Anda di halaman 1dari 27

BAB I.

PENDAHULUAN

Gangguan kesehatan pada golongan lansia terkait erat dengan proses degenerasi yang
tidak dapat dihindari. Seluruh sistem, cepat atau lambat akan mengalami degenerasi. Manifestasi
klinik, laboratorik dan radiologik bergantung pada organ dan/atau sistem yang terkena.
Perubahan yang normal dalam bentuk dan fungsi otak yang sudah tua harus dibedakan dari
perubahan yang disebabkan oleh penyakit yang secara abnormal mengintensifkan sejumlah
proses penuaan. Salah satu manifestasi klinik yang khas adalah timbulnya demensia. Penyakit
semacam ini sering dicirikan sebagai pelemahan fungsi kognitif atau sebagai demensia.
Memang, demensia dapat terjadi pada umur berapa saja, bergantung pada faktor penyebabnya,
namun demikian demensia sering terjadi pada lansia.
Demensia merupakan sindroma yang ditandai oleh berbagai gangguan fungsi kognitif
tanpa gangguan kesadaran. Fungsi kognitif yang dapat dipengaruhi pada demensia adalah
inteligensia umum, belajar dan ingatan, bahasa, memecahkan masalah, orientasi, persepsi,
perhatian, konsentrasi, pertimbangan dan kemampuan sosial. Disamping itu, suatu diagnosis
demensia menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders edisi keempat (DSMIV) mengharuskan bahwa gejala menyebabkan gangguan fungsi sosial atau pekerjaan yang berat
dan merupakan suatu penurunan dari tingkat fungsi sebelumnya.
Dari aspek medik, demensia merupakan masalah yang tak kalah rumitnya dengan
masalah yang terdapat pada penyakit kronis lainnya (stroke, diabetes mellitus, hipertensi,
keganasan). Ilmu kedokteran dan kesehatan mengemban misi untuk meningkatkan kualitas hidup
manusia. Seseorang yang mengalami demensia pasti akan mengalami penurunan kualitas hidup.
Keberadaannya dalam lingkungan keluarga dan masyarakat menjadi beban bagi lingkungannya,
tidak dapat mandiri lagi.
Keberhasilan pembangunan kesehatan dalam upaya menurunkan angka kematian umum
dan bayi, sangatlah membantu peningkatan umur harapan hidup (UHH). Pada tahun 2000 umur
harapan hidup antara 65-70 tahun meningkat menjadi 9,37 persen dari tahun sebelumnya. Dalam
istilah demografi, penduduk Indonesia sedang bergerak kearah struktur penduduk yang semakin
menua (ageing population). Peningkatan umur harapan hidup akan menambah jumlah lansia

yang akan berdampak pada pergeseran pola penyakit dari penyakit infeksi ke penyakit
degeneratif atau neoplasma. Peningkatan ini juga akan menambah populasi penderita demensia.
Menurut WHO, penduduk lansia dibagi atas; usia pertengahan (middle age) : 45-69
tahun, usia lanjut (elderly) : 60-74 tahun, tua (old) : 75-90 tahun, dan usia sangat tua (very old) :
lebih dari 90 tahun.
Diantara orang Amerika yang berusia 65 tahun, kira-kira lima persen menderita demensia
berat dan 15 persen menderita demensia ringan. Diantara yang berusia 80 tahun, kira-kira 20
persen menderita demensia berat. Dari semua pasien dengan demensia, 50 sampai 60 persen
menderita demensia Alzheimer, yang merupakan tipe demensia paling sering. Kira-kira lima
persen dari semua orang yang mencapai usia 65 tahun menderita demensia Alzheimer,
dibandingkan dengan 15 sampai 25 persen dari semua orang yang berusia 85 tahun atau lebih.
Faktor risiko untuk perkembangan demensia tipe Alzheimer adalah wanita, mempunyai sanak
saudara tingkat pertama dengan gangguan tersebut, dan mempunyai riwayat cedera kepala.
Tipe demensia yang paling sering selain Alzheimer adalah demensia vaskular, yaitu
demensia yang secara kausatif berhubungan dengan penyakit serebrovaskular. Demensia
vaskular berjumlah 15-30 persen dari semua kasus demensia. Demensia vaskular paling sering
ditemukan pada orang yang berusia antara 60-70 tahun dan lebih sering pada laki-laki
dibandingkan wanita. Hipertensi merupakan predisposisi seseorang terhadap penyakit.
Pada tahun 1970 Tomlinson dkk, melalui penelitian klinis-patologik, mendapatkan bahwa
bila demensia disebabkan oleh penyakit vaskular, hal ini biasanya terjadi karena adanya infark di
otak, dan hal ini melahirkan konsep demensia multi-infark. Untuk menegakkan diagnosis
demensia juga dibutuhkan adanya gangguan memori sebagai suatu sarat. Hal ini dapat
dibenarkan pada penyakit Alzheimer, karena gangguan memori merupakan gejala dini. Namun
pada demensia vaskular sarat ini kurang tepat.

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Definisi
Demensia ialah suatu sindrom yang terdiri dari gejala-gejala gangguan daya kognitif
global yang tidak disertai gangguan derajat kesadaran, namun bergandengan dengan
perubahan tabiat yang dapat berkembang secara mendadak atau sedikit demi sedikit pada tiap
orang dari semua golongan usia (Mardjono,2009)
Demensia adalah sindrom neurodegenerative yang timbul karena adanya kelainan yang
bersifat kronis dan progresif disertai dengan gangguan fungsi luhur multiple seperti kalkulasi,
kapasitas belajar, bahasa, dan mengambil keputusan. Kesadaran pada demensia tidak
terganggu. Gangguan fungsi kognitif biasanya disertai dengan perburukan kontrol emosi,
perilaku, dan motivasi (WHO, 2011)
Definisi lain mengenai demensia adalah hilangnya fungsi intelektual seperti daya ingat,
pembelajaran, penalaran, pemecahan masalah, dan pemikiran abstrak, sedangkan fungsi
vegetatif (diluar kemauan) masih tetap utuh (Smeltzer, 2001)
Di dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders edisi keempat (DSMIV) demensia dicirikan oleh adanya defisit kognitif multipleks (termasuk gangguan memori)
yang secara langsung disebabkan oleh gangguan kondisi medik secara umum, bahan-bahan
tertentu (obat, narkotika, toksin), atau berbagai faktor etiologi. Demensia dapat progresif,
statik atau dapat pula mengalami remisi. Reversibilitas demensia merupakan fungsi patologi
yang mendasarinya serta bergantung pula pada ketersediaan dan kecepatan terapi yang efektif.
2.2 Epidemiologi

Demensia sebenarnya adalah penyakit penuaan. Di antara orang Amerika yang berusia 65
tahun, kira-kira 5% menderita demensia berat, dan 15% menderita demensia ringan. Di antara
orang Amerika yang berusia 80 tahun, kira-kira 20% menderita demensia berat (Kaplan,1997)
Dari semua pasien dengan demensia, 50 60% menderita demensia tipe Alzheimer, yang
merupakan tipe demensia yang paling sering. Kira-kira 5% dari semua orang yang mencapai

usia 65 tahun menderita demensia tipe Alzheimer, dibanding dengan 15 25% dari semua
orang yang berusia 85 tahun atau lebih (Kaplan,1997)
Tipe demensia yang paling sering kedua adalah demensia vaskuler, yang berjumlah kirakira 15 30% dari semua kasus demensia. Demensia vaskuler paling sering ditemukan pada
orang yang berusia antara 60 70 tahun dan lebih sering pada laki-laki dibanding wanita
(Kaplan,1997)
Masing-masing 1 5% kasus adalah demensia yang berhubungan dengan trauma kepala,
berhubungan dengan alkohol, dan berbagai demensia yang berhubungan dengan pergerakan
(misalnya penyakit Huntington dan penyakit Parkinson (Kaplan,1997)

2.3 Etiologi
a. Penyebab utama dari penyakit demensia adalah penyakit alzheimer, yang penyebabnya
sendiri belum diketahui secara pasti, namun diduga penyakit Alzheimer disebabkan
karena adanya kelainan faktor genetik atau adanya kelainan gen tertentu. Pada penyakit
alzheimer, beberapa bagian otak mengalami kemunduran, sehingga terjadi kerusakan sel
dan berkurangnya respon terhadap bahan kimia yang menyalurkan sinyal di dalam otak.
Di dalam otak ditemukan jaringan abnormal (disebut plak senilis dan serabut saraf yang
semrawut) dan protein abnormal, yang bisa terlihat pada otopsi.
b.

Penyebab kedua dari Demensia yaitu, serangan stroke yang berturut-turut. Stroke tunggal
yang ukurannya kecil dan menyebabkan kelemahan yang ringan atau kelemahan yang
timbul secara perlahan. Stroke kecil ini secara bertahap menyebabkan kerusakan jaringan
otak, daerah otak yang mengalami kerusakan akibat tersumbatnya aliran darah yang
disebut dengan infark. Demensia yang disebabkan oleh stroke kecil disebut demensia
multi-infark. Sebagian penderitanya memiliki tekanan darah tinggi atau kencing manis,
yang keduanya menyebabkan kerusakan pembuluh darah di otak.

c.

Penyebab demensia menurut Nugroho (2008) dapat digolongkan menjadi 3 golongan


besar :

1) Sindroma demensia dengan penyakit yang etiologi dasarnya tidak dikenal kelainan
yaitu : terdapat pada tingkat subseluler atau secara biokimiawi pada sistem enzim, atau
pada metabolisme
2) Sindroma demensia dengan etiologi yang dikenal tetapi belum dapat diobati, penyebab
utama dalam golongan ini diantaranya :Penyakit degenerasi spino-serebelar, Subakut
leuko-ensefalitis sklerotik van Bogaert, Khorea Huntington
3) Sindoma demensia dengan etiologi penyakit yang dapat diobati, dalam golongan ini
diantaranya: Penyakit cerebro kardiofaskuler, penyakit- penyakit metabolik, Gangguan
nutrisi, Akibat intoksikasi menahun
2.4 Klasifikasi
1. Demensia dari segi anatomi (Guberman A,1994)
a. Demensia kortikal
b. Demensia subkortikal
Ciri
Penampilan
Aktivitas
Sikap
Cara berjalan

Demensia Kortikal
Siaga, sehat
Normal
Lurus, tegak
Normal

Demensia Subkortikal
Abnormal, lemah
Lamban
Bongkok, distonik
Ataksia, festinasi, seolah

Gerakan
Output verbal

Normal
Normal

berdansa
Tremor, khorea, diskinesia
Disatria, hipofonik, volum

Berbahasa

Abnormal, parafasia,

suara lemah
Normal

Kognisi

anomia
Abnormal (tidak mampu

Tak terpelihara (dilapidated)

Memori

memanipulasi pengetahuan)
Abnormal (gangguan

Pelupa (gangguan retrieval)

Kemampuan visuo-spasial

belajar)
Abnormal (gangguan

Tidak cekatan (gangguan

Keadaan emosi

konstruksi)
Abnormal (tak

gerakan)
Abnormal (kurang dorongan

memperdulikan, tak

drive)

menyadari)
Penyakit Alzheimer, Pick

Progressive Supranuclear

Contoh

Palsy, Parkinson, Penyakit

Wilson, Huntington.
2. Dari etiologi dan perjalanan
a. Demensia yang reversibel (Gilroy,1992)
1) Obat-obatan
Anti-kolinergik (mis. Atropin dan sejenisnya); anti-konvulsan (mis. Phenytoin,
Barbiturat); anti-hipertensi (Clonidine, Methyldopa, Propanolol); psikotropik
(Haloperidol, Phenothiazine); dll (mis. Quinidine, Bromide, Disulfiram).
2) Gangguan intracranial
Insufisiensi cerebrovascular; meningitis atau encephalitis chronic, neurosyphilis,
epilepsy, tumor, abscess, hematoma subdural, multiple sclerosis, normal pressure
hydrocephalus
3) Keadaan defisiensi
Vitamin B12, defisiensi folat, pellagra (niacin).
4) Gangguan collagen-vascular
Systemic lupus erythematosus, temporal arteritis, sarcoidosis, syndrome Behcet.
5) Intoksikasi eksogen
Alcohol, carbon monoxide, organophosphates, toluene, trichloroethylene, carbon
disulfide, timbal, mercury, arsenic, thallium, manganese, nitrobenzene, anilines,
bromide, hydrocarbons.
b. Demensia irreversibel (Guberman,1994)
1) Primer dan degenerative

Penyakit Alzheimer

Penyakit Pick

Penyakit Huntington

Penyakit Parkinson

Degenerasi olivopontocerebellar

Progressive Supranuclear Palsy

Degenerasi cortical-basal ganglionic

2) Infeksi

Penyakit Creutzfeldt-Jakob

Sub-acute sclerosing panencephalitis

Progressive multifocal leukoencephalopathy


3) Metabolik

Metachromatic leukodyntrophy

Penyakit Kuf

Gangliosidoses

2.5 Patofisiologi
Secara makroskopik, perubahan otak pada Alzheimer Disease melibatkan kerusakan
berat neuron korteks dan hipokampus, serta penimbunan amiloid dalam pembuluh darah
intrakranial. Perubahan morfologis terdiri dari dua cirri khas lesi yang pada akhirnya
berkembang menjadi degenerasi soma (badan) dan / atau akson dan dendrit neuron. Satutan
dalesi pada Alzheimer Diseasea dalah kekusutan neuro fibrilaris, yaitu struktur intraselular
yang berisi serat kusut, melintir, yang sebagian besar terdiri dari protein yang
disebut protein tau.
Dalam system saraf pusat (SSP), protein tau sebagian besar telah dipelajari sebagai
penghambat pembentuk struktural yang terikat dan menstabilkan mikrotubulus, dan
merupakan komponen penting dari sitoskleton (kerangka penyangga interna) sel neuronal.
Di dalam neuron-neuron, mikrotubulus membentuk struktur yang membawa zat-zat
makanan dan molekul lain dari badan sel menuju ujung akson, sehingga terbentuk jembatan
penghubung dengan neuron lain. Pada neuron seseorang yang terserang Alzheimer Disease,
terjadi fosforilasi abnormal dari protein tau, secara kimia menyebabkan perubahan
padaprotein tau sehingga tidak dapat terikat pada mikrotubulus secara bersamasama. Protein tau yang abnormal terpuntir masuk ke filament heliks ganda yang
sekelilingnya masing-masing terluka. Dengan kolapsnya system transpor internal, hubungan
interselular adalah yang pertama kali tidak berfungsi, dan akhirnya diikuti oleh kematian sel.
Pembentukan neuron yang kusut dan rusaknya neuron berkembang bersamaan dengan
berkembangnya Alzheimer Disease. (Ishihara dkk, 1999)
Lesi khas lain pada penyakit Alzheimer adalah plaksenilis, terutama terdiri dari beta
amiloid (A-beta) yang terbentuk dalam cairan jaringan di sekeliling neuron bukan dalam sel
neuronal. A-beta adalah fragmen protein besar disebut protein prosekusor amiloid (APP), yang
dalam keadaan normal melekat pada membran neuronal dan berperan dalam pertumbuhan dan

pertahanan neuron. APP terbagi menjadi fragmen-fragmen oleh protease, dan salah satu
fragmennya adalah A-beta lengket yang berkembang menjadi gumpalan yang dapat terlarut.
Gumpalan tersebut akhirnya tercampur dengan bagian dari neuron dansel-sel glia (khususnya
mikroglia dan astrosit). Setelah beberapa waktu, campuran A-beta membeku menjadi fibril-fibril
yang membentuk plak yang matang, padat, tidak dapat larut,dan diyakini beracun bagi neuron
yang utuh (Medscape, 2000). Kemungkinan lain adalah bahwa A-beta menghasilkan radikal
bebas (suatu tipe molekul yang mudah bereaksi dengan molekul lain, menimbukan perubahan
kimia beracun yang merusak sel-sel lain). Walaupun kekusutan dan plak tidak khas pada AD,
distribusinya menyebar dan melimpah dalam otak yang merupakan ciri khas dari demensia tipe
ini.
A amyloid bersifat neuro toksik in vitro dan mengakibatkan kematian sel neuron, pada
tikus percobaan peningkatan percobaan amyloid precursor protein mengakibatkan neuritic
plaque yang sangat mirip ditemukan paga manusia yang mengidap Alzhaimers Disease.
Kelompok kelompok tikus ini lambat proses belajarnya dan memperlihatkan defek pada memori,
sejalan dengan peningkatan jumlah amiloid.
Apolipoprotein E4 genotype, suatu factor resiko utama pada penyakit Alzhaimer ,
menimbulkan percepatan penimbunan beta amiloid. Sebaliknya peningkatan anti-amyloid
antibodies pada orang dengan Alzhaimer terkesan meringankan gejala penyakitnya. Sebagai
akibat penimbunan beta amiloid terjadi pembentukan neurofibrilarry tangels, oksidasi dan
peroksidasi lipid , eksitotosisitas glutamatergic, inflamasi, dan aktivasi kematian sel secara
apoptosis. Proses ini disebut amyloid cascade. Hipotesa cascade amyloid merupakan dasr upaya
pengobatan . riset ditunjukkan pada pencarian bahan-bahan yang bersifatanti amiloi, antioksidan,
obat anti inflamasi serta zat yang membatasi fosfolarisasi tau protein, zat anti apoptotic dan
glutamanergic-N-methyl-D-aspartate-reseptor antagonist
Adanya gangguan vaskuler terutama bila gangguan ini memperburuk aliran darah
ke otak berpotensi memperburuk demensia. Penyakit seperti stroke, diabetes , hipertensi,
dan dislipidemiaumumnya mempercepat terjadinya atherosklerosisyang mengurangi
pasokan darah ke organ yang disuplainya. Semua penyakit ini memerlukan penanganan
optimal . telah dikatakan sekitar 25% pasien stroke juga menderita Demensia.
(Bahrudin,2013)

2.6 Manifestasi Klinis


Demensia berbeda dengan proses penuaan normal atau yang biasa kita sebut dengan
pikun. Kondisi Dimensia berproses, memakan waktu kurang lebih 10 hingga 20 tahun dan
biasanya penderita mengalami kondisi akut seperti lupa pada hal paling penting sekalipun.
Sementara pada pikun biasa, atau orang yang memang memilki sifat pelupa, biasanya mereka
tetap mengingat hal-hal penting, dan hal-hal detail luput dari perhatian mereka. Ada beberapa
gejala yang menandakan seseorang demensia adalah (Harrison,2008) :
1. Gangguan daya ingat. Penderita demensia akan menanyakan hal yang sama terusmenerus dan lupa akan hal-hal sederhana seperti lupa menaruh barang, lupa tanggal, atau
lupa nama orang terdekat.
2. Sulit fokus. Orang yang terkena demensia akan sulit memfokuskan dirinya dalam
melakukan aktivitas sehari-hari padahal biasanya ia lancar melakukannya. Misalkan
kesulitan menghitung uang, memasak, mengetik kalkulator, memakai baju, dan lain-lain.7
3. Sulit melakukan kegiatan familiar. Penderita demensia mengalami kesulitan dalam
melakukan kegiatan familiar seperti menyendokkan makanan ke mulut, menyapu, atau
membaca koran.
4. Disorientasi. Penderita merasa bingung terhadap waktu, di mana ia sedang berada, dan
tidak tahu jalan pulang ke rumahnya.
5. Kesulitan memahami visuo spasial, contohnya sulit membaca, mengukur jarak, dan tidak
dapat membedakan nominal uang. Singkatnya penderita Demensia tidak dapat
memahami perbedaan yang ditunjulkan dalam visual.
6. Gangguan berkomunikasi seperti sulit menemukan pada padanan kata yang tepat,
memilih kata-kata yang terlampau sederhana,bahkan sulit mengucapkan sesuatu.7
7. Menaruh barang tidak pada tempatnya, salah membuat keputusan, menarik diri dari
pergaulan, perubahan perilaku dan kepribadian.

2.7 Klasifikasi Menurut Perjalanan Penyakit


2.7.1 Demensia Alzheimer
a. Definisi
Saat ini, penyakit Alzheimer merupakan salah satu penyakit yang sering terjadi pada
populasi lansia dan menduduki peringkat ke 4 sebagai penyebab kamatian. Lima puluh
sampai enam puluh persen penyebab demensia adalah penyakit Alzheimer. Alzhaimer

adalah kondisi dimana sel syaraf pada otak mati sehingga membuat signal dari otak
tidak dapat di transmisikan sebagaimana mestinya. Penderita Alzheimer mengalami
gangguan memori, kemampuan membuat keputusan dan juga penurunan proses
berpikir (Bahrudin,2013)
b. Etiologi
Faktor-faktor risiko penyakit Alzheimer antara lain :
Usia : Kebanyakan penderita berusia 65 tahun ke atas.
Faktor genetic : Mutasi gen protein precursor amiloid, gen presenilin 1 dan 2, serta

apolipoprotein E 4.
Faktor lingkungan seperti riwayat cedera kepala berat
Penyakit metabolic : obesitas, hiperlipedemi, dan diabetes mellitus.

c. Manifestasi Klinis
Manifestasi Klinis penyakit Alzheimer terdiri atas manifestasi gangguan kognitif dan
gangguan psikiatrik serta perilaku. Gangguan kognitif awal yang terjadi adalah
gangguan memori jangka pendek. Gangguan ini akan diikuti dengan kesulitan
berbahasa, disorientasi visuospasial dan waktu, serta inatensi. Penderita mengalami
ketergantungan dalam melakukan aktivitas sehari-harinya seiring perjalanan penyakit,
akan muncul gangguan psikiatrik dan perilaku seperti depresi, kecemasan, halusinasi,
waham, dan perilaku agitasi. (Widjaya, 2008)
Gambaran klinis Alzheimer berdasarkan stadiumnya :
1) Stadium I
Berlangsung 2-4 tahun disebut stadium amnestik dengan gejala gangguan
memori, berhitung dan aktifitas spontan menurun. Fungsi memori yang terganggu
adalah memori baru atau lupa hal baru yang dialami.
2) Stadium II
Berlangsung selama 2-10 tahun, dan disebut stadium demensia. Gejalanya :
Disorientasi
Gangguan bahasa (afasia)
Penderita mudah bingung
Penurunan fungsi memori lebih berat sehingga penderita tak dapat melakukan
kegiatan sampai selesai, tidak mengenal anggota keluarganya tidak ingat sudah
melakukan suatu tindakan sehingga mengulanginya lagi. Dan ada gangguan
visuospasial, menyebabkan penderita mudah tersesat di lingkungannya, depresi
berat prevalensinya 15-20 %.
3) Stadium III

Stadium ini dicapai setelah penyakit berlangsung 6-12 tahun. Gejala klinisnya

antara lain :
Penderita menjadi vegetative
Tidak bergerak dan membisu
Daya intelektual serta memori memburuk sehingga tidak mengenal
keluarganya sendiri
Tidak bisa mengendalikan buang air besar/ kecil
Kegiatan sehari-hari membutuhkan bantuan orang lain
Kematian terjadi akibat infeksi atau trauma

d. Keadaan neurotransmitter di Alzheimers disease


Keadaan otak pada penyakit Alzheimer menunjukkan hilangnya neuron kolinergik di
basal otak depan, penurunan tingkat asetilkolin (Ach), dan penurunan asetilkolin
sintesis enzim choline acetyltransferase (CHAT) di korteks serebral. Model hewan
menunjukkan bahwa Ach memainkan peran penting dalam pemroses informasi dan
memori. Meskipun sistem neurotransmitter lainnya (noradrenalin, serotonin,
somatostatin dan peptida lainnya) juga kekurangan, penurunan kognitif berkorelasi
terbaik dengan hilangnya masukan kolinergik. Acetylcholinesterase inhibitor (tacrine)
dan agonis reseptor Ach, termasuk nikotin, telah digunakan untuk mengobati
Alzheimer. Keberhasilan dari pendekatan ini menunjukkan bahwa, selain kekurangan
Ach, ada perubahan mendasar lainnya yang berkontribusi terhadap disfungsi kognitif.
e. Diagnosis
Kriteria diagnostik penyakit Alzheimer menurut DSM-IV( Diagnostic and Statistical
Manual of Mental Disorders, Fourth revision.2
1. Perkembangan difisit kognitif multiple terdiri dari
a. Gangguan memori (gangguan kemampuan dalam mempelajari informasi baru
atau mengingat informasi yang sudah dipelajari)
b. Salah satu (atau lebih) gangguan kognitif berikut ini :
Afasia (gangguan berbahasa).
Apraksia (Gangguan kemampuan untuk melakukan aktivitas motorik dalam
keadaan fungsi otot yang normal).
Agnosia (kegagalan untuk mengenal atau menamai objek).
Gangguan fungsi berpikir abstrak (misalnya merencanakan, berorganisasi).
2. Gangguan kognitif Pada Kriteria A1 dan A2 menyebabkan gangguan yang berat
pada fungsi sosial dan pekerjaan pederita.

3. Kelainan ini ditandai dengan proses yang bertahap dan penurunan fungsi kognitif
yang berkelanjutan.
4. Gangguan kognitif kriteria A1 dan A2 tidak disebabkan hal-hal berikut :
a. Kelainan SSP lain yang menyebabkan gangguan memori yang progresif
(Misalnya gangguan peredaran darah otak, Parkinson, dan tumor otak).
b. Kelainan sistemik yang dapat menyebabkan demensia (misalnya
hipotiroidisme, defisiensi vitamin B12 dan asam folat, defisiensi niasin,
hiperkalemi, neurosifilis dan infeksi HIV).
5. Kelainan pasien tidak disebabkan oleh delirium.
6. Kelainan tidak disebabkan oleh kelainan aksis 1 misalnya gangguan depresi dan
skizofrenia).
2.7.2 Demensia Vaskuler
a. Definisi
Demensia vascular ialah sindrom demensia yang disebabkan disfungsi otak akibat
penyakit serebrovaskular atau stroke. Demensia vascular merupakan penyebab
demensia kedua tersering setelah demensia Alzheimer. (Widjaya,2008)
b. Epidemiologi
Sepertiga penderita pascastroke yang masih hidup didiagnosis demensia vascular.
c. Etiologi
Stroke, penyakit infeksi SSP kronis (meningitis, sifilis, dan HIV), penggunaan alcohol
kronis, pajanan kronis terhadap logam (keracunan merkuri, arsenic, dan aluminium),
trauma kepala berulang pada petinju professional, penggunaan obat-obatan jangka
panjang, obat-obatan sedative, dan analgetik.
d.

Patofisiologi
Mekanisme demensia vaskular :
Degenerasi yang disebabkan faktor genetic, peradangan, atau perubahan biokimia.
Aterosklerosis, infark thalamus, ganglia basalis, jaras serebral, dan area di

sekitarnya.
Trauma, lesi di serebral terutama di lobus frontalis dan temporalis, korpus kalosum,

dan mesensefalon.
Kompresi, TIK meningkat, dan hidrosefalus kronis (NPH
Sebagai fungsi diensefalon dan lobus temporalis lebih dominan untuk memori jangka
panjang dibandingkan dengan korteks lainnya. Kegagalan dalam tes fungsi verbal
(afasia) berhubungan dengan gangguan di hemisfer serebral dominan, khususnya di

bagian perisilvian dari lobus frontalis, temporalis, dan parientalis. Kehilangan


kemampuan membaca dan berhintung berhubungan dengan lesi di hemisfer serebri
dominan bagian posterior. Gangguan menggambar dan membangun bentuk sederhana
dan kompleks dengan balok, tongkat, serta mengatur gambar, biasanya terjadi bila
terdapat lesi di lobus parientalis hemisfer serebri nondominan.
e. Fisiologi Demensia vaskuler
Lokasi Infark. Infark di lobus temporalis menyebabkan gangguan memori, lesi di
lobus parientalis dapat mengakibatkan gangguan orientasi spasial, apraksi, agnosia
serta gangguan fungsi luhur lain. Depresi lebih sering terjadi pada lesi di hemisfer

kiri daripada di hemisfer kanan.


Jumlah lesi. Bila seseorang telah mempunyai lesi di otak dan kemudian lesinya
bertambah karena ia mengalami stroke berulang, maka deficit yang timbul bukan

aditif melainkan berlipat ganda.


Ukuran lesi. Gangguan mental cenderung terjadi bila volume infark melebihi 50ml.
Pada demensia dengan infark yang letaknya strategis, lesi kecil dapat
mengakibatkan gangguan kognitif yang berat.

f. Manifestasi Klinis
Diagnosis demensia vaskular menurut DSM-IV adalah menggunakan kriteria
sebagai berikut.
a. Adanya defisit kognitif multipleks yang dicirikan oleh gangguan memori dan satu
atau lebih dari gangguan kognitif berikut ini:
1)
2)

Afasia (gangguan berbahasa)


Apraksia (gangguan kemampuan untuk mengerjakan aktivitas motorik,

3)

sementara fungsi mototik normal).


Agnosia (tidak dapat mengenal atau mengidentifikasi suatu benda

4)

walaupun fungsi sensoriknya normal).


Gangguan dalam fungsi eksekutif (merancang, mengorganisasikan, daya
abstraksi, dan membuat urutan).

b. Defisit kognitif pada kriteria a) yang menyebabkan gangguan fungsi sosial dan
okupasional yang jelas.
c. Tanda dan gejala neurologik fokal (refleks fisiologik meningkat, refleks patologik
positif, paralisis pseudobulbar, gangguan langkah, kelumpuhan anggota gerak) atau

bukti laboratorium dan radiologik yang membuktikan adanya gangguan peredaran


darah otak (GPOD), seperti infark multipleks yang melibatkan korteks dan
subkorteks, yang dapat menjelaskan kaitannya dengan munculnya gangguan.
d. Defisit yang ada tidak terjadi selama berlangsungnya delirium.
Dengan menggunakan kriteria diagnostik yang berbeda didapatkan prevalensi
demensia vaskular yang berbeda, dimana prevalensi tertinggi didapatkan bila
menggunakan kriteria DSM-IV dan terendah bila menggunakan kriteria NINDSAIREN. Consortium of Canadian Centers for Clinical Cognitive Research
menyatakan bahwa tidak ada kriteria diagnostik yang lebih baik dari berbagai
kriteria yang ada.(12) DSM-IV mempunyai sensitivitas yang tinggi tetapi
spesifitasnya rendah. ADDTC penggunaanya lebih terbatas pada demensia vaskular
jenis iskemik sedangkan NINDS-AIREN dapat digunakan untuk semua mekanisme
demensia vaskular (hipoksia, iskemik, atau perdarahan). Kriteria ADDTC dan
NINDS-AIREN mempunyai tiga tingkat kepastian (probable, possible, definite),
memerlukan hubungan waktu antara stroke dan demensia serta bukti morfologi
adanya stroke.
g. Diagnosis
Untuk menentukan demensia diperlukan kriteria yang mencakup :
Kemampuan intelektual menurun sedemikian rupa sehingga mengganggu pekerjaan
dan lingkungan
Defisit kognitif selalu melibatkan memori, biasanya didapatkan gangguan berpikir

abstrak, menganalisis masalah, gangguan pertimbangan, afasia, apraksia, kesulitan


konstruksional, dan perubahan kepribadian.
Kesadaran masih baik.

Pedoman diagnostik untuk menentukan demensia vaskular antara lain :


Terdapat gejala demensia seperti di atas.
Hendaklah fungsi kognitif biasanya tidak merata (mungkin terdapat hilangnya
daya ingat, gangguan daya berpikir, gejala neurologis daya ingat, gangguan daya
berpikir, gejala neurologis fokal). Titik (insight) dan daya nilai (judgment) secara

relative tetap baik.


Awitan yang mendadak atau deteriorasi yang bertahap, disertai gejala neurologis
fokal, meningkatkan kemungkinan diagnosis demensia vaskule.

Pedoman diagnostic untuk demensia vaskuler awitan akut : Biasanya terjadi


secara cepat sesudah serangkaian stroke akibat thrombosis serebrovaskuler,
embolisme, atau perdarahan. Pada kasus yang jarang, satu infark yang besar dapat
menjadi penyebab.
Tabel : Skor Iskemik Hachinski

Riwayat dan Gejala


Awitan mendadak
Deteriorasi bertahap
Perjalanan Klinis fluktuatif
Kebingungan malam hari
Kepribadian relative tidak terganggu
Depresi
Keluhan somatic
Emosi labil
Riwayat hipertensi
Riwayat penyakit serebrovaskuler
Arteriosklerosis penyerta
Keluhan neurologi fokal
Gejala neurologi fokal

Skor
2
1
2
1
1
1
1
1
1
2
1
2
2

Skor iskemik Hachinski berguna untuk membedakan demensia Alzheimer dengan


demensia vaskuler

Bila skor 4 : demensia Alzheimer


Bila skor 7 : demensia Vaskuler

2.8 Pemeriksaan Fisik dan Penunjang


2.8.1 Pemeriksaan fisik
Kriteria Diagnostik DSM-IV perlu ditunjang dengan pemeriksaan fisik (pemeriksaan
fisik umum dan pemeriksaan neurologis). Pemeriksaan fisik umum berguna untuk
mendeteksi kelainan-kelainan metabolit yang mungkin timbul pada penderita tersebut.
Tanda-tanda regresi sel-sel saraf otak yang ditunjukkan dengan refleks-refleks berikut :
a. Refleks memegang (grasp refleks)
Jari telunjuk dan tengah si pemeriksa diletakkan pada telapak tangan si penderita.
Refleks memegang adalah positif, apabila jari si pemeriksa dipegang oleh tangan
penderita.

b. Refleks mencucur (suck refleks)


Refleks menetek adalah positif, apabila bibir penderita dicucur secara reflektorik
seolah-olah mau menetek, jika bibirnya tersentuh oleh sesuatu, misalnya sebatang
pensil.

c. Snout reflex
Pada penderita dengan demensia tiap kali bibir atas atau bawah diketuk m.orbikularis
oris berkontraksi.

d. Refleks glabela
Orang dengan demensia akan memejamkan matanya setiap kali glabelanya diketuk.
Pada orang sehat, pemejaman mata pada ketukan berkali-kali pada glabela timbul dua
tiga kali saja, dan selanjutnya mata tidak akan memejam lagi.

e. Refleks palmomental
Pada penderita dengan demensia, goresan pada kulit tenar membangkitkan kontraksi
otot mentalis ipsilateral.

2.8.2 Cognitive Performance Scale (CPS)


Pemeriksaan CPS ini pertama kali diperkenalkan oleh Morris pada tahun 1994,
dengan lima bentuk pengukuran. Dimana bentuk-bentuk pengukuran tersebut meliputi
status koma (comatose status), kemampuan dalam membuat keputusan (decision
making), kemampuan memori (short term memory), tingkat pengertian (making self
understood), dan makan (eating). Tiap kategori dibagi dalam tujuh grup, dimana skala nol
(0) dinyatakan intact sampai skala enam (6) dinyatakan sebagai gangguan fungsi kognitif
yang sangat berat (very severe impairment). Penelitian yang ada menunjukkan bahwa
CPS memberikan penilaian fungsi kognitif yang akurat dan penuh arti pada populasi
dalam suatu institusi (Hartmaier dkk, 1995)

2.8.3

. Pemeriksaa MMSE (Mini Mental State Examination)


Pemeriksaan fisik ditunjang dengan pemeriksaan MMSE yang berguna untuk
mengetahui kemampuan orientasi, registrasi, perhatian, daya ingat, kemampuan bahasa,
dan berhintung
Tabel. Pemeriksaan Status Mental Mini (MMSE)
NILAI

NO

TES

MAKSIMA
L

ORIENTASI
1
Sekarang (tahun), (musim), (Bulan), (tanggal), Hari apa ?
2
Kita berada dimana? (Negara), (propinsi), (kota), (rumah sakit),
(lantai/kamar)
REGISTRASI

5
5

Sebutkan 3 buah nama benda (apel, meja, atau koin), setiap benda 1 detik,

pasien disuruh mengulangi ketiga nama benda tadi. Nilai 1 untuk setiap
nama benda yang benar. Ulangi sampai pasien dapat menyebut dengan
benar dan catat jumlah pengulangan.
ATENSI DAN KALKULUS
4
Kurangi 100 dengan 7. Nilai 1 untuk tiap jawaban yang benar. Hentikan

setelah 5 jawaban. Atau disuruh mengeja terbalik kata WAHYU (Nilai


diberi pada huruf yang benar sebelum kesalahan ; misalnya uyahw = 2
nilai.
MENGINGAT KEMBALI (RECALL)
5
Pasien disuruh menyebut kembali 3 nama benda di atas
BAHASA
6
Pasien disuruh menyebut nama benda yang ditunjukkan (pensil, buku)
7
Pasien disuruh mengulangi kata-kata: namun, tanpa, bila.
8
Pasien disuruh melakukan perintah : Ambil kertas ini dengan tangan

3
2
1
3

anda!, lipatlah menjadi dua dan letakkan di lantai!.


Pasien disuruh membaca dan melakukan perintah Pejamkanlah mata

10
11

anda
Pasien disuruh menulis dengan spontan
Pasien disuruh menggambar bentuk di bawah ini

1
1

Total

30

Skor

2.8.4

Nilai 24-30
Niali 17-23
Nilai 0-16

Clock Drawing Test

: Normal
: Gangguan kognitif Probable
: Gangguan kognitif definit

2.8.5

Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang lain yang berguna untuk membantu diagnosis Penyakit
Alzheimer antara lain :
a. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan darah lengkap
Pemeriksaan kadar vitamin B12 dan asam folat.
Pemeriksaan elektrolit
Pemeriksaan glukosa
Pemeriksaan fungsi ginjal ( ureum dan kretinin)
Pemeriksaan enzim hati
Pemeriksaan fungsi tiroid (TSH)
Pemeriksaan serologis HIV dan sifilis.
Pemeriksaan analisis gas darah.
b. Pemeriksaan radiologi
MRI atau Ct-Scan otak alah pemeriksaan radiologi yang utama. Pada penderita
Alzheimer, MRI atau CT-scan akan menunjukkan atrofi serebral atau kortikal

yang difus.
SPECT scan. Pemeriksaan ini akan menunjukkan penurunan perfusi jaringan di
daerah Temporoparietalis bilateral yang biasanya terjadi pada penderita

Alzheimer.
PET Scan .Pemeriksaan ini menunjukkan penurunan aktivitas metabolic di daerah
temporoparietalis bilateral.
Indikasi MRI/CT Scan pada penderita demensia
Awitan terjadi pada usia < 65 tahun.
Manifestasi Klinis timbul < 2 tahun
Tanda atau gejala neurologi asimetris.
Gambaran klinis Hidrosefalus tekanan normal {NPH (Normal pressure
hydrocephalus)}

c. EEG

Pemeriksaan ini menunjukkan penurunan aktivitas alfa dan peningkatan aktivitas teta
yang menyeluruh.
d. Pungsi lumbal
Pemeriksaan ini dilakukan untuk menyingkirkan kelainan cairan cerebrospinal,
seperti meningitis kronis, meningoensefalitis, atau vaskulitis serebral.
2.9 Diagnosa Banding
Diagnosis difokuskan pada hal-hal berikut ini:
a. Demensia Tipe Alzheimer lawan Demensia vaskuler
Secara klasik, demensia vaskuler dibedakan dengan demensia tipe Alzheimer dengan
adanya perburukan penurunan status mental yang menyertai penyakit serebrovaskuler
seiring berjalannya waktu. Meskipun hal tersebut adalah khas, kemerosotan yang
bertahap tersebut tidak secara nyata ditemui pada seluruh kasus. Gejala neurologis fokal
lebih sering ditemui pada demensia vaskuler daripada demensia tipe Alzheimer, dimana
hal tersebut merupakan patokan adanya faktor risiko penyakit serebrovaskuler.
b. Demensia Vaskuler lawan Transient Ishemic Attacks
Transient ischemic attacks (TIA) adalah suatu episode singkat dari disfungsi neurologis
fokal yang terjadi selama kurang dari 24 jam (biasanya 5 hingga 15 menit). Meskipun
berbagai mekanisme dapat mungkin terjadi, episode TIA biasanya disebabkan oleh
mikroemboli dari lesi arteri intrakranial yang mengakibatkan terjadinya iskemia otak
sementara, dan gejala tersebut biasanya menghilang tanpa perubahan patologis jaringan
parenkim. Sekitar sepertiga pasien dengan TIA yang tidak mendapatkan terapi mengalami
infark serebri di kemudian hari, dengan demikian pengenalan adanya TIA merupakan
strategi klinis penting untuk mencegah infark serebri. Dokter harus membedakan antara
episode TIA yang mengenai sistem vertebrobasiler dan sistem karotis. Secara umum,
gejala penyakit sistem vertebrobasiler mencerminkan adanya gangguan fungsional baik
pada batang otak maupun lobus oksipital, sedangkan distribusi sistem karotis
mencerminkan gejala-gejala gangguan penglihatan unilateral atau kelainan hemisferik.
Terapi antikoagulan, dengan obat-obat antipletelet agregasi seperti aspirin dan bedah
reksonstruksi vaskuler ekstra dan intrakranial efektif untuk menurunkan risiko infark
serebri pada pasien dengan TIA.
c. Delirium

Membedakan antara delirium dan demensia dapat lebih sulit daripada yang ditunjukkan
oleh klasifikasi berdasarkan DSM IV. Secara umum, delirium dibedakan dengan
demensia oleh awitan yang cepat, durasi yang singkat, fluktuasi gangguan kognitif dalam
perjalanannya, eksaserbasi gejala yang bersifat nokturnal, gangguan siklus tidur yang
bermakna, dan gangguan perhatian dan persepsi yang menonjol.

Tabel . Perbedaan Klinis Delirium dan Demensia.


Gambaran
Riwayat
Awal
Sebab

Delirium
Penyakit akut
Cepat
Terdapat penyakit lain (infeksi,

Demensia
Penyakit Kronik
Lambat laun
Biasanya penyakit otak

dehidrasi, guna/putus obat)

kronik (spt Alzheimer,

Lamanya
Perjalanan sakit
Taraf Kesadaran

Ber-hari/-minggu
Naik turun
Naik turun, terganggu periodik

demensia vaskular)
Ber-bulan/-tahun
Kronik Progresif
Normal intak pada awalnya

Orientasi
Afek
Alam pikiran
Bahasa daya ingat

Cemas dan iritabel


Sering terganggu
Lamban. Inkoheren,

Labil tapi tak cemas


Turun jumlahnya
Sulit menemukan istilah

inadekuat, angka pendek terganggu tepat Jangka pendek dan


Persepsi
Psikomotor
Tidur
Atensi dan kesadaran
Reversibilitas
Penanganan
d. Depresi

nyata
Halusinasi (visual)

panjang terganggu
Halusinasi jarang terjadi

Retardasi, agitasi, campuran

kecuali sundowning
Normal
Sedikit terganggu siklus

Terganggu siklus tidurnya


Amat terganggu
Sering reversible
Segera

tidurnya
Sedikit terganggu
Umumnya tak reversibel
Perlu tapi tak segera

Beberapa pasien dengan depresi memiliki gejala gangguan fungsi kognitif yang sukar
dibedakan dengan gejala pada demensia. Gambaran klinis kadang-kadang menyerupai
psuedodemensia, meskipun istilah disfungsi kognitif terkait depresi (depression-related
cognitive dysfunction) lebih disukai dan lebih dapat menggambarkan secara klinis. Pasien
dengan disfungsi kognitif terkait depresi secara umum memiliki gejala-gejala depresi
yang menyolok, lebih menyadari akan gejala-gejala yang mereka alami daripada pasien
dengan demensia serta sering memiliki riwayat episode depresi.
e. Skizofrenia
Meskipun skizofrenia dapat dikaitkan dengan kerusakan fungsi intelektual yang didapat
(acquired), gejalanya lebih ringan daripada gejala yang terkait dengan gejala-gejala
psikosis dan gangguan pikiran seperti yang terdapat pada demensia.
f. Proses penuaan yang normal
Proses penuaan yang normal dikaitkan dengan penurunan berbagai fungsi kognitif yang
signifikan, akan tetapi masalah-masalah memori atau daya ingat yang ringan dapat terjadi
sebagai bagian yang normal dari proses penuaan. Gejala yang normal ini terkadang
dikaitkan dengan gangguan memori terkait usia, yang dibedakan dengan demensia oleh
ringannya derajat gangguan memori dan karena pada proses penuaan gangguan memori
tersebut tidak secara signifikan mempengaruhi perilaku sosial dan okupasional pasien.
2.10 Farmakoterapi demensia
2.10.1 Medikamentosa
Penatalaksanaan untuk penderita Alzheimer mencakup terapi simtomatik dan
rehabilitatif. Sasaran terapi simtomatik adalah mengurangi gejala kognitif, perilaku dan
psikiatrik.
Tabel : Jenis, dosis, dan efek samping obat-obat demensia.
Nama Obat
Donepezil

Golongan
Penghambat

Indikasi
Dosis
DA ringan Dosis awal 5 mg/hr bila perlu,

Efek Samping
Mual, muntah,

Kolinesteras

sedang

diare, insomnia

e
Galantamine Penghambat

setelah 4-6 minggu menjadi

10mg/hr.
DA ringan Dosis awal 8 mg/hr; setiap

kolinesterase sedang

bulan dosis dinaikkan 8 mg/hr


hingga dosis maksimal 24
mg/hr.

Mual, muntah,
diare, anoreksia

Rivastigmin

Penghambat

kolinesterase sedang

Memantine

DA ringan Dosis awal 2x1,5mg/hr; setiap

Mual, muntah,

bulan dinaikkan 2x1,5mg/hr

pusing, diare,

hingga dosis maksimal 2x6

anoreksia
Pusing, nyeri

Penghambat

DA

mg/hr.
Dosis awal 5mg/hr; setelah 1

reseptor

sedang

minggu , dosis dinaikkan

kepala,

NMDA

berat

menjadi 2x5 mg/hr dan

konstipasi

seterusnya hingga dosis


maksimal 2x10 mg/hr

Tabel : Jenis, dosis dan efek samping pengobatan untuk gangguan Psikiatrik dan perilaku
pada demensia.
Depresi
Nama Obat Dosis
Efek Samping
Sitalopram
10-40mg/hr
Mual, mengatuk, nyeri kepala, tremor, dan disfungsi seksual
Esitalopram 5-20 mg/hr
Insomnia, diare, mual, mulut kering, dan mengantuk
Sertralin
25-100mg/hr
Mual, diare, mengantuk, mulut kering, dan disfungsi seksual
Fluoksetin
10-40mg/hr
Mual, diare, mengantuk, insomnia, tremor, dan ansietas
Venlaflaksin 37,5-225mg/hr Nyeri kepala, mual, anoreksia, insomnia, dan mulut kering
Duloksetin
30-60mg/hr
Penurunan nafsu makan, mual, mengantuk, dan insomnia
Agitasi, ansietas dan perilaku obsesif
Quetiapin
25-300mg/hr
Mengantuk, pusing, mulut kering, konstipasi, dyspepsia, dan
Olanzapin

2,5-10mg/hr

peningkatan berat badan.


Peningkatan berat badan, mulut kering, peningkatan nafsu

Risperidon

0,5-1mg 3x/hr

makan, pusing, mengantuk, dan tremor


Mengantuk, tremor, insomnia, pandangan kabur, pusing,

20-80 mg/hr

nyeri kepala, mual, dan peningkatan berat badan.


Kelelahan, mual, interval QT memanjang, pusing, diare, dan

Divalproex

125-500 mg

gejala ekstrapiramidal.
Mengantuk, kelemahan, diare, konstipasi, dyspepsia, depresi,

Gabapentin

2x/hr
100-300 mg

ansietas, dan tremor.


Konstipasi,dyspepsia, kelemahan, hipertensi, anoreksia,

Alprazolam

3x/hr
0,25-1mg

vertigo, pneumonia, peningkatan kadar kretinin


Sedasi, disartria, inkoordinasi, gangguan ingatan

Lorazepam

3x/hr
0,5-2mg 3x/hr

Kelelahan, mual, inkoordinasi, konstipasi, muntah, disfungsi

Ziprasidon

seksual
Insomnia
Zolpidem

5-10mg malam Diare, mengantuk

Trezodon

hari
25-100 mg

Pusing, nyeri kepala, mulut kering, konstipasi.

malam hari
Terapi dengan menggunakan pendekatan lain
Obat-obatan lain telah diuji untuk meningkatkan aktivitas kognitif termasuk
penguat metabolisme serebral umum, penghambat kanal kalsium, dan agen serotonergik.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa slegilin (suatu penghambat monoamine
oksidase tipe B), dapat memperlambat perkembangan penyakit ini.
Terapi pengganti Estrogen dapat menginduksi risiko penurunan fungsi kognitif
pada wanita pasca menopause, walau demikian masih diperlukan penelitian lebih lanjut
mengenai hal tersebut. Terapi komplemen dan alternatif menggunakan ginkgo biloba dan
fitoterapi lainnya bertujuan untuk melihat efek positif terhadap fungsi kognisi. Laporan
mengenai penggunaan obatantiinflamasi nonsteroid (OAINS) memiliki efek lebih rendah
terhadap perkembangan penyakit Alzheimer. Vitamin E tidak menunjukkan manfaat
dalam pencegahan penyakit.
2.10.2 Terapi psikososial
Kemerosotan status mental memiliki makna yang signifikan pada pasien dengan
demensia. Keinginan untuk melanjutkan hidup tergantung pada memori. Memori jangka
pendek hilang sebelum hilangnya memori jangka panjang pada kebanyakan kasus
demensia, dan banyak pasien biasanya mengalami distres akibat memikirkan bagaimana
mereka menggunakan lagi fungsi memorinya disamping memikirkan penyakit yang
sedang dialaminya. Identitas pasien menjadi pudar seiring perjalanan penyakitnya, dan
mereka hanya dapat sedikit dan semakin sedikit menggunakan daya ingatnya. Reaksi
emosional bervariasi mulai dari depresi hingga kecemasan yang berat dan teror
katastrofik yang berakar dari kesadaran bahwa pemahaman akan dirinya (sense of self)
menghilang.
Pasien biasanya akan mendapatkan manfaat dari psikoterapi suportif dan
edukatif sehingga mereka dapat memahami perjalanan dan sifat alamiah dari penyakit
yang dideritanya. Mereka juga bisa mendapatkan dukungan dalam kesedihannya dan

penerimaan akan perburukan disabilitas serta perhatian akan masalah-masalah harga


dirinya. Banyak fungsi yang masih utuh dapat dimaksimalkan dengan membantu pasien
mengidentifikasi aktivitas yang masih dapat dikerjakannya. Suatu pendekatan
psikodinamik terhadap defek fungsi ego dan keterbatasan fungsi kognitif juga dapat
bermanfaat. Dokter dapat membantu pasien untuk menemukan cara berdamai dengan
defek fungsi ego, seperti menyimpan kalender untuk pasien dengan masalah orientasi,
membuat jadwal untuk membantu menata struktur aktivitasnya, serta membuat
catatan untuk masalah-masalah daya ingat.
Intervensi psikodinamik dengan melibatkan keluarga pasien dapat sangat
membantu. Hal tersebut membantu pasien untuk melawan perasaan bersalah, kesedihan,
kemarahan, dan keputusasaan karena ia merasa perlahan-lahan dijauhi oleh keluarganya.
Pasien alzhaimer membutuhkan caregiver untuk membantu pasien penderita
Alzhaimer. Cargiver memiliki beberapa tugas yang harus dilakukan yaitu :
1.
Emotional support, pemberian saran
2.
Asisten dalam pekerjaan dalam rumah tangga
3.
Perawatan diri
4.
Mengatakan keuangan
5.
Membuat keputusan tentang perawatan dan berhubungan langsung dengan
6.

pelayanan kesehatan formal


Asisten pengaturan financial
(Brody dan Schonover 1986)

2.11 Prognosis
Dari pemeriksaan klinis 42 penderita Alzheimer menunjukkan bahwa nilai
prognostiktergantung pada 3 faktor yaitu :
Derajat beratnya penyakit
Variabilitas gambaran klinis
Perbedaan individual seperti usia, keluarga demensia dan jenis kelamin
Ketiga faktor ini diuji secara statistik, ternyata faktor pertama yang paling
mempengaruhi prognostik penderita Alzheimer, Pasien dengan penyakit Alzheimer :

Mempunyai angka harapan hidup rata-rata 4-10 tahun sesudah diagnosis


Biasanya meninggal dunia akibat infeksi sekunder.

2.12 Pencegahan
Jaga agar pikiran selalu aktif. Seperti teka-teki dan permainan kata, belajar bahasa,
bermain alat music, membaca, menulis, melukis atau menggambar.

Aktif secara fisik dan sosial. Hal ini dapat menunda mulainya demensia dan juga

mengurangi gejala.
Kejarlah pendidikan. Para peneliti berpendapat bahwa pendidikan dapat membantu
seseorang mengembangkan jaringan sel saraf otak yang kuat yang mengkompensasi

kerusakan sel saraf yang disebabkan oleh penyakit Alzheimer.


Menurunkan kadar kolesterol, tekanan darah dan mengendalikan diabetes adalah upaya

untuk mengurangi faktor resiko pada demensia vaskular.


Pola makan yang sehat. Studi menunjukan bahwa makanan yang kaya buah-buahan,
sayuran dan omega-3 asam lemak, dapat memiliki efek perlindungan dan menurunkan
resiko demensia. (Widjaya,2008)

BAB III. KESIMPULAN


Demensia ialah suatu sindrom yang terdiri dari gejala-gejala gangguan daya kognitif
global yang tidak disertai gangguan derajat kesadaran, namun bergandengan dengan perubahan
tabiat yang dapat berkembang secara mendadak atau sedikit demi sedikit pada tiap orang dari
semua golongan usia (Mardjono,2009)
Demensia adalah sindrom neurodegenerative yang timbul karena adanya kelainan yang
bersifat kronis dan progresif disertai dengan gangguan fungsi luhur multiple seperti kalkulasi,
kapasitas belajar, bahasa, dan mengambil keputusan. Kesadaran pada demensia tidak terganggu.
Gangguan fungsi kognitif biasanya disertai dengan perburukan kontrol emosi, perilaku, dan
motivasi (WHO, 2011)
Demensia disebabkan oleh bermacam-macam penyebab. Memperhatikan faktor penyebab
tadi, maka ada beberapa jenis demensia yang dapat ditolong dengan mengobati penyebabnya
walaupun kadang-kadang tidak mempunyai hasil sempurna. Disamping itu ada jenis demensia
yang sampai saat ini belum ada obatnya, ialah demensia pada Creutzfeldt-Jakob dan AIDS.
Sementara itu, untuk demensia Alzheimer belum ada obat yang benar-benar manjur.

Diagnosis

demensia

ditegakkan

berdasarkan

pemenuhan

kriteria

yang

telah

ditetapkan/disepakati dalam DSM-IV. Untuk itu diperlukan kehati-hatian dalam melakukan


pemeriksaan. Penentuan faktor etiologi merupakan hal yang sangat esensial oleh karena
mempunyai nilai prognostik.
Penatalaksanaan demensia secara menyeluruh melibatkan seluruh anggota keluarga
terdekat. Dengan demikian kepada anggota keluarga perlu diberikan penyuluhan agar penderita
dapat dirawat dengan sebaik-baiknya.

Anda mungkin juga menyukai