Anda di halaman 1dari 9

LAPORAN KASUS

ABSES BUKAL
1. Ayu Novita Raga

(08-101)

2. Choiril Faizol A

(11-021)

3. Nugraheni Tri R

(11-057)

4. Dwi Sri Lestari

(11-094)

Pembimbing:
drg. Hengky Bowo A., MDSc

BAGIAN BEDAH MULUT


FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS JEMBER
2016
Case Report
Abses Bukal
Kasus
Dilaporkan kasus seorang laki-laki usia 23 tahun yang datang berobat ke
klinik Bedah Mulut Rumah Sakit Gigi dan Mulut Universitas Jember pada tanggal 30

Mei 2016 dengan keluhan pipi kanan bawah yang bengkak sejak 5 hari yang lalu.
Awalnya muncul bengkak kecil, yang semakin lama semakin membesar. Puncak rasa
sakit pada bengkaknya dirasakan pasien timbul sejak 2 hari yang lalu. Pasien
mengobati rasa sakitnya dengan minum asam mefenamat sejak 4 hari yang lalu
sebanyak 3 kali sehari, namun bengkak belum mereda. Kondisi sekarang sakit jika
ditekan. Keadaan umum pasien baik. Pasien dan keluarganya tidak mempunyai
riwayat penyakit yang mengganggu kesehatannya.
Tatalaksana Kasus
Kunjungan pertama (30 Mei 2016) dari anamnesa pasien mengeluhkan pipi
kanan bawahnya yang bengkak dan sakit. Pada pemeriksaan ekstraoral didapatkan
adanya pembengkakan pada regio corpus mandibula dekster, konsistensi lunak, nyeri
apabila ditekan, suhu hangat, batas tidak jelas. Kelenjar limfe submandibular dekster
teraba dan sakit. Pada pemeriksaan intraoral didapatkan adanya pembengkakan pada
mukobukal fold regio gigi 46, 47, konsistensi lunak, fluktuasi (+), nyeri apabila
ditekan, tidak ada peninggian vestibulum. Pada pemeriksaan gigi didapatkan gigi 46
sisa akar, gigi 47 karies profunda perforasi dan hasil pada gigi 46 dan 47 terasa ngilu
jika diketuk dan ditekan (perkusi (+), durk (+)).

Gambar 1. Kiri : didapatkan adanya asimetri pada wajah karena adanya pembengkakan pada
regio corpus mandibula dekster. Kanan: pemeriksaan intraoral didapatkan pembengkakan
pada mukobukal fold dan gingiva, tidak ada peninggian vestibulum.

Gambar 2. Gambaran radiografi gigi 47 (KPP) dan gigi 46 (sisa akar). Terlihat adanya
gambaran radiolusen pada apeks gigi 46 dan 47.

Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan klinis didapatkan diagnosis dari


kasus ini yaitu abses bukal. Terapi yang diberikan yakni:
1. Medikasi
R/ Clyndamicin tab 300 mg No.XX
4 dd 1
II
R/ Natrium diklofenak tabs 500 mg No.IX
3 dd 1
II

2. Instruksi kontrol 7 hari kemudian


3. Ekstraksi gigi 46 (SA) dan 47 (KPP).

Kunjungan kedua (06 Mei 2016) dari anamnesa didapatkan bahwa bengkak
pada pipi kanannya sudah sembuh dan sudah tidak sakit. Obat diminum sesuai
anjuran, antibiotik habis dan analgesik masih tersisa 3 tablet. Pada pemeriksaan
ekstraoral tidak didapatkan adanya pembengkakan pada regio corpus mandibula
dekster, kemerahan(-), nyeri tekan (-), peningkatan suhu (-). Kelenjar limfe
submandibular dekster teraba dan tidak sakit. Pada pemeriksaan intraoral tidak
didapatkan adanya kemerahan pada mukobukal fold regio gigi 46, 47, bengkak (-),
konsistensi lunak, nyeri tekan (-). Pada pemeriksaan gigi didapatkan bahwa hasil pada
gigi 46 dan 47: perkusi (-), durk (-). Instruksi: pro ekstraksi pada gigi 46 dan 47.

Pembahasan
Patofisiologi abses
Abses merupakan suatu penyakit infeksi yang ditandai oleh adanya lubang
yang berisi nanah (pus) dalam jaringan yang sakit. Dental abses artinya abses yang
terbentuk didalam jaringan periapikal atau periodontal karena infeksi gigi atau
perluasan dari gangren pulpa. Abses yang terbentuk merusak jaringan periapikal,
tulang alveolus, tulang rahang dan terus menembus kulit pipi dan membentuk fistel.
Abses gigi terjadi ketika infeksi bakteri menyebar ke rongga mulut atau dalam gigi.
Penyebabnya adalah bakteri yang merupakan flora normal rongga mulut, yaitu bakteri
coccus aerob gram positif, coccus anaerob gram positif dan batang anaerob gram
negatif. Bakteri terdapat dalam plak yang berisi sisa makanan dan kombinasi dengan
air liur. Bakteri-bakteri tersebut dapat menyebabkan karies, gingivitis, dan
periodontitis. Jika mencapai jaringan yang lebih dalam melalui nekrosis pulpa dan
poket periodontal dalam, maka akan terjadi infeksi odontogen (Pedersen, 1996).

Infeksi merupakan masuknya kuman patogen atau toksin ke dalam tubuh


manusia serta menimbulkan gejala sakit. Infeksi odontogen adalah infeksi yang
awalnya bersumber dari kerusakan jaringan keras gigi atau jaringan penyangga gigi
yang disebabkan oleh bakteri yang merupakan flora normal rongga mulut yang
berubah menjadi patogen (Soemartono, 2000). Penyebaran infeksi odontogen ke
dalam jaringan lunak dapat berupa abses yang merupakan suatu lubang berisi
kumpulan pus terlokalisir akibat proses supurasi pada suatu jaringan yang disebabkan
oleh bakteri piogenik. Abses yang sering terjadi pada jaringan mulut adalah abses
yang berasal dari regio periapikal. Daerah supurasi terutama tersusun dari suatu area
sentral berupa polimorfonuklear leukosit yang hancur dikelilingi oleh leukosit hidup
dan kadang-kadang terdapat limfosit. Abses juga merupakan tahap akhir dari suatu
infeksi jaringan yang dimulai dari suatu proses yang disebut inflamasi (Aryati, 2006).
Infeksi odontogenik dapat berasal dari tiga jalur, yaitu (1) jalur periapikal,
sebagai hasil dari nekrosis pulpa dan invasi bakteri ke jaringan periapikal; (2) jalur
periodontal, sebagai hasil dari inokulasi bakteri pada periodontal poket; dan (3) jalur
perikoronal, yang terjadi akibat terperangkapnya makanan di bawah operkulum tetapi
hal ini terjadi hanya pada gigi yang tidak/belum dapat tumbuh sempuna. Dan yang
paling sering terjadi adalah melalui jalur periapikal (Karasutisna, 2001). Infeksi
odontogen biasanya dimulai dari permukaan gigi yaitu adanya karies gigi yang sudah
mendekati ruang pulpa, kemudian akan berlanjut menjadi pulpitis dan akhirnya akan
terjadi kematian pulpa gigi (nekrosis pulpa). Infeksi odontogen dapat terjadi secara
lokal atau meluas secara cepat. Adanya gigi yang nekrosis menyebabkan bakteri bisa
menembus masuk ruang pulpa sampai apeks gigi. Foramen apikalis dentis pada pulpa
tidak bisa mendrainase pulpa yang terinfeksi. Selanjutnya proses infeksi tersebut
menyebar secara progresif ke ruangan atau jaringan lain yang dekat dengan struktur
gigi yang nekrosis tersebut (Cilmiaty, 2009).
Pola penyebaran abses dipengaruhi 3 kondisi yaitu virulensi bakteri,
ketahanan jaringan dan perlekatan otot. Virulensi yang tinggi mampu menyebabkan
bakteri bergerak secara leluasa ke segala arah, ketahanan jaringan sekitar yang tidak
baik menyebabkan jaringan menjadi rapuh dan mudah rusak, sedangkan perlekatan

otot mempengaruhi arah gerak pus. Infeksi odontogen dapat menyebar secara
perkontinuatum, hematogen dan limfogen, yang disebabkan antara lain oleh
periodontitis apikalis yang berasal dari gigi nekrosis, dan periodontitis marginalis.
Infeksi gigi dapat terjadi melalui berbagai jalan: (1) lewat penghantaran dari patogen
yang berasal dari luar mulut; (2) melalui suatu keseimbangan flora yang endogenus;
(3) melalui masuknya bakteri ke dalam pulpa gigi yang vital dan steril secara normal
(Cilmiaty, 2009). Infeksi odontogen menyebar ke jaringan-jaringan lain mengikuti
pola patofisiologi yang beragam dan dipengaruhi oleh jumlah dan virulensi
mikroorganisme, resistensi dari host dan struktur anatomi dari daerah yang terlibat
(Soemartono, 2000).
Rute yang paling umum penyebaran peradangan adalah melalui kontinuitas
jaringan dan spasia jaringan dan biasanya terjadi seperti yang dijelaskan di bawah ini.
Pertama, pus terbentuk di tulang cancellous dan tersebar ke berbagai arah yang
memiliki resistensi jaringan paling buruk. Penyebaran pus ke arah bukal, lingual, atau
palatal tergantung pada posisi gigi dalam lengkung gigi, ketebalan tulang, dan jarak
perjalanan pus. Inflamasi purulen berhubungan dengan tulang alveolar yang dekat
dengan puncak bukal atau labial tulang alveolar biasanya akan menyebar ke arah
bukal, sedangkan tulang alveolar yang dekat puncak palatal atau lingual, maka
penyebaran pus ke arah palatal atau ke lingual (Fragiskos, 2007).
Abses bukal merupakan kelanjutan abses subperiosteal yang kemudian pus
berkumpul dan sampai dibawah mukosa setelah periosteum tertembus. Pada rahang
bawah, jika arah pergerakan jalur pusnya superior dari perlekatan otot buccinator
maka kondisi ini disebut abses vestibular, namun jika pergerakan pusnya adalah
inferior dari perlekatan otot buccinator, maka kondisi ini disebut abses bukal.

Gambar 3 : Ilustrasi gambar Abses Submukosa dengan lokalisasi didaerah bukal.


(Fragiskos, 2007).

Alasan Pemilihan Obat


a. Clyndamicin
Clyndamicin adalah antibiotik golongan makrolida seperti Lyncomicin dan
Spyramicim. Clyndamicin dihasilkan oleh Streptomyces linconensis. Clyndamicin
sama dengan lyncomicin tetapi aktivitas bakterinya 4x lebih besar. Clyndamisin
sebagai antibakterial bekerja menghambat pertumbuhan atau reproduksi dari bakteri
yaitu dengan menghambat sintesa protein. Mekanisme kerja clyndamisin meliputi
memotong elongasi rantai peptida, memblok site A pada ribosom, kesalahan
membaca pada kode genetik atau mencegah penempelan rantai oligosakarida pada
glikoprotein.
Clyndamisin lebih efektif dalam penggunaan terapi infeksi bakteri terutama
yang disebabkan oleh bakteri anaerob seperti infeksi pada saluran nafas, septikemia
dan peritonitis. Clyndamicin efektif untuk infeksi yang disebabkan akibat infeksi
bakteri aerob gram positif seperti Staphylococcus aureus, Staphylococcus
epidermidis, Streptococci, Pneumococci, bakteri aerob gram negatif seperti;
Bacteroides fragilis, Fusobacterium sp, bakteri anaerob gram positif seperti;
Propionibacterium, Eubacterium, Actinomyces sp, Peptostreptococci, Peptococcus,
Clostridia, dan Streptococcus.

Clyndamisin, 0.15-0.3 gram oral tiap 6 jam, menghasilkan kadar serum 2-5
g/ml. Clyndamisin diabsorpsi baik melalui oral hingga 90%. Obat didistribusikan ke
sebagian besar jaringan tubuh secara luas dan diekskresi melalui empedu dan urin.
Clyndamicin memiliki efek samping yang rendah. Efek samping
Clyndamicin yang bisa terjadi yaitu trombositopenia, anafilaksis, esofagitis, mual
muntah, ruam dan jaundice. Gangguan fungsi hati dan neutropenia kadang terjadi.
Diare berat dan pseudomembran colitis karena Clostridium difficile dapat pula terjadi,
sehingga clyndamicin tidak boleh diberikan pada pasien colitis dan harus hati-hati
pada pasien dengan gangguan hepar dan ginjal (Sugiarto, 2009).
b. Natrium Diklofenak
Natrium diklofenak adalah salah satu obat NSAID (Non Steroidal Anti
Inflammatory Drugs) yang memberikan efek analgesik, antipiretik,

dan

antiinflamasi. Natrium diklofenak adalah turunan asam fenilasetat sederhana yang


menyerupai florbiprofen maupun meklofenamat. Obat ini adalah penghambat
siklooksigenase yang kuat dengan efek anti inflamasi, analgesik dan anti piretik.
Mekanisme kerjanya, bila membran sel mengalami kerusakan oleh suatu
rangsangan kimiawi, fisik, atau mekanis, maka enzim fosfolipase diaktifkan untuk
mengubah fosfolipida menjadi asam arachidonat. Asam lemak poli-tak jenuh ini
kemudian

untuk

sebagian

diubah

oleh

enzim

cyclo-oksigenase

menjadi

endoperoksida dan seterusnya menjadi prostaglandin. Cyclo-Oksigenase terdiri dari


dua

iso-enzim,

yaitu

COX-1

(tromboxan

dan

prostacyclin)

dan

COX-2

(prostaglandin). Kebanyakan COX-1 terdapat di jaringan, antara lain darah, ginjal


dan saluran cerna. COX-2 dalam keadaan normal tidak terdapat dijaringan tetapi
dibentuk selama proses peradangan oleh sel-sel radang. Penghambatan COX-2 yang
memberikan efek anti radang dari obat NSAIDs. NSAID yang ideal hanya
menghambat COX-2 (peradangan) dan tidak COX-1 (perlindungan mukosa
lambung).
Natrium diklofenak cepat diserap sesudah pemberian secara oral, tetapi
bioavaibilitas sistemiknya rendah hanya antara 30 - 70% sebagai efek metabolisme

lintas pertama di hati. Waktu paruh natrium diklofenak juga pendek yakni hanya 1 - 2
jam. Efek-efek yang tidak diinginkan bisa terjadi pada kira-kira 20% dari pasien
meliputi distres gastrointestinal, pendarahan gastrointestinal yang terselubung, dan
timbulnya ulserasi lambung (Katzung, 2010).
Daftar Pustaka
Aryati, R. 2006. Uji Kepekaan Mikroorganisme yang Diisolasi dari Abses Di Rongga
Mulut Terhadap Antimikroba. Tidak diterbitkan. Sumatra Utara: USU.
Cilmiaty, R. 2009. Infeksi Odontogen. Retrieved December 23, 2012, from
http://cilmiaty.blogspot.com/2009/04/infeksi-odontogen-by-risya-cilmiatyar.html
Fragiskos, F.D. 2007. Oral Surgery. Heidelberg : Springer.
Karasutisna, T., 2001. Odontogen Infection, 1th ed, Bandung: Bagian Bedah Mulut
Fakultas Kedokteran Gigi Unpad, p.1-12.
Katzung, G.Betram. 2010. Farmakologi dasar dan klinik , Edisi 10. Jakarta:
SalembaMedika
Pedersen, G.W. 1996. Buku Ajar Praktis Bedah Mulut. Alih Bahasa : Purwanto dan
Basoeseno. Oral Surgery 1st ed. Jakarta : EGC.
Soemartono. Infeksi Odontogenik dan Penyebarannya. Untuk pelatihan spesialis
kedokteran gigi bidang bedah mulut 6 juni 2000 s/d 30 juni. 2000.
Sugiarto, D. 2009. Macam-macam Antibiotika, Dosis, dan Mekanisme Kerjanya.
(online) http//www.didiksugiarto.com/2009/04/macam-macam-antibiotikaii.html. Diakses 11 Juni 2016.

Anda mungkin juga menyukai