Anda di halaman 1dari 19

CORRUPTION REPORT TAHUN 2009

DAN
PROSPEK PEMBERANTASAN KORUPSI
TAHUN 2010

PUSAT KAJIAN ANTIKORUPSI FAKULTAS


HUKUM
UNIVERSITAS GADJAH MADA

YOGYAKARTA
2009
I. PENDAHULUAN

Usaha pemberantasan korupsi belakangan sedikit mengalami


kemunduran. Tahun 2009 tampaknya menjadi tahun kelam
dalam sejarah pembasmian korupsi di Indonesia. Adanya
beberapa peristiwa serta kasus yang muncul menjadi bukti
kemunduran tersebut.

Beberapa bukti baru yang dapat dipaparkan misalnya, di awali


dengan tertangkapnya Antasari Azhar terkait pembunuhan atas
Nasruddin Zulkarnaen, Direktur PT Putra Rajawali Banjaran (PRB),
ramai-ramai beberapa anggota DPR periode 2004-2009
mempermasalahkan proses kepemimpinan—tepatnya proses
pengambilan keputusan atas kebijakan—dalam tubuh Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK). KPK diminta menghentikan
kinerjanya, karena menurut mereka pengambilan keputusan
dalam tubuh KPK bersifat kolegial.

Nonaktifnya Antasari Azhar sebagai pimpinan KPK menyebabkan


komposisi pimpinan KPK tidak lengkap. Dan oleh karenanya tidak
dapat memenuhi ketentuan kolegial seperti termaktub dalam
UU. Akan tetapi, pengertian seperti ini, khususnya pada poin
kolegial, masih diperdebatkan. Namun demikian, sikap anggota
DPR, setidaknya, menjadi sandungan bagi KPK dalam
menjalankan kewajibannya sebagai lembaga pemberantas
korupsi.

Dugaan rekayasa yang menimpa dua pimpinan KPK, Bibit Samad


Rianto dan Chandra M. Hamzah, adalah hal kedua yang
melemahkan pemberantasan korupsi, khususnya yang dilakoni
oleh KPK. Dua pimpinan KPK tersebut sebelumnya dianggap
menyalahgunakan kewenangannya sebagai pimpinan KPK
karena mengeluarkan surat cekal terhadap Anggoro Widjojo,
tersangka korupsi Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT) di
Departemen Kehutanan. Anggoro sendiri hingga saat ini masih
menjadi buron dan ditengarai ada di Singapura.

Bersamaan dengan kriminalisasi terhadap Bibit dan Chandra,


terjadi pula kriminalisasi yang dilakukan kepada civil society
organization. Penggiat antikorupsi dari ICW diperiksa untuk kasus
yang telah satu tahun tidak berbunyi. Lagi-lagi, pasal

1
penjeratnya adalah pasal karet pencemaran nama baik dan
fitnah.

Kasus Bibit dan Chandra sendiri sekarang telah menuju babak


akhir. Atas desakan publik, akhirnya kasus Bibit dan Chandra
dihentikan dengan dikeluarkannya Surat Ketetapan Penghentian
Penuntutan (SKP2) oleh Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan. Meski
demikian, penerbitan SKP2 oleh kejaksaan terlihat “setengah
hati” karena mengundang beberapa pihak mempermasalahkan
sisi formalitasnya. Terbukti, ada beberapa kelompok yang
mengajukan praperadilan atas SKP2 Bibit dan Chandra.

Kasus yang paling mutakhir adalah usaha pemerintah yang


mencampuri independensi KPK. Hal ini diperlihatkan dengan
rencana pemerintah melalui Menteri Komunikasi, Informasi, dan
Telekomunikasi yang bersikukuh ingin mengatur perihal
penyadapan (intersepsi) dalam ranah Peraturan Pemerintah.
Padahal, penyadapan telah diatur sebelumnya dalam aturan
hukum yang lebih tinggi, yakni UU.

Penyadapan yang dilakukan oleh KPK sendiri telah diatur


sedemikian rupa dalam UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.
UU yang lain, misalnya, UU Nomor 11 Tahun 2008 juga
mengindikasikan untuk mengatur penyadapan dengan baju
hukum undang-undang.

Beberapa peristiwa tersebut hanyalah sekelumit rangkaian duri


yang menghalangi usaha memberantas korupsi di negeri ini.
Sejatinya masih banyak rangkaian duri yang lain yang dalam sisi
sebelahnya direkam oleh media massa, baik cetak maupun
elektronik.

II. PENDEKATAN DAN WAKTU PEMANTAUAN

Trend Corruption Report (TCR) atau laporan kecendrungan


korupsi Tahun 2009 yang disusun oleh Pusat Kajian Antikorupsi
Fakultas Hukum UGM (Pukat Korupsi FH UGM) adalah sebuah
laporan yang disusun berdasarkan pemantauan yang dilakukan
selama satu setahun (2009) melalui pemberitaan media cetak
maupun elektronik.

Pendekatan yang digunakan dalam pemantauan ini adalah


pendekatan kualitatif-representatif. Pemantauan tidak
didasarkan pada jumlah kasus korupsi yang diberitakan oleh
media massa. Sebab, bila demikian, jumlah korupsi yang

1
terekam akan sangat banyak. Padahal, di samping itu, masih
banyak kasus korupsi yang mungkin tidak terliput oleh media
dan/atau tidak diberitakan. Kasus korupsi yang dipantau Pukat
Korupsi FH UGM dianggap mewakili dari pemberitaan kasus
korupsi yang dilakukan oleh media.

Media massa yang dipantau terdiri dari dua kelompok, yakni


cetak dan elektronik. Media cetak meliputi Harian yang
berukuran nasional serta lokal, yaitu, Kompas, Jawa Pos, Koran
Tempo, Media Indonesia, Koran Seputar Indonesia, Republika,
Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Bernas, dan Harian Jogja.
Sedangkan untuk media elektronik adalah, Detik.com,
Tempointeraktif.com, Okezone.com, dan Vivanews.com.

Rentang waktu pemantauan dimulai sejak 1 Januari 2009 hingga


15 Desember 2009.

III.TREND KORUPSI 2009

Dalam kurun waktu 2009, Pukat Korupsi FH UGM telah


memantau 202 kasus korupsi yang diberitakan oleh media
massa. Kasus-kasus tersebut berikut akan dishare ke dalam
beberapa aspek. Namun demikian, yang perlu diingat adalah
angka 202 tersebut bukanlah “harga mati.” Sebab, faktanya
masih banyak kasus korupsi yang ternyata tidak terekam,
terliput, atau terberitakan oleh media massa, cetak maupun
elektronik.

A. Aktor Korupsi

Di tahun 2009, pelaku atau aktor korupsi yang paling banyak


berasal dari kalangan anggota/mantan anggota DPRD (27
orang). Posisi selanjutnya ditempati oleh kepala
daerah/mantan kepala daerah (24 orang). Dan, tempat ketiga
disandang oleh direktur utama perseroan terbatas (20 orang).

Jika dibandingkan dengan TCR tahun 2008, tiga besar posisi


bagi pelaku korupsi tidak mengalami pergeseran. Posisi
pertama ditempati oleh anggota/mantan anggota DPRD
dengan 89 orang. Berikutnya, ditempati oleh kepala
daerah/mantan kepala daerah dengan 65 orang. Posisi ketiga
menjadi hak swasta/rekanan dengan 40 orang.

Stagnasi posisi aktor korupsi itu menunjukkan bahwa korupsi


paling banyak bercokol di daerah. Boleh jadi, hal itu

1
disebabkan oleh tingginya anggaran negara yang
digelontorkan ke daerah. Pada 2009, misalnya, dari 1003
triliun anggaran pendapatan dan belanja negara, sekitar 600
trilliun dibagikan ke daerah.

Hal berikutnya yang menjadi penyebab tingginya korupsi di


daerah adalah tingkat pengawasan yang minim. Bayangkan
saja, begitu susah mengawasi—apalagi dengan pengawasan
terpusat di Jakarta—daerah yang terbagi dalam 33 provinsi,
dan 477 kabupaten/kota, yang terhampar mulai dari Sabang
(Aceh) hingga Merauke (Papua).

Di samping itu, banyaknya pelaku korupsi yang berpusat di


daerah, memberi pertanda bahwa titik bara korupsi yang
besar sebenarnya ada di daerah. Kedepan, sepertinya
pengawasan di daerah seharusnya ditingkatkan dan
pemantauan harus secara berkelanjutan dilaksanakan. Yang
ada sekarang adalah, semakin jauh daerah tersebut dari
Jakarta, maka semakin kecil pula pengawasannya. Hal ini
sungguh membahayakan.

Ditambah lagi, dengan besarnya niat untuk memekarkan


daerah, maka akan bertambahlah daerah yang harus diawasi.
Dengan pengawasan yang saat ini masih minim, niat untuk
melakukan pemekaran daerah tersebut seyogianya ditimbang
ulang.

1
Selanjutnya, yang mesti juga dilihat dari tiga aktor korupsi
teratas itu adalah perselingkuhan yang mungkin terjadi antara
pihak legislatif daerah, kepala daerah, dengan
swasta/rekanan (direktur perseroan terbatas). Perselingkuhan
itu telah melangkah pada kondisi yang sungguh
mengkhawatirkan. Korupsi di daerah semakin licin terjadi,
ketika usaha saling melindungi antara persetujuan legislatif
daerah dan kekuasaan kepala daerah dengan rupiah yang
dimiliki oleh pihak pengusaha.

Apalagi, jika perselingkuhan itu telah ditopang oleh


perlindungan yang diberikan oleh aparat penegak hukum di
daerah. Dari beberapa laporan yang masuk ke Pukat Korupsi
FH UGM, perlindungan terhadap skandal segitiga antara

1
legislatif daerah-kepala daerah-pengusaha dengan dukungan
aparat penegak hukum di daerah disediakan oleh lembaga
yang bernama Musyawarah Perencanaan dan Pembangunan
(Musrembang) di daerah. Dengan ini, keberadaan lembaga ini
sepertinya perlu digodog ulang.

B. Modus Korupsi

Berdasarkan UU Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20


Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
dari 202 kasus korupsi yang dipantau, ternyata modus korupsi
yang paling dominan digunakan adalah memperkaya diri atau
orang lain dengan 58 kasus. Modus kedua yang sering
digunakan adalah penyalahgunaan wewenang (16 kasus) dan
suap-menyuap (15 kasus).

Posisi modus korupsi di TCR tahun 2009 mengalami


perbedaan jika disandingkan dengan TCR tahun 2008. Posisi
pertama di TCR tahun 2008 ditempati oleh modus
penyalahgunaan/penyelewengan anggaran (87 kasus).
Berikutnya ditempati oleh mark-up (16 kasus) dan suap-
menyuap (13 kasus).

Modus memperkaya diri sendiri atau orang lain marak dipakai


dalam korupsi yang dilakukan di area departemen dan juga
pemerintahan daerah. Kasus korupsi dengan modus ini
misalnya korupsi akbar mobil pemadam kebakaran yang
menyeret banyak kepala daerah dan pejabat departemen

1
dalam negeri serta korupsi anggaran pendapatan dan belanja
daerah (APBD) di banyak daerah.

Sedangkan, modus penyalahgunaan wewenang digunakan,


misalnya, pada kasus korupsi yang terjadi di Kedutaan Besar
Singapura. Akan tetapi, modus penyalahgunaan wewenang ini
juga pernah disangkakan kepada dua pimpinan KPK, Bibit
Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah, dalam pencekalan
tersangka korupsi Anggoro Widjojo pada kasus korupsi
pengadaan Sistem Komunikasi dan Radio Terpadu di
Departemen Kehutanan. Sangkaan tersebut dilayangkan oleh
Kejaksaan Agung. Sangkaan ini kemudian dihentikan dengan
diterbitkannya Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan
(SKP2).

Yang menarik, modus ketiga berupa suap-menyuap


mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya (13 kasus
menjadi 15 kasus). Modus terbilang baru. Sebab, terungkap
belakangan. Seperti diketahui, modus suap marak dibicarakan
ketika mantan petinggi Kejaksaan Agung, Urip Tri Gunawan,
digelandang KPK karena menerima suap dari Artalita Suryani,
penghubung Syamsul Nursalim, pemilik Bank Dagang Negara
Indonesia (BDNI) yang terpaut kasus megaskandal Bantuan
Likuidasi Bank Indonesia (BLBI).

Setelah itu, modus suap-menyuap kembali menjadi terkenal


ketika salah satu mantan anggota DPR periode 2004-2009, Al-
Amin Nur Nasution, terkait kasus pembebasan alih fungsi
hutan lindung menjadi Pelabuhan Tanjung Siapi-api. Kasus
korupsi itu sendiri kemudian menarik beberapa anggota DPR
periode 2004-2009 lainnya, seperti Sarjan Taher, Hamka
Yamdhu, dan Antony Zeidra Abidin.

Selain itu, suap juga digunakan dalam kasus korupsi


pembangunan dermaga kawasan Indonesia Timur yang juga
dilakukan oleh anggota DPR periode 2004-2009, Abdul Hadi
Djamal.

C. Sektor Korupsi

Untuk sektor korupsi, posisi teratas ditempati oleh sektor


pengadaan barang dan jasa (32 persen). Posisi berikutnya
diambil oleh sektor pemerintah daerah dengan 17 persen.
Tempat ketiga diduduki oleh sektor pendapatan
negara/daerah dengan 8 persen.

1
Persentase yang cukup jauh antara posisi pertama
(pengadaan barang dan jasa dengan 32 persen) dengan posisi
kedua (pemerintah daerah dengan 17 persen)—terpaut 15
persen—menunjukkan bahwa pengadaan barang dan jasa
adalah sektor favorit yang sering dikecimpungi oleh pelaku
korupsi.

Pengadaan barang dan jasa terjadi tidak hanya di daerah,


melainkan juga di setiap departemen. Titik episentrum
korupsi, dalam hal ini, mencatut pemerintah daerah dan juga
pemerintah pusat.

D. Tingkat Kerugian Negara

Tingkat kerugian negara akibat tindak pidana korupsi paling


banyak dalam range angka 1 hingga 10 miliar (49 kasus).
Selanjutnya, antara 10-50 miliar (22 kasus), dan angka di
bawah 1 miliar (18 kasus).

Tingginya tingkat kerugian negara tersebut mengernyitkan


dahi kita bahwa begitu besar uang negara (dan tentunya uang
rakyat) yang digondol oleh koruptor. Dalam keterangan

1
tingkat kerugian negara itu, ada tujuh kasus yang
menyebabkan kerugian negara di atas 100 miliar.

Yang paling baru, dugaan tingkat kerugian negara terbesar


tahun ini ada pada skandal pengaliran dana negara ke Bank
Century. Selain menyebabkan tingkat kerugian negara 6,7
triliun, skandal ini juga menyeret petinggi negara republik ini.
Sampai saat ini, kasus tersebut masih dalam pemeriksaan dan
tarik ulur politik.

Sekali lagi, yang perlu diperhatikan dengan melihat tingginya


kerugian negara itu, maka regulasi dan usaha paksa untuk
mengembalikan aset harus dibentuk sedemikian rupa. Uang
negara terkadang tidak dapat dikembalikan karena aturan
hukum yang tidak kuat dan tidak dapat masuk menembus
jaring internasional.

Uang hasil korupsi terlihat menguap ketika aset hasil korupsi


ditaruh di luar negeri. Parahnya, regulasi dan bargaining
politik negara ini tidak dapat mencapainya. Inilah pekerjaan
rumah yang mestinya diselesaikan oleh pemimpin negara
untuk mengembalikan uang rakyat yang dikorupsi ke tangan
rakyat.

E. Lembaga yang Menangani

Dalam hal penanganan kasus korupsi, KPK masih


mendominasi. Di tahun 2009, sesuai dengan pemantauan
Pukat Korupsi FH UGM, KPK menangani 58 kasus korupsi.
Angka ini jauh meninggalkan korp kejaksaan (Kejaksaan

1
Negeri dengan 35 kasus dan Kejaksaan Tinggi atau Kejaksaan
Agung dengan 13 kasus).

Banyaknya jumlah kasus yang ditangani KPK, boleh jadi akan


ditanggapi biasa-biasa saja oleh lembaga penegak hukum
lainnya. Alasan yang dihadirkan sederhana, KPK khusus
menangani perkara tindak pidana korupsi. Sedangkan,
lembaga penegak hukum lainnya, tidak hanya menangani
kasus korupsi, melainkan tindak pidana lainnya.

Kalau mau berbantah-bantahan, sebetulnya, kasus korupsi


yang ditangani KPK juga terbatas. Batasan itupun diberikan
oleh peraturan perundang-undangan (UU Nomor 30 Tahun
2002 tentang KPK). Bahwa KPK hanya menangani kasus
korupsi (i) di atas 1 miliar, (ii) menyita perhatian publik, dan
(iii) melibatkan pejabat negara. Di luar tiga kriteria itu, kasus
korupsi ditangani oleh lembaga penegak hukum lainnya—
kejaksaan dan kepolisian.

Jumlah KPK, sampai detik ini, juga hanya satu-satunya.


Sedangkan kejaksaan dan kepolisian tersebar di seluruh
Indonesia.

Akan tetapi, berbantah-bantahan tidak akan menyelesaikan


permasalahan. Banyaknya kasus korupsi yang ditangani oleh
KPK, setidaknya, dapat memberikan pelecut bagi kejaksaan
dan kepolisian untuk mengungkap dan menuntut lebih banyak
kasus korupsi. Lagi pula, jika kejaksaan dan kepolisian dapat
mencapai top kinerja, dengan sendirinya KPK akan
dibubarkan. Pengungkapan dan penuntutan itu juga mesti

1
dengan benar, tidak hanya untuk memenuhi segi formalitas
belaka.

F. Vonis Pengadilan

Dalam hal memberikan hukuman bagi para koruptor,


pengadilan tindak pidana korupsi (pengadilan tipikor) masih
menjadi jagonya. Dari kasus korupsi yang dipantau sepanjang
tahun 2009, pengadilan tipikor telah menvonis bersalah 34
kasus. Sedangkan pengadilan negeri dan pengadilan tinggi
baru 18 kasus. Mahkamah Agung menempati posisi buncit
dengan menjatuhkan bersalah pada 8 kasus.

Sedangkan dalam hal, membebaskan atau melepaskan kasus


korupsi, pengadilan negeri dan pengadilan tinggi masih
tercatat sebagai lembaga pengadil yang menempati posisi
tersebut. Pengadilan negeri dan pengadilan tinggi
membebaskan dan melepaskan masing-masing dua kasus.

IV. PROSPEK PEMBERANTASAN KORUPSI TAHUN 2010

A. Sesat Paradigma

1
Kriminalisasi terhadap penggiat antikorupsi, baik dari
kalangan civil society organization maupun lembaga negara
sepatutnya diakhiri pada tahun 2010. Pada periode ini, terjadi
setidaknya tiga kali kriminaliasi yang dilakukan oleh
pemerintah (kasus ICW, KPK, dan Bendera). Dengan
menggunakan pasal karet pencemaran nama baik serta
fitnah, pemegang kuasa dengan sangat mudah menjerat
pihak-pihak yang ingin membongkar kasus korupsi,
khususnya kalangan lembaga swadaya masyarakat.

Seharusnya, bagi pemerintah maupun subjek-subjek yang


disebut namanya sebagai penikmat dugaan hasil korupsi,
misalnya, tidak langsung “kebakaran jenggot,” yang lalu
menanggapinya dengan jalan hukum. Akan tetapi, sebaiknya
melakukan klarifikasi balik terhadap sangkaan tersebut. Saat
ini, bukan zamannya lagi menggunakan pasal karet
pencemaran nama baik maupun fitnah untuk menghentikan
laju masyarakat yang ingin turut serta memberantas atau
mencegah kasus korupsi. Penggunaan pasal karet tersebut
adalah bagian dari “sesat paradigma” dalam usaha
pemberantasan korupsi.

Sesat paradigma selayaknya diakhiri sedari sekarang. Laporan


dari masyarakat tentang adanya dugaan tindak pidana
korupsi mestinya dijadikan bukti awal untuk membongkar
skandal korupsi yang dilaporkan. Dengan demikian,
pemerintah dan masyarakat dapat bekerja sama menciptakan
Indonesia dari korupsi.

B. Pola Menunggu

Di tahun 2010, pola pemberantasan korupsi yang menunggu


(pola menunggu) wajib dihapus. Mengapa? Karena dengan
pola pemberantasan yang demikian, akan banyak koruptor
yang lari. Pola menunggu akan memberikan jeda waktu ke
para koruptor untuk memikirkan strategi apa dan skema lari
yang bagaimana yang dapat dipakai untuk mengelabui para
penegak hukum.

Rekaman Anggodo Widjojo yang diputar di sidang Mahkamah


Konstitusi (3/11), seharusnya sudah dapat menjadi bukti awal
untuk langsung menangkap Anggodo. Penegak hukum tidak
perlu menunggu untuk memeriksa rekaman, atau isi rekaman,
apakah valid atau tidak. Memeriksa apakah suara dalam

1
rekaman itu sama dengan nama yang disebutkan dalam
laporan rekaman, atau semacamnya.

Jika terlalu lama menunggu, maka calon koruptor akan dapat


lari dan menghilang ke luar negeri. Parahnya, lagi pemerintah
belum mempunyai perjanjian ekstradisi dengan beberapa
negara yang biasa dijadikan persinggahan oleh koruptor.
Lebih parah lagi, dengan pola menunggu itu, aset negara
yang dikorupsi tidak dapat dikembalikan ke negara.

C. Keberpihakan yang Rendah

Pemerintah memiliki kewajiban untuk memiliki keberpihakan


dalam hal pemberantasan korupsi. Keberpihakan yang
dimaksud bukan keberpihakan kepada koruptor, melainkan
keberpihakan kepada punggawa pemberantas korupsi.

Misalnya, dalam hal adanya dugaan terhadap pejabat negara


yang melakukan tindak pidana korupsi, maka pemerintah,
setidaknya, mengecam atau kalau perlu menonaktifkan
sementara. Untuk urusan pengganti bagi pejabat yang
nonaktif, negeri ini mampu menyiadakan putera-puteri negeri
yang mumpuni. Kecuali, kalau pemilihan penggati tersebut
telah dipolitisasi dan ditunggangi kepentingan oknum elit,
mengidap politik dagang sapi, maka mohon maaf negeri ini
tidak menyediakan stok pengganti pejabat.

D. Perilaku Kontraproduktif

Perilaku kontraproduktif diperlihatkan oleh pemerintah,


misalnya, ketika harus mengadakan jumpa pers atau pidato
yang dalam pidato tersebut mengutip dan meyakini informasi
intelejen negara dan menyiarkannya kepada publik.
Seharunya, informasi intelejen disimpan dengan rapat dan
rahasia, tidak diumbar kemana-kemana. Bukankah kerja
intelejen adalah mencari informasi dan menyimpannya rapat-
rapat?

Pidato Presiden SBY yang mengulang-ulang pernyataan di


setiap kesempatan semakin menambah runyam keadaan dan
mengundang benturan antarlembaga. Sikap demikian sangat
kontraproduktif dengan usaha pemberantasan korupsi, yang
seharusnya menjalin hubungan sinergis antarlembaga negara
di bidang pemberantasan korupsi.

1
E. Tragedi 9 Desember 2009

Pidato Presiden SBY pada tanggal 8 Desember 2009 malam


seperti memperlihatkan “ketakutan” yang sangat, atau
mungkin pula dibuat-buat, ketika menanggapi rencana aksi
nasional untuk memperingati Hari Antikorupsi sedunia tanggal
9 Desember 2009. Presiden SBY mengungkapkan “ketakutan”
tersebut dengan mengatakan adanya “penumpang gelap”
yang ingin mengambil untung dari perayaan hari antikorupsi
itu.

Pidato SBY membuat keadaan semakin mendidih, yang


sebelumnya telah panas dengan isu Cicak vs Buaya serta
Kriminalisasi Bibit dan Chandra. Tidak hanya itu, SBY semakin
yakin dengan nujumnya bahwa aksi 9 Desember akan
berpotensi menjadi anarkis, karena data yang diterimanya
berasal dari badan intelejen negara.

Aksi demonstrasi dalam lingkup nasional memperingati Hari


Antikorupsi itu juga menimbulkan dua kelompok massa yang
vis a vis. Kelompok massa ini semakin menjadi dengan
memperlihatkan perdebatannya di hadapan publik. Kemudian
pemerintah menyiapkan antisipasi dengan mengirimkan
petugas keamanan dalam jumlah besar. Banyaknya alat
keamanan yang diturunkan itu menunjukkan benih-benih
chaos dalam demonstrasi memang benar-benar akan terjadi.

Tetapi sayang, mungkin situasi dan kondisi serta boleh jadi


Tuhan tidak bersepakat dengan Presiden SBY. Aksi
demonstrasi Hari Antikorupsi 9 Desember 2009 berlangsung
aman dan damai. Demonstrasi yang diadakan pada Rabu
siang yang panas itu berjalan meriah dan jauh dari kesan
anarkis.

Alhasil, “ketakutan” Presiden SBY itu menjadi sebuah tragedi


bagi kepemimpinan SBY di jilid II ini. Sebuah tragedi yang
berlebih-lebihan, atau bahasa anak muda zaman sekarang,
lebay.

F. Minim Terobosan Pemberantasan Korupsi

Dalam usaha memberantasan korupsi, dibutuhkan adanya


usaha dan terobosan yang brilian. Apa yang dilakukan
Presiden SBY diawal pemerintahannya tidak menunjukkan
adanya terobosan yang brilian, bahkan minim.

1
Pemberantasan mafia hukum atau mafia peradilan serta
tindak pidana korupsi yang semakin akut dijawab oleh
pemerintah dengan membuat program “Ganyang Mafia.”
Namun sayang, implikasi program itu bukanlah sesuatu yang
baru dan cenderung tidak efektif.

Pemerintah membuka Kotak Pengaduan bagi masyarakat


yang merasa menemui atau diperas oleh para mafia hukum.
Kotak pengaduan itu mempunyai kode Pos (PO. BOX 9949
Jakarta 10000) dengan kode “GM”. Kotak pengaduan ini
cenderung tidak efektif, setidaknya, jika dihadapkan pada tiga
hal, pertama, mau diapakan laporan yang telah masuk ke
kotak pos? Kedua, apa tindak lanjut setelah laporan masuk ke
kotak pengaduan? Ketiga, bagaimana transparansi dan
akuntabilitas terhadap proses implikasi dari pengaduan
ganyang mafia?

Bukti minimnya terobosan yang berikutnya adalah,


dibentuknya satuan tugas (satgas) antimafia peradilan.
Sampai detik laporan ini dilauching, satgas buatan Presiden
SBY itu tidak ada bunyi atau gemanya sama sekali.

V. KESIMPULAN

TCR tahun 2009 menunjukkan adanya peningkatan


pemberantasan korupsi, akan tetapi peningkatan tersebut tidak
terlalu signifikan jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Dari segi aktor korupsi, tiga besar posisi masih didominasi oleh
kelompok legislatif daerah (27 pelaku), eksekutif daerah (24
pelaku), dan direktur utama perseroan terbatas (20 pelaku).
Dirut PT dapat dikategorikan sebagai swasta atau rekanan. Posisi
Aktor korupsi pada tahun ini relatif sama dengan tahun
sebelumnya.

Ditangkapnya aktor-aktor korupsi dari tiga kelompok di atas,


masih memendam impian untuk dapat memenjarakan koruptor
kelas kakap. Bukanlah rahasia jika masih banyak koruptor yang
mengemplang duit negara hingga triliunan rupiah yang tinggal
dengan nyaman di luar negeri.

Pemerintah kedepan, khususnya di tahun 2010, meningkatkan


pemberantasan korupsi dengan mulai memikirkan cara yang
tepat untuk menyeret koruptor yang sekarang masih di luar

1
negeri untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya dan
mengembalikan kekayaan negara yang dicurinya.

Dari sisi modus korupsi, TCR tahun 2009 mencatat modus


memperkaya diri atau orang lain (58 kasus) menempati tangga
teratas modus korupsi. Disusul penyalahgunaan wewenang (16
kasus), suap-menyuap (15 kasus), dan mark-up (13 kasus).
Tingginya range modus memperkaya diri atau orang lain
terhadap modus-modus korupsi yang lain memperlihatkan
seringnya pelaku korupsi “mengutil” duit anggaran negara atau
daerah.

Sektor korupsi didominasi oleh pengadaan barang dan jasa (32


persen) dan sektor pemerintah daerah (17 persen). Pengadaan
barang dan jasa memang mengundang siapapun untuk meraup
untung yang sangat besar. Apalagi jika pengadaan barang dan
jasa disandingkan dengan pemerintah daerah, potensi korupsi
menjadi sangat terbuka. Mulai dari angka 51 juta hingga tidak
terbatas.

Yang perlu diingat selalu, potensi korupsi pengadaan barang dan


jasa terbuka tidak hanya disandingkan dengan sektor
pemerintah daerah, akan tetapi juga jika dikawinkan dengan
sektor departemen—yang dalam TCR tahun 2009 sebanyak 5
persen.

Di samping itu, sektor perbankan (6 persen) juga perlu


mendapatkan pengawasan yang ketat. Dengan terindikasinya
kasus korupsi pada bailout Bank Century, sudah cukup menjadi
penguat untuk meningkatkan pengawasan pada sektor
perbankan. Terlebih lagi, untuk modus pencucian uang (money
laundring).

Tingkat kerugian negara yang paling tinggi berkisar antara 1-10


miliar (49 kasus). Angka kerugian negara yang sering dikorup
sekarang telah masuk ke area miliaran, bukan lagi jutaan,
puluhan juta, atau ratusan juta. Area miliaran, puluhan miliar
(10-50 miliar/22 kasus, 50-100 miliar/14 kasus), mengindikasikan
bahwa koruptor sudah tidak main-main lagi dalam urusan
menggasak uang negara.

Yang menarik, meskipun tingkat kerugian negara yang di atas


100 miliar tidak banyak (7 kasus), namun angkanya tidak
tanggung-tanggung. Bahkan dapat mencapai triliunan.
Contohnya, jika nanti hasil pemeriksaan KPK menunjukkan

1
memang ada korupsi dalam bailout Bank Century, maka tingkat
kerugian negara beranjak dari digit 9 angka menuju 12 angka
alias triliun. Dan, ini bukan hal yang mustahil.

Di samping itu, sudah barang tentu, tingkat kerugian negara


yang bertambah besar ini membutuhkan kerja nyata pemerintah
dan penegak hukum untuk melakukan tindakan preventif
(pencegahan) dan represif (peradilan) dalam memberantas
korupsi.

Di tahun ini, KPK masih menjadi lembaga penegak hukum yang


paling banyak menangani kasus korupsi (58 kasus). Prestasi KPK
pada tahun depan diprediksi akan menurun apabila “serangan”
terhadap lembaga tersebut tidak dihentikan sejak sekarang.
Serangan, seperti, rekayasa dan kriminalisasi pimpinan KPK
hingga mengusik kewenangan penyadapan KPK dengan rencana
mengaturnya ke peraturan pemerintah, akan dapat
melumpuhkan KPK.

Jika KPK lumpuh, sedangkan di sisi yang lain lembaga penegak


hukum konvensional belum “pulih” betul dalam menegakkan
hukum antikorupsi, otomatis akan banyak korupsi di berbagai
sektor, tingkat kerugian negara yang semakin besar, dan lahir
pelaku-pelaku korupsi baru. Adalah harga mati, KPK harus
dilindungi bersama dengan cara menghentikan “serangan”
terhadap KPK.

Dalam hal menjatuhkan vonis terhadap para koruptor,


pengadilan tindak pidana korupsi (pengadilan tipikor) masih
menjadi rajanya. Pengadilan tipikor tahun ini menvonis bersalah
34 kasus. Angka ini meninggalkan pengadilan negeri atau
pengadilan tinggi (18 kasus).

Namun, setali tiga uang dengan KPK, usaha pemberantasan


korupsi oleh pengadilan tipikor diramalkan akan menurun.
Karena kebijakan pemerintah dan legislatif yang mengetok palu
UU Pengadilan Tipikor. Ada beberapa substansi yang bermasalah
di UU Pengadilan Tipikor seperti penentuan komposisi hakim
yang ditentukan tiga hakim karir dan dua hakim ad-hoc.

Peristiwa Cicak lawan Buaya menjadi noda hitam yang


mencoreng institusi kepolisian. Benturan antarlembaga pada
tahun 2010 harus dikurangi, jika perlu dihilangkan.

1
Adanya skandal mafia peradilan yang terbuka pada rekaman
Anggodo Widjojo di sidang MK, seharusnya menjadi titik masuk
untuk membongkar skandal mafia peradilan yang sejak dulu ada
namun tak terjangkau. Terobosan yang lebih brilian, seperti
memeriksa institusi kejaksaan dari tingkat negeri hingga agung,
memeriksa pengadilan dari tingkat negeri hingga Mahkamah
Agung, dan memeriksa kepolisian dari tingkat sektor hingga
Markas Besar, patut digunakan.

Kemudian mengganti serta mencopot petugas-petugas yang


salah setelah melalui jalur hukum dan memenjarakan para
makelar kasus dan menutup saluran makelar kasus dengan
meningkatkan kinerja penegak hukum hingga tingkatan daerah
patut dilaksanakan. Jika ini dapat dilakukan, kotak pos dan
satgas sepertinya mesti “diistirahatkan.”

Terakhir, tanggung jawab memberantas korupsi berada di


pundak semua cabang kekuasaan, intitusi, dan individu.
Kewajiban kita bersama menciptakan Indonesia bersih dari
korupsi. Semoga.

Salam Antikorupsi

30 Desember 2009
Pusat Kajian Antikorupsi FH UGM

Zainal Arifin Mochtar Hifdzil Alim (085643264320)


Hasrul Halili Danang Kurniadi
(08985074972)
Totok Dwi Diantoro

Anda mungkin juga menyukai