Anda di halaman 1dari 12

RESUSITASI PADA NEONATUS

PERNAFASAN PERTAMA
Pada saat bayi dilahirkan dan sirkulasi fetoplasenta terhenti berfungsi, bayi tersebut
mengalami perubahan fisiologis yang besar dan cepat sekali. Kelangsungan hidup bayi
tersebut tergantung pada cepat dan teraturnya pertukaran oksigen dan karbondioksida
antara lingkungan barunya dengan sirkulasi paru-paru. Demi pertukaran yang efisien,
alveoli paru-paru yang terisi cairan harus terisi dengan udara, udara harus dipertukarkan
dengan gerakan pernafasan yang tepat, dan mikrosirkulasi yang kuat harus diciptakan di
sekitar alveoli tersebut.
Berhasilnya pengisian paru-paru dengan udara dan cepatnya pembentukan pola fisiologi
perubahan tekanan volume pada inspirasi dan ekspirasi memerlukan adanya bahan
permukan aktif yang akan merendahkan tegangan permukaan di dalam alveoli dan karena
itu akan mencegah kolapsnya paru-paru pada setiap ekspirasi. Tidak cukupnya surfaktan
akan menimbulkan sindrom distres pernafasan dengan cepat.

RANGSANGAN UNTUK BERNAFAS


Normalnya neontus bernafas dan menangis segera setelah lahir, yang menunjukkan
terbentuknya respirasi aktif. Semua factor yang terlibat pada pernafasan pertama kali sulit
untuk diterangkan, tentu karena banyak rangsangan halus individual yang ikut ambil
bagin secara simultan. Beberapa penjelasan yang dapat dicatat adalah sebagai berikut:
Perangsangan fisik. Penanganan bayi selama persalinan dan kontak dengan berbagai
permukaan yang relative kasar diyakini merangsang respirasi melalui stimuli yang
mencapai pusat pernafasan secara refleks dari kulit.
Kompresi toraks janin pada proses kelahiran. Kompresi toraks pada kala dua
persalinan mendesak sedikit cairan pada saluran pernafasan. Sebagai contoh, Saunders
(1978) menmukan bahwa tekanan yang lumayan besar sering ditimbulkan oleh kompresi
1

dada pada kelahiran pervaginam dan diperkirakan cairan paru-paru didorong setara
dengan seperempat sampai sepertiga kapasitas residual fungsional pokok. Bayi kulit putih
yang lahir dengan seksio sesarea biasanya menangis dengan memuaskan dan kadangkala
sama cepatnya dengan bayi yang dilahirkan pervaginam, mereka mungkin mengandung
cairan lebih banyak dan udara lebih sedikit didalam paru-paru mereka selama enam jam
pertama setelah lahir (Milner dkk., 1978) Tetapi kompresi toraks yang menyertai
kelahiran pervaginam dan ekspansi yang mengikuti kelahiran, mungkin merupakan suatu
factor penyokong pada inisiasi respirasi.
Deprivasi oksigen dan akumulasi karbondioksida. Contoh darah yang diambil dari
kateter yang dipasang di dalam pembuluh darah janin binatang percobaan untuk periode
waktu yang lama tanpa penghentian kehamilan. Mengungkapkan bahwa pO2 rendah
dibanding standar dewasa. Penurunan lebih lanjut pO2 mengurangi atau menghilangkan
gerakan pernafasan janin, sedangkan naiknya pO2 meningkatkan frekuensi dan besarnya
gerakan pernafasan janin (Dawes1974). Janin-bayi paling mungkin memberi respon
terhadap hipoksi dan terhadp hiperkapnia dengan cara yang sama di uterus dan setelah
lahir.

EVALUASI PADA NEONATUS


Kebanyakan bayi normal mengambil nafas dalam beberapa detik setelah lahir dan
menangis dalam setengah menit. Kalau pernafasannya tidak sering, penghisapan mulut
dan faring diikuti dengan tepukan pada telapak kaki dan usapan punggung, biasanya
menghasilkan rangsangan untuk bernafas. Pemanjangan interval ini melebihi satu dan
dua menit, menunjukkan abnormalitas. Kekurangan bernafas yang berkelanjutan
menunjukkan depresi sentral yang serius atau obstruksi mekanik dan memerlukan
resusitasi aktif.
Penyebab penting kegagalan untuk

mempertahankan respirasi efektif mencakup hal

berikut:
Hipoksemia fetus karena sebab apapun.
Pemberian obat kepada ibu

Imaturitas fetus yang nyata


Sumbatan saluran pernfasan bagian atas
Pneumothoraks
Kelainan paru lainnya, baik yang intrinsik ( misal hipoplasi) atau ekstrinsik (misal
hernia difragmatika)
Aspirasi cairan nyata yang terkontaminasi mekoneum.
Cedera sistem saraf sentral
Septikemia

Nilai APGAR
Bantuan yang sangat bermanfaat dalam mengevaluasi bayi adalah sitem nilai Apgar yang
diterapkan pada satu menit dan lima menit setelah lahir. Pada umumnya, semakin tinggi
nilai Apgar, sampai niali maksimum sepuluh, semakin baik kondisi bayi. Nilai Apgar satu
menit menentukan perlunya resusitasi segera.
Kebanyakan bayi pada saat lahir dalam kondisi yang bagus, yang diperlihatkan dengan
nilai Apgar tujuh sampai dengan sepuluh, dan tidak memerlukan bantuan selain mungkin
penyedot nasofaring sederhana. Bayi depresi ringan sampai sedang dengan nilai empat
sampai tujuh, akan memperlihatkan depresi pernafsan, lemas (flaksid), dan warna pucat
sampai biru. Tetapi, denyut jantung dan iritabilitas refleksnya baik. Bayi depresi berat
mempunyai nilai nol sampai empat, dengan denyut jantung yang lambat sampai tidak
terdengar dan respon reflek rendah atau tidak ada. Resusitasi, termasuk ventilasi buatan,
hendaknya segera dimulai. Sering, bayi memerlukan intervensi aktif segera jelas
kelihatan. Mereka lemas, apneu, dan sering terbungkus mekoneum, dan denyut jantung
dibawah seratus. Tidak perlu dipikirkan lebih lanjut nilai Apgar satu menit. Pengisapan
faring, intubasi endotrakeal, penghisapan endotrakeal dan oksigenisasi tekanan positif
hendaknya dikerjakan sesegera mungkin.

Sistem scoring Apgar


______________________________________________________________________________
Tanda
0
1
2
______________________________________________________________________________
Denyut jantung
tidak ada
lambat, dibawah 100
diatas 100
Usaha bernafas
tidak ada
rendah tidak teratur
baik, menangis
Tonus otot
lemas
sedikit fleksi ekstremitas
gerakan aktif
Iritabilitas reflek
tidak memberi respon menyeringai
menangis keras
Warna kulit
biru, pucat
badan merah, ekstremitas biru semua merah
________________________________________________________________________
Selama bertahun-tahun nilai Apgar seperti diterangkan diatas digunakan untuk menilai
kondisi neonatus segera setelah lahir. Nilai ini telah menjadi alat klinik yang bermanfaat
utnuk membantu menemukan neonatus yang mungkin memerlukan resusitasi, dan
menilai efektifitas berbagai cara resusitasi. Sayangnya, telah dilakukan upaya-upaya
untuk menghubungkan nilai tersebut dengan hasil akhir jangka panjang pada bayi.
Disamping itu, dengan alasan yang tidak seluruhnya jelas, definisi yang salah tentang
asfiksia telah dirumuskan, berdasarkan nilai Apgar belaka. Karena kesalahan konsepsi
ini, pada tahun 1986, American College of Obstertry and Gynecologyst, dan American
Academy of Pediatrics, mengeluarkan suatu pernyataan bersamaan tentang penggunaan
dan penyalahgunaan nilai Apgar.
Berikut adalah pernyataan tersebut:
Penggunaan dan penyalahgunaan nilai Apgar.
Nilai Apgar, yang dirancang pada 1952 oleh Dr. Virginia Apgar, adalah suatu metode cepat
untuk menilai status neonatus (Apgar, 1953; Apgar dkk., 1958). Mudahnya pembutan nilai
dengan metode ini telah mendorong penggunaannya pada banyak penelitian pada hasil
akhir neonatus. Tetapi, penyalahgunaan penilaian ini telah menimbulkan suatu definisi yng
salah tentang asfiksia. Asfiksia intrapartum mengesankan hiperkarbia dan hipoksemia janin,
yang bila berkepanjangan akan mengakibatkan asidemia metabolic. Karena gangguan intra
partum pada aliran darah uterus atau janin, jarang mutlak, kalaupun pernah, asfiksia menjadi
istilah umum yang tidak cermat. Istilah seperti hipercarbia, hipoksia, asidemia metabolic,
4

respiratorik, atau laktik lebih tepat, baik untuk penilaian segera neonatus maupun untuk
penilain retrospektif penatalaksanaan intra partum. Meskipun nilai Apgar terus memberikan
ringkasan yang baik untuk melaporkan status neonatus dan efektifnya resusitasi, tujuan
pernyataan ini adalah untuk menempatkan nilai Apgar pada perspektif yang tepat sebagai
sebuah alat untuk menilai asfiksia dan meramalkan deficit neurologik dimasa datang.
Faktor-faktor yang dapt mempengaruhi nilai Apgar.
Nilai Apgar terdiri dari lima komponen: denyut jantung, usaha bernafas, tonus, iritabilitas
refleks dan warna kulit, masing-masing dapat diberi nilai 0,1 atau 2. Meskipun jarang
dinyatakan, penting untuk diketahui bahwa elemen-elemen nilai tersebut seperti tonus,
warna kulit dan iritabilitas reflek sebagian tergantung pada maturitas fisiologik bayi. Maka,
bayi prematur normal mungkin mendapat nilai yang rendah murni karena immaturitasnya
tanpa ada bukti menderita anoksia atau depresi serebral (Amon dkk., 1987; Catlin dkk.,
1986)
Obat-obatan yang digunakan ibu dapat menurunkan tonus dan respon. Kondisi neurologik
seperti penyakit otot dan malformasi serebral dapat menurunkan tonus dan mengganggu
pernafasan. Kondisi kardio respirasi dapat mengganggu denyut jantung, pernafasan, dan
tonus. Jadi untuk menyamakan ditemukannya nilai Apgar rendah saja dengan asfiksia atau
hasil akhir neurologik masa datang menunjukkan penyalahgunaan penilaian tersebut.
Nilai Apgar dan kecacatan yang mengikuti.
Nilai Apgar satu menit dapat digunakan untuk menunjuk bayi yang memerlukan perhatian
khusus. Tetapi nilai satu menit yang rendah tidak berkorelasi dengan hasil akhir masa
mendatang. Nilai Apgar lima menit, khususnya perubahan nilai antara satu dan lima menit,
merupakan suatu indeks yang bermanfaat untuk efektifnya upaya resusitasi. Tetapi, nilai lima
menit nol sampai tiga meskipun disebabkan oleh hipoksia terbatas dalam mengindikasikan
beratnya masalah dan korelasinya buruk dengan hasil akhir neurologik masa datang (Nelson
dan Ellenberg, 1981).
Nilai Apgar nol sampai tiga pada lima menit dihubungkan dengan resiko serebral palsy yang
semakin meningkat, tetapi resiko ini hanya meningkat dari 0,3%-1%. Nilai Apgar lima menit
dari tujuh sampai sepuluh dianggap normal. Nilai empat, lima dan enam adalah antara, dan

bukan tanda resiko tinggi untuk disfungsi neurologik dikemudian hari. Seperti telah
disebutkan, nilai-nilai semacam itu dipengaruhi oleh ketidak matangan fisiologik, sedasi, dan
adanya malformasi congenital, dan factor lain. Karena nilai Apgar satu dan lima menit
berkorelasi buruk dengan penyebab maupun hasil akhir, nilai-nilai ini saja hendaknya tidak
dianggap sebagai bukti atau akibat dari asfiksia yang berat. Karena itu, nilai Apgar lima
menit yang rendah saja tidak membuktikan bahwa serebral palsy yang terjadi kemudian
disebabkan oleh asfiksia perinatal.
Korelasi nilai Apgar dengan hasil akhir neurologik masa datang meningkat kalau nilainya
adalah nol sampai tiga pada sepuluh, lima belas, dan dua puluh menit (Nelson dan
Elenberg, 1981).
Nilai Apgar sendiri tidak dapat menegakkan kejadian hipoksia cukup besar yang dapat
menyebabkan serebral palsy. Seorang bayi dengan nilai Apgar nol sampai tiga pada lima
menit yang nilai sepuluh menitnya membaik menjadi empat atau lebih mempunyai 99%
kesempatan tidak menderita serebral palsy pada umur tujuh tahun. Hendaknya juga
diperhatikan bahwa 75% anak-anak yang mengalami serebral palsy mempunyai nilai Apgar
normal pada saat lahir (Nelson dan Elenberg, 1981).
Serebral palsy adalah satu-satunya deficit neurology yang jelas terkait dengan asfiksia
perinatal. Meskipun retardasi mental dan epilepsy dapat menyertai serebral palsy, tidak ada
bukti bahwa kondisi ini disebabkan oleh asfiksia perinatal kecuali bila serebral palsy juga ada
(Levene dkk.,1986; Paneth,1993).
Seorang bayi dengan nilai Apgar rendah, adanya asidemia tali pusat tanpa terjadi asidemia
pada ibunya, kekurangan basa yang besar, dan eritrosit berinti di dalam darah perifer
mungkin memberikan bukti pendukung bagi adanya asfiksia; disfungsi hati, ginjal, dan
jantung mungkin juga memberikan bukti adanya asfiksia. Tetapi, sekarang tidak ada diantara
indikasi ini yang berkorelasi meyakinkan dengn hasil akhir sisten saraf pusat.
Ringkasan
Nilai Apgar satu dan lima menit yang rendah merupakan indicator yang bagus untuk
identifikasi kebutuhan bayi dan resusitasi. Meskipun nilai yng rendah mungkin
memperlihatkan hipoksia, nilai ini dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang mempengaruhi
tonus, kepekaan refleks, respon dan pernfasan. Nilai Apgar sendiri bukanlah bukti untuk
hipoksia berat yang mengakibatkan kerusakan neurology. Seorang anak yang kemudian

ditemukan menderita serebral palsy, nilai Apgar satu dan lima menit yang rendah tidak cukup
memberikan bukti bahwa hipoksia menimbulkan hasil neurologik yang menyimpang, masih
diperlukan bukti perinatal tambahan, seperti nilai Apgar nol sampai tiga pada sepuluh menit,
kejang perinatal dini, dan hipotonia berkepanjangan. Salah satu dari elemen-elemen ini
sendirian bukan bukti yang cukup bahwa asfiksia lama atau berat sudah terjadi. Kalau tidak
ada bukti seperti itu,deficit neurologik yang mengikuti tidak dapat dikatakan berasal dari
asfiksia perinatal.atau hipoksia (Brann dan Dykes, 1977; Nelson dan leviton, 1991).

RESUSITASI AKTIF
Protokol Resusitasi
Resusitasi akan lebih efektif bila dilakukan sesuai dengan protokol yang ada. Protokol
resusitasi untuk neonatus berikut direkomendasikan oleh American Academy of
Pediatrics dan American Heart Association (1994):
1. Mencegah kehilangan panas tubuh. Letakkan bayi di bawah radiant warmer
dan dikeringkan dari cairan amnion.
2. Bebaskan jalan nafas. Jalan nafas dibebaskan dengan menghisap mulut dan
hidung, bila meconeum tidak ditemukan. Tetpi bila ada meconeum, hisapan
dilakukan sampai dengan trakea.
3. Evaluasi bayi. Observasi pernafasan, nadi, dan warna kulit, penting untuk
menentukan tindakan berikutnya sangat penting. Penilaian tiga hal ini harus
dilakukan dalm 20 detik atau kurang.
4. Usaha bernafas. Apabila tidak ada usaha bernafas, berarti tekanan positif
ventilasi sudah keluar. Tetapi bila ada, nadi harus segera dievaluasi.
5. Denyut jantung. Kemudian mengevaluasi denyut jantung. Bila frekuensinya
kurang dari 100 kali /menit, ventilasi bertekanan positif diberikan, (lanjut ke
langkah no.7). Bila lebih dari 100, lakukan evaluasi warna kulit bayi.
6. Warna kulit. Terakhir adalah mengevaluasi warna kulit bayi. Bila bayi berwarna
merah muda atau hanya menunjukkan sianosis perifer, dilanjutkn dengan

observasi sederhana. Bila bayi menunjukkan sianosis sentral , berikan oksigen


dengan konsentrasi 80-100%, hal ini dilakukan selama bayi tersebut mengalami
sianosis.
7. Denyut jantung (lanjutan). Denyut jantung dievaluasi setelah 15-30 detik
pemberian ventilasi bertekanan positif. Apabila denyut jantung sekarang diatas
100, evaluasi warna kulit bayi seperti pada langkah no.6. Bila denyut jantung
diantara 60-100 dan bertambah, ventilasi tetap diberikan. Bila denyut jantung
dibawah 60 atao dibawah 80 dan tidak bertambah, ventilasi tetap diberikan dan
masase jantung dimulai. Berdasar masalah tersebut, intubasi trakea sebaiknya
dipersiapkan.
8.

Masase jantung. Masase jantung dilakukan dengan kecepatan 2 kali/menit


dengan istirahat detik setiap setelah masase ketiga untuk ventilasi. Masase
dihentikan setiap setelah 30 detik untuk menilai denyut jantung selama 6 detik.
Apabila denyut jantung rata-rata masih berada dibawah 80 kali/menit setelah 30
detik setelah ventilasi dan masase jantung, resusitasi kimia dimulai.

9. Resusitasi kimia. Resusitasi kimia terdiri dari epinefrin, penambahan cairan, dan
dpat pila diberikan naloxone. Epinefrin 1:10.000 diberikan secara cepat intravena
atau melalui trakeal tube dengan dosis 0,1-1,3 mL/kg. Penambahan cairan dengan
10mL/kg darah, 5% albumin, normal saline atau ringer laktat diberikan intravena
lima sampai sepuluh menit setelah diduga danya hipovolemia. Cairan natrium
bikarbonat 4,2% (0,5mEq/mL) diberikan secara lambat setidaknya 2menit
(1mEq/kg/min) pada kasus henti jantung yang lama yang tidak merespon terhadap
terapi lain, atau bila gas darah arteri menunjukkan asidemia metabolic berat.
Bicarbonat hanya diberikan setelah ventilasi efektif terjadi. Naloxone hidroklorid
diindikasikan pada depresi nafas dan riwayat ibu yang menggunakan narkotik
(Amerecan college of Obstericians and gynecologist, 1996). Pada bayi kurang
bulan ataupun cukup bulan dapat diberikan secar intravena atau intratrakeal
dengan dosis 0,1 mg/kg. Dosi ulangn kadang dibutuhkan karena masa kerja
beberapa narkotik seperti naloxone (satu sampai empat jam). Bila diberikan secra
intramuscular atau subkutan, absorbsi akan terganggu bila pada bayi terjadi
vasokonstriksi.

10. Intubasi trakeal. Intubasi trakal dpt dilakukan pada empat keadaan, yaitu

Saat perpanjangan ventilasi bertekanan positif dibutuhkan.

Saat kantung dan masker ventilasi tidak efektif.

Saat penyedotan trakea diperlukan.

Saat dicurigai adanya hernia diafragmatika.

Teknik masase pada bayi dan anak-anak


Prinsip resusitasi kardio pulmoner ada bayi adalah sama pada orang dewasa. Akan tetapi
karena ketidaksamaan ukuran, diperlukan modifikasi teknik:
1. Ekstensi kepala yang berlebihan akan menyebabkan sumbatan jalan napas pada
bayi. Kepala hendaknya dijaga dalam posisi netral selama diusahakan membuka
jalan napas.
2. Pada bayi, ventilasi dari mulut ke mulut dan hidung lebih sesuai dari pada
ventilasi mulut ke mulut atau mulut ke hidung. Pemberian ventilasi harus lebih
kecil volumenya dan frekuensi ventilasi harus ditingkatkan menjadi 1 ventilasi
tiap 3 detik.
3. Pukulan punggung dengan pangkal tangan dapat diberikan pada bayi diantara 2
skapuladengan korban telungkup dan mengangkang pada lengan penolong dan
hentakan dada diberikan dengan bayi telentang, kepala terletak di tengah
melintang pada paha penolong. Karena jantung terletak sedikit lebih tinggi dalam
rongga thoraks pada pasien-pasien muda, kompresi dada luar hendaknya
diberikan dengan 2 jari pada1 jari di bawah titik potong garin putting susu dengan
sternum pada bayi. Penekanan sternum 1,5-2,5cm efektif pada bayi.
4. Selama henti jantung, pemberian kompresi dada luar harus minimal 100 kali per
menit. Perbandingan kompresi terhadap ventilasi selalu 5:1.

Tehnik intubasi
Kepala bayi yang telntang dipertahankan datar. Laringoskop dimasukkan kedalm sisi
kanan mulut dan kemudian diarahkan ke posterior menuju orofaring. Laringoskop
selanjutnya digerakkan dengan lembut kedalam ruang antara basis lidah dan epiglottis.
Ujung laringoskop yang diangkat dengan perlahan akan mengangkat epiglottis dan akan
membuka glottis serta pita suara. Tuba trakeal dimasukkan melalui sisi kanan mulut dan
disisipkan melalui pita suara sampai bahu tuba tersebut mencapai glottis. Hasilnya harus
diuji untuk meyakinkan bahwa tuba ada di dalam trakea dan tidak di esophagus.
Kemudian laringoskop diangkat. Benda asing yang ditemukan di dalam tuba trakea
segera dibuang dengan penghisap. Mekoneum, darah , mucus, dan debris partikel dalam
cairan amnion atau dalam saluran lahir mungkin terhirup in utero atau in vaginam.
Resusitator mengisi mulut dari selang oksigen dan berulang-ulang menyemburkan udara
yang kaya oksigen ke dalam tuba endotrakeal dengan selang waktu 1-2 detik dengan
kekuatan yang cukup untuk mengangkat dengan lembut dinding dada bayi. Tekanan 2535 cm air diperlukan untuk mengembangkan alveoli namun tidak menyebabkan
pneumotoraks atau pneumomediastinum. Atau, digunakan ventilasi tekanan positif
intermiten dengan oksigen yang dilepaskan dari sebuah kantung yang dihubungkn dengan
tuba trakeal. Kalau lambung mengembang tuba hampir pasti di dalam esophagus daripada
di trakea. Begitu respirasi spontan cukup adekuat telah terjadi, tuba biasanya dapat
diambil dengan aman.
Ukuran tuba endotrakeal berdasarkan perkiraan berat dan usia gestasi
______________________________________________________________________________
ukuran tuba
berat
usia gestasi
(diameter dalam, mm)
______________________________________________________________________________
2,5
<1000
<28
3,0
1000-2000
28-34
3,5
2000-3000
34-38
3,5-4,0
>3000
>38
_______________________________________________________________________

10

KESALAHAN UMUM PADA RESUSITASI NEONATUS


Kalau upaya resuitasi tidak segera berhasil, kegagalan mungkin disebabkan oleh
kesalahan

tehnik

yang

mudah

diperbaiki.

Operator

yang

sangat

ahli

dan

berpengalmanpun dapat mengalami kesulitan, dan kemungkinan kesalahan tehnik


hendaknya selalu di pikirkan kalau seseorang bayi gagal memberi respon terhadap
resuitasi.
Kesalahan-kesalahan umum ini meliputi hal-hal berikut:
1. Tidak mencek perlengkapan resuitasi lebih dahulu.

Kantung resusitasi rusak

Laringoskop dengan cahaya yang redup atau berkedip

Kateter umbilicus tidak steril.

2. Penggunaan meja resusitasi yang dinginIntubasi tidak berhasil


3. Intubasi tidak berhasil

Hiperekstensi leher.

Penyedotan tidak adekut

Kekuatan yang diberikan berlebihan.

4. Ventilasi tidak adekuat

Posisi kepala tidak tepat

Pemasangan masker tidak tepat

Penempatan tuba trakea ke dalam esofagus atau bronkus utama kanan.

Kegagalan mengamankan tuba trakea

11

5. Kegagalan mendeteksi dan menentukan penyebab buruknya gerakan dada atau


bradikardi persisten
6. Kegagalan untuk mendeteksi dan memberikan terapi hipovolemia
7. Kegagalan melakukan masase jantung.

12

Anda mungkin juga menyukai