Disusun Oleh:
Miftakhul Jannah
6411414001
Nurul Rohmaniyah
6411414010
Lia Cania
6411414018
6411414026
Indonesia. Sekitar 200-300 tahun lalu CHIKV merupakan virus pada hewan primata
di tengah hutan atau savana di Afrika. Satwa primata yang dinilai sebagai pelestari
virus adalah bangsa baboon (Papio sp), Cercopithecus sp. Siklus di hutan diantara
satwa primata dilakukan oleh nyamuk Aedes sp (Hendarwanto,1996).
Cara transmisi bagi chikungunya ini adalah vector-borne yaitu melalui gigitan
nyamuk Aedes sp yang terinfeksi. Transmisi melalui darah berkemungkinan bisa
terjadi dengan satu kasus pernah dilaporkan. CHIKV dikatakan tidak bisa ditularkan
malalui ASI (Staples, J.E., Fischer, M. and Powers, A. M , 2009).
C. Cara Penularan Chikungunya
Virus Chikungunya ditularkan kepada manusia melalui gigitan nyamuk Aedes
Aegypti. Nyamuk lain mungkin bisa berperan sebagai vektor namun perlu penelitian
lebih lanjut. Nyamuk Aedes tersebut dapat mengandung virus Chikungunya pada saat
menggigit manusia yang sedang mengalami viremia, yaitu 2 hari sebelum demam
sampai 5 hari setelah demam timbul. Kemudian virus yang berada di kelenjar liur
berkembang biak dalam waktu 8-10 hari (extrinsic incubation period) sebelum dapat
ditularkan kembali kepada manusia pada saat gigitan berikutnya. Di tubuh manusia,
virus memerlukan waktu masa tunas 4-7 hari (intrinsic incubation period) sebelum
menimbulkan penyakit.
D. Epidemiologi
Virus CHIK telah banyak dilaporkan di hampir semua bagian benua Afrika
seperti yang diperlihatkan oleh derajat prevalensi antibody IgM terhadap virus ini dan
isolasi virus dari nyamuk di negara-negara seperti Pantai Gading, Republik Afrika
Tengah, dan Senegal. Di Asia, wabah CHIK dilaporkan terjadi di daerah urban di
mana Ae. aegypti dan Ae. Albopictus menjadi vektornya. Daerah-daerah endemic
CHIK di Asia dan Asia Tenggara meliputi India, Pakistan, Myanmar, Sri Langka,
Philippines, Indonesia dan Malaysia. Bertambahnya rasa keprihatinan mengenai
penyakit ini adalah karena kecepatan dan luas penyebarannya. Sejumlah kejadian
wabah banyak dilaporkan di beberapa negara. Di India, epidemi yang pertama terjadi
pada tahun 1963 di Calcutta, kemudian menyusul wabah kedua tahun 1973. Tetapi
kemunculannya kembali (re-emergensi) terjadi di India Selatan tahun 2005. Sejak itu
wabah CHIK berkembang luas, mengenai banyak orang dan hingga saat ini jumlah
kasus mencapai sekitar 180.000. Penyebaran penyakit virus ini dilaporkan
kebanyakan di bagian India Selatan dekat Samudera Hindia dan Teluk Bengal,
sedangkan di bagian utara tidak dijumpai adanya kasus CHIK. Meskipun infeksi tidak
sampai menyebabkan kematian, bertambahnya jumlah kasus yang luar biasa
banyaknya sejak tahun 2005 itu telah menimbulkan kepanikan.
Pada 2006, diperkirakan sekitar 1,38 juta orang di sepanjang bagian selatan dan
tengah India menunjukan gejala-gejala CHIK. Insidensi penyakit mungkin lebih
tinggi dari pada yang dilaporkan karena faktor-faktor seperti kesalahan dalam
pengelompokan dan ketidaktepatan penggolongan penyakit. Wabah yang terjadi di
India pada 1963 dan 1973 disebabkan oleh virus jenis (genotipe) Asia, tetapi
epidemic CHIK tahun 2005 yang terjadi di pulau-pulau Samudera Hindia (pulaupulau Reunion, Mayotte, Mauritius, Seychelles) dan yang terjadi di India 2006,
disebabkan oleh virus genotype Afrika Timur. Ada anggapan bahwa terjadinya mutasi
virus, rendahnya derajat imunitas dari penduduk setempat, pengendalian vektor yang
kurang memadai, dan globalisasi dalam masalah perdagangan dan perjalanan (travel),
merupakan faktor yang menyebabkan terjadinya resurgensi infeksi.
Antara bulan Maret dan April 2006, wabah CHIK dilaporkan terjadi di Bagan
Pancor, Perak, Malaysia, mengenai lebih dari 200 orang dan merupakan wabah kedua
yang dilaporkan di Malaysia. Terjadinya wabah di Bagan Pancor ini bertepatan
dengan berjangkitnya wabah CHIK di Samudera Hindia. Analisis filogenetik dari
virus CHIK yang diisolasi dari penderita menunjukkan bahwa galur (strain) Bagan
Pancor mempunyai hubungan erat (closely related) dengan virus CHIK yang diisolasi
pada wabah di Klang tahun 1998. Wabah ini merupakan peristiwa yang pertama
kalinya virus CHIK diisolasi dan dilaporkan menimbulkan gejala-gejala penyakit di
Malaysia. Penelitian-penelitian sebelumnya hanya dapat mendeteksi adanya antibodi
virus CHIK pada populasi di daerah utara dan timur Malaysia yang berbatasan
dengan Thailand di mana diketahui terdapat virus CHIK.
Sebuah sifat yang menonjol dari virus CHIK adalah kemampuannya untuk
menyebabkan wabah yang eksplosif di suatu daerah sebelum virus tersebut
menghilang untuk periode beberapa tahun (sekitar 3-4 tahun). Hal ini berbeda dengan
keadaan virus dengue, meskipun memiliki vektor nyamuk yang sama dengan CHIK
dalam penularannya, yaitu Ae. aegypti dan Ae. Albopictus, virus dengue bersifat
endemik. Virus CHIK juga diketahui ditularkan melalui gigitan nyamuk golongan Ae.
furcifer-taylor yang mencari makanannya dari manusia dan primate. Adanya virus
yang diisolasi dari primata dan hewan vertebrata lain seperti tupai dan kelelawar serta
pada spesies nyamuk zoofilik mendukung eksitensi siklus transmisi silvatik (sylvatic
transmission cycle) di benua Afrika. Keadaan inilah yang mungkin mempertahankan
keberadaan virus di alam bebas pada tahun-tahun interepidemik.
Di Asia, transmisi di daerah urban agaknya terjadi terutama dari Ae. aegypti dan
Ae. albopictus ke manusia. Tidak diketahui apakah di Asia virus berada di alam
bebas. Juga belum ada hewan yang dapat ditentukan secara pasti menjadi reservoir
virus meskipun ada dugaan monyet mungkin menjadi pejamu CHIK. Berbeda dengan
dengue, transmisi transovarial dari virus CHIK di tubuh nyamuk belum dapat
dibuktikan. Perbedaan galur nyamuk Aedes secara geografis berbeda-beda dalam
kerentanannya terhadap infeksi dan dalam hal kemampuannya untuk menyebarkan
virus. Sifat ini mungkin menjadi salah satu faktor di dalam terjadinya endemisitas
virus di suatu daerah. Sampai saat ini sifat episodik dari wabah CHIK masih belum
dapat dijelaskan, namun agaknya tergantung dari banyak faktor di antaranya adalah
kerentanan pejamu (vektor dan manusia) terhadap infeksi, densitas nyamuk yang
tinggi, dan masuknya virus dari daerah endemik lain. Tetapi sebagaimana halnya
dengan arbovirus lainnya, faktor-faktor seperti meningkatnya urbanisasi di banyak
tempat,
pemanasan
global,
dan
intensitas
transportasi,
dapat
mendorong
tertekuk dan berusaha mengurangi dan membatasi gerakan. Artritis ini dapat
bertahan selama beberapa minggu, bulan bahkan ada yang sampai bertahan
beberapa tahun sehingga dapat menyerupai Rheumatoid Arthritis.
3. Nyeri otot
Nyeri otot (fibromyalgia) bisa pada seluruh otot terutama pada otot
penyangga berat badan seperti pada otot bagian leher, daerah bahu, dan
anggota gerak. Kadang - kadang terjadi pembengkakan pada otot sekitar sendi
pergelangan kaki (achilles) atau sekitar mata kaki.
4. Bercak kemerahan (rash) pada kulit
Kemerahan di kulit bisa terjadi pada seluruh tubuh berbentuk makulopapular (viral rash), sentrifugal (mengarah ke bagian anggota gerak, telapak
tangan dan telapak kaki). Bercak kemerahan ini terjadi pada hari pertama
demam, tetapi lebih sering muncul pada hari ke 4 - 5 demam. Lokasi
kemerahan di daerah muka, badan, tangan, dan kaki.
5. Kejang dan penurunan kesadaran
Kejang biasanya pada anak karena demam yang terlalu tinggi, jadi
kemungkinan bukan secara langsung oleh penyakitnya. Kadang-kadang
kejang disertai penurunan kesadaran. Pemeriksaan cairan spinal (cerebro
spinal) tidak ditemukan kelainan biokimia atau jumlah sel.
6. Manifestasi perdarahan
Tidak ditemukan perdarahan pada saat awal perjalanan penyakit
walaupun pernah dilaporkan di India terjadi perdarahan gusi pada 5 anak dari
70 anak yang diobservasi.
7. Gejala lain
Gejala lain yang kadang-kadang dapat timbul adalah kolaps pembuluh
darah kapiler dan pembesaran kelenjar getah bening. Selain itu penderita juga
sering mengalami sakit kepala, mual, muntah, sakit perut (RSPI, 2005).
F. Pencegahan
Mengingat sampai saat ini kematian karena Chikungunya belum pernah
dilaporkan, juga belum ada obat dan vaksin terhadap penyakit ini, maka upaya
tempat
perkembangbiakan
nyamuk
penular
Chikungunya.
Tempat
penampungan air (TPA) untuk keperluan sehari-hari. Tempat penampungan air bukan
untuk keperluan sehari-hari (non-TPA). Tempat penampungan air alamiah.
2. Kimiawi (Larvasidasi)
Cara memberantas jentik dengan menggunakan insektisida pembasmi jentik
(larvasida). Larvasidasi adalah pemberantasan jentik dengan menaburkan bubuk
larvasida. Pemberantasan jentik dengan bahan kimia tersebut untuk wadah yang tidak
dapat dibersihkan, dikuras, juga dianjurkan pada daerah yang sulit air. Bila wadah
telah diberi larvasida maka jangan dikuras selama 2 3 bulan. Kegiatan ini tepat
digunakan apabila surveilans epidemiologi penyakit dan vektor menunjukkan adanya
periode berisiko tinggi dan di lokasi dimana KLB mungkin timbul. Menentukan
waktu dan tempat yang tepat untuk pelaksanaan larvasidasi sangat penting untuk
memaksimalkan efektivitasnya. Terdapat 2 jenis larvasida (insektisida) yang dapat
digunakan pada wadah yang dipakai untuk menampung air bersih (TPA) yakni :
a) Larvasidasi selektif
Larvasidasi selektif adalah kegiatan pemeriksaan tempat penampungan air
(TPA) baik didalam maupun diluar rumah pada seluruh rumah dan bangunan di
desa/kelurahan endemis dan sporadis serta penaburan bubuk larvasida pada TPA yang
ditemukan jentik dan dilaksanakan 4 kali dalam 1 tahun (3 bulan sekali). Pelaksana
larvasidasi adalah kader yang telah dilatih oleh petugas Puskesmas.
Tujuan pelaksanaan larvasidasi selektif adalah sebagai tindakan sweeping hasil
penggerakan masyarakat dalam Pemberantasan Sarang Nyamuk.
b) Larvasidasi massal
Larvasidasi massal adalah penaburan bubuk larvasida secara serentak diseluruh
wilayah/daerah tertentu di semua tempat penampungan air baik terdapat jentik
maupun tidak ada jentik di seluruh rumah/bangunan, termasuk sekolah dan kantorkantor. Kegiatan larvasidasi massal ini dilaksanakan di lokasi terjadinya KLB
Chikungunya.
3. Biologi
Penerapan pengendalian biologis yang ditujukan langsung terhadap jentik
hanya terbatas pada sasaran berskala kecil. Pengendalian dengan cara ini misalnya
dengan memelihara ikan pemakan jentik atau dengan bakteri. Ikan yang biasa dipakai
adalah ikan larvavorus (Gambusia affinis, Poecilia reticulata dan ikan adu), sedang
bakteri yang dinilai efektif untuk pengendalian ini ada 2 spesies yakni bakteri
Bacillus thuringiensis serotipe H-14 (Bt.H-14) dan Bacillus sphaericus (Bs) yang
memproduksi endotoksin.
4. Fisik
Pengendalian secara fisik ini dikenal dengan kegiatan 3 M plus (Menguras,
Menutup, Mengubur) yaitu:
1) Menguras dan menyikat tempat-tempat penampungan air, seperti bak
mandi/wc, drum, dan lain-lain seminggu sekali (M1)
2) Menutup rapat-rapat tempat penampungan air, seperti gentong air/tempayan,
dan lain-lain (M2)
3) Mengubur atau menyingkirkan barang-barang bekas yang dapat menampung
air hujan (M3).
Selain itu ditambah dengan cara lainnya, seperti:
1) Mengganti air vas bunga, tempat minum burung atau tempat-tempat lainnya
yang sejenis seminggu sekali.
2) Memperbaiki saluran dan talang air yang tidak lancar/rusak
3) Menutup lubang-lubang pada potongan bambu/pohon, dan lain-lain (dengan
tanah, dan lain-lain)
4) Memelihara ikan pemakan jentik di kolam/bak-bak penampungan air
5) Memasang kawat kasa
6) Menghindari kebiasaan menggantung pakaian dalam kamar
7) Mengupayakan pencahayaan dan ventilasi ruang yang memadai
8) Menggunakan kelambu
9) Memakai obat yang dapat mencegah gigitan nyamuk
10) Memasang ovitrap
Keseluruhan cara tersebut diatas dikenal dengan istilah dengan 3M Plus.
5. Perlindungan Diri
a) Pakaian Pelindung
Pakaian dapat mengurangi risiko gigitan nyamuk, bila pakaian tersebut cukup
tebal dan longgar, lengan pangang dan celana panjang dengan kaos kaki yang
merupakan daerah gigitan nyamuk. Anak sekolah seharusnya mengenakan pakaian
semacam itu. Baju yang dicelup dengan cairan kimia seperti permethrin efektif
melindungi gigigtan nyamuk.
G. Penatalaksanaan
Sampai saat ini belum ada vaksin atau antiviral yang spesifik untuk CHIK.
Pengobatan masih bersifat simtomatik seperti istirahat, pemberian cairan untuk
mempertahankan keseimbangan cairan, obat-obat untuk menurunkan panas badan
(antipiretik). Istirahat dianjurkan selama terdapat gejala sendi akut. Setelah lewat
masa akut, dapat diberikan aspirin untuk nyeri sendi. Pada arthritis yang tidak dapat
diobati dengan aspirin, klorokuin fosfat (250 mg/hari) memberikan hasil yang cukup
menjanjikan. Beberapa studi menunjukkan bahwa klorokuin fosfat memiliki efek
antiviral terhadap virus CHIK, namun belum konklusif. Masih dibutuhkan banyak
penelitian sebelum dapat dipastikan mengenai aktivitas antiviral tersebut.