Anda di halaman 1dari 25

PROPOSAL

PEMETAAN GEOLOGI
Desa Gembol, Sidolayu dan sekitarnya
Kecamatan Widodaren Kabupaten Ngawi Provinsi Jawa Timur

RIZKY ADHIM P.
07212189
TEKNIK GEOLOGI
FAKULTAS TEKNOLOGI KEBUMIAN DAN ENERGI

UNIVERSITAS TRISAKTI

JAKARTA

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Mata pelajaran Pemetaan Geologi merupakan salah satu mata pelajaran wajib yang
harus diambil oleh mahasiswa Teknik Geologi Universitas Trisakti. Melalui mata pelajaran
Pemetaan Geologi diharapkan mahasiswa Teknik Geologi Universitas Trisakti dapat
memahami betul tata cara kegiatan lapangan seorang geologi dalam membuat Peta Geologi.
Pada persiapannya menjadi seorang ahli geologi, pelaksana harus mengetahui dasardasar apa saja yang menjadi landasan pembuatan Peta Geologi. Para ahli Geologi dalam
melaksanakan tugasnya, hampir selalu berhadapan dengan masalah-masalah lapangan. Oleh
karena itu, kemahiran untuk bekerja di lapangan merupakan syarat mutlak yang harus
dikuasai sepenuhnya oleh mereka yang berniat untuk menjadi ahli geologi.
Berdasarkan atas sifatnya, geologi merupakan ilmu yang sifat dasarnya adalah
pengamatan (observation science). Sifat ini mengharuskan untuk mengembangkan
kemampuan obeservasi, yang sangat diperlukan untuk memperoleh data yang lengkap dan
menyeluruh, sehingga dapat dilakukan penafsiran yang logis.
Latihan melakukan observasi harus dimulai sejak tingkat awal dari proses pendidikan.
Meskipun ada pelaksanaan praktikum di laboratorium, peragaan yang ada umumnya
menunjukan keadaan yang ideal atau mudah dimengerti, namun sangat berbeda bila dilihat
di alam. Oleh karena itu, Pemetaan Geologi ini menjadi langkah awal pelaksana menjadi
seorang ahli geologi dalam menafsirkan kenampakan alam dalam pemahaman yang telah
dipelajari dala bangku perkuliahan.
1.2 Maksud dan Tujuan
Maksud kegiatan Pemetaan Geologi yaitu untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar
sarjana, dimana para mahasiswa harus dapat melakukan Kuliah/Kerja Lapangan yaitu
Kuliah Lapangan (KL) dan Pemetaan Geologi yang tercantum dalam kurikulum pendidikan
S-1 Program Studi Teknik Geologi Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi Universitas
Trisakti.
Tujuan dari pemetaan ini adalah untuk menyusun sejarah geologi daerah pemetaan,
dan menjelaskan potensi geologi, terutama yang berkaitan dengan sumber daya alam dan

bencana alam di daerah pemetaan, mengetahui kondisi suatu daerah dengan melihat aspek
stratigrafi, geomorfologi, struktur geologi dimana nantinya dapat untuk membuat
perencanaan survey geologi dan menghasilkan peta geologi yang dapat dipertanggung
jawabkan secara akademik dan melakukan penelitian lebih lanjut guna mempelajari proses
geologi yang terjadi serta hasil dari proses tersebut.
1.3 Lokasi dan Kesampaian Daerah Pemetaan
Daerah pemetaan secara administrasi terletak di kecamatan Widodaren kabupaten
Ngawi provinsi Jawa Timur. Secara geografis berada pada koordinat 111 16' 18.64" BT 111 19' 01.16" BT dan 7 18' 40.54" LS - 7 21' 55.21" LS. Luas daerah pemetaan adalah
30 km2, dengan ukuran 5 km x 6 km dan memanjang utara selatan. Kesampaian daerah
pemetaan dapat ditempuh selama +/- 16 jam dari Jakarta dengan menggunakan bus. Untuk
kesampaian di tiap daerah sesuai kavling dapat ditempuh 15 45 menit dengan
menggunakan sepeda motor dan mobil angkutan umum di daerah tersebut.
07 18 40.54 LS

111 19 01.16 BT

111 16 18.64 BT

07 21 55.21 LS

Gambar 1.1. Peta rupa bumi daerah penelitian (tanpa skala).


1.4 Batasan Masalah

Pada kegiatan Pemetaan Geologi masalah yang di amati yaitu kondisi daerah pemetaan
geologi meliputi pengamatan Geomorfologi, Geologi Struktur, Sedimentologi, Statigrafi,
Mineralogi, dan Petrologi. Dari pengamatan ini diharapkan pelaksana dapat memahami
sejarah geologi daerah pemetaan serta memberi hasil berupa manfaat serta kerugian dari
geologi untuk daerah pengamatan.
1.5 Rumusan Masalah
Permasalahan geologi daerah Pemetaan Geologi ini dirumuskan dengan rumusan
bagaimana keadaan geormorfologi terbentuk, bagaimana kondisi statigrafi daerah kegiatan,
bagaimana terjadinya kenampakan-kenampakan struktur geologi yang terbentuk didaerah
kegiatan, bagaimana geologi daerah kegiatan serta potensi apa saja yang terdapat didaerah
kegiatan mencakup dalam segi bencana dan ekonomi.
1.6 Manfaat Penelitian
Pemetaan Geologi yang dilakukan ini diharapkan memberi manfaat berupa data
tertulis geologi dan data fisik Geologi daerah diamati. Meliputi keadaan geomorfologi,
statigrafi, struktur geologi, geologi, sejarah gelogi, daerah rawan bencana, potensi sumber
daya (ekonomi) serta kegunaan lainnya.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Fisiografi Regional


Secara fisiografis, daerah Jawa Timur oleh Van Bemmelen (1949) dibagi menjadi 7 zona
fisiografi, dari selatan ke utara berturut-turut adalah sebagai berikut:Zona Pegunungan Selatan
Bagian Timur, Zona Solo, Zona Kendeng, Zona Randublatung, Zona Rembang, Dataran Aluvial
Jawa Utara, dan Gunung Api Kuarter.
1.

Zona Pegunungan Selatan Bagian Timur

Zona Pegunungan Selatan Bagian Timur merupakan busur volkanik Eosen-Miosen yang terdiri
dari endapan silisiklastik, volkaniklastik, batuan karbonat dan volkanik dengan kemiringan
lapisan yang seragam ke arah selatan (Smyth dkk., 2005). Zona Pegunungan Selatan Jawa
Bagian Timur memanjang sepanjang pantai selatan Jawa Timur dan Wonosari dekat Yogyakarta
sampai ujung paling timur Pulau Jawa. Daerah ini pada umumnya mempunyai topografi yang
dibentuk oleh batugamping dan volkanik, serta sering dijumpai gejala karst.
2.

Zona Solo

Zona Solo dapat dibagi menjadi tiga subzona, yaitu:

Subzona Blitar pada bagian selatan. Subzona ini merupakan jalur depresi yang sempit,

berhubungan dengan Pegunungan Selatan di bagian selatan dan ditutupi oleh endapan aluvial.

Subzona Solo Bagian Tengah. Subzona ini dibentuk oleh deretan gunungapi Kuarter dan

dataran antar gunung api. Gunung api tersebut adalah Gunung Lawu, Gunung Wilis, Gunung
Kelud, Pegunungan Tengger dan Gunung Ijen di ujung timur Pulau Jawa. Sedangkan datarandataran antar gunungapinya adalah Dataran Madiun, Dataran Ponorogo, dan Dataran Kediri.
Dataran antar gunungapi ini pada umumnya dibentuk oleh endapan lahar.

Subzona Ngawi pada bagian utara. Subzona ini merupakan depresi yang berbatasan

dengan Subzona Solo di bagian selatan dan Pegunungan Kendeng di bagian utara. Subzona ini
pada umumnya dibentuk oleh endapan aluvial dan endapan gunung api.
3.

Zona Kendeng

Zona Kendeng merupakan antiklinorium yang memanjang mulai dari Semarang yang kemudian

menyempit ke arah timur sampai ujung Jawa Timur di bagian utara. Smyth dkk. (2005)
menyatakan bahwa Zona Kendeng merupakan jalur anjakan berarah barat-timur. Zona ini pada
umumnya dibentuk oleh endapan volkanik, batupasir, batulempung, dan napal.
4.

Zona Randublatung

Zona Randublatung merupakan sinklinorium yang memanjang mulai dari Semarang di sebelah
barat sampai Wonokromo di sebelah timur. Zona ini berbatasan dengan Zona Kendeng di bagian
selatan dan Zona Rembang di bagian utara.
5.

Zona Rembang

Zona Rembang merupakan antiklinorium yang memanjang dengan arah barat-timur, mulai dari
sebelah timur Semarang sampai Pulau Madura dan Kangean. Lebar rata-rata zona ini adalah 50
km. Zona ini merupakan hasil akhir dari gejala tektonik Tersier akhir (Pringgoprawiro, 1983).
Zona ini terdiri dari sikuen Eosen-Pliosen berupa sedimen klastik laut dangkal dan karbonat yang
luas. Pada zona ini terdapat suatu tinggian (Tinggian Rembang) yang dibatasi oleh sesar mayor
berarah ENE-WSW (Smyth dkk., 2005).
6.

Dataran Aluvial Jawa Utara

Dataran Aluvial Jawa Utara menempati dua bagian, yaitu bagian barat dan bagian timur. Di
bagian barat mulai dari Semarang ke timur sampai ke Laut Jawa dan berbatasan dengan Zona
Rembang di bagian timur. Di bagian timur mulai dari Surabaya ke arah barat laut, di sebelah
barat berbatasan dengan Zona Randublatung, di sebelah utara dan selatan berbatasan dengan
Zona Rembang.
7.

Gunung Api Kuarter

Gunung Api Kuarter menempati bagian tengah di sepanjang Zona Solo. Gunungapi yang tidak
menempati Zona Solo adalah Gunung Muria. Smyth dkk. (2005) menamakan zona ini sebagai
Busur Volkanik Kenozoikum Akhir yang aktif sejak Miosen Akhir.

Daerah Pemetaan

Gambar 1. Peta Fisiografi Jawa Timur (modifikasi dari van Bemmelen, 1949).
2.2 Geologi Regional
Berdasarkan letaknya, maka daerah Ngawi masuk kedalam Zona Kendeng yang secara
fisiografi termasuk ke dalam jalur anjakan berarah barat-timur (Bemmelen, 1949). Zona
Kendeng meliputi deretan pegunungan dengan arah memanjang barat-timur yang terletak
langsung di sebelah utara sub zona Ngawi. Pegunungan ini tersusun oleh batuan sedimen laut
dalam yang telah mengalami deformasi secara intensif membentuk suatu antiklinorium.
Pegunungan ini mempunyai panjang 250 km dan lebar maksimum 40 km (de Genevraye &
Samuel, 1972) membentang dari gunungapi Ungaran di bagian barat ke timur melalui Ngawi
hingga daerah Mojokerto. Di bawah permukaan, kelanjutan zona ini masih dapat diikuti hingga
di bawah selatan Madura.
morfologi Zona Kendeng berupa jajaran perbukitan rendah dengan morfologi
bergelombang, dengan ketinggian berkisar antara 50 hingga 200 meter. Jajaran yang berarah
barat-timur ini mencerminkan adanya perlipatan dan sesar naik yang berarah barat-timur pula.

Intensitas perlipatan dan anjakan yang mengikutinya mempunyai intensitas yang sangat besar di
bagian barat dan berangsur melemah di bagian timur. Akibat adanya anjakan tersebut, batas dari
satuan batuan yang bersebelahan sering merupakan batas sesar. Lipatan dan anjakan yang
disebabkan oleh gaya kompresi juga berakibat terbentuknya rekahan, sesar dan zona lemah yang
lain pada arah tenggara-barat laut, barat daya-timur laut dan utara-selatan.
Proses eksogenik yang berupa pelapukan dan erosi pada daerah ini berjalan sangat
intensif, selain karena iklim tropis juga karena sebagian besar litologi penyusun Mandala
Kendeng adalah batulempung-napal-batupasir yang mempunyai kompaksitas rendah, misalnya
pada formasi Pelang, Formasi Kerek dan Napal Kalibeng yang total ketebalan ketiganya
mencapai lebih dari 2000 meter.
Karena proses tektonik yang terus berjalan mulai dari zaman Tersier hingga sekarang,
banyak dijumpai adanya teras-teras sungai yang menunjukkan adanya perubahan base of
sedimentation berupa pengangkatan pada Mandala Kendeng tersebut. Sungai utama yang
mengalir di atas Mandala Kendeng tersebut adalah Bengawan Solo yang mengalir mulai dari
utara Sragen ke timur hingga Ngawi, ke utara menuju Cepu dan membelok ke arah timur hingga
bermuara di Ujung Pangkah, utara Gresik. Sungai lain adalah Sungai Lusi yang mengalir ke arah
barat, dimulai dari Blora, Purwodadi dan terus ke barat hingga bermuara di pantai barat DemakJepara.
2.2.1 Geomorfologi Daerah Pemetaan
Pengelompokkan bentang alam di daerah pemetaan dilakukan secara sistematis
berdasarkan kenampakan bentuk bentuk relief di lapangan, kemiringan lereng, serta struktur
geologi yang mengontrolnya. Pembahasan konsep dasar geomorfologi bentuk bentang alam
suatu daerah merupakan pencerminan dari proses endogen dan eksogen yang mempengaruhinya
dimana setiap proses menghasilkan suatu bentuk bentang alam yang khas.
Secara umum geomorfologi daerah pemetaan memperlihatkan satuan geomorfologi
pegunungan, sampai dengan daratan. Pengklasifikasian bentang alam ini, dilakukan dengan
mengacu pada parameter parameter relief yang disusun oleh Van Zuidam (1983) (Tabel 2.1)
dan, Hidartan dan Handaya (1994).
Sedangkan untuk menentukan suatu stadia daerah (Tabel 2.2) atau stadia sungai (Tabel
2.3) digunakan parameter parameter berikut ini.
Tabel 2.1. Klasifikasi Van Zuidam

Parameter Satuan Relief


Muda
Datar/Hampir Datar Besar
Slope Gradient
Bergelombang/Miring
Landai
Kecepatan
Aliran
Tinggi
Bergelombang/Miring
Jenis Aliran Air
Turbulent
Bergelombang
Jenis Berbukit
Erosi
Vertikal
Berbukit
Tersayat Tajam/Terjal
Proses yang
Bekerja
Erosi
Pegunungan
Tersayat Tajam/Sangat
Terjal
Bentuk/Pola
Sungai
Lurus
Pegunungan Sangat Curam
Bentuk Penampang
Kerapatan/Anak Sungai

V
Kecil/Jarang

Stadia Sungai
Kelerengan
Dewasa (%)
2
Relatif0 Kecil
3
7
Sedang
8

13
Turbulent Laminar
20
Vertikal 14Horizontal
21
55
Erosi dan Deposisi
56

140
Lurus Bermeander
> 140
VU
Sedang/Mulai

BedaTua
Tinggi (m)
5
Tidak<Ada
5

Rendah50
25 75
Laminer
50 200
Horizontal
200
500
Deposisi
500

1000
Bermeander

> 1000
Komplek
U Datar
Besar/Banyak

Banyak

Tabel 2.2. Klasifikasi Stadia Daerah

Parameter
Stadia Sungai
Relief
Bentuk

Muda
Muda
Sedikit - Bergelombang

Stadia Daerah
Dewasa
Muda - Dewasa
Maksimum

Tua
Tua
Hampir Datar

Penampang

U-V

U Datar

Lembah
Kenampakan Lain

Bentang alam umumnya

Bentang alam

Bentang alamnya

datar sampai bergelombang.

bergelombang sampai

datar.

Tidak ada Gawir.

maksimum.

Hasil proses

Relief kecil.

Mulai ada gawir.

pengendapan.

Relief sedang

Tidak ada relief.

maksimum.

U - Datar

V-U

Tabel 2.3. Klasifikasi Stadia Sungai

Gambar 2.2. Peta topografi daerah pemetaan.


2.2.2 Stratigrafi Regional
2.2.2.1 Stratigrafi Zona Kendeng
Zona Kendeng pertama kali diberi nama oleh Martin untuk semua lapisan batuan yang
membawa atau mengandung fosil vertebrata yang terletak di Pegunungan Kendeng (sepanjang
Jawa Timur hingga Jawa Tengah). Lapisan-lapisan tersebut kemudian dikorelasikan dengan
lapisan Trinil oleh Dubois yang merupakan lapisan mengandung fosil yang berasal dari aktivitas
vulkanik, terbentuk di Trinil, Jawa Timur. Dubois memberikan terminologi kepada kompleks ini
Javanese Siwalik, yang dia yakini bahwa lapisan-lapisan tersebut mempunyai hubungan dengan
Anggota Siwalik di India. Martin mengemukakan bahwa umur dari lapisan batuan di Zona
Kendeng adalah Pliocene sedangkan menurut Dubois berumur Pleistocene. Penelitian terakhir
menunjukkan bahwa tidak semua lapisan batuan yang mengandung fosil tulang memiliki umur
yang sama. Khususnya Duyfjes dan Von Koenigswald telah banyak melakukan penelitian
stratigrafi pada lapisan-lapisan pembawa fosil tersebut. Penelitian-penelitian tersebut sangat
diperlukan terutama untuk menamakan bahwa Kendeng Beds merupakan nama kolektif untuk
lapisan-lapisan yang berumur Pleistocene, yang secara lokal mengandung fosil hewan vertebrata,

dan keberadaannya terutama berada di Perbukitan Kendeng yang berada di sebagian wilayah
Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Zona Kendeng merupakan seri perlapisan batuan yang bersumber dari vulkanik,
fluviatil, limnic, dan sedikit lapisan-lapisan yang berasal dari marine yang relatif mengalami
perubahan fasies lateral secara cepat meskipun ketebalan lapisannya relatif konstan. Ke arah
timur, fasies vulkanik berubah secara gradual menjadi seri marine, dimana fasies vulkanik yang
berada di atas semakin menipis secara gradual. Hal tersebut dapat dijelaskan dengan
mengasumsikan bahwa Gunung Wilis secara gradual membangun kakinya menuju ke arah timur
di atas lapisan sedimen marine. Ketebalan lapisan bervariasi dari 200 m di sebelah barat hingga
kira-kira 1000 m pada section bagian tengah dan juga sebelah timur. Secara umum lokasi tipenya
dapat dijumpai di Perbukitan Kendeng, antara Surabaya di bagian timur dan Ungaran di bagian
barat.

Gambar 2.3. Stratigrafi Zona Kendeng, Jawa Timur (Harsono, 1983)

Secara stratigrafi, urutan satuan batuan Dari tua ke muda Zona Kendeng dapat dibagi
menjadi beberapa Formasi Batuan. Masing-masing dari Formasi Batuan tersebut akan dijelaskan
satu-persatu sebagai berikut:
1.

Formasi Pelang
Terdiri dari Gray Marly Mudstone with Lenticular Intercalation Limestone yang

mengandung Foraminifera Besar Eulepidina sp. Lapisan-lapisan ini merupakan lapisan tertua
atau lapisan terbawah dari seri perlapisan Neogen yang dijumpai di sebelah barat Perbukitan
Kendeng. Formasi Pelang ditindih secara selaras oleh Formasi Kerek diatasnya. Lokasi tipe
formasi ini berada kira-kira 1 km dari Juwangi, di dekat Kedungjati, Kabupaten Semarang, Jawa
Tengah. Distribusi formasi ini berada di lokasi tipe dan juga bukit batugamping kecil yang
berada di Mrisi, bagian utara dari Perbukitan Kendeng sebelah Barat, Jawa Tengah. Formasi
Pelang merupakan formasi yang berumur Miocene.
2.

Formasi Kerek
Merupakan seri yang seragam dari batulempung napalan (marly clays) yang mengandung

Globigerina, Radiolaria, sponge spicules dan Discoaster, berselingan dengan calcareous tuffsandstone, dan juga batupasir kuarsa yang mengandung foraminifera besar. Ketebalan rataratanya kira-kira 1000 m, tetapi karena perlipatan yang intensif dan juga sesar-sesar yang terjadi
menyebabkan tidak ada lapisan yang menunjukkan ketebalan yang sesungguhnya atau asli.
Bagian atas dari Formasi Kerek didominasi oleh volcanic intercalations dibandingkan
dengan pada bagian bawah. Pada bagian bawah dapat dikorelasikan dengan flysch seperti
Merawu Series dan bagian atas dapat dikorelasikan dengan Penyatan Series yang merupakan
bagian dari Pegunungan Serayu Utara. Umur dari Formasi Kerek diestimasikan berumur Lower
Middle Miocene. Formasi Kerek menumpang di atas Formasi Pelang secara selaras dan
ditumpangi oleh Formasi Banyak yang merupakan produk vulkanik secara tidak selaras menurut
Van Bemmelen (1949a, hal.572) bagian dari Zoan Serayu Selatan. Lokasi tipe dari Formasi
Kerek tidak terindikasi. Distribusinya adalah di sepanjang Zona Kendeng antara Semarang
(Barat) dan Gundih (Timur), Jawa Tengah. Fosil yang ditemukan antara lain Cycloclypeus
(Katacycloclypeus) annulatus Martin.

3.

Formasi Kalibeng (Kalibeng Bawah dan Kalibeng Atas)


Formasi Kalibeng dibagi menjadi 2 yaitu Kalibeng Atas dan Kalibeng Bawah. Formasi

Kalibeng Bawah memiliki lapisan yang seragam yaitu Unbedded Globigrina-Marls pada bagian
Barat Zona Kendeng. Sedangkan Formasi Kalibeng Atas memperlihatkan perubahan fasies dari
barat ke timur. Pada bagian barat terdiri dari batugamping koralin batugamping Globigerina,
yang mana menuju ke arah timur berubah menjadi bedded sandy marls mengandung glauconite
dan Foraminifera kecil dan terkadang berubah menjadi bedded diatomaceous tipis.
Pada bagian barat Zona Kendeng, Kalibeng Bawah memiliki ketebalan kurang lebih 500
m. Kalibeng Atas yang terdiri dari batugamping memiliki ketebalan yang bervariasi antara 50 m
hingga 300 m. Ke arah selatan, ketebalan galuconiferous sandy marls semakin menebal
menumpangi batugamping, dimana berkembang juga fasies batupasir yang merupakan endapan
batupasir vulkanik dengan ketebalan yang juga bervariasi antara 25 m hingga 150 m.
Batupasir ditumpangi oleh Diatomaceous Marls, dengan ketebalan total (termasuk
Batupasir) maksimum 700 m. Fasies Diatomaceous juga berkembang di daerah Surabaya, tetapi
menuju ke arah utara fasies kembali berubah menjadi batugamping koralin, dimana batugamping
digunakan untuk industri semen. Ketebalan batugamping kira-kira 200 meter. Di Pulau Madura,
Formasi Kalibeng Atas juga hadir berupa batugamping Lithothamnium Reef.
Perubahan fasies yang cepat pada Formasi Kalibeng Atas menunjukkan bahwa fasies
tersebut diendapkan di lingkungan pantai dengan perubahan kondisi yang signifikan. Formasi
Kalibeng menumpangi lapisan-lapisan yang mengandung Lepidocyclina (Trybliolepidina) sp.
dan forminifera besar lainnya yang mengindikasikan umur Miocene (Formasi Rembang, menurut
Duyfjes ; Formasi Kerek, menurut Van Bemmelen). Formasi Kalibeng dapat dikorelasikan,
menurut Van Bemmelen (1949) dengan Formasi Banyak/Cipluk (Kalibeng Bawah) dan Formasi
Damar Bawah (Kalibeng Atas) di bagian barat Perbukitan Kendeng (Semarang-Ungaran), atau
dapat juga dikorelasikan dengan Formasi Wonocolo Atas, Formasi Ledok, dan Formasi Mundu
di daerah Rembang. Lokasi tipenya berada di Sungai Kali Beng, 14 km barat laut Jombang pada
koordinat 112o 8 50 E dan 7o 26 20 S. Distribusinya tersebar di Perbukitan Kendeng antara
Surabaya (Jawa Timur) dan Trinil (Jawa Tengah) pada pusat-pusat antiklin, termasuk yang ada di
Pulau Madura. Umur dari Formasi Kalibeng adalah Pliocene.
Formasi Kalibeng Atas terdiri dari Anggota Klitik dan Anggota Sonde. Anggota Sonde
merupakan Fasies Marls dari Formasi Kalibeng Atas. Marls tersebut hanya berkembang secara

lokal, dan secara lateral berkembang menjadi Fasies Batugamping yang merupakan anggota
Klitik. Lapisan-lapisan tersebut menumpang di atas Formasi Kalibeng Bawah dan ditumpangi
oleh Formasi Pucangan yang berumur Pleistocene. Anggota-anggota formasi tersebut
mengandung fosil yang mana 53% diantaranya masih bisa dijumpai hingga sekarang,
mengindikasikan umur lapisan adalah Upper Pliocene. Endapan yang berumur sama dapat
dijumpai di dekat Padasmalang dan Pengkol, di dekat Sonde dan Sangiran, Utara Surakarta.
Napal (Marls) tersebut banyak mengandung fosil-fosil moluska. Tipe lokasi dari Anggota Sonde
berada di Sonde dekat Trinil, Kabupaten Ngawi, Lembah Sungai Bengawan Solo, Jawa Timur.
Distribusinya secara umum berada di sebelah utara Perbukitan Kendeng. Ditemukan banyak fosil
penciri dari Anggota Sonde seperti Turritella angulata cicumpeiensis (Oosting), Terebra verbeeki
Martin, T. Insulinidae, Conus sondeianus Martin.

4.

Formasi Pucangan
Pada formasi ini dapat dibagi menjadi 2 macam fasies yaitu fasies marine clayey dan

fasies volcanic tuffaceous-sandy. Fasies yang kedua merupakan fasies yang banyak mengandung
fosil vertebrata. Fasies vulkanik berkembang di perbukitan Kendeng Bagian Barat, dimana
semakin ke arah timur berkembang semakin banyak marine intercalations yang menyebabkan di
dekat Surabaya, formasi ini terdiri dari batulempung dan tuff vulkanik yang mengandung fosil
moluska dari laut. Salah satu bagian paling timur dari Formasi ini adalah di Perning, utara
Mojokerto dimana fosil Homo mojokertensis ditemukan. Dari bagian bawah dapat dijabarkan
lapisan-lapisan batuan Formasi Pucangan, antara lain:
a.

Batupasir tuf tipis dan batupasir tuf lempungan, terkadang mengandung fosil

moluska laut dan sulit dibedakan dengan b. Lapisan ini disebut juga sebagai Zona
Moluska I. Tebal lapisan 25 m.
b.

Napal dan Batulempung, terkadang dijumpai batupasir tuff konglomeratik dengan

fosil moluska laut dan secara lokal berkembang coral-bioherms. Terdapat juga boulderboulder andesit. Disebut juga Zona Moluska II yang sulit dibedakan dengan Zona
Moluska I.

c.

Batupasir tuf berukuran halus yang mengandung variasi lempung, merupakan

lapisan-lapisan yang tipis dengan ketebalan 10 m.


d. Lapisan tebal batupasir kasar dengan lensa konglomerat tak beraturan disertai boulder
andesit, interkalasi tuf halus lempungan. Pada bagian bawah dijumpai lapisan tipis
batupasir tuf halus. Pada lapisan ini dijumpai fragmen fosil vertebrata dan merupakan
lapisan dimana Homo mojokertensis ditemukan. Ketebalan lapisan 100 m.
e.
f.

Batulempung Hijau, penyebarannya lokal. Ketebalan 5 m.


Batupasir tuf lempungan-napalan dengan fosil moluska laut dan Echinoid. Disebut

juga sebagai Zona Moluska III. Ketebalan lapisan 10 m.


g.

Batupasir Tufan. Ketebalan 35 m.

Di daerah Gunung Butak, memiliki perbedaan lapisan, dari bawah ke atas dapat dijabarkan
sebagai berikut:
a.

Breksi tuf dengan ketebalan 200 m.

b.

Lapisan Tuf dan Batupasir tufan dengan ketebalan 40 m.

c.

Breksi tuf dengan ketebalan 75 m.

d. Lapisan tuf dan Batupasir tufan dengan ketebalan 125 m.


Anggota vulkanik bagian atas dari formasi ini yaitu Anggota Butak menumpang di atas
anggota lapisan marine yang disebut Anggota Nngronan yang terdiri dari napal dan batupasir tuf
vulkanik gampingan, mengandung moluska, dengan ketebalan lapisan 100 m. Total ketebalan
dari Formasi Pucangan adalah 540 m. Semakin ke arah barat, di Trinil, Formasi Pucangan
direpresentasikan dengan 100 m breksi vulkanik, dengan interkalasi batupasir, tuf, dan
batulempung hitam tufan yang mengandung moluska air tawar.
Secara umum fasies Formasi Pucangan sangat bervariasi yang diakibatkan oleh proses
terbentuknya. Lapisan-lapisan vulkanik diendapkan dari Gunung Wilis yang mana sekarang
(sejak Pleistocene bawah) sangat aktif. Bagian bawah dari endapan vulkanik tersebut mencapai
laut Cekungan Kendeng dimana pada saat yang sama batugamping dan juga batulempung marine

diendapkan. Aktivitas vulkanik dan tubuh dari gunung api meningkat selama proses deposisi
berlangsung sehingga menyebabkan pada bagian bawah endapan marine sangat lebar dan
semakin sedikit ke arah atas. Pada zona transisi dimana tiga Zona Moluska berada telah dapat
dipisahkan, satu pada bagian bawah, dua pada bagian tengah dan tiga pada bagian atas.
Fasies vulkanik banyak mengandung fosil vertebrata yang menempatkan lapisan pada umur
Lower Pleistocene. Di daerah Dome Sangiran, Formasi Pucangan berkembang sebagai
batulempung hitam kaya akan fosil vertebrata dan juga moluska air tawar. Ketebalan lempung
hitam mencapai 300 m. Formasi Pucangan menumpang di atas Formasi Kalibeng secara tidak
selaras dan ditumpangi oleh Formasi Kabuh secara selaras. Lokasi tipe berada di Gunung
Pucangan, 20 km dari Jombang, Jawa Timur, koordinat 112o 17 7 E dan 7o 23 10 S.
Distribusi formasi berada di sepanjang Zona Kendeng dari barat ke timur sepanjang 200 km, di
Dome Sangiran 15 km Utara Surakarta, dan di dekat jalan kerata api Kalioso. Fosil-fosil penciri
Formasi ini antara lain Manis paleojavanicus Dubois, Ephimachairodus zwierzyckii Von
Koenigswald, Stegodon trigonocephalus, Hippopotamus (Hexaprotodon) antiquus Von
Koenigswald, Servus zwaani Von Koenigswald, Antilope modjokertensis Von Koenigswald,
Leptobos cosijni Von Koenigswald, Tapirus pandanicus Dubois.
5.

Formasi Kabuh
Terdiri dari batupasir vulkanik dengan ukuran kasar dan konglomerat, yang mengandung

moluska air tawar dan fosil vertebrata Trinil. Mengindikasikan bahwa formasi ini berumur
Middle Pleistocene. Pada bagian paling timur di dekat Surabaya terdapat interkalasi batuan
sedimen marine.
Formasi Kabuh merupakan formasi yang utamanya terdiri dari fasies fluviatil, terdapat
kehadiran cross-bedding pada lapisan-lapisannya. Fasies-fasiesnya berubah ketebalannya secara
cepat. Di sebelah barat dari kehadirannya, pada antiklin Sangiran di dekat Solo, terdiri dari
batupasir fluviatil cross-bedded dengan pada bagian atasnya terdapat interkalasil lapisan pebble
dan juga vulkanik tuf halus, dengan ketebalan kurang lebih 100 m. Di dekat Trinil, lebih ke
timur, fasiesnya sama dengan ketebalan 175 m. Vertebrata ditemukan pada bagian bawah lapisan,
di atas Formasi Pucangan (Breksi vulkanik).
Pada lapisan tersebut ditemukan fosil Pithecantropus Dubois bersama dengan banyak fosil
vertebrata dari Von Koenigswald. Lebih ke arah timur (50 km) di daerah Gunung Butak, Formasi
Kabuh berkembang menjadi batupasir andesitik kasar dan konglomerat, cross bedded, tetapi

dengan beberapa interkalasi dari napal yang mengandung Globigerina (salah satunya dengan
ketebalan 30 m, di dekat Kedungbrubus, Gunung Butak). Pada jarak 50-100 km lagi ke arah
Timur, Formasi Kabuh berkembang menjadi batulempung dengan interkalasi lapisan batupasir
tipis sedimen laut. Menuju ke arah selatan, fasies marine berubah kembali menjadi fasies
fluviovulkanik.
Ketebalan total dari Formasi ini adalah 400 m. Formasi Kabuh menumpang secara selaras di atas
Formasi Pucangan dan ditumpangi oleh Formasi Notopuro secara selaras dan tidak selaras pada
beberapa bagian, maupun ditumpangi oleh endapan Holosen secara tidak selaras. Di daerah
selatan dari Sidoarjo, Formasi Kabuh ditumpangi oleh Formasi Jombang yang merupakan
produk vulkanik. Lokasi tipe dari Formasi Kabuh adalah di daerah Desa Kabuh, 18 km dari utara
Jombang dan juga dapat dijumpai di Kali Sumberingin, 3,5 km di sebelah timur Kabuh pada
koordinat 112o 14 47 E dan 7o 23 45 S.
Distribusi formasi berada di beberapa antiklin kecil kira-kira 15 km dari Surakarta: Sangiran
Antiklin, Gemolong Antiklin dan juga sepanjang antiklinorium Perbukitan Kendeng yang
mencapai 200 km dari barat ke timur diantara Semarang dan Surabaya. Fosil-fosil penciri dari
Formasi Kabuh antara lain Cervus lydekkeri Martin, Duboisia kroesenii Dubois, Mececyon
trinilensis Stremme, Stegodon trigonocephalus Martin, Elephas namadicus Falconer, Sus
macronathus Stremme, Sus brachygnatus Dubois, Hippopotamus namadicus Falconer, Bos
bubalis palaeokerabau Dubois, Pithecantropus erectus Dubois.
6.

Formasi Notopuro
Terdiri dari tuf, batupasir tuf, konglomerat dan aglomerat dari vulkanik ataupun dari

batuan vulkanik yang telah tertransportasi, ditumpangi oleh Formasi Kabuh secara selaras dan
pada beberapa bagian tidak selaras akibat adanya hiatus dari Formasi Kabuh. Semakin ke arah
timur, pada posisi yang sama sengan formasi ini disebut sebagai Formasi Jombang yang
memiliki kemiripan komposisi dan dimungkinkan justru sama dengan Formasi Notopuro. Pada
formasi ini sangat jarang ditemukan fosil, di daerah Sangiran (Kalioso) utara Surakarta, beberapa
fragmen vertebrata ditemukan yang dimungkinkan sebagai hasil erosi dari Formasi Kabuh
dibawahnya yang secara lokal memang tidak selaras terhadap Formasi Notopuro.
Pada teras sepanjang Sungai Bengawan Solo, utara Ngawi, banyak ditemukan fosil
vertebrata yang berumur Upper Pleistocene. Endapan-endapan teras tersebut menumpang di atas

lipatan-lipatan berumur Pliocene secara tidak selaras. Begitu juga dengan Formasi Notopuro dan
Formasi Jombang yang mengalami perlipatan pada Middle Pleistocene, dimana Formasi
Notopuro lebih tua dari endapan teras dan lebih muda dari Formasi Kabuh yang berumur Middle
Pleistocene. Pada lain hal, deposit sungai seperti konglomerat dan batupasir kasar Formasi
Notopuro mengindikasikan fasies synorogenic yang memilki umur kurang lebih sama dengan
teras bagian paling atas

dari Sungai Bengawan Solo. Formasi Notopuro ditumpangi oleh

endapan vulkanik Holosen dan endapan aluvial.


Lokasi tipe dari Formasi Notopuro adalah di Desa Notopuro, 35 km timur laut Madiun,
Jawa Timur, Barat Gunung Pandan. Distribusinya ada di bagian barat dari antiklinorium
Perbukitan Kendeng, terutama sepanjang slope bagian utara, diantara Gunung Pandan di timur
dan Semarang di barat, dan juga terdapat pada beberapa antiklin kecil sepanjang 15 20 km
utara dari Surakarta (Sangiran Antiklin, Gemolong Antiklin).

7.

Endapan Teras Bengawan Solo dan Endapan Aluvial


Terdiri dari pasir dan gravel yang menutupi kelerengan dari bukit, terutama di sepanjang

Sungai Bengawan Solo antara Ngawi dan Cepu, pada ketinggian bervariasi dari 38-71 m di atas
permukaan laut (ketebalan lapisan sungai mencapai 38 m) yang merepresentasikan deposisi
selama prose kenaikan progresif dari Perbukitan Kendeng yang mana sungai memotong secara
anteseden. Pada banyak tempat gravel juga mengandung fosil vertebrata termasuk manusia Solo
(Homo neanderthalensis soloensis Oppenoorth) di daerah Ngandong dan Watumalang. Umur dari
endapan teras ini adalah Uppermost Pleistocene. Endapan Aluvial sendiri berumur Holosen yang
menumpang secara tidak selaras di atas Formasi Notopuro dan berumur paling muda.

Gambar 2.4 Peta geologi daerah pemetaan terdapat


Formasi Gamping Wungkal, Mandalika dan Semilir
( M. Datun, Sukandarrumidi, B. Hermanto & N. Suwarna, 1996)

2.2.3 Struktur Geologi Regional


2.2.3.1 Struktur Geologi Zona Kendeng
Deformasi pertama pada Zona Kendeng terjadi pada akhir Pliosen (Plio Plistosen),
deformasi merupakan manifestasi dari zona konvergen pada konsep tektonik lempeng yang
diakibatkan oleh gaya kompresi berarah relatif utara selatan dengan tipe formasi berupa ductile
yang pada fase terakhirnya berubah menjadi deformasi brittle berupa pergeseran blok blok
dasar cekungan Zona Kendeng. Intensitas gaya kompresi semakin besar ke arah bagian barat
Zona Kendeng yang menyebabkan banyak dijumpai lipatan dan sesar naik dimana banyak zona
sesar naik juga merupakan kontak antara formasi atau anggota formasi.

Deformasi Plio Plistosen dapat dibagi menjadi tiga fase/ stadia, yaitu; fase pertama berupa
perlipatan yang mengakibatkan terbentuknya Geantiklin Kendeng yang memiliki arah umum
barat timur dan menunjam di bagian Kendeng Timur, fase kedua berupa pensesaran yang dapat
dibagi menjadi dua, yaitu pensesaran akibat perlipatan dan pensesaran akibat telah berubahnya
deformasi ductile menjadi deformasi brittle karena batuan telah melampaui batas kedalaman
plastisnya. Kedua sesar tersebut secara umum merupakan sesar naik bahkan ada yang merupakan
sesar sungkup. Fase ketiga berupa pergeseran blok blok dasar cekungan Zona Kendeng yang
mengakibatkan terjadinya sesar sesar geser berarah relatif utara selatan.
Deformasi kedua terjadi selama kuarter yang berlangsung secara lambat dan mengakibatkan
terbentuknya struktur kubah di Sangiran. Deformasi ini masih berlangsung hingga saat ini
dengan intensitas yang relatif kecil dengan bukti berupa terbentuknya sedimen termuda di Zona
Kendeng yaitu Endapan Undak.
Secara umum struktur struktur yang ada di Zona Kendeng berupa :
1. Lipatan Lipatan yang ada pada daerah Kendeng sebagian besar berupa lipatan asimetri bahkan
beberapa ada yang berupa lipatan overturned. Lipatan lipatan di daerah ini ada yang memiliki
pola en echelon fold dan ada yang berupa lipatan lipatan menunjam. Secara umum lipatan di
daerah Kendeng berarah barat timur.
2. Sesar Naik Sesar naik ini biasa terjadi pada lipatan yang banyak dijumpai di Zona Kendeng,
dan biasanya merupakan kontak antar formasi atau anggota formasi.
3. Sesar Geser Sesar geser pada Zona Kendeng biasanya berarah timur laut- barat daya dan
tenggara -barat laut.
4. Struktur Kubah Struktur Kubah yang ada di Zona Kendeng biasanya terdapat di daerah
Sangiran pada satuan batuan berumur Kuarter. Bukti tersebut menunjukkan bahwa struktur
kubah pada daerah ini dihasilkan oleh deformasi yang kedua, yaitu pada Kala Plistosen.

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Metedologi Penelitian
Pada kegiatan Pemetaan Geologi ini, Metedologi penelitian yang digunakan yaitu 1) Tahap
persiapan dan studi pustaka, 2) Tahap pengumpulan data primer atau tahap Pemetaan Geologi, 3)
Tahap analisa data dan 4) Tahap penyusunan laporan dan kolokium.
3.1.1 Tahap Persiapan dan Studi Pustaka
Tahapan ini terdiri dari 4 kegiatan, antara lain :
1. Studi pustaka mengenai daerah pemetaan dari peneliti peneliti terdahulu.
2. Perencanaan lintasan lokasi pengamatan yang sesuai dengan efesiensi dan efektifitas
seorang geologi yang bekerja di lapangan, yaitu dengan pertimbangan sebagai berikut:

Lintasan tegak lurus dengan jurus


Diutamakan lintasan yang melewati sungai dan memotong seluruh formasi yang
terdapat di daerah pemetaan.
Perencanaan lintasan harus mempertimbangkan faktor resiko keselamatan.
3. Analisis peta topografi, digunakan untuk prediksi awal indikasi adanya struktur geologi
dan variasi geologi yang dijumpai di daerah pemetaan.
4. Persiapan Perlengkapan dan Pemilihan Base Camp. Perlengkapan yang dibutuhkan antara
lain :
Peta Topografi 1 : 25.000
Kompas Geologi
Buku Lapangan & Alat Tulis
Kantong Contoh Batuan
Plastik Peta
Larutan HCL 10%
Loupe
Palu Geologi
Kamera Digital
Komparator Batuan
3.1.2 Tahap Pengumpulan Data Primer atau Tahap Pemetaan Geologi
Tahap pengumpulan data primer atau Tahap pemetaan Geologi merupakan inti dari
kegiatan yang akan dilakukan di daerah kegiatan. Pada tahap ini kegiatan yang dilakukan berupa
pengumpulan data-data lapangan dengan pendekatan rumusamn masalah dan nantinya dapat
memberikan hasil yang diharapkan untuk menjawab batasan masalah.
Hal hal yang perlu dilakukan di lapangan adalah sebagai berikut :
Menentukan lokasi pengamatan dan plotting pada peta topografi.
Pengamatan dan pengukuran singkapan batuan serta pengambilan contoh batuan

untuk analisis laboratorium.


Pengukuran struktur geologi.
Pencatatan data observasi dalam buku lapangan.
Pengambilan foto geomorfologi dan singkapan batuan.
Pembuatan penampang tektonik.

3.1.3 Tahap Analisa Data


Tahap analisa data merupakan tahap lanjutan setelah Tahap pengumpulan data primer
telah dilakukan. Pada tahap ini dilakukan analisa terhadap sampel batuan, fosil, mikrofosil dan

analisa struktur yang diambil saat pengumpulan data primer. Analisa batuan dan fosil dilakukan
dengan menggunakan mikroskop analisis. Hasil dari pengataman dibawah mikroskop nantinya
dapat memberi data yang lebih akurat untuk mendukung data primer yang telah dikumpulkan.
Penelitian laboratorium dilaksanakan untuk melengkapi dan memperkuat data lapangan.
1. Analisis Mikropaleontologi dan Stratigrafi
Analisis ini bertujuan untuk interpretasi umur relative dari batuan serta untuk mengetahui
lingkunagn pengendapan daerah pemetaan.
2. Analisis Petrografi
Analisis ini bertujuan untuk mengetahui tekstur dan komposis mineral dari batuan serta
penentuan jenis dan nama batuan.
3. Analisis Kalsimetri
Analisis ini dilakukan untuk menentukan kadar karbonat dalam batuan.
3.1.4

Tahap Penyusunan Laporan dan Kolokium


Setelah melakukan tahap analisa data selanjutnya dilakukan tahap penyusunan laporan.

Tahap ini merupakan tahap penulisan hasil data yang diperoleh dilapangan serta analisa data
yang telah dilakukan di laboratorium. Penulisan data yang didapatkan berupa laporan geologi,
nantinya setelah selesai melakukan laporan geologi dilanjutkan dengan kegiatan kolokium.
Gambar 3.1. Diagram alir tahapan dan metode penelitian

BAB IV
WAKTU DAN RENCANA

4.1 Waktu
Waktu kegiatan dimulai dari minggu akhir Mei 2015 hingga awal September 2015 meliputi
pembuatan proposal, persiapan lapangan, lapangan (pemetaan). Selanjutnya dilanjutkan rencana
kegiatan pada tahun akademik baru yaitu kegiatan laboratorium pada minggu kedua September
2015, disambung dengan Penyusunan Laporan pada minggu keempat bulan September 2015
hingga minggu keempat bulan Oktober 2015 dan yang terakhir yaitu kegiatan Kolokium pada
minggu pertama bulan November 2015.
4.2 Rencana

Kegiatan
N
o
1
2
3
4
5
6

Mei

Juni

Septemb
Oktober
Novembe
er
r
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
Proposal
Persiapan
Lapangan
Lapangan(Pemet
aan)
Laboratorium
Penyusunan
Laporan
Kolokium

4.3 Rencana Lintasan Pengamatan

Juli

2015
Agustus

Anda mungkin juga menyukai