PENDAHULUAN
Gangguan kesehatan pada golongan lansia terkait erat dengan proses degenerasi yang
tidak dapat dihindari. Seluruh sistem, cepat atau lambat akan mengalami degenerasi. Manifestasi
klinik, laboratorik dan radiologik bergantung pada organ dan/atau sistem yang terkena.
Perubahan yang normal dalam bentuk dan fungsi otak yang sudah tua harus dibedakan dari
perubahan yang disebabkan oleh penyakit yang secara abnormal mengintensifkan sejumlah
proses penuaan. Salah satu manifestasi klinik yang khas adalah timbulnya demensia. Penyakit
semacam ini sering dicirikan sebagai pelemahan fungsi kognitif atau sebagai demensia.
Memang, demensia dapat terjadi pada umur berapa saja, bergantung pada faktor penyebabnya,
namun demikian demensia sering terjadi pada lansia.
Demensia merupakan sindroma yang ditandai oleh berbagai gangguan fungsi kognitif
tanpa gangguan kesadaran. Fungsi kognitif yang dapat dipengaruhi pada demensia adalah
inteligensia umum, belajar dan ingatan, bahasa, memecahkan masalah, orientasi, persepsi,
perhatian, konsentrasi, pertimbangan dan kemampuan sosial. Disamping itu, suatu diagnosis
demensia menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders edisi keempat (DSMIV) mengharuskan bahwa gejala menyebabkan gangguan fungsi sosial atau pekerjaan yang berat
dan merupakan suatu penurunan dari tingkat fungsi sebelumnya.
Dari aspek medik, demensia merupakan masalah yang tak kalah rumitnya dengan
masalah yang terdapat pada penyakit kronis lainnya (stroke, diabetes mellitus, hipertensi,
keganasan). Ilmu kedokteran dan kesehatan mengemban misi untuk meningkatkan kualitas hidup
manusia. Seseorang yang mengalami demensia pasti akan mengalami penurunan kualitas hidup.
Keberadaannya dalam lingkungan keluarga dan masyarakat menjadi beban bagi lingkungannya,
tidak dapat mandiri lagi.
Keberhasilan pembangunan kesehatan dalam upaya menurunkan angka kematian umum
dan bayi, sangatlah membantu peningkatan umur harapan hidup (UHH). Pada tahun 2000 umur
harapan hidup antara 65-70 tahun meningkat menjadi 9,37 persen dari tahun sebelumnya. Dalam
istilah demografi, penduduk Indonesia sedang bergerak kearah struktur penduduk yang semakin
menua (ageing population). Peningkatan umur harapan hidup akan menambah jumlah lansia
yang akan berdampak pada pergeseran pola penyakit dari penyakit infeksi ke penyakit
degeneratif atau neoplasma. Peningkatan ini juga akan menambah populasi penderita demensia.
Menurut WHO, penduduk lansia dibagi atas; usia pertengahan (middle age) : 45-69
tahun, usia lanjut (elderly) : 60-74 tahun, tua (old) : 75-90 tahun, dan usia sangat tua (very old) :
lebih dari 90 tahun.
Diantara orang Amerika yang berusia 65 tahun, kira-kira lima persen menderita demensia
berat dan 15 persen menderita demensia ringan. Diantara yang berusia 80 tahun, kira-kira 20
persen menderita demensia berat. Dari semua pasien dengan demensia, 50 sampai 60 persen
menderita demensia Alzheimer, yang merupakan tipe demensia paling sering. Kira-kira lima
persen dari semua orang yang mencapai usia 65 tahun menderita demensia Alzheimer,
dibandingkan dengan 15 sampai 25 persen dari semua orang yang berusia 85 tahun atau lebih.
Faktor risiko untuk perkembangan demensia tipe Alzheimer adalah wanita, mempunyai sanak
saudara tingkat pertama dengan gangguan tersebut, dan mempunyai riwayat cedera kepala.
Tipe demensia yang paling sering selain Alzheimer adalah demensia vaskular, yaitu
demensia yang secara kausatif berhubungan dengan penyakit serebrovaskular. Demensia
vaskular berjumlah 15-30 persen dari semua kasus demensia. Demensia vaskular paling sering
ditemukan pada orang yang berusia antara 60-70 tahun dan lebih sering pada laki-laki
dibandingkan wanita. Hipertensi merupakan predisposisi seseorang terhadap penyakit.
Pada tahun 1970 Tomlinson dkk, melalui penelitian klinis-patologik, mendapatkan bahwa
bila demensia disebabkan oleh penyakit vaskular, hal ini biasanya terjadi karena adanya infark di
otak, dan hal ini melahirkan konsep demensia multi-infark. Untuk menegakkan diagnosis
demensia juga dibutuhkan adanya gangguan memori sebagai suatu sarat. Hal ini dapat
dibenarkan pada penyakit Alzheimer, karena gangguan memori merupakan gejala dini. Namun
pada demensia vaskular sarat ini kurang tepat.
Demensia sebenarnya adalah penyakit penuaan. Di antara orang Amerika yang berusia 65
tahun, kira-kira 5% menderita demensia berat, dan 15% menderita demensia ringan. Di antara
orang Amerika yang berusia 80 tahun, kira-kira 20% menderita demensia berat (Kaplan,1997)
Dari semua pasien dengan demensia, 50 60% menderita demensia tipe Alzheimer, yang
merupakan tipe demensia yang paling sering. Kira-kira 5% dari semua orang yang mencapai
usia 65 tahun menderita demensia tipe Alzheimer, dibanding dengan 15 25% dari semua
orang yang berusia 85 tahun atau lebih (Kaplan,1997)
Tipe demensia yang paling sering kedua adalah demensia vaskuler, yang berjumlah kirakira 15 30% dari semua kasus demensia. Demensia vaskuler paling sering ditemukan pada
orang yang berusia antara 60 70 tahun dan lebih sering pada laki-laki dibanding wanita
(Kaplan,1997)
Masing-masing 1 5% kasus adalah demensia yang berhubungan dengan trauma kepala,
berhubungan dengan alkohol, dan berbagai demensia yang berhubungan dengan pergerakan
(misalnya penyakit Huntington dan penyakit Parkinson (Kaplan,1997)
2.3 Etiologi
a. Penyebab utama dari penyakit demensia adalah penyakit alzheimer, yang penyebabnya
sendiri belum diketahui secara pasti, namun diduga penyakit Alzheimer disebabkan
karena adanya kelainan faktor genetik atau adanya kelainan gen tertentu. Pada penyakit
alzheimer, beberapa bagian otak mengalami kemunduran, sehingga terjadi kerusakan sel
dan berkurangnya respon terhadap bahan kimia yang menyalurkan sinyal di dalam otak.
Di dalam otak ditemukan jaringan abnormal (disebut plak senilis dan serabut saraf yang
semrawut) dan protein abnormal, yang bisa terlihat pada otopsi.
b.
Penyebab kedua dari Demensia yaitu, serangan stroke yang berturut-turut. Stroke tunggal
yang ukurannya kecil dan menyebabkan kelemahan yang ringan atau kelemahan yang
timbul secara perlahan. Stroke kecil ini secara bertahap menyebabkan kerusakan jaringan
otak, daerah otak yang mengalami kerusakan akibat tersumbatnya aliran darah yang
disebut dengan infark. Demensia yang disebabkan oleh stroke kecil disebut demensia
multi-infark. Sebagian penderitanya memiliki tekanan darah tinggi atau kencing manis,
yang keduanya menyebabkan kerusakan pembuluh darah di otak.
c.
1) Sindroma demensia dengan penyakit yang etiologi dasarnya tidak dikenal kelainan
yaitu : terdapat pada tingkat subseluler atau secara biokimiawi pada sistem enzim, atau
pada metabolisme
2) Sindroma demensia dengan etiologi yang dikenal tetapi belum dapat diobati, penyebab
utama dalam golongan ini diantaranya :Penyakit degenerasi spino-serebelar, Subakut
leuko-ensefalitis sklerotik van Bogaert, Khorea Huntington
3) Sindoma demensia dengan etiologi penyakit yang dapat diobati, dalam golongan ini
diantaranya: Penyakit cerebro kardiofaskuler, penyakit- penyakit metabolik, Gangguan
nutrisi, Akibat intoksikasi menahun
2.4 Klasifikasi
1. Demensia dari segi anatomi (Guberman A,1994)
a. Demensia kortikal
b. Demensia subkortikal
Ciri
Penampilan
Aktivitas
Sikap
Cara berjalan
Demensia Kortikal
Siaga, sehat
Normal
Lurus, tegak
Normal
Demensia Subkortikal
Abnormal, lemah
Lamban
Bongkok, distonik
Ataksia, festinasi, seolah
Gerakan
Output verbal
Normal
Normal
berdansa
Tremor, khorea, diskinesia
Disatria, hipofonik, volum
Berbahasa
Abnormal, parafasia,
suara lemah
Normal
Kognisi
anomia
Abnormal (tidak mampu
Memori
memanipulasi pengetahuan)
Abnormal (gangguan
Kemampuan visuo-spasial
belajar)
Abnormal (gangguan
Keadaan emosi
konstruksi)
Abnormal (tak
gerakan)
Abnormal (kurang dorongan
memperdulikan, tak
drive)
menyadari)
Penyakit Alzheimer, Pick
Progressive Supranuclear
Contoh
Wilson, Huntington.
2. Dari etiologi dan perjalanan
a. Demensia yang reversibel (Gilroy,1992)
1) Obat-obatan
Anti-kolinergik (mis. Atropin dan sejenisnya); anti-konvulsan (mis. Phenytoin,
Barbiturat); anti-hipertensi (Clonidine, Methyldopa, Propanolol); psikotropik
(Haloperidol, Phenothiazine); dll (mis. Quinidine, Bromide, Disulfiram).
2) Gangguan intracranial
Insufisiensi cerebrovascular; meningitis atau encephalitis chronic, neurosyphilis,
epilepsy, tumor, abscess, hematoma subdural, multiple sclerosis, normal pressure
hydrocephalus
3) Keadaan defisiensi
Vitamin B12, defisiensi folat, pellagra (niacin).
4) Gangguan collagen-vascular
Systemic lupus erythematosus, temporal arteritis, sarcoidosis, syndrome Behcet.
5) Intoksikasi eksogen
Alcohol, carbon monoxide, organophosphates, toluene, trichloroethylene, carbon
disulfide, timbal, mercury, arsenic, thallium, manganese, nitrobenzene, anilines,
bromide, hydrocarbons.
b. Demensia irreversibel (Guberman,1994)
1) Primer dan degenerative
Penyakit Alzheimer
Penyakit Pick
Penyakit Huntington
Penyakit Parkinson
Degenerasi olivopontocerebellar
2) Infeksi
Penyakit Creutzfeldt-Jakob
Metachromatic leukodyntrophy
Penyakit Kuf
Gangliosidoses
2.5 Patofisiologi
Secara makroskopik, perubahan otak pada Alzheimer Disease melibatkan kerusakan
berat neuron korteks dan hipokampus, serta penimbunan amiloid dalam pembuluh darah
intrakranial. Perubahan morfologis terdiri dari dua cirri khas lesi yang pada akhirnya
berkembang menjadi degenerasi soma (badan) dan / atau akson dan dendrit neuron. Satutan
dalesi pada Alzheimer Diseasea dalah kekusutan neuro fibrilaris, yaitu struktur intraselular
yang berisi serat kusut, melintir, yang sebagian besar terdiri dari protein yang
disebut protein tau.
Dalam system saraf pusat (SSP), protein tau sebagian besar telah dipelajari sebagai
penghambat pembentuk struktural yang terikat dan menstabilkan mikrotubulus, dan
merupakan komponen penting dari sitoskleton (kerangka penyangga interna) sel neuronal.
Di dalam neuron-neuron, mikrotubulus membentuk struktur yang membawa zat-zat
makanan dan molekul lain dari badan sel menuju ujung akson, sehingga terbentuk jembatan
penghubung dengan neuron lain. Pada neuron seseorang yang terserang Alzheimer Disease,
terjadi fosforilasi abnormal dari protein tau, secara kimia menyebabkan perubahan
padaprotein tau sehingga tidak dapat terikat pada mikrotubulus secara bersamasama. Protein tau yang abnormal terpuntir masuk ke filament heliks ganda yang
sekelilingnya masing-masing terluka. Dengan kolapsnya system transpor internal, hubungan
interselular adalah yang pertama kali tidak berfungsi, dan akhirnya diikuti oleh kematian sel.
Pembentukan neuron yang kusut dan rusaknya neuron berkembang bersamaan dengan
berkembangnya Alzheimer Disease. (Ishihara dkk, 1999)
Lesi khas lain pada penyakit Alzheimer adalah plaksenilis, terutama terdiri dari beta
amiloid (A-beta) yang terbentuk dalam cairan jaringan di sekeliling neuron bukan dalam sel
neuronal. A-beta adalah fragmen protein besar disebut protein prosekusor amiloid (APP), yang
dalam keadaan normal melekat pada membran neuronal dan berperan dalam pertumbuhan dan
pertahanan neuron. APP terbagi menjadi fragmen-fragmen oleh protease, dan salah satu
fragmennya adalah A-beta lengket yang berkembang menjadi gumpalan yang dapat terlarut.
Gumpalan tersebut akhirnya tercampur dengan bagian dari neuron dansel-sel glia (khususnya
mikroglia dan astrosit). Setelah beberapa waktu, campuran A-beta membeku menjadi fibril-fibril
yang membentuk plak yang matang, padat, tidak dapat larut,dan diyakini beracun bagi neuron
yang utuh (Medscape, 2000). Kemungkinan lain adalah bahwa A-beta menghasilkan radikal
bebas (suatu tipe molekul yang mudah bereaksi dengan molekul lain, menimbukan perubahan
kimia beracun yang merusak sel-sel lain). Walaupun kekusutan dan plak tidak khas pada AD,
distribusinya menyebar dan melimpah dalam otak yang merupakan ciri khas dari demensia tipe
ini.
A amyloid bersifat neuro toksik in vitro dan mengakibatkan kematian sel neuron, pada
tikus percobaan peningkatan percobaan amyloid precursor protein mengakibatkan neuritic
plaque yang sangat mirip ditemukan paga manusia yang mengidap Alzhaimers Disease.
Kelompok kelompok tikus ini lambat proses belajarnya dan memperlihatkan defek pada memori,
sejalan dengan peningkatan jumlah amiloid.
Apolipoprotein E4 genotype, suatu factor resiko utama pada penyakit Alzhaimer ,
menimbulkan percepatan penimbunan beta amiloid. Sebaliknya peningkatan anti-amyloid
antibodies pada orang dengan Alzhaimer terkesan meringankan gejala penyakitnya. Sebagai
akibat penimbunan beta amiloid terjadi pembentukan neurofibrilarry tangels, oksidasi dan
peroksidasi lipid , eksitotosisitas glutamatergic, inflamasi, dan aktivasi kematian sel secara
apoptosis. Proses ini disebut amyloid cascade. Hipotesa cascade amyloid merupakan dasr upaya
pengobatan . riset ditunjukkan pada pencarian bahan-bahan yang bersifatanti amiloi, antioksidan,
obat anti inflamasi serta zat yang membatasi fosfolarisasi tau protein, zat anti apoptotic dan
glutamanergic-N-methyl-D-aspartate-reseptor antagonist
Adanya gangguan vaskuler terutama bila gangguan ini memperburuk aliran darah
ke otak berpotensi memperburuk demensia. Penyakit seperti stroke, diabetes , hipertensi,
dan dislipidemiaumumnya mempercepat terjadinya atherosklerosisyang mengurangi
pasokan darah ke organ yang disuplainya. Semua penyakit ini memerlukan penanganan
optimal . telah dikatakan sekitar 25% pasien stroke juga menderita Demensia.
(Bahrudin,2013)
adalah kondisi dimana sel syaraf pada otak mati sehingga membuat signal dari otak
tidak dapat di transmisikan sebagaimana mestinya. Penderita Alzheimer mengalami
gangguan memori, kemampuan membuat keputusan dan juga penurunan proses
berpikir (Bahrudin,2013)
b. Etiologi
Faktor-faktor risiko penyakit Alzheimer antara lain :
Usia : Kebanyakan penderita berusia 65 tahun ke atas.
Faktor genetic : Mutasi gen protein precursor amiloid, gen presenilin 1 dan 2, serta
apolipoprotein E 4.
Faktor lingkungan seperti riwayat cedera kepala berat
Penyakit metabolic : obesitas, hiperlipedemi, dan diabetes mellitus.
c. Manifestasi Klinis
Manifestasi Klinis penyakit Alzheimer terdiri atas manifestasi gangguan kognitif dan
gangguan psikiatrik serta perilaku. Gangguan kognitif awal yang terjadi adalah
gangguan memori jangka pendek. Gangguan ini akan diikuti dengan kesulitan
berbahasa, disorientasi visuospasial dan waktu, serta inatensi. Penderita mengalami
ketergantungan dalam melakukan aktivitas sehari-harinya seiring perjalanan penyakit,
akan muncul gangguan psikiatrik dan perilaku seperti depresi, kecemasan, halusinasi,
waham, dan perilaku agitasi. (Widjaya, 2008)
Gambaran klinis Alzheimer berdasarkan stadiumnya :
1) Stadium I
Berlangsung 2-4 tahun disebut stadium amnestik dengan gejala gangguan
memori, berhitung dan aktifitas spontan menurun. Fungsi memori yang terganggu
adalah memori baru atau lupa hal baru yang dialami.
2) Stadium II
Berlangsung selama 2-10 tahun, dan disebut stadium demensia. Gejalanya :
Disorientasi
Gangguan bahasa (afasia)
Penderita mudah bingung
Penurunan fungsi memori lebih berat sehingga penderita tak dapat melakukan
kegiatan sampai selesai, tidak mengenal anggota keluarganya tidak ingat sudah
melakukan suatu tindakan sehingga mengulanginya lagi. Dan ada gangguan
visuospasial, menyebabkan penderita mudah tersesat di lingkungannya, depresi
berat prevalensinya 15-20 %.
3) Stadium III
Stadium ini dicapai setelah penyakit berlangsung 6-12 tahun. Gejala klinisnya
antara lain :
Penderita menjadi vegetative
Tidak bergerak dan membisu
Daya intelektual serta memori memburuk sehingga tidak mengenal
keluarganya sendiri
Tidak bisa mengendalikan buang air besar/ kecil
Kegiatan sehari-hari membutuhkan bantuan orang lain
Kematian terjadi akibat infeksi atau trauma
3. Kelainan ini ditandai dengan proses yang bertahap dan penurunan fungsi kognitif
yang berkelanjutan.
4. Gangguan kognitif kriteria A1 dan A2 tidak disebabkan hal-hal berikut :
a. Kelainan SSP lain yang menyebabkan gangguan memori yang progresif
(Misalnya gangguan peredaran darah otak, Parkinson, dan tumor otak).
b. Kelainan sistemik yang dapat menyebabkan demensia (misalnya
hipotiroidisme, defisiensi vitamin B12 dan asam folat, defisiensi niasin,
hiperkalemi, neurosifilis dan infeksi HIV).
5. Kelainan pasien tidak disebabkan oleh delirium.
6. Kelainan tidak disebabkan oleh kelainan aksis 1 misalnya gangguan depresi dan
skizofrenia).
2.7.2 Demensia Vaskuler
a. Definisi
Demensia vascular ialah sindrom demensia yang disebabkan disfungsi otak akibat
penyakit serebrovaskular atau stroke. Demensia vascular merupakan penyebab
demensia kedua tersering setelah demensia Alzheimer. (Widjaya,2008)
b. Epidemiologi
Sepertiga penderita pascastroke yang masih hidup didiagnosis demensia vascular.
c. Etiologi
Stroke, penyakit infeksi SSP kronis (meningitis, sifilis, dan HIV), penggunaan alcohol
kronis, pajanan kronis terhadap logam (keracunan merkuri, arsenic, dan aluminium),
trauma kepala berulang pada petinju professional, penggunaan obat-obatan jangka
panjang, obat-obatan sedative, dan analgetik.
d.
Patofisiologi
Mekanisme demensia vaskular :
Degenerasi yang disebabkan faktor genetic, peradangan, atau perubahan biokimia.
Aterosklerosis, infark thalamus, ganglia basalis, jaras serebral, dan area di
sekitarnya.
Trauma, lesi di serebral terutama di lobus frontalis dan temporalis, korpus kalosum,
dan mesensefalon.
Kompresi, TIK meningkat, dan hidrosefalus kronis (NPH
Sebagai fungsi diensefalon dan lobus temporalis lebih dominan untuk memori jangka
panjang dibandingkan dengan korteks lainnya. Kegagalan dalam tes fungsi verbal
(afasia) berhubungan dengan gangguan di hemisfer serebral dominan, khususnya di
f. Manifestasi Klinis
Diagnosis demensia vaskular menurut DSM-IV adalah menggunakan kriteria
sebagai berikut.
a. Adanya defisit kognitif multipleks yang dicirikan oleh gangguan memori dan satu
atau lebih dari gangguan kognitif berikut ini:
1)
2)
3)
4)
b. Defisit kognitif pada kriteria a) yang menyebabkan gangguan fungsi sosial dan
okupasional yang jelas.
c. Tanda dan gejala neurologik fokal (refleks fisiologik meningkat, refleks patologik
positif, paralisis pseudobulbar, gangguan langkah, kelumpuhan anggota gerak) atau
Skor
2
1
2
1
1
1
1
1
1
2
1
2
2
c. Snout reflex
Pada penderita dengan demensia tiap kali bibir atas atau bawah diketuk m.orbikularis
oris berkontraksi.
d. Refleks glabela
Orang dengan demensia akan memejamkan matanya setiap kali glabelanya diketuk.
Pada orang sehat, pemejaman mata pada ketukan berkali-kali pada glabela timbul dua
tiga kali saja, dan selanjutnya mata tidak akan memejam lagi.
e. Refleks palmomental
Pada penderita dengan demensia, goresan pada kulit tenar membangkitkan kontraksi
otot mentalis ipsilateral.
2.8.3
NO
TES
MAKSIMA
L
ORIENTASI
1
Sekarang (tahun), (musim), (Bulan), (tanggal), Hari apa ?
2
Kita berada dimana? (Negara), (propinsi), (kota), (rumah sakit),
(lantai/kamar)
REGISTRASI
5
5
Sebutkan 3 buah nama benda (apel, meja, atau koin), setiap benda 1 detik,
pasien disuruh mengulangi ketiga nama benda tadi. Nilai 1 untuk setiap
nama benda yang benar. Ulangi sampai pasien dapat menyebut dengan
benar dan catat jumlah pengulangan.
ATENSI DAN KALKULUS
4
Kurangi 100 dengan 7. Nilai 1 untuk tiap jawaban yang benar. Hentikan
3
2
1
3
10
11
anda
Pasien disuruh menulis dengan spontan
Pasien disuruh menggambar bentuk di bawah ini
1
1
Total
30
Skor
2.8.4
Nilai 24-30
Niali 17-23
Nilai 0-16
: Normal
: Gangguan kognitif Probable
: Gangguan kognitif definit
2.8.5
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang lain yang berguna untuk membantu diagnosis Penyakit
Alzheimer antara lain :
a. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan darah lengkap
Pemeriksaan kadar vitamin B12 dan asam folat.
Pemeriksaan elektrolit
Pemeriksaan glukosa
Pemeriksaan fungsi ginjal ( ureum dan kretinin)
Pemeriksaan enzim hati
Pemeriksaan fungsi tiroid (TSH)
Pemeriksaan serologis HIV dan sifilis.
Pemeriksaan analisis gas darah.
b. Pemeriksaan radiologi
MRI atau Ct-Scan otak alah pemeriksaan radiologi yang utama. Pada penderita
Alzheimer, MRI atau CT-scan akan menunjukkan atrofi serebral atau kortikal
yang difus.
SPECT scan. Pemeriksaan ini akan menunjukkan penurunan perfusi jaringan di
daerah Temporoparietalis bilateral yang biasanya terjadi pada penderita
Alzheimer.
PET Scan .Pemeriksaan ini menunjukkan penurunan aktivitas metabolic di daerah
temporoparietalis bilateral.
Indikasi MRI/CT Scan pada penderita demensia
Awitan terjadi pada usia < 65 tahun.
Manifestasi Klinis timbul < 2 tahun
Tanda atau gejala neurologi asimetris.
Gambaran klinis Hidrosefalus tekanan normal {NPH (Normal pressure
hydrocephalus)}
c. EEG
Pemeriksaan ini menunjukkan penurunan aktivitas alfa dan peningkatan aktivitas teta
yang menyeluruh.
d. Pungsi lumbal
Pemeriksaan ini dilakukan untuk menyingkirkan kelainan cairan cerebrospinal,
seperti meningitis kronis, meningoensefalitis, atau vaskulitis serebral.
2.9 Diagnosa Banding
Diagnosis difokuskan pada hal-hal berikut ini:
a. Demensia Tipe Alzheimer lawan Demensia vaskuler
Secara klasik, demensia vaskuler dibedakan dengan demensia tipe Alzheimer dengan
adanya perburukan penurunan status mental yang menyertai penyakit serebrovaskuler
seiring berjalannya waktu. Meskipun hal tersebut adalah khas, kemerosotan yang
bertahap tersebut tidak secara nyata ditemui pada seluruh kasus. Gejala neurologis fokal
lebih sering ditemui pada demensia vaskuler daripada demensia tipe Alzheimer, dimana
hal tersebut merupakan patokan adanya faktor risiko penyakit serebrovaskuler.
b. Demensia Vaskuler lawan Transient Ishemic Attacks
Transient ischemic attacks (TIA) adalah suatu episode singkat dari disfungsi neurologis
fokal yang terjadi selama kurang dari 24 jam (biasanya 5 hingga 15 menit). Meskipun
berbagai mekanisme dapat mungkin terjadi, episode TIA biasanya disebabkan oleh
mikroemboli dari lesi arteri intrakranial yang mengakibatkan terjadinya iskemia otak
sementara, dan gejala tersebut biasanya menghilang tanpa perubahan patologis jaringan
parenkim. Sekitar sepertiga pasien dengan TIA yang tidak mendapatkan terapi mengalami
infark serebri di kemudian hari, dengan demikian pengenalan adanya TIA merupakan
strategi klinis penting untuk mencegah infark serebri. Dokter harus membedakan antara
episode TIA yang mengenai sistem vertebrobasiler dan sistem karotis. Secara umum,
gejala penyakit sistem vertebrobasiler mencerminkan adanya gangguan fungsional baik
pada batang otak maupun lobus oksipital, sedangkan distribusi sistem karotis
mencerminkan gejala-gejala gangguan penglihatan unilateral atau kelainan hemisferik.
Terapi antikoagulan, dengan obat-obat antipletelet agregasi seperti aspirin dan bedah
reksonstruksi vaskuler ekstra dan intrakranial efektif untuk menurunkan risiko infark
serebri pada pasien dengan TIA.
c. Delirium
Membedakan antara delirium dan demensia dapat lebih sulit daripada yang ditunjukkan
oleh klasifikasi berdasarkan DSM IV. Secara umum, delirium dibedakan dengan
demensia oleh awitan yang cepat, durasi yang singkat, fluktuasi gangguan kognitif dalam
perjalanannya, eksaserbasi gejala yang bersifat nokturnal, gangguan siklus tidur yang
bermakna, dan gangguan perhatian dan persepsi yang menonjol.
Delirium
Penyakit akut
Cepat
Terdapat penyakit lain (infeksi,
Demensia
Penyakit Kronik
Lambat laun
Biasanya penyakit otak
Lamanya
Perjalanan sakit
Taraf Kesadaran
Ber-hari/-minggu
Naik turun
Naik turun, terganggu periodik
demensia vaskular)
Ber-bulan/-tahun
Kronik Progresif
Normal intak pada awalnya
Orientasi
Afek
Alam pikiran
Bahasa daya ingat
nyata
Halusinasi (visual)
panjang terganggu
Halusinasi jarang terjadi
kecuali sundowning
Normal
Sedikit terganggu siklus
tidurnya
Sedikit terganggu
Umumnya tak reversibel
Perlu tapi tak segera
Beberapa pasien dengan depresi memiliki gejala gangguan fungsi kognitif yang sukar
dibedakan dengan gejala pada demensia. Gambaran klinis kadang-kadang menyerupai
psuedodemensia, meskipun istilah disfungsi kognitif terkait depresi (depression-related
cognitive dysfunction) lebih disukai dan lebih dapat menggambarkan secara klinis. Pasien
dengan disfungsi kognitif terkait depresi secara umum memiliki gejala-gejala depresi
yang menyolok, lebih menyadari akan gejala-gejala yang mereka alami daripada pasien
dengan demensia serta sering memiliki riwayat episode depresi.
e. Skizofrenia
Meskipun skizofrenia dapat dikaitkan dengan kerusakan fungsi intelektual yang didapat
(acquired), gejalanya lebih ringan daripada gejala yang terkait dengan gejala-gejala
psikosis dan gangguan pikiran seperti yang terdapat pada demensia.
f. Proses penuaan yang normal
Proses penuaan yang normal dikaitkan dengan penurunan berbagai fungsi kognitif yang
signifikan, akan tetapi masalah-masalah memori atau daya ingat yang ringan dapat terjadi
sebagai bagian yang normal dari proses penuaan. Gejala yang normal ini terkadang
dikaitkan dengan gangguan memori terkait usia, yang dibedakan dengan demensia oleh
ringannya derajat gangguan memori dan karena pada proses penuaan gangguan memori
tersebut tidak secara signifikan mempengaruhi perilaku sosial dan okupasional pasien.
2.10 Farmakoterapi demensia
2.10.1 Medikamentosa
Penatalaksanaan untuk penderita Alzheimer mencakup terapi simtomatik dan
rehabilitatif. Sasaran terapi simtomatik adalah mengurangi gejala kognitif, perilaku dan
psikiatrik.
Tabel : Jenis, dosis, dan efek samping obat-obat demensia.
Nama Obat
Donepezil
Golongan
Penghambat
Indikasi
Dosis
DA ringan Dosis awal 5 mg/hr bila perlu,
Efek Samping
Mual, muntah,
Kolinesteras
sedang
diare, insomnia
e
Galantamine Penghambat
10mg/hr.
DA ringan Dosis awal 8 mg/hr; setiap
kolinesterase sedang
Mual, muntah,
diare, anoreksia
Rivastigmin
Penghambat
kolinesterase sedang
Memantine
Mual, muntah,
pusing, diare,
anoreksia
Pusing, nyeri
Penghambat
DA
mg/hr.
Dosis awal 5mg/hr; setelah 1
reseptor
sedang
kepala,
NMDA
berat
konstipasi
Tabel : Jenis, dosis dan efek samping pengobatan untuk gangguan Psikiatrik dan perilaku
pada demensia.
Depresi
Nama Obat Dosis
Efek Samping
Sitalopram
10-40mg/hr
Mual, mengatuk, nyeri kepala, tremor, dan disfungsi seksual
Esitalopram 5-20 mg/hr
Insomnia, diare, mual, mulut kering, dan mengantuk
Sertralin
25-100mg/hr
Mual, diare, mengantuk, mulut kering, dan disfungsi seksual
Fluoksetin
10-40mg/hr
Mual, diare, mengantuk, insomnia, tremor, dan ansietas
Venlaflaksin 37,5-225mg/hr Nyeri kepala, mual, anoreksia, insomnia, dan mulut kering
Duloksetin
30-60mg/hr
Penurunan nafsu makan, mual, mengantuk, dan insomnia
Agitasi, ansietas dan perilaku obsesif
Quetiapin
25-300mg/hr
Mengantuk, pusing, mulut kering, konstipasi, dyspepsia, dan
Olanzapin
2,5-10mg/hr
Risperidon
0,5-1mg 3x/hr
20-80 mg/hr
Divalproex
125-500 mg
gejala ekstrapiramidal.
Mengantuk, kelemahan, diare, konstipasi, dyspepsia, depresi,
Gabapentin
2x/hr
100-300 mg
Alprazolam
3x/hr
0,25-1mg
Lorazepam
3x/hr
0,5-2mg 3x/hr
Ziprasidon
seksual
Insomnia
Zolpidem
Trezodon
hari
25-100 mg
malam hari
Terapi dengan menggunakan pendekatan lain
Obat-obatan lain telah diuji untuk meningkatkan aktivitas kognitif termasuk
penguat metabolisme serebral umum, penghambat kanal kalsium, dan agen serotonergik.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa slegilin (suatu penghambat monoamine
oksidase tipe B), dapat memperlambat perkembangan penyakit ini.
Terapi pengganti Estrogen dapat menginduksi risiko penurunan fungsi kognitif
pada wanita pasca menopause, walau demikian masih diperlukan penelitian lebih lanjut
mengenai hal tersebut. Terapi komplemen dan alternatif menggunakan ginkgo biloba dan
fitoterapi lainnya bertujuan untuk melihat efek positif terhadap fungsi kognisi. Laporan
mengenai penggunaan obatantiinflamasi nonsteroid (OAINS) memiliki efek lebih rendah
terhadap perkembangan penyakit Alzheimer. Vitamin E tidak menunjukkan manfaat
dalam pencegahan penyakit.
2.10.2 Terapi psikososial
Kemerosotan status mental memiliki makna yang signifikan pada pasien dengan
demensia. Keinginan untuk melanjutkan hidup tergantung pada memori. Memori jangka
pendek hilang sebelum hilangnya memori jangka panjang pada kebanyakan kasus
demensia, dan banyak pasien biasanya mengalami distres akibat memikirkan bagaimana
mereka menggunakan lagi fungsi memorinya disamping memikirkan penyakit yang
sedang dialaminya. Identitas pasien menjadi pudar seiring perjalanan penyakitnya, dan
mereka hanya dapat sedikit dan semakin sedikit menggunakan daya ingatnya. Reaksi
emosional bervariasi mulai dari depresi hingga kecemasan yang berat dan teror
katastrofik yang berakar dari kesadaran bahwa pemahaman akan dirinya (sense of self)
menghilang.
Pasien biasanya akan mendapatkan manfaat dari psikoterapi suportif dan
edukatif sehingga mereka dapat memahami perjalanan dan sifat alamiah dari penyakit
yang dideritanya. Mereka juga bisa mendapatkan dukungan dalam kesedihannya dan
2.11 Prognosis
Dari pemeriksaan klinis 42 penderita Alzheimer menunjukkan bahwa nilai
prognostiktergantung pada 3 faktor yaitu :
Derajat beratnya penyakit
Variabilitas gambaran klinis
Perbedaan individual seperti usia, keluarga demensia dan jenis kelamin
Ketiga faktor ini diuji secara statistik, ternyata faktor pertama yang paling
mempengaruhi prognostik penderita Alzheimer, Pasien dengan penyakit Alzheimer :
2.12 Pencegahan
Jaga agar pikiran selalu aktif. Seperti teka-teki dan permainan kata, belajar bahasa,
bermain alat music, membaca, menulis, melukis atau menggambar.
Aktif secara fisik dan sosial. Hal ini dapat menunda mulainya demensia dan juga
mengurangi gejala.
Kejarlah pendidikan. Para peneliti berpendapat bahwa pendidikan dapat membantu
seseorang mengembangkan jaringan sel saraf otak yang kuat yang mengkompensasi
Diagnosis
demensia
ditegakkan
berdasarkan
pemenuhan
kriteria
yang
telah