii dan DPRD Kabupaten/Kota.
Pada pasal 27 ayat (1) huruf b menyatakan: Jika ketentuan 30% keterwakilan perempuan
tidak terpenuhi, partai politik dinyatakan tidak memenuhi syarat pengajuan daftar bakal calon
pada daerah pemilihan bersangkutan.
Dengan adanya berbagai usaha dalam pembaharuan peraturan yang mengatur mengenai
keterwakilan perempuan dalam DPR RI, jumlah anggota DPR perempuan terus mengalami
peningkatan dari 1999 hingga periode 2009, namun terjadi penurunan pada periode 2014
tetapi persentase pencalonan perempuan terjadi peningkatan sebanyak 3.4%.
Pemilu

Total Anggota

Jumlah

1999
2004
2009
2014

DPR
500
550
560
560

Perempuan
45
61
101
79

9.00
11.09
17.86
14

Perjuangan keterwakilan perempuan dalam politik memiliki dua makna. Pertama, untuk
mewujudkan pemenuhan Hak Politik Perempuan dalam tatanan kehidupan demokrasi, yaitu
hak memilih dan dipilih serta hak untuk ikut serta dalam perumusan kebijakan dan
pengambilan keputusan publik. Kedua, ditujukan untuk mewujudkan keadilan gender secara
substantif (Subtantive Equality), yaitu keadilan bagi lakilaki dan perempuan dalam

pembangunan, yaitu keadilan dalam menjangkau (akses), ikut serta (partisipasi), dan
pengambilan keputusan (kontrol) dalam pembangunan serta keadilan dalam penguasaan dan
penikmatan hasilhasil pembangunan. Dengan demikian maka keadilan yang diperjuangkan
oleh gerakan perempuan, merupakan keadilan dari sisi proses dan hasil. Bukan sekedar
memperjuangkan jumlah dan proses. Namun hasil pemilu 2014 diatas memberikan sinyal
awal bahwa masyarakat belum bisa berharap banyak dengan kiprah perempuan legislatif di
parlemen karena kehadiran mereka baru sebatas administratif prosedural.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa peran dari anggota DPR perempuan dalam pembuataan kebijakan di DPR RI?
2. Apakah perempuan dianggap kurang mampu mewakili rakyat di DPR RI?
C. METODE PENELITIAN
Paper ini ditulis dengan menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dengan metode
studi pustaka menggunakan sumber dari peraturan perundangan-undangan, buku, dan jurnal
riset.

D. PEMBAHASAN
1.
Menurut Azza Karam dan Joni Lovenduski bahwa walaupun dalam parlemen
hanya terdapat kehadiran satu perempuan saja, maka diyakini ia mampu membawa suatu
perubahan, namun tentunya untuk perubahan yang signifikan diperlukan juga keterwakilan
perempuan dalam jumlah yang signifikan. Azza Karam dan Joni Lovenduski beranggapan

bahwa keterwakilan perempuan merupakan hal penting, karena diyakini dapat memberikan
perubahan positif dalam proses pembuatan kebijakan yang lebih baik untuk masyarakat.
Azza Karam dan Joni Lovenduski tidak hanya sekedar melihat pentingnya jumlah
perempuan di parlemen saja, sebaliknya mengalihkan ketitik apa yang sebenarnya dapat
kaum perempuan lakukan diparlemen (bagaimana mereka dapat mempengaruhi), berapa
pun jumlah mereka. Menurut keduanya, perempuan mempelajari aturan main, dan
menggunakan pengetahuan dan pemahaman ini untuk mengangkat isu dan persoalan
perempuan dari dalam di badan pembuat UU (legislatur) dunia.
Azza Karam dan Joni Lovenduski menambahkan bahwa anggota parlemen
perempuan akan melalui tiga tahap untuk mewujudkannya. Langkah pertama yang
dilakukan perempuan anggota parlemen adalah untuk memahami bagaimana bekerjanya
legislator dalam rangka untuk dapat menggunakan pengetahuannya sehingga dapat bekerja
secara lebih efektif. Tahap kedua, yakni dengan mempelajari bagaimana menggunakan
aturan-aturan yang ada, sehingga perempuan dapat meraih peluang untuk ikut serta dalam
posisi dan komite-komite kunci, membuat diri mereka didengar dalam pembahasan dan
debat-debat, dan dapat menggunakan sepenuhnya keahlian dan kemampuan mereka.
Ada tiga kategori kebijakan Negara yang berhubungan dengan perempuan:
a. Kebijakan Negara yang khusus perempuan atau specific gender, yaitu semua kebijakan
Negara yang berhubungan dengan kebutuhan khusus baik perempuan maupun lakilaki. Misalnya kebijakan yang terkait pemenuhan hak reproduksi perempuan.
b. Kebijakan Negara yang berhubungan dengan relasi perempuan dan laki-laki, di
antaranya kebijakan yang mengatur masalah perkawinan dan penceraian. Berbagai
kebijakan tersebut seringkali merugikan perempuan. Misalnya UU Nomor 1 tahun
1974 yang menempatkan perempuan pada posisi yang dirugikan, sepert izin menikah
lebih dari satu kali bagi suami dapat diberikan apabila istri tidak dapat melahirkan
keturunan.

c. Kebijakan Negara yang kita anggap netral namun memiliki dampak yang berbeda
antara laki-laki dan perempuan. Diantaranya kebijakan kesehatan, pendidikan, konflik
dan perdamaian, lapangan kerja, tenaga kerja migran, pertanian termasuk pula
kebijakan ekonomi makro yang termasuk di dalamnya masalah keuangan. Dengan
demikian dalam praktiknya baik kebijakan pembangunan social, pembangunan
ekonomi, maupun pembangunan ekonomi makro dapat berdampak berbeda antara
laki-laki dan perempuan.
Peran perempuan sebagai anggota DPR dalam mengambil keputusan seperti
fungsi legislasi, pengangaran dan pengawasan akan berpengaruh signifikan terhadap arah
perkembangan gerakan perempuan Indonesia. Sebagi contoh, Angka Kematian Ibu (AKI) di
Indonesia masih lebih tinggi dibandingkan dengan Negara Vietnam. Human Development
Report (HDR) tahun 2011 menempatkan Indonesia pada peringkat 124 atau sedikit lebih
baik dari Negara Vietnam dan Kamboja. Namun, Gender Inequality Index (GII) Indonesia
berada pada peringkat 100 dan di bawah GII Vietnam yang berada pada peringkat 48. Dua
dari indicator GII ini adalah AKI dan presentase perempuan yang duduk di parlemen.
Peringkat GII Indonesia dan Vietnam yang demikian menunjukkan bahwa AKI Indonesia
240/100.000 kelahiran sedangkan Vietnam adalah 56/100.000 kelahiran. Sementara
presentase perempuan di parlemen Vietnam adalah 25.8%, sedangkan Indonesia adalah 18%.
Selain itu World Economic Forum pada tahun 2009 mengeluarkan Global Gender
Gap Index (GGI) berdasarkan data Gender Empowerment Measurement (GEM), Gender
Development Index (GDI) dan Human Development Index (HDI) tahun 2007. Apabila kita
lihat situasi Indonesi, maka akan terlihat GGI 0.62. Angka ini diperoleh dari data Indonesia
untuk GEM 0.4, GDI 0.72 dan HDI 0.73. GEM (0.4) mencerminkan kesempatan ekonomi
dan ppolitik perempuan yang cenderung lebih rendah dari GDI (0.72). Hal ini menunjukkan

bahwa sekalipun perempuan mempunyai kapasitas, mereka belum tentu memili kesempatan
yang setara untuk menggunakan kapasitasnya. Meskipun di Indonesia telah menunjukkan
adanya peningkatan kapasitas, pencapaian dalam kaitannya dengan kondisi dan posisi
perempuan di bawah negara-negara lain di Asia Tenggara. Posisi peringkat HDI Indonesia
lebih tinggi dibandingkan Vietnam, namun situasi dan posisi perempuannya masih lebih
rendah terutama dalam hal AKI dan presentase perempuan di parlemen.
Untuk mengatasinya keterbatasan yang ada, berdasarkan penelitian WRI
mengenai Peran Anggota DPR Perempuan dan Proses Pembuatan Kebijakan (RUU Pemilu)
terdapat beberapa strategi yang dijalankan oleh anggota DPR perempuan menghadapi
tantangan-tantangan dalam proses legislasi di DPR sebagai berikut:
a. Pelibatan mitra untuk membantu kerja anggota DPR perempuan berasal dari dalam dan
juga dari luar parlemen. Mitra yang berasal dari dalam DPR adalah para tenaga ahli dan
KPPRI. Sementara mitara yang dari luar DPR adalah partai politik, organisasi massa,
lembaga swadaya masyarakat, lembaga penelitian, media seerta dukungan keluarga.
Bentuk kontribusi terhadap keaktifan anggota DPR adalah jaringan komunikasi,
asupaninformasi dan materi advokasi.
b. Membangun wadah untuk memperjuangkan kepentingan perempuan yaitu Kaukus
Perempuan Parlemen Republik Indonesisa (KPPRI) pada tanggal 19 Juli 2001. KPPRI
dengan keterbatasan yang dimiliki berupaya menghapus ataupun merevisi semua
peraturan perundang-undangan yang bias gender dan mendorong lahirnya undangundang yang sensitive gender.
2.

Sedikitnya keterlibatan perempuan Indonesia pada posisi-posisi strategis dalam


pemerintahan sebagai penentu kebijakan dikarenakan oleh kendala structural dan kendala
kultural. Kendala kultural adalah kendala yang disebabkan oleh budaya dan sistem nilai
yang dianut masyarakat Indonesia. Kendala kultural ini mengakumulasi masyarakat

sedemikian rupa sehingga merasuk dalam sistem sosial secara luas dan mempengaruhi
pandangan dan stigma mengenai peran perempuan. Kendala Struktural adalah kendala
yang disebabkan oleh politisasi peran dan keberadaan perempuan dalam sebuah sistem
kemasyarakatan, dimana posisi perempuan inferior terhadap laki-laki. Seluruh aturan,
mekanisme dan standar dalam sistem dibuat dan diatur oleh laki-laki tanpa melibatkan
perempuan. Sehingga dapat dipastikan dalam sistem ini perempuan akan termaginalisasi.
Selain kedua kendala tersebut, masih banyak kendala lainnya seperti kemiskinan,
rendahnya pendidikan, dan kendala psikologi. Kemiskinan dan pendidikan yang rendah
disebabkan kurangnya akses perempuan untuk mendapatkan hak yang setara dengan lakilaki di sektor perekonomian dan pendidikan. Minimnya akses adalah dampak dari
konstruksi budaya dan sosial terhadap perempuan. Hal ini tidak lepas dari politisasi budaya
patriarki terhadap perempuan. Pengkonstruksian bahwa dunia politik adalah dunianya lakilaki, dan oleh karena itu perempuan tidak akan bertahan bergelut di dalamnya. Konstruksi
budaya dan sosial ini tentu saja bertujuan untuk memetakan secara sepihak kemampuan
laki-laki yang berbeda dengan perempuan.
Kondisi yang berlangsung cukup lama ini, menggiring perempuan pada pilihan
untuk maju bersaing dengan laki-laki demi unjuk kemampuan. Beberapa diantaranya
berhasil namun beberapa yang lain gagal. Kegagalan ini bukan disebabkan oleh
ketidakmampuan perempuan tapi kurangnya dukungan baik dari keluarga, sistem
kelembagaan, kolega, dan juga kendala psikologi. Terkait dengan kendala psikologi, Mulia
mengatakan, bagaimana perempuan dapat meraih kekuasaan jika tak satu pun gagasan
kultural yang dapat mengarahkan mereka. Rambu-rambu kultural tak memberi ruang
kebebasan untuk berkiprah dalam dunia kekuasaan.
Kendala kultural dan struktural melahirkan juga kendala psikologi. Kendala
psikologi menyebabkan perempuan enggan merambah ranah publik terlebih untuk masuk

dalam politik. Dunia yang bagi sebagian perempuan sesuatu yang berada di dalam kendali
laki-laki. Sebagian perempuan lebih merasa nyaman menggeluti pekerjaan-pekerjaan
domestik, ranah yang selama ini dikonstruksi sebagai dunia perempuan. Tidak mudah
meraih kekuasaan bagi perempuan, ada banyak hal yang harus dibuktikan olehnya. Bila
dalam sebuah pertarungan laki-laki hanya perlu menunjukkan kemampuannya maka
perempuan lebih dari itu, ia juga harus menunjukkan eksistensinya, bukan hanya pada lakilaki tapi juga pada kaumnya. Tumbuh di tengah budaya patriarki yang kental, perempuan
butuh energi lebih untuk berjalan setara dengan laki-laki. Karenanya perlu disadari oleh
semua perempuan bahwa kekuasaan bukanlah hal yang datang dengan serta merta tapi
sesuatu yang harus diperjuangkan dan direbut.
Dari eksplorasi yang dilakukan, mayoritas peserta pemilu belum mengerti
pentingnya keterwakilan perempuan di lembaga legislatif. Bagi mereka, tidak masalah
caleg laki-laki atau perempuan asal mau mengerti penderitaan rakyat. Namun, mereka bisa
bersepakat ketika dijelaskan pentingnya perempuan ada dilembaga legislatif, termasuk
untuk memilih calon wakil rakyat perempuan.
Koalisi Perempuan Indonesia memaparkan bahwa kesadaran kritis legislatif
perempuan pada tataran individu dan kelompok legislatif perempuan tidak otomatis
mereka mampu memberikan manfaat positif kepada perempuan sebagai basis
perjuangannya di masyarakat. Faktanya produk kebijakan publik yang dibahas dan
dihasilkan, termasuk alokasi anggaran dan program lebih ditujukan untuk kepentingan
kelompok partai, pribadi dan kelompok, dan justru tidak pro pada perempuan dan anak.
Peran mereka di legislatif tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan para
pemilihnya. Terkait fungsi lainnya, seperti fungsi anggaran dan pengawasan terhadap
pemerintah tidak berjalankan maksimal. Mereka tidak mengabdi kepada kepentingan kaum
perempuan, tetapi kepada kepentingan pemodal dan parpol masing-masing serta egoism

diri sendiri (korupsi, kolusi, nepotism, dll). Hal ini bisa dikaitkan dengan fakta empiris
yang menunjukan target MDGs tahun 2015 terkait penekanan angka kematian ibu dan
anak, indeks IPM, indeks gender masih menjadi persoalan. Sebagai contoh, tahun 1991,
angka kematian ibu melahirkan 390/100 ribu kelahiran, tahun 2007 menjadi 228/100 ribu
kelahiran, namun tahun 2013 mengalami kenaikan menjadi 359/100 ribu kelahiran. Dari
paparan diatas menunjukan bahwa peningkatan jumlah keterwakilan perempuan dalam
legislatif tidak otomatis meningkatkan produk per-UU yang dihasilkan DPR RI menjadi
lebih banyak dan lebih adil gender.
Salah satu penyebab hal diatas dapat terjadi adalah jumlah anggota DPR
perempuan yang sedikit di sutau fraksi, ini mengakibatkan peluang keterpilihan perempuan
untuk terlibat di alat keelengkapan dan kepanitian DPR makin kecil. Pandangan yang
disepakati sesama anggota perempuan belum tentu disetujui oleh fraksi atau partai politik.
Garis fraksi atau partai politik sangat menentukan langkah dan strategi bekerja anggota
DPR perempuan. Sekalipun anggota DPR perempuan memiliki kemampuan potensial dan
kritis, akan tetapi jika lankahnya tidak sesuai dengan instruksi fraksi maka ia bisa
mendapatkan evaluasi salah satunya dengan cara dirotasu dari komisi atau alat
kelengkapannya.
Temuan Women Research Institute (WRI) tahun 2012 juga menunjukan bahwa
kinerja perempuan legislatif belum menunjukan mereka masih terjebak pada peran
proseduran administratif dan kepentingan partai. Jurnal Perempuan (2014) menemukan
bahwa sebagian besar caleg perempuan justru tidak memiliki kapasitas politik yang
memadai dan basis organisasi politik. Pada sisi yang lain, ada kecenderungan media
mempertontonkan beberapa legislatif perempuan yang terjebak dalam praktek korupsi
tanpa menganalisis lebih dalam mengapa mereka cenderung terjebak/dijebak dalam

pusaran korupsi? Sebaliknya media kurang menyoroti atau mempublikasikan prestasi para
perempuan yang memberikan kontribusi yang strategis dalam legislatif.
Pemberitaan yang tidak proporsional ini menciptakan opini publik yang buruk
terhadap legislatif perempuan. Juga berimbas pada pandangan yang jelek pada kiprah
perempuan secara umum di ruang publik, khususnya di legislatif. Pencitraan buruk
tentunya memberikan implikasi pada menurunnya kepercayaan publik terhadap mereka.
Fakta korupsi yang melanda para perempuan legislatif menunjukan bahwa mereka belum
menyadari makna keterwakilannya untuk memperjuangkan kualitas hidup para perempuan
di akar rumput yang seharusnya menjadi subyek perjuangannya di legislatif.
Terkait dengan hasil Pileg 2019, peran perempuan di DPR masih minim. Menurut
peneliti Women Research Institute (WRI), Frisca Anindhita, sebaran perempuan di DPR
memang masih terpusat pada komisi-komisi yang memiliki kedekatan isu dengan
perempuan. Misalnya, Komisi VIII, yang membidangi masalah agama, sosial, dan
pemberdayaan perempuan dan Komisi IX yang membidangi masalah tenaga kerja,
transmigrasi, kependudukan, dan kesehatan. Paling banyak perempuan duduk di Komisi
IX, yakni sebanyak 24 orang, sedangkan paling sedikit di Komisi III (Hukum, HAM, dan
Keamanan), yakni sebanyak 2 orang. (WRI, 2012). Selain itu, para anggota DPR
perempuan masih kurang dipercaya untuk menduduki posisi-posisi sentral di DPR. Hal ini
terlihat pada, masih minimnya anggota DPR perempuan yang ditetapkan sebagai anggota
Alat Kelengkapan DPR. Anggota DPR perempuan hanya ditempatkan di 2 Alat
Kelengkapan, yakni BAKN (Badan Akuntabilitas Keuangan Negara) sebanyak 2 orang,
dan di BURT (Badan Urusan Rumah Tangga), sebanyak 4 orang. Adapun anggota
perempuan yang menjadi ketua di Alat Kelengkapan DPR hanya 1 orang, yakni Sumarjati
Aroso di B.A.K.N.

E. PENUTUP
Peran anggota DPR perempuan dalam hal pembuatan kebijakan adalah mengangkat isu
dan persoalan perempuan dari dalam di badan pembuat UU (legislatur) Indonesia. Serta
membuat dan merevisi kebijakan kebijakan public yang bias gender.
Dengan adanya berbagai kendala dan hambatan yang menghalangi perempuan dalam
ranah politik membuat perempuan menjadi lebih susah untuk duduk mewakili rakyat di kursi
DPR, namun anggota DPR perempuan masih berhasil dalam pembuatan kebijakan public
yang tidak bias gender.

Anda mungkin juga menyukai