PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Komik merupakan suatu bentuk seni populer yang hidup dan berkembang
dalam masyarakat. Komik menjadi salah satu bentuk seni visual yang memadukan
beberapa unsur piktoral di dalamnya. Gambar-gambar yang ada membentuk
sekuen yang saling berhubungan. Komik sendiri memiliki definisi yang beragam.
Para ahli masih belum sependapat mengenai definisi komik.
Komik berasal dari kata Comic berarti lucu dalam bahasa Inggris atau
Kmikos dari Kmos revel bahasa Yunani yang muncul sekitar abad ke 16.
Makna aslinya demikian karena memang pada awalnya komik ditujukan untuk
membuat gambar-gambar yang menceritakan tentang hal-hal yang lucu. Komik
merupakan suatu bentuk seni yang menggunakan gambar-gambar tidak bergerak
yang disusun sedemikian rupa sehingga membentuk jalinan cerita (Wikipedia).
Scott McCloud dalam Understanding Comic (2008: 12) mendeskripsiskan komik
sebagai penyusunan gambar-gambar dalam sebuah urutan yang disengaja,
dimaksudkan untuk penyampaian pesan dan menimbulkan suatu nilai estetis pada
penampilannya. Eisner (dalam Darmawan, 2005: 242) mengemukakan bahwa
komik adalah sequential arts, seni sekuens. Komik merupakan susunan gambar
dan kata-kata untuk menceritakan sesuatu atau mendramatisasi suatu ide. Dengan
sekuens/pengurutan, narasi (dengan atau tanpa teks) terbangun. Dari banyak
yang dapat dianggap sebagai cikal bakal komik. Pemakaian epos besar, yakni
Mahabharata dan Ramayana dalam wayang menunjukkan bahwa sejak dulu
masyarakat Indonesia sudah dekat dengan cikal bakal komik yang berunsurkan
sastra.
Posisi komik sebagai karya sastra menjadi semakin tegas saat R.A.
Kosasih menciptakan karya besarnya, Mahabharata dan Ramayana. Karya sastra
kuno yang berasal dari kitab Astadasaparwa ini dialihwahanakan secara apik oleh
Kosasih. Melalui penelitian dokumen dan bantuan dalang, Kosasih mencipta
komik epos dunia perwayangan tersebut. Suksesnya sedemikian besar sehingga
Kosasih, dari tahun 1955-1960, tidak pernah berhenti membuat berpuluh-puluh
jilid komik (Boneff, 1998:204). Melalui karya besarnya itu pula banyak pihak
menganggap Kosasih sebagai Bapak Komik Indonesia.
Komik menjadi karya sastra salah satunya karena adanya unsur
alihwahana. Komik dapat dikolaborasikan penyajiannya dengan karya sastra tulis
lain. Dengan pengkolaborasian tersebut komik dapat menjadi produk yang bernilai
seni dan satra tinggi, tidak hanya dianggap sebagai produk sastra pinggiran biasa.
Contoh kasusnya adalah perkawinan antara komik dan puisi.
Mansyur Daman (dalam Comical Magz Edisi 6, 2011: 10) menyebutnya sebagai
bentuk komikalisasi puisi. Contoh komikalisasi puisi dapat ditemui pada komik
strip yang berjudul Hujan Bulan Juni yang dimuat pada buletin komik Comical
Magz Edisi 6 tahun 2011.
Hujan Bulan Juni (selanjutnya ditulis HBJ) sebelumnya merupakan puisi
karya Prof. Sapardi Djoko Damono dengan judul serupa. Sapardi Djoko Damono
Dalam
(http://henrykomik.com/wp/2013/04/jejak-penting-karya-
mansyur-daman/).
Selain Mandala yang melambungkan namanya, Man membuat komik yang
merupakan bentuk komikalisasi dari karya sastra. Salah satu contohnya adalah
Rosetta. Rosetta merupakan komik karya yang diadaptasi dari cerita karangan
H.F.R Kommer. Karya asli Rosetta dicetak oleh Bataviaschi Snelpersdrukkerij,
Kho Tjeng Bie & Co pada tahun 1910 (Comical Magz, 2011: 10). Rosetta terbit
tahun 2010. Setelah Rosetta, tahun 2011 Man memvisualisasikan puisi Hujan
Bulan Juni.
Komik Hujan Bulan Juni terbit di buletin komik Comical Magz edisi
keenam bulan Juni 2011. Komik HBJ berbentuk strip. Komik strip (comic strips)
merupakan komik bersambung yang dimuat pada surat kabar (Setiawan, 2002:
24). Namun, dalam perkembangannya, ada pula komik strip yang disajikan secara
mandiri artinya tidak memiliki hubungan cerita diantara edisi satu dengan yang
lainnya
sampai 13 Comical Magz. Man memvisualisasikan sajak HBJ yang berjumlah dua
belas larik ke dalam komik yang berjumlah dua belas panel.
Pengalihwahanaan sajak akan menimbulkan konsekuensi. Dengan adanya
beberapa transformasi maka makna yang didapat juga akan mengalami perbedaan
dengan makna karya sebelumnya. Dalam media visual, imaji yang pembaca punya
akan mengarah pada gambar-gambar yang disusun komikus. Pembaca hanya
tinggal menghayati bentuk visual yang sudah jadi. Imbasnya interpretasi pembaca
akan mengarah kepada subyektivitas komikus.
Namun, di balik itu semua, kehadiran komikalisasi ini justru membuat
rangkaian kata yang disusun penulis puisi sebelumnya jadi lebih mudah dipahami
pembaca, karena adanya petunjuk berupa sarana visual tadi. Sementara itu, ketika
kita membaca puisi secara langsung, kita akan dihadapkan pada makna filosofis
dan pemikiran sendiri dalam memaknai bentuk, serta rasa yang ditimbulkan dari
hasil penghayatan isi puisi tersebut. Melalui komikalisasi puisi kita bisa lebih
mudah melakukan interpretasi maupun pemaknaan terhadap suatu karya sastra,
dan juga bisa menikmati bentuk karya lain yang masih memiliki garis pemaknaan
sejalan dengan karya sebelumnya.
Komik HBJ menarik untuk dikaji karena sebagai produk visual memiliki
dia juga bermuatan sastra. Hal ini dapat dipahami sebab komik ini merupakan
bentuk alihwahana dari puisi dengan judul serupa. Namun sebagai komik, HBJ
hadir sebagai sebuah komik tanpa dialog. Teks yang hadir, yang merupakan lariklarik dari syair HBJ, hadir hanya sebagai bagian bentuk narasi dari cerita dalam
panel. Larik-larik dari HBJ masuk dalam caption pada beberapa panel. Caption
adalah kotak atau ruang yang dipakai untuk narasi (Darmawan, 2012:81).
Man memberikan teks hanya pada caption-caption dalam panel-panel
komik. Dalam HBJ unsur bahasa visual sangat dominan, walau kita juga tidak bisa
tidak mengacuhkan bahasa tulisan yang ada. Hal tersebut bisa dipahami,
minimnya teks, karena gambar yang Man buat sudah dapat memberikan alur
penceritaan komiknya. Makin eksplisit gambar, adegan yang terangkai, dan
perkembangan cerita yang dikaji, maka makin kecil peranan pendukung tersebut
(Boneff, 1998:132).
Ketiadaan dialog dalam komik ini membuat pemaknaan dalam komik ini
memerlukan pembacaan beberapa unsur. Unsur visual dan verbal dalam komik ini
perlu dikaji secara bersamaan untuk memperoleh makna yang diharapkan. Ilmu
yang diterapkan untuk mendapat pemaknaan atas suatu teks adalah semiotika.
Teori semiotika yang akan dipakai adalah analisis kode dari Roland
Barthes. Teori ini dipilih karenan nantinya unsur-unsur dalam komik HBJ akan
dipecah menjadi leksia-leksia. Leksia-leksia ini memungkinkan unsur verbal dan
unsur visual dianalisis secara bersamaan dan saling berkesinambungan. Dari
leksia-leksia ini akan diperoleh kode-kode tanda yang nantinya akan memberikan
pemaknaan terhadap komik HBJ.
1.2.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas permasalahan yang akan dibahas adalah
sebagai berikut;
1) Mencari kode-kode yang terdapat dalam pembagian leksia pada komik
Hujan Bulan Juni.
2) Mencari makna-makna yang terkandung komik Hujan Bulan Juni
setelah dilakukan proses pembacaan dan interpretasi dari teks-teks dan
visual yang ada.
1.3.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini memiliki dua tujuan pokok, yaitu tujuan teoritis dan tujuan
10
1.4.
Tinjauan Pustaka
Puisi Hujan Bulan Juni sendiri pernah dianalisis sebagai skripsi oleh
Durrotul Yatimah (2010). Yatimah menganalisis kumpulan sajak Hujan Bulan Juni
menggunakan pendekatan semiotika Rifaterre. Dalam penelitian tersebut, Yatimah
memaknai HBJ sebagai sebuah bentuk keikhlasan untuk mencintai, dengan
mengambil analogi pada Tuhan dan Ibu.
Penelitian dengan menggunakan pendekatan semiotika Roland Barthes
sebelumnya juga pernah dilakukan. Salah satu yang menggunakan teori tersebut
adalah Toto Mujio Mukmin (2002) dalam tesisnya yang berjudul Komik
Doraemon: Dari Sudut Pandang Ikonografi dan Semiotika. Objek penelitiannya
adalah komik Doraemon. Mukmin menggunakan pendekatan lima kode Roland
Barthes untuk memaknai komik Doraemon.
Dari dua penelitian di atas secara jelas dapat diketahui bahwa sebelumnya
belum ada penelitian tentang komik HBJ yang menggunakan pendekatan kode
semiotika Roland Barthes. Penelitian yang ada hanya HBJ saat masih berupa
sajak, belum dialihwahanakan, itu pun menggunakan pendekatan teori semiotika
11
lain. Pada penelitian tentang komik sendiri belum ada peneliti yang mengambil
komik HBJ sebagai objek penelitian.
1.5.
Landasan Teori
1.5.1. Semiotika
Semiotika adalah ilmu yang mempelajari tentang tanda. Tanda-tanda
tersebut menyampaikan sesuatu sehingga bersifat komunikatif. Semiotika berasal
dari kata Yunani, semeion, yang berarti tanda. Dalam pandangan Piliang
penjelajahan semiotika sebagai metode kajian ke dalam pelbagai cabang keilmuan
ini dimungkinkan karena ada kecenderungan untuk memandang pelbagai wacana
sosial sebagai fenomena bahasa. Dengan kata lain bahasa dijadikan model dalam
pelbagai wacana sosial. Berdasarkan pandangan semiotika, bila seluruh praktik
sosial dianggap fenomena kebahasaan, maka semuanya dapat juga dipandang
sebagai tanda. Hal ini dimungkinkan karena luasnya pengertian tanda itu sendiri
(Piliang, 1998: 262 dalam Tinarbuko, 2012:11).
Menurut Berger terdapat dua tokoh utama semiotika, yakni Ferdinand de
Saussure (1857-1913) dan Chares Sander Pierce (1839-1914). Latar belakang
keilmuan Sasussure adalah linguistik, sedangkan Pierce adalah filsafat.
(Tinarbuko, 2012: 11). Saussure berpendapat, seperti dikutip Pradopo (1991: 54
dalam Tinarbuko, 2012: 12) tanda adalah kesatuan dari dua bidang yang tidak
dapat dipisahkan, seperti halnya selembar kertas. Di mana ada tanda, di sana ada
sistem. Artinya, sebuah tanda (berwujud kata atau gambar) mempunyai dua aspek
yang ditangkap oleh indra kita yang disebut dengan signifier, bidang penanda atau
12
bentuk. Aspek lainnya disebut signified, bidang petanda atau konsep atau makna.
Aspek kedua terkandung di dalam aspek pertama. Jadi, petanda merupakan
konsep atau apa yang dipresentasikan oleh aspek pertama.
Konsep dasar semiotik Roland Barthes berangkat dari strukturalisme
Saussure. Konsep penanda-petanda Saussure tersebut dikembangkan oleh Barthes
dengan membagi sistem pertandaan menjadi dua tingkatan yang memungkinkan
untuk dihasilkan makna yang juga bertingkat-tingkat, yaitu tingkat denotasi dan
konotasi. (Barthes, 1983: 108).
Sistem denotasi adalah sistem pertandaan tingkat pertama, yang terdiri
dari rantai penanda dan petanda, yakni hubungan materialitas penanda atau
konsep abstrak di baliknya. Pada sistem konotasi, atau sistem penandaan tingkat
kedua, rantai penanda/petanda pada sistem denotasi menjadi penanda, dan
seterusnya berkaitan dengan petanda yang lain pada rantai pertandaan lebih tinggi.
Oleh Barthes, istilah signifiant (penanda) menjadi ekspresi dan signifie
(petanda) menjadi isi. Namun, Barthes mengatakan bahwa antara ekspresi dan isi
harus ada relasi tertentu sehingga membentuk tanda (sign). Setiap tanda selalu
memperoleh pemaknaan awal yang dikenal dengan istilah denotasi dan oleh
Barthes disebut sistem primer. Kemudian, pengembangannya disebut sistem
sekunder. Sistem sekunder merupakan pengembanga sistem primer ke arah
ekspresi atau ke arah isi (Hoed dkk, 2004:17).
Teori semiotika Barthes juga membahas tentang intertekstualitas. Setiap
teks dasarnya adalah interteks. Menurut Barthes (dalam Piliang, 2003: 131)
sebuah teks bukanlah sebaris kata-kata yang menghasilkan makna tunggal
13
14
15
ketegangan
dan
misteri,
sebelum
memberikan
16
17
peran yang seimbang antara dua unsur tersebut. Dengan mengetahui fungsi dan
peran masing-masing unsur akan memudahkan analisis yang dilakukan terhadap
komik.
Komik memiliki elemen dasar. Dengan melihat adanya elemen tersebut,
pembaca bisa mengetahui suatu karya bisa disebut sebuah komik. Darmawan
(2012:72) menyebutnya sebagai unsur tampak. Unsur tersebut terdiri dari panel
dan ruang bagi teks. Ruang bagi teks sendiri terdiri dari balon dan caption. Komik
HBJ sendiri memiliki unsur tampak panel dan caption. Dua unsur tersebut saling
bersinergi dalam memberikan pesan yang disampaikan komikus.
1) Peralihan Antarpanel
Komik HBJ memiliki dua belas panel. Dua belas panel tersebut hadir
secara berurutan dan berkelanjutan. Panel-panel tersebut dapat diuraikan peran
peralihannya untuk memecah leksia-leksia dalam komik HBJ. Dari leksia-leksia
tersebut akan ditemukan makna-makna yang terkandung dari komik HBJ.
McCloud (1993: 70) mendefisinisikan ada enam jenis peralihan
antarpanel. Peralihan-peralihan antarpanel tersebut akan memudahkan komikus
dalam merancang adegan dalam setiap panel. Selain itu, peralihan-peralihan
antarpanel tadi juga membantu memudahkan analisis bagian-bagian dalam narasi
komik. Enam hubungan tersebut adalah sebagai berikut.
a)
Waktu ke waktu
18
Aksi ke aksi
19
Subyek ke subyek
20
Adegan ke adegan
21
Aspek ke aspek
22
23
f)
Non-Sequitur
Gambar 6. Non-Sequitur
Peralihan terakhir adalah peralihan non-sequitur. Peralihan ini tidak
menawarkan hubungan logis diantara panel-panel yang terhubung. Panel ini
adalah panel paling abstrak dari pendapat Scoot McCLoud.
24
25
a)
Gambar 7. Gabungan khusus kata-kata
Hubungan antara gambar dan teks dalam gabungan khusus kata-kata. Jenis
hubungan ini menitikberatkan
pentingnya
hanya
b)
Gambar 8. Gabungan khusus gambar
Hubungan antara gambar dan kata dalam gabungan khusus gambar. Dalam
hubungan jenis ini, kombinasi kata-kata tidak telalu menambah makna pada
26
gambar yang sudah jelas dan tuntas dalam menceritakan adegan. Kata-kata disini
seakan-akan hanya menambah efek suara saja.
c)
Gambar 9. Panel khusus-Duo
Hubungan antara gambar dan kata-kata dalam panel khusus duo. Dalam hubungan
ini, gambar dan kata memiliki pesan yang sama. Darmawan (2012:182)
menanggap hubungan jenis ini sering dianggap redundan (terlalu mengulangulang) dan dijauhi para komikus muda.
d)
Gambar 10. Gabungan Aditif
27
Hubungan aditif atau saling menguatkan. Dalam hubungan ini, kata menyaringkan
dan meluaskan gambar, begitupun sebaliknya. Jika dalam hubungan panel khusus
duo, misalnya gambar seseorang pusing ditambahi balon kata dengan teks Aku
pusing!; maka dalam hubungan aditif, gambar seseorang yang sedang pusing
ditambahi kata-kata, Kepalaku rasanya mau pecah! (Darmawan, 2012:183).
e)
Gambar 11. Gabungan paralel
Hubungan selanjutnya adalah hubungan paralel. Dalam hubungan ini, kata-kata
dan gambar seperti berjalan sendiri-sendiri, sama-sama maju, tapi tidak saling
bersilangan. Elemen kata-kata dan gambar berjalan secara bersamaan dengan
tidak saling bersilang.
28
f)
Gambar 12. Gabungan Montase
Hubungan selanjutnya adalah hubungan montase. Dalam hubungan jenis ini, kata
dan gambar diperlakukan sebagai satu bagian yang menyatu. Kata bisa jadi
gambar, dan gambar bisa jadi bagian dari kata.
29
g)
Gambar 13. interdependen
Hubungan kata dan gambar terakhir adalah hubungan interdependen atau saling
bergantungan. Kata dan gambar memiliki peran yang seimbang. Keduanya saling
bergantung.
Kata-kata
dan
gambar
sama-sama
memiliki
peran
untuk
menyampaikan gagasan yang tidak mungkin dilakukan oleh salah satu elemen
saja.. keduanya saling bergantung, kata menjelaskan gambar dan gambar
menjelaskan kata.
30
Hubungan kata dan gambar dalam komik HBJ termasuk dalam hubungan
interdependen. Kata-kata dan gambar-gambar memiliki peran yang sama penting
untuk terbangunnya keseluruhan cerita. Kedua unsur tadi memiliki peran yang
seimbang.
Dalam hubungan interdependen, kata-kata dan gambar-gambar sama-sama
memiliki peran penting untuk terbangunnya cerita. Hal inilah yang bisa menjadi
landasan untuk melakukan analisis terhadap dua unsur utama komik, yakni teks
dan gambar. Komik HBJ akan dilakukan analisis pada gambar dan teksnya.
Analisis akan dilakukan pada kedua unsur tersebut, karena kedua unsur tersebut
sama-sama berperan dalam membangun cerita komik secara keseluruhan. Tidak
dimungkinan ditemukannya makna dalam komik, jika hanya menganalisis salah
satu unsurnya saja. Maka dari itu, analisis akan dilakukan pada gambar-gambar
dan teks-teks komik HBJ. Teks-teks dalam hal ini adalah kata-kata, atau yang
berasal dari larik-larik puisi SDD, yang terdapat dalam caption-caption komik.
1.6.
Metode Penelitian
Metode merupakan cara kerja yang bersistem untuk memudahkan
31
bagian demi bagian dan menyajikannya dalam bentuk deskripsi. Selain bentuk
penelitian kepustakaan, juga dilakukan sejumlah pengamatan lapangan untuk
memenuhi data-data faktual yang berkaitan dengan repons dari pembaca komik
Hujan Bulan Juni.
Langkah-langkah penelitian yang akan ditempuh adalah sebagai berikut;
1.
2.
3.
4.
5.
6.
1.7.
Sistematika Penyajian
Sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut. Bab I berisi
32
dengan lima kode Roland Barthes. Bab III menyajikan penafsiran yang berisi
makna-makna
berdasarkan
uraian
yang
diperoleh
pada
Bab
II
dan