Anda di halaman 1dari 2

KONFLIK Arab Saudi dan Iran kembali pecah hingga menimbulkan ketegangan baik internal

maupun eksternal dari kedua negara pemeluk Sunni dan Syiah itu. Bahkan, beberapa negara di
Timur Tengah lainnya turut tegang. Konflik kedua negara tersebut kini menjadi konfigurasi
konflik di panggung Timur Tengah, konflik ini terjadi dipicu akibat salah satu ulama Syiah
Sheikh Nimr al-Nimr dieksekusi mati oleh Arab Saudi. Alhasil menimbulkan reaksi oleh sejumlah
pemuda di Iran dengan membakar Kantor Kedutaan Besar serta Konsultat Arab di Teheran dan
Mashhad sebagai bentuk protes di eksekusinya seorang ulama Syiah tadi. Akibat aksi
pembakaran ini kemudian menyusul putusan hubungan diplomatik oleh Menteri Luar Negeri
Arab Saudi Adel al-Jubeir, (Kompas,05/01). Konflik kali pun merupakan puncak dari rangkaian
konflik antara Iran dan Arab Saudi dalam merebut pengaruh, khusuanya di mata negara-negara
Timur Tengah juga di mata dunia sebagai sebagai bagian dari negara pengekspor minyak
terbesar. Hal ini dilihat dari segi ekonomi dan politik. Dalam kacamata sejarah modern, konflik
Timur Tengah memang selalu diwarnai dengan perubahan konfigurasi konflik dari masa ke
masa. Pada tahun 1950-an dan 1970-an, konfigurasi konflik pertama adalah Arab versus Israel
yang bermula pada perang Arab dan Israel tahun 1948, 1956, 1967, dan berahkir pada 1973.
Pada 1980-an, konfigurasi utama konflik adalah antara Iran dan Irak yang berlangsung kurang
lebih delapan tahun yang memuncak pada 1988. Dekade berikutnya, konfigurasi konflik
berubah lagi, yaitu antara Irak dan Arab Teluk akibat invasi Irak ke Kwait pada tahun 1990.
Paska invasi Amerika Serikat ke Irak tahun 2003 yang menumbangkan rezim Saddam Hussein di
Baghdad, konfigurasi utama konflik kemudian bergeser ke arah persaingan antara Iran dan Arab
Saudi. Pertarungan kedua negara mulai muncul di permukaan pasca kekuasaan Saddam
Hussein. Di ketahui, untuk Iran dan Arab Saudi sejak tahun 2003 memang sedang dalam
keterlibatan perang tidak langsung atau perang perwakilan (proxi war) di Irak. Sistem politik
sektarian dengan kemunculan poros politik Sunni, Syiah dan juga Kurdi yang diterapkan di Irak
pasca Saddam Hussein tumbang berandil besar terhadap masuknya Arab Saudi dan Irak dalam
konflik di negara itu. Arab Saudi dikenal dengan milisi dan kekuatan politik Sunni sedangkan,
Iran adalah pendukung dan milisi kekuatan politik Syiah di Irak. Konflik Iran dan Arab Saudi itu
meluas hingga merambah ke Suriah pasca meletusnya revolusi rakyat Suriah tahun 2011 yang
menuntut tumbangnya rezim Presiden Bashar al-Assad. Isu sektarian pun kemudian terjadi
dalam konflik di Suriah. Di negara itu, Arab Saudi mendukung upaya untuk menumbangkan
Assad. Di sisi lain, Iran membela serius Assad yang mnganut mazhab Syiah Alawite. Arab Saudi
melatih dan menyuplai senjata kepada milisi oposisi Suriah. Sebaliknya, Iran mengirim satuan
elite Garda Revolusi ke Suriah dan mendorong Hezbollah yang pro Iran untuk mendukung dan
membela Assad. Konflik Arab Saudi dan Iran di Irak dan Suriah itu sering membuat Arab Saudi
tidak tegas dalam menghadapi kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS). Bahkan,
disinyalir Arab Saudi kadang menggunakan NIIS untuk membendung pengaruh Iran. Konflik Iran
dan Arab Saudi pun semakin sulit untuk dibendung saat Arab Saudi pertama kali, Maret 2015
terlibat perang langsung di Yaman. Militer Arab Saudi menggempur kelompok Houthi yang pro
Iran di Yaman. Arab Saudi menganggap Iran telah melanggar garis merah dengan mencoba
memperluas pengaruh di Yaman lewat kelompok Houthi, terutama setelah milisi ini sempat
menguasai selat strategis Bab al-Mandeb yang menghubungkan samudera Hindia dan laut
merah. Hampir 40 persen suplai minyak ke Eropa dan Amerika Serikat yang diangkut kapal
tanker dari teluk melalui selat itu. Konflik Arab Saudi dan Iran menjalar ke sektor minyak. Arab
Saudi sebagai produsen minyak terbesar dengan omset mencapai 10 juta barel per hari, turut
memainkan senjata minyak melawan Iran dengan terus mempertahankan tingkat produksi agar
harga minyak tetap rendah dan Iran tidak bisa menikmati keuntungan yang besar. (adsbygoogle
= window.adsbygoogle || []).push({}); Babak Baru Hubungan Saudi-Iran Semenjak Saudi
mencanangkan operasi badai penghancur (Decisive Storm) kepada sekte syiah houthi di Yaman,
eskalasi hubungan antara Saudi dengan Iran terus memburuk. Pasalnya, dalam konflik Saudi

Syiah Houthi ini, Iran berperan sebagai backbone utama Syiah Houthi yang telah melakukan
kudeta di Yaman. Konflik secara tidak langsung antara Saudi dengan Iran ini tidak hanya di
Yaman, tapi juga terjadi di Suriah, dimana Saudi lebih mendukung Bashar Al Assad agar lengser
keprabon, namun sebaliknya Iran habis-habisan mendukung Bashar Al Assad, pemimpin negara
penganut sekte Syiah Alawi Nushairiyah. Eskalasi ini menemui titik puncak ketika Saudi
memantik trigger, yaitu mengeksekusi mati Nimr Al Nimr selaku penganut syiah yang berusaha
memberontak di Saudi. Patut diketahui, Al Nimr ini adalah warga Saudi yang telah mengenyam
pendidikan di Iran, yang membuat gerakan protes kepada pemerintah di daerah timur Saudi.
Eksekusi mati ulama syiah Nimr ini membuat Iran marah, sebagaimana diulas sebelumnya,
kantor kedutaan Saudi di Teheran pun tak selamat dari amukan massa syiah. Praktis, sebuah
keputusan tepat diambil Arab Saudi melalui menteri Luar Negerinya Adel bin Ahmed Al Jubeir,
Saudi memutuskan hubungan diplomatik dengan Iran. Mulai 4 Januari 2015, dalam 48 jam ke
depan, Iran harus menarik warga diplomatiknya dari Saudi, dengan sebelumnya Saudi pun
menarik warga diplomatiknya dari Iran. Bagaimanapun, Saudi berhak menghukum warganya
sesuai dengan konstitusi negaranya tanpa campur tangan dari negara lain. Oleh karena itu,
respon berlebihan Iran dengan merusak kantor kedutaan Arab Saudi tidak bisa diterima, selain
itu juga bertentangan dengan konvensi internasional. Babak baru (pemutusan hubungan
diplomatik) di tengah ketegangan antara Saudi dan Iran ini makin memanaskan suhu politik di
regional Timur Tengah, di kala perang melawan syiah houthi di Yaman, dan perang antara
Mujahidin pembebas Suriah dengan Bashar Assad masih berlangsung. Dari babak baru ini, ada
beberapa kemungkinan yang dapat kita perkirakan : Pertama, Saudi membutuhkan penguatan
koalisi yang telah dibangun akhir-akhir ini, kita ketahui Saudi menginisiasi koalisi militer 34
negara muslim yang notabene Sunni. Penguatan koalisi ini dibutuhkan untuk mempersiapkan
berbagai kemungkinan peningkatan eskalasi dari poros iran, setidaknya dalam bentuk psy-war.
Dalam beberapa jam setelah Saudi memutuskan hubungan diplomatik dengan Iran, sebagai rasa
solidaritas, Sudan juga memutuskan hubungan diplomatik dengan Iran. Bahrain menuduh Iran
dibalik unjuk rasa kaum syiah di negara nya plus menutup kantor kedubes Iran di Bahrain.
Sementara itu, Uni Emirat Arab (UAE) telah men-downgrade hubungan politiknya dengan Iran.
Kedua, Iran akan terus berjuang agar program nuklirnya berhasil. Jika hal ini telah berhasil,
maka nuklir akan menjadi bargain Iran kepada Saudi dalam psy-war. Ketiga, perang harga
minyak dunia kemungkinan masih terus terjadi. Setidaknya seperti yang diungkapkan menteri
perminyakan Saudi Ali Naimi, perang harga minyak dapat terjadi satu tahun hingga tiga tahun.
Meskipun anggaran Saudi juga ikut berdarah darah hingga mau tidak mau menaikkan harga
minyak dalam negeri nya sebesar 40 persen. Dengan kondisi hubungan yang memburuk, Saudi
bisa terus memukul harga dengan terus membanjiri pasar dengan minyak nya. Sebuah kondisi
yang kurang menguntungkan bagi Iran dan Rusia yang berdiri berseberangan dengan Saudi
dalam konflik Suriah. Keempat, akan semakin alotnya operasi menumpas syiah houthi, karena
Iran akan sangat mungkin terus mem-backup segala kebutuhan persenjataan dan logistik sekte
ini di Yaman. Kelima, kemungkinan kontak senjata secara langsung antara Saudi dengan Iran
masih cukup jauh. Butuh effort dan trigger yang lebih bagi kedua negara untuk kontak senjata
langsung (baca: perang teluk jilid 4). Apalagi Iran masih terseok-seok berjuang dengan program
nuklir nya. Untuk memulihkan hubungan diplomatik antara Saudi dan Iran, dibutuhkan
kompromi dari kedua belah pihak, atau dibutuhkan sebuah perjanjian rekonsiliasi. Iran harus
meminta maaf atas insiden yang terjadi atas perusakan kantor kedutaan Arab Saudi dan atau
berupa
klausul
klausul
yang
disepakati
oleh
kedua
belah
pihak.
Sumber: http://rakyatku.com/2016/01/07/opini/opini-konfigurasi-konflik-timur-tengah.html

Anda mungkin juga menyukai