Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Di era globalisasi pada saat ini, kegiatan bidang ekonomi bahkan kegiatan
selain bidang ekonomi telah menerima berbagai ide dan kreasi dari berbagai pihak
dan kalangan. Ini menjadikan terciptanya pola atau cara dari berbagai pihak dan
kalangan tersebut untuk mengeluarkan berbagai jenis tanggapan dan pendapat.
Karena banyaknya berbagai jenis tanggapan dan pendapat baik yang
bersifat positif atau negatif, kritik atau saran, pro atau kontra, fakta atau isu,
bahkan persuatif atau provokatif memicu lahirnya kata mufakat dan kesepakatan.
Kesepakatan ini menyatukan dan menyimpulkan dari hasil berbagai ide
dan pemikiran yang terjadi tersebut. Sebelum kata sepakat ini terwujud maka kita
perlu mengetahui langkah-langkah yang dilakukan. Salah satunya melalui proses
pemungutan suara (atau biasa disebut voting).
I.2 Perumusan Masalah
Adapun hal yang perlu kita ketahui dari pemungutan suara ini adalah :
a.
b.
c.
d.
e.

Apa itu pengertian dan latar belakang terjadinya pemungutan suara ?


Bagaimana pemungutan suara itu terjadi ?
Teori-teori apa saja yang digunakan dalam pemungutan suara ?
Kapan pemungutan suara itu dilaksanakan ?
Tujuan dari pemungutan suara itu ?

BAB II

PEMBAHASAN

II.1. Pengertian Pemungutan Suara


Dalam contoh, jika dalam masyarakat hanya ada dua orang konsumen atau
dalam masyarakat kecil pencerminan kesukaan dapat dilakukan dengan proses
negosiasi atau tawar menawar, tetapi proses negosiasi tidak dapat dilakukan dalam
masyarakat yang besar. Oleh karena itu dalam masyarakat demokratis kesukaankesukaan masyarakat dan kesediaan mereka untuk membiayai barang publik harus
dilakukan dengan cara pemungutan suara. Namun, dalam negara yang mempunyai
sistem pemerintahan diktator, penguasalah yang memutuskan barang dan jasa
publik apa dan berapa jumlah yang akan disediakan dan bagaimana cara
pembiayaaan barang publik tersebut. Oleh karena itu hasil dari pemungutan suara
tergantung dari dua faktor berikut ini :
1. Distribusi suara di antara para pemilih
2. Cara penentuan hasil pemungutan suara
Ahli ekonomi yang pertama kali menganalisa pengambilan keputusan
dengan cara pemungutan suara adalah Knut Wicksell. Ia berpendapat bahwa
proses politik dalam bidang ekonomi sangat penting untuk mencapai alokasi
sumber-sumber ekonomi yang efisien. Akan tetapi pemungutan suara dengan cara
yang sangat sederhana, yaitu pemungutan suara mayoritas sederhana (simple
majority) untuk menunjukkan kesukaan masyarakat terhadap barang-barang dan
jasa merupakan cara yang tidak tepat. Sistem pemungutan suara dengan cara satu
orang satu suara tidak akan memberi hasil yang mencerminkan kesukaan
masyarakat terhadap barang-barang dan jasa merupakan cara yang tidak tepat.
Sistem pemungutan suara dengan cara satu orang satu suara tidak akan memberi
hasil yang mencerminkan kesukaan masyarakat apabila cara pemungutan suara
dilakukan dengan suara mayoritas sederhana, dimana apabila dalam masyarakat
terdapat sejumlah M orang maka pemenangnya ditentukan dengan rumus
(M/2)+1.

Contohnya, pemerintah akan membangun dam dan diputuskan bahwa


setiap orang harus ikut menanggung biaya pembangunan dam tersebut sebesar Rp
5.000.000,00. Dalam jumlah yang sama, masing-masing membayar Rp 5.000,00.
Misalkan jumlah pemilih sebanyak 1000 orang terdiri dari 500 orang pedagang.
Pemungutan suara dilakukan dengan cara mayoritas sederhana dengan hasil 501
orang setuju dan 499 orang tidak setuju sehingga dam tersebut akan didirikan
karena hasil pemungutan suara menyatakan pihak yang setuju lebih banyak
daripada pihak yang tidak setuju walaupun perbedaan suara hanya satu orang.
Wickell mengatakan bahwa cara ini tidak efisien oleh karena 499 orang juga harus
menanggung biaya dam walaupun mereka tidak menginginkan adanya dam
tersebut. Jadi para petani yang berkepentingan dengan adanya dam untuk mengairi
sawah akan mendukung rencana pembangunan dan pembiayaan dam, sedangkan
para pedagang yang tidak berkepentingan dengan adanya dam harus ikut
menanggung biaya pembuatan dam tersebut.
II.2. Inefisiensi dan Keterpaksaan
Dalam pemungutan suara dengan sistem mayoritas sederhana terdapat
kemungkinan suatau proyek yang dilaksanakan merupakan proyek yang tidak
efisien dan beberapa orang dipaksa untuk menerima proyek tersebutwalaupun
mereka memperoleh manfaat yang sangat kecil dari proyek tersebut sebagaimana
dapat dilihat pada tabel berikut :
Pemilih
Adil
Bei
Surya

Biaya
10
10
10
30

Manfaat

Manfaat

Setuju/Tidak

15
11
2
28

Neto
5
1
-8
-2

Setuju
Setuju
tidak

Dari tabel tersebut dilihat bahwa Adil, Bei, dan Surya harus membayar Rp
30,00 untuk membangun suatu proyek, sedangkan hanya Adil dan Bei yang
menerima manfaat neto yang positif sehingga mereka menyutujui pembangunan
proyek tersebut. Sebaliknya, Surya karena menerima manfaat neto yang negatif

tidak menyutujui pembangunan proyek, tetapi karena hanya dia sendiri yang tidak
setuju maka proyek tersebut akan dilaksanakan. Proyek tersebut hanya
memberikan manfaat sebesar Rp 30,00, sehingga proyek tersebut secara total
tidaklah efisien. Orang yang setuju menerima manfaat bersih sebesar 6 sedangkan
manfaat neto bagi yang tidak setuju sebesar -8, sehingga yang memperoleh
manfaat tidak dapat memberikan kompesasi bagi yang kalah sehingga kondisi
pareto optimum tidak tercapai. Karena proyek tersebut disetujui oleh dua orang
dan tidak disetujui oleh satu orang saja, maka proyek tersebut akan dilaksanakan
dan Surya terpaksa membayar dan menikmati proyek tersebut.
II.3. Teori Wicksell
Menurut Wicksell cara pemungutan dengan suara mutlak 100 persen
(unanimous) hasilnya akan sama dengan sistem harga pada pasar persaingan
sempurna. Jadi menurut Wicksell penentuan harga untuk barang publik atau
barang sosial tidak dapat dilakukan dengan cara sistem pasar pada masyarakat
yang jumlahnya besar sehingga harus dilakukan dengan sistem pemungutan suara,
dan hanya sistem pemungutan dengan suara mutlak (setuju 100 persen) yang
dapat menyamai hasil yang dicapai melalui sistem harga untuk barang swasta.
Wicksell menyadari juga bahwa cara pemungutan dengan suara mutlak akan
menghambat pelaksanaan perekonomian karena sangat sulit memperoleh suara
bulat dalam suatu pemungutan suara, karena itu dari segi praktis ia mengusulkan
cara yang kedua yaitu relatif suara, di mana 55/6 suara yang menang.
II.4 Teori Buchanan dan Tullock
Buchanan dan Tullock juga mengemukakan pendapat mengenai faktorfaktor yang mempengaruhi cara pengambilan keputusan. Mereka menganalisa
berapa jumlah suara sebaiknya yang menang dalam suatu pemungutan suara.

Kurva SS pada diagram diatas menunjukkan biaya yang harus dipikul


oleh golongan masyarakat yang tidak setuju dengan pembangunan suatu proyek.
Apabila jumlah orang yang setuju dengan adanya suatu proyek sebesar satu
persen dan proyek tersebut dilaksanakan, maka orang lain yang tidak setuju
dengan adanya proyek tersebut harus ikut memikul biaya pembangunan proyek di
atas. Ini berarti, biaya bagi orang yang tidak suka (seb esar 99 persen) menjadi
sangat tinggi karena biaya ini mencerminkan ketidaksukaan mereka akan proyek
yang akan dilaksanakan tersebut.
Semakin banyak orang yang setuju maka semakin sedikit orang yang tidak
setuju sehingga semakin sedikit pula biaya yang mencerminkan ketidaksukaan
orang yang tidak setuju akan adanya proyek tersebut. Pada titik A semua orang
setuju sehingga biaya yang mencerminkan ketidaksenangan akan proyek yang
akan dibangun menjadi nol.
Kurva DD, menunjukkan biaya yang diperlukan untuk mendapatkan suara
setuju akan dibangunnya suatu proyek. Apabila diinginkan lebih banyak suara
setuju akan proyek tersebut maka biaya yang harus dikeluarkan untuk
mendapatkan suara yang menyetujui adanya proyek menjadi semakin besar.
II.4 Pilihan Perdasarkan Suara Bulat (Aklamasi)
Cara pemungutan suara dengan suara bulat di mana 100 persen orang setuju
akan diadakannya suatu proyek merupakan cara yang paling baik. Ini disebabkan
karena cara ini dapat melindungi golongan minoritas dalam suatu masyarakat.

Misalnya saja, pemerintah akan melaksanakan proyek pembangunan dam. Dari


para pemilih, sebanyak 99 persen penduduk setuju adanya dam tersebut tetapi ada
1 persen penduduk tidak setuju karena mereka akan tergusur dengan adanya dam
tersebut. Dengan cara pemungutan suara yang lain (misalnya dengan system
pemungutan suara berdasarkan suara mayoritas), maka proyek tersebut akan tetap
dilaksanakan karena suara mayoritas menghendakinya. Tetapi dengan cara
aklamasi maka proyek tersebut tidak dapat dilaksanakan karena ada golongan
minoritas yang tidak setuju sehingga kepentingan mereka dalam cara pemungutan
suara aklamasi ini terjamin. Hanya saja, cara ini sulit untuk dilaksanakan apabila
jumlah pemiungut suara besar sekali. Semakin besar atau banyaknya jumlah
pemungut suara maka akan semakin sulit tercapai suatu persetujuan secara
aklamasi.
II.5 Pilihan Berdasarkan Suara Terbanyak
Melalui cara ini, keputusan diambil apabila jumlah orang yang setuju lebih
banyak daripada jumlah orang yang tidak setuju. Sistem ini yang paling sederhana
adalah 50 persen plus satu [(n/2)+1], atau system kuorum di mana keputusan
dilaksanakan apabila dua pertiga suara [(2/3)n] menyatakan setuju. Misalnya,
apabila ada jumlah pemilih sebanyak 100 orang maka suatu proyek akan
dilaksanakan apabila 75 orang menyatakan setuju atau paling minimal 51 orang
menyatakan setuju untuk dilaksanakan.
II.6 Arrow Paradoks
Sistem pemungutan suara dengan cara mayoritas sederhana sepertinya akan
dengan mudah mencapai keputusan. Tetapi Arrow berhasil menunjukkan adanya
masalah yang timbul dengan system ini apabila pemungutan suara diadakan untuk
menentukan pilihan atas tiga kegiatan atau lebih. Arrow menyebutkan ada 5 syarat
yang harus dipenuhi agar pemilihan suara dapat mencapai hasil yang efisien, yaitu
hasil yang mencerminkan kesukaan masyarakat yang sebenarnya.

1. Pilihan harus dilaksanakan secara konsisten. Misalnya ada 3 pilihan X, Y dan


Z. Maksud dari syarat yang pertama ini adalah apabila X lebih disukai dari Y;
dan Y lebih disukai dari Z maka X harus lebih disukai dari Z
2. Pilihan alternative (yang kedua) tidak boleh ditekuk dengan berubahnya uruturutan pilihan yang disukai. Misalnya ada 5 jenis pilihan dengan urut-urutan
dari yang disukai sampai yang paling tidak disukai sebagai berikut: X, Y, Z,
W, N. Di sini X adalah yang paling disukai dan N adalah yang paling tidak
disukai. Ranking dari pilihan

haruslah tidak berubah apabila urut-urutan

diubah menjadi Y, X, Z, W, N oleh karena X tetap berada di atas Z, W, dan N


3. Urut-urutan pilihan tidak boleh berubah apabila satu (atau lebih) pilihan
alternative dihilangkan.
4. Pemilih harus menentukan pilihannya dengan bebas
5. Penentuan pilihan tidak boleh dilaksanakan secara dictatorial
Tabel 1.1 di bawah menunjukkan satu contoh, di mana masyarakat dari 3 orang
pemilih yang harus menentukan pilihan mereka atas 3 jenis proyek pemerintah,
yaitu untuk peningkatan keamanan dengan menambah jumlha polisi (P); untuk
membangun jalan (J); dan untuk membuat Dam (D). Sistem pemungutan suara
dilakukan dengan cara mayoritas sederhana dan hasil pemungutan suara adalah
sebagaimana ditunjukkan pada tabel 1.1.
Tabel 1.1

Pilihan
Pemilih
I
II
III
Adil (A)
Polisi
Jalan
Dam
Bei (B)
Jalan
Dam
Polisi
Surya (S)
Dam
Polisi
Jalan
Misalkan proyek D dihapuskan, sehingga Adil, Bei dan Surya dihadapkan pada
dua pilihan saja, yaitu pembuatan jalan (J) dan jasa polisi (P) seeperti ditunjukkan
pada tabel 1.2
Tabel 1.2
Pilihan
Pemilih
P
J
Adil
V
Bei
V
Surya
V
Hasil
2
1
Adil lebih menyukai jasa polisi (P) daripada pembuatan jalan (J), begitu juga
dengan Surya. Sebaliknya, Bei lebih menyukai pembuatan jalan daripada jasa
polisi. Hasil pemilihan dapat dilihat pada tabel 1.2 di mana jasa polisi mendapat
suara lebih banyak daripada pembuatan jalan (J).
Misalkan selanjutnya, bahwa sekarang jasa polisi yag dihapuskan sehingga
individu A, B, dan S menghadapi dua pilihan saja, yaitu J dan D. Hasil pemilihan
adalah seperti yang disajikan pada tabel 1.3. Pada tabel ini dapat dilihat bahwa A
dan B memilih J dan S memilih D sehingga pilihan J mendapat suara yang lebih
banyak daripada pilihan D.
Tabel 1.3
Pilihan
Pemilih
J
Adil
V
Bei
V
Surya
Hasil
2
Selanjutnya, apabila pilihan J dihapuskan sehingga A, B

D
V
1
dan S hanya

menghadapi pilihan P dan D, dari tabel 1.4 dapat dilihat bahwa pilihan P hanya
mendapat satu suara dan pilihan D mendapat dua suara.
Tabel 1.4
Pilihan

Pemilih
P
D
Adil
V
Bei
V
Surya
V
Hasil
1
2
Dari tabel 1.2; 1.3; 1.4 dapat kita lihat adanya ketidakkonsistenan atas proyek
pemerintah yang dipilih. Proyek

yang dipilih mengalami perubahan dengan

hapusnya satu jenis proyek sehingga keadaan tersebut melanggar syarat ketiga
yang dikemukakan oleh Arrow. Dalam hal ini kita dapatkan bahwa proyek P lebih
disukai daripada proyek J; proyek J lebih disukai daripada proyek D tetapi proyek
D lebih disukai dari proyek P yang berarti melanggar syarat yang pertama.
Jadi Arrow menunjukkan bahwa pemilihan dengan system mayoritas
sederhana mungkin memberikan hasil yang tidak rasional sehingga akibatnya
tidak ada satupun proyek yang diunggulkan dan tidak dapat diputuskan proyek
mana yang akan dilaksanakan. Pemungutan suara secara mayoritas sederhana
dapat sesuai dengan keinginan pemilih hanya pada keadaan tertentu saja, seperti
ditunjukkan pada tabel 1.5
Tabel 1.5

Pemilih
Adil (A)
Bei (B)

I
J
P

II
D
D

III
P
J

Surya (S)

Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa apabila pilihan P (polisi)


dihilangkan, Adil lebih suka proyek J daripada D, sedangkan Bei dan Surya lebih
suka akan proyek D daripada J. Jadi proyek D lebih disukai daripada proyek J.
Kalau pilihan proyek D dihilangkan maka 2 orang memilih proyek P sedangkan 1
orang (Adil) memilih proyek J. Berarti lebih banyak orang yang menyukai proyek
P daripada proyek J. Kalau pilihan proyek J yang dihilangkan maka 2 orang (Bei
dan Surya) memilih proyek P dan Adil memilih proyek D. Jadi di sini kita
dapatkan suatu keadaan di mana proyek P lebih disukai daripada proyek D;
proyek D lebih disukai daripada proyek J dan proyek P lebih disukai daripada
proyek J. Pilihan ketiga orang tersebut konsisten dan mencerminkan urutan
kesukaan masyarakat akan ketiga pilihan proyek.
II.7 Pilihan Berdasarkan Pilihan Ganda (Plurality Voting)
Pemungutan

suara

berdasarkan

pilihan

ganda

dilakukan

dengan

memberikan angka berdasarkan urutan kesukaan. Untuk proyek yang paling


disukai diberi angka 1 dan nilai yang semakin besar untuk proyek yang tidak
disukai. Misalnya ada 3 proyek J,D, dan P sehingga maksimum angka untuk
proyek yang paling tidak disukai adalah nilai 3. Proyek yang mendapat nilai
terkecil adalah proyek yang menang, sedangkan proyek yang nilai terbesar adalah
proyek yang kalah.

Tabel 5.10.
Pilihan Berdasarkan Pilihan Ganda
Proyek

Pemilh
10

Jalan raya
Dam
Polisi

Adil
1
2
3

Bei
3
2
1

Surya
3
1
2

Total nilai
7
5
6

Table 5.10. menunjukan hasil pilihan berdasarkan pilihan ganda. Adil


sangat menyukai jalan raya dan mempunyai nilai 1 sedangkan bei sangat tidak
menyukainya sehingga member nilai. Dari nilai ketiga orang tersebut terlihat
bahwa proyek pembangunan dam memperoleh nilai terkecil (5) sehingga proyek
tersebutlah yang menang. Sebaliknya proyek pembuatan jalan raya memperoleh
nilai terbesar (7) sehingga menjadi proyek yang kalah.
II.8 Teori Demokrasi Perwakilan
Dalam kenyataan jarang terdapat cara pemungutan suara untuk
menetapkan proyek-proyek pemerintah dengan melibatkan seluruh masyarakat.
Pada umumnya pemungutan suara dilakukan oleh rakyat melalui wakil-wakil
mereka. Dengan system perwakilan seperti itu, adakah jaminan bahwa wakilwakil rakyat akan memilih proyek-proyek pemerintah sesuai apa yang
dikehendaki oleh rakyat? Suatu model mengenai demokrasi perwakilan pertama
kali dikemukakan oleh Joseph Schumpeter dan kemudian dikembangkan oleh
Anthony downs. Model ini di dasarkan pada suatu asumsi bahwa masyarakat dan
wakil-wakil rakyat bertindak secara rasionil yang didasarkan pada kepentingan
pribadi mereka masing-masing. Tujuan para politisi atau wakil-wakil rakyat
adalah mempertahankan kedudukan mereka. Ini dapat dilakukan apabila mereka
menyarakan kehendak masyarakat yang mereka wakili, sehingga tujuanwakil
rakyat adalah memaksimalkan jumlah suara yang memilih. Tujuan rakyat terutam
aadalah memaksimalkan manfaat yang diterima dari proyek-proyek pemerintah
dan meminimumkan pembayaran pajak. Rakyat akan meilih wakil-wakil yang
menurut rakyat dapat mewakili keinginan mereka. Sebaliknya, wakil-wakil rakyat
juga berusaha untuk memilih proyek-proyek yang diinginkan oleh rakyat agar
rakyat tetap memilih mereka sebagai wakil-wakil rakyat. Jadi menurut teori ini,
adanya tujuan untuk memikirkan kepentingan diri masing-masing individu
11

menyebabkan proyek-proyek pemerintah yang dilaksanakan adalah proyekproyek yang diinginkan oleh rakyat walaupun mereka tidak secara langsung
mengadakan pemilihan suara, tetap melalui wakil-wakil mereka.
II.9 Koalisi Dalam Pemungutan Suara
Banyak proyek pemerintah yang tidak dilakukan secara sendiri-sendiri,
tetapi dalam suatu paket yang terdiri dari beberapa proyek. Di sini para pemilih
tidak memilih satu-satu proyek yang akan dilaksanakan pemerintah, akan tetapi
mereka memilih suatu paket yang terdiri dari beberapa jenis proyek. Dalam hal
ini, mungkin para pemilih mengadakan suatu koalisi untuk memenangkan suatu
proyek yang disukai. Misalkan dalam suatu pemilihan terdapat 3 orang wakil
rakyat yaitu individu I,II, dan III yang memilih empat buah proyek A, B, C, dan D
yang dijadikan dua paket, tiap pemilih diberikan angka 100 yang dapat
didistribusikan diantara dua proyek dalam satu paket. Hasil pemungutan suara
ditunjukan dalam table 5.11.

Tabel 5.11.
Hasil Pemungutan Suara

Kasus 1
II

III

Paket 1
12

kasus 2
II

III

Proyek A
Proyek B
Paket 2
Proyek C
Proyek D
Kombinasi
Unggulan A dan

1
99

51
49

60
40

1
99

51
49

60
40

51
49

52
48

45
55

51
49

52
48

20
80

C
Kalah B dan D
Kombinasi
Terpilih

52
148

103
97

105
95

52
148

103
97

80
120

(B,D)

(A,C)

(A,C)

(B,D)

(A,C)

(B,D)

Dari table 5.11. pada kasus 1, apabila setiap proyek dipilih secara sendirisendiri maka kita akan memperoleh hasil sebagai berikut: antara proyek A dan
proyek B, individu I memilih proyek B, sedangkan individu II dan III memilih
proyek A. karena itu proyek A yang menang dalam system pemungutan suara
berdasarkan suara terbanyak. Antara proyek B dan proyek D, individu I dan II
memlilih proyek C sedangkan individu III memilih proyek D, jadi berdasarkan
suara terbanyak proyek C yang menang. Apabila kit kombinasikan antara proyekproyek yang menang (A dan C) dalam satu paket dan proyek-proyek yang kalah
(B dan D) dalam paket lain, maka individu I memilih proyek (B,D) sedangkan
individu II dan III memilih proyek (A,C). jadi disini terlihat adanya keserasian
dalam dua kali pemilihan. Pemilihan untuk setiap jenis proyek secara sendirisendiri memberikan hasil yang sama dengan apabila pemiliha didasarkan pada
kombinasi pilihan, yaitu proyek A dan C menang dalam pilihan proyek secara
individu maupun paket unggulan.
Walaupun demikian penggunaan plurality voting dengan cara kombinasi
paket unggulan mungkin saja tidak menghasilkan keputusan apa-apa karena
adanya arrows paradox. Ini dapat dilihat padaa kasus 2 dimana individu III
mempunyai skala preferensi yang tinggi pada proyek D sehingga ia memberikan
nilai 80 untuk proyek tersebut dan hanya 20 untuk proyek C. kita lihat bahwa
apabila pemilihan proyek didasarkan pada system paket, maka pada paket 1
proyek A yang menang, sedangkan pada paket 2 proyek C mendapat suara
13

terbanyak. Kalau proyek-proyek tersebut dikombinasikan dalam satu paket antara


proyek-proyek yang menang dan proyek-proyek yang kalah, mak individu I dan II
ternyata memilih kombinasi proyek yang kalah (B,D), sedangkan individu II
memilih kombinasi proyek yang menang (A,C). karana itu atas dasar suara
terbanyak paket dengan kombinasi proyek (B,D) memperoleh suara terbanyak.
Disini terlihat adanya ketidakselarasan anta piilihanmproyek secara sendiri-sendiri
(proyek A dan C) dan secara kombinasi paket (B,D). jadi preferensi pemilih dapat
menimbulkan ketidakselarasan da antara berbagi-bagi proyek pilihan, sehingga
dalam pemungutan suara secara mayoaritas dengan kombinasi proyek dan skala
preferensi mungkin terjadi voting yang paradox.
II.10 Pertukaran Suara atau Logrolling
Dalam hal pemilihan suara untuk proyek secara paket, para pemilih dapat
mengadakan logrolling. Logrolling merupakan suatu cara bagi pemilih untuk
melakukan kolusi diantara para pemilih yang kalah dengan cara mempertukarkan
suara agar mereka sama-sama memperoleh keuntungan dengan cara memberikan
nilai lebih banyak kepada proyek yang disukai oleh pemilh lain apabila pemilih
tersebut memberikan nilai yang lebih besar kepada proyek yang disukainya.
Sebagai contoh, pada kasus dua kita lihat bahwa individu I kalah pada proyek B
yang sangat disukainya, sedangkan individu III kalah pada proyek D yang sangat
disukainya. Dalam hal ini individu I dan III dapat melakukan logrolling, yaitu
individu I akan memberikan nilai yang lebih besar pada proyek D apabila individu
III bersedia memberikan nilai yang lebih besar pada proyek A. kedua individu
tersebut memperoleh kepuasan karena dengan logrolling tersebut maka proyekproyek yang sangat disukai menjadi pemenang. Dalam proses logrolling ini
individu II yang tadinya puas karena proyek-proyek yang disukainya menang
(proyek A dan C) berbalik menjadi tidak puas karena sekarang menjadi kalah.
Proyek yang menang adalah proyek B dan D.
Dari analisa di atas dapat disimpulkan bahwa pemilihan proyek-proyek
dengan system mayoritas sederhana dapat menimbulakn masalah karena adanya

14

arrow paradox, kecuali pada suatu masyarakat yang sangat homogeny dimana
preferensi mereka semuanya sama sehingga dapat dilakukan pemilihan secara
aklamasi.
Dalam dunia nyata, pelaksanaan pemungutan suara banyak dilakukan oleh
wakil-wakil rakyat sehingga hasil pemungutan suara tergantung pada kemampuan
para politisi dalam melakukan strategi untuk mensukseskan proyek yang dipilih.

BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Jika dalam masyarakat hanya ada dua orang konsumen atau dalam
masyarakat kecil pencerminan kesukaan dapat dilakukan dengan proses negosiasi
atau tawar menawar, tetapi proses negosiasi tidak dapat dilakukan dalam

15

masyarakat yang besar. Oleh karena itu dalam masyarakat demokratis kesukaankesukaan masyarakat dan kesediaan mereka untuk membiayai barang publik harus
dilakukan dengan cara pemungutan suara. Namun, dalam negara yang mempunyai
sistem pemerintahan diktator, penguasalah yang memutuskan barang dan jasa
publik apa dan berapa jumlah yang akan disediakan dan bagaimana cara
pembiayaaan barang publik tersebut. Oleh karena itu hasil dari pemungutan suara
tergantung dari dua faktor berikut ini :
1. Distribusi suara di antara para pemilih,
2. Cara penentuan hasil pemungutan suara.
3.2. Saran
Bagi pihak dan kalangan yang mengeluarkan pendapat hendaknya
mengikuti prosedur perundang-undangan yang telah diatur dalam UndangUndang Dasar tahun 1945 Pasal 28.

DAFTAR PUSTAKA

Mangkoesoebroto, Guritno .1993. Ekonomi Publik. Yogyakarta : BPFE.


Wicaksono, Prasetyanto . 1999. Hukum Pemungutan Suara. Jakarta : Erlangga.

16

Anda mungkin juga menyukai