Abstrak
Sungai di Jl. Raya Kampus Unud, Jimbaran Kecamatan Kuta Utara persis depan Fakultas Hukum
Universitas Udayana saat ini mengalami kekeringan dan daerah bantarannya saat ini banyak
dimanfaatkan oleh masyarakat untuk berbagai kegunaan seperti pembuangan sampah dan limbah
sehingga terjadi degradasi (penurunan) kemampuan sungai untuk mendukung berbagai macam fungsinya.
Untuk mengatasi masalah-masalah yang dialami sungai tersebut perlu dilakukan Restorasi Sungai.
Restorasi sungai adalah mengembalikan fungsi alami/renaturalisasi sungai, yang telah terdegradasi oleh
intervensi manusia. Restorasi sungai merupakan perubahan paradigma dalam ilmu rekayasa sungai (river
engineering) yaitu perubahan dari pola penyelesaian berdasarkan aspek teknik sipil hidro secara parsial
menjadi penyelesaian terintegrasi aspek hidraulik, fisik, ekologi, sosial. Pembangunan berkelanjutan
adalah proses pembangunan yang berprinsip memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan
pemenuhan kebutuhan generasi masa depan. Salah satu faktor yang harus dihadapi untuk mencapai
pembangunan berkelanjutan adalah bagaimana memperbaiki kehancuran lingkungan tanpa mengorbankan
kebutuhan pembangunan ekonomi dan keadilan sosial. Mengkaji dari konsep pembangunan berkelanjutan
dan restorasi sungai maka dapat disimpulkan bahwa restorasi sungai adalah jawaban dari pembangunan
sungai yang berkelanjutan yaitu restorasi sungai bertujuan memperbaiki kehancuran lingkungan sungai
tanpa mengorbankan kebutuhan pembangunan ekonomi dan keadilan sosial.
Kata kunci: kekeringan, sampah, restorasi sungai, pembangunan, berkelanjutan
PENDAHULUAN
PSDA | Restorasi
Sungai Lama
Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur utamanya terdiri
atas sumberdaya alam tanah, air dan vegetasi serta sumberdaya manusia sebagai pemanfaat sumberdaya
alam tersebut. DAS di beberapa tempat di Indonesia memikul beban amat berat sehubungan dengan
tingkat kepadatan penduduknya yang sangat tinggi dan pemanfaatan sumberdaya alamnya yang intensif
sehingga terdapat indikasi belakangan ini bahwa kondisi DAS semakin menurun dengan meningkatnya
kejadian tanah longsor, erosi dan sedimentasi, banjir, dan kekeringan, (Gunawan. 2007).Disisi lain
tuntutan terhadap kemampuannya dalam menunjang system kehidupan, baik masyarakat di bagian hulu
maupun hilir demikian besarnya. Sebagai suatu kesatuan tata air, DAS dipengaruhi kondisi bagian hulu
khususnya kondisi biofisik daerah tangkapan dan daerah resapan air yang di banyak tempat rawan
terhadap ancaman gangguan manusia. Hal ini mencerminkan bahwa kelestarian DAS ditentukan oleh pola
perilaku, keadaan sosial-ekonomi dan tingkat pengelolaan yang sangat erat kaitannya dengan pengaturan
kelembagaan (institutional arrangement).
Tidak optimalnya kondisi DAS yang ditandai dengan meningkatnya lahan kritis setiap tahun di
bagian hulu dan tingkat erosi yang terus meningkat antara lain disebabkan tidak adanya keterpaduan antar
sektor dan antar wilayah dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan DAS tersebut sehingga
membawa implikasi menurunnya kondisi DAS, (Gunawan. 2007). Dimana, masing-masing daerah
kadang berjalan sendiri-sendiri dengan tujuan yang kadangkala bertolak belakang. Sulitnya koordinasi
dan sinkronisasi tersebut lebih terasa dengan adanya otonomi daerah dalam pemerintahan dan
pembangunan dimana daerah berlomba memacu meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan
memanfaatkan sumberdaya alam yang ada di wilayah DAS. Permasalahan ego-sektoral dan egokedaerahan ini akan menjadi sangat komplek pada DAS yang lintas kabupaten/kota dan lintas provinsi.
Tingkat kekritisan lahan suatu DAS ditunjukkan oleh menurunnya penutupan vegetasi permanen dan
meluasnya lahan kritis sehingga menurunkan kemampuan DAS dalam menyimpan air yang berdampak
pada meningkatnya frekuensi banjir, erosi dan penyebaran tanah longsor pada musim penghujan dan
kekeringan pada musim kemarau. Sampai dengan tahun 2007 penutupan hutan di Indonesia sekitar 50%
luas daratan dan ada kecenderungan luasan areal yang tertutup hutan terus menurun dengan rata-rata laju
deforestasi tahun 2000-2005 sekitar 1,089 juta ha per tahun. Sedangkan lahan kritis dan sangat kritis
masih tetap luas yaitu sekitar 30.2 juta ha (terdiri dari 23,3 juta ha sangat kritis dan 6,9 juta ha kritis),
erosi dari daerah pertanian lahan kering yang padat penduduk tetap tinggi melebihi yang dapat ditoleransi
(15 ton/ha/th) sehingga fungsi DAS dalam mengatur siklus hidrologi menjadi menurun. (Gunawan.
2007).
Jumlah penduduk yang terus berkembang, sementara lapangan kerja sangat terbatas sebagaimana
disinggung di atas, telah mendorong masyarakat memanfaatkan setiap jengkal lahan untuk memperoleh
produksi pertanian sebagai upaya memenuhi kebutuhan hidup. Permasalahan degradasi lingkungan DAS
timbul, apabila pemanfaatan lahan ini dilakukan pada daerah berlereng tanpa memperhatikan kemampuan
lahannya. Aktivitas penggunaan lahan demikian tidak saja merugikan wilayah setempat ( on site) tetapi
juga menjadikan derita di wilayah hilirnya (off site). Proses ini terangkai dalam sistem aliran sungai yang
berjalan mengikuti kaidah alami (proses hidrologis) yang tidak terikat oleh batas administrasi. Oleh
karena itu, tingkat kekritisan DAS sangat berkaitan pula dengan tingkat sosial ekonomi masyarakat petani
di daerah tengah hingga hulu DAS terutama jika kawasan hutan dalam DAS tidak luas. Tingkat kesadaran
dan kemampuan ekonomi masyarakat petani yang rendah akan mendahulukan kebutuhan primer dan
sekunder (sandang, pangan, dan papan) bukan kepedulian terhadap lingkungan (upaya konservasi)
sehingga sering terjadi perambahan hutan di daerah hulu DAS, penebangan liar dan praktik-praktik
pertanian lahan kering di perbukitan yang akan meningkatkan kekritisan DAS. (Gunawan. 2007).
Disisi lain, adanya kesenjangan pemanfaatan ruang dalam pengelolaan DAS antara elit lokal
(pengusaha) dengan masyarakat petani sekitar DAS telah membuka peluang konflik kepentingan. Kondisi
ini menjadi ancaman terhadap daya dukung DAS karena pemanfaatan dan pengelolaan DAS akan
dilakukan semaunya tanpa memperhatikan karakteristik dan kelestarian fungsi DAS. Adanya konflik
kepentingan dalam pemanfaatan wilayah DAS dan kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar DAS yang
masih jauh dari sebuah hidup yang layak, maka perlu adanya upaya harmonisasi pemberdayaan
masyarakat sekitar DAS dan upaya konservasinya untuk meningkatkan pemahaman masyarakat akan
pentingnya DAS dalam mengatur fungsi hidrologi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat itu
sendiri. (Gunawan. 2007).
Pada prinsipnya gambaran kerusakan lingkungan DAS di Indonesia telah menjadi keprihatinan
banyak pihak, baik di dalam negeri maupun oleh dunia internasional. Hal ini ditandai dengan
meningkatnya bencana alam yang dirasakan, seperti bencana banjir, tanah longsor dan kekeringan yang
semakin meningkat. Rendahnya daya dukung Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai suatu ekosistem
diduga merupakan salah satu penyebab utama terjadinya bencana alam yang terkait dengan air ( water
related disaster) tersebut. Kerusakan DAS dipercepat oleh peningkatan pemanfaatan sumberdaya alam
sebagai akibat dari pertambahan penduduk dan perkembangan ekonomi, konflik kepentingan dan kurang
keterpaduan antar sektor, antar wilayah hulu-tengah-hilir, terutama pada era otonomi daerah.
Tidak dipungkiri bahwa upaya-upaya untuk memperbaiki kondisi DAS sebenarnya sudah dimulai
sejak tahun 1970-an melalui Program Penyelamatan Hutan, Tanah dan Air (PPHTA), melalui Inpres
Penghijauan dan Reboisasi, kemudian dilanjutkan dengan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan
Lahan (GN-RHL), Gerakan Nasional Kemitraan Penyelamatan Air (GNKPA) dan Revitalisasi Pertanian,
Perikanan dan Kehutanan (RPPK). Tujuan dari upaya-upaya tersebut pada dasarnya adalah untuk
mewujudkan perbaikan lingkungan seperti penanggulangan bencana alam banjir, tanah longsor, dan
kekeringan secara terpadu, transparan dan partisipatif, sehingga sumberdaya hutan dan lahan berfungsi
optimal untuk menjamin keseimbangan lingkungan dan tata air DAS, serta memberikan manfaat sosial
ekonomi yang nyata bagi masyarakat, namun tingkat keberhasilannya masih rendah.
Berdasarkan uraian di atas menunjukkan perlunya upaya konservasi wilayah DAS guna mendukung
pembangunan wilayah DAS secara terpadu dan berkelanjutan yang harus melibatkan pemangku
kepentingan pengelolaan sumberdaya alam yang terdiri dari unsurunsur masyarakat, dunia usaha,
Pemerintah, dan Pemerintah Daerah dengan prinsip-prinsip keterpaduan, kesetaraan dan berkomitmen
untuk menerapkan penyelenggaraan pengelolaan sumberdaya alam di wilayah DAS yang adil, efektif,
efisien dan berkelanjutan dan Konsep restorasi dia bangun guna mengembalikan sungai seperti sediakala
.
Dalam survey restorasi sungai yang dilakukan di Jl. Raya kampus unud, jimbaran kecamatan kuta
utara, depan fakultas hukum universitas udayana didapat rumusan masalah sebagai berikut :
1. Apa manfaat survey tersebut bagi mahasiswa ?
2. Bagaimana cara mengembalikan fungsi sungai seperti sediakala (Restorasi) ?
3. Bagaimana konsep penanganan sungai ?
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Agar mahasiswa dapat mengetahui kondisi lingkungan sekitar dan dapat memahami lebih
dalam restorasi sungai tersebut
2. Mengetahui bagaimana cara mengembalikan fungsi sungai seperti sediakala (Restorasi)
3. Mengetahui bagaimana konsep penanganan sungai
LANDASAN TEORI
Konsep pembangunan sungai tahap pertama pada umumnya bersifal parsial hidraulik murni
sedangkan konsep pada tahap terakhir bersifat integral Ekohidraulik. Indonesia, sebagian besar metode
pembangunan sungainya masih menggunakan metode tahap pertama river development atau hidraulik
murni. (Maryono,A. 2002)
a. Pembangunan Sungai dengan Konsep Hidraulika Murni
Konsep pembangunan hidraulika murni tidak mempertimbangkan aspek ekologi dan dampak
yang akan terjadi setelah pembangunan. Metode ini telah merubah penampakan alami dan alur
alamiah sungai menjadi buatan yang berbentuk trapesium dengan alur relatif lurus.
Beberapa pembangunan sungai yang dilakukan dengan konsep hidraulika murni antara lain
koreksi sungai (river correction) atau normalisasi sungai berupa pelurusan, sudetan, penyempitan
alur, penyederhanaan tampang sungai. Kegiatan lainnya adalah koreksi dan rekayasa sungai pada
pembangunan transportasi sungai, regulasi sungai, proteksi tebing, pengerukan, dan penaikkan
elevisi muka air. Pembangunan hydropower plan, bendungan, bendung, pencabangan, dan
penggenangan termasuk ke dalam kegiatan koreksi dan rekayasa sungai. Sebagian besar dari
tebing-tebing sungai dan daerah bantaran atau sempadan sungai hilang karena pelurusanpelurusan, sudetan, pembuatan tanggul, dan pertalutan. (Maryono,A. 2002)
b. Pembangunan Sungai dengan Konsep Ekohidraulika
Konsep ekohidrolika merupakan konsep pembangunan sungai integratif yang berwawasan
lingkungan. Dalam konsep ini, sungai didefinisikan sebagai suatu sistem keairan terbuka yang
padanya terjadi interaksi antara faktor biotis dan abiotis yaitu flora dan fauna disatu sisi dan
hidraulika air dan sedimen disisi yang lain, serta seluruh aktivitas manusia yang berhubungan
langsung atau tidak langsung dengan sungai.
Aktivitas yang dilakukan dengan konsep ini antara lain adalah restorasi sungai (river
restoration), repitalisasi sungai (river revitalisation) atau renaturalisasi sungai (river
renaturalisation). Maksud dari pembangunan sungai integratif dengan wawasan lingkungan
tersebut adalah pembangunan sungai dengan memperhatikan faktor biotik (seluruh makhluk
hidup-ekologi) dan abiotik (seluruh komponen fisik-hidraulik) yang ada di wilayah sungai.
(Maryono,A. 2002)
METODOLOGI
Desain Survey Dilapangan
Survey yang akan dilaksanakan adalah penelitian lapangan (field experiment), survey lapangan
mengenai kondisi sungai dari hulu (bangunan bendung) sampai ke hilir (sungai berkarang), penelitian
berupa penumpukan sampah, kekeringan pada sungai, survey mengenai partisipasi masyarakat dalam
pencegahan pencemaran sungai dan pengendalian system aliran air sungai
Peralatan yang digunakan untuk survey, yaitu :
1. Meteran (50 m)
2. Odometer untuk mengukur lebar DAS
3. Kamera untuk dokumentasi
4. Alat tulis untuk mencatat data yang didapat
Lokasi Survey
Survey dilakukan di daerah hulu aliran bendung kering bersampah di Jl. Raya kampus unud,
jimbaran kecamatan kuta utara, depan fakultas hukum universitas udayana sampai dengan menemukan
hilir sungai berkarang yang terdapat air, karakteristik fisik lapangan berbukit dan berkapur dengan
masalah sungai mengalami kekeringan dan bantaran sungai dimanfaatkan untuk pembuangan sampah.
Hul
u
Gambar 3. Kondisi Bangunan Bendung di Hulu dan Hilir (Sumber : Pengamatan Langsung)
Kondisi DAS dibagian hulu terlihat bahwa penyalahgunaan fungsi DAS sebagai pembuangan
sampah. Hal ini dipicu karena kekeringan yang terjadi pada DAS tersebut.
Restorasi Sungai
Masalah restorasi sungai (disebut juga renaturalisasi atau revitalisasi sungai) di Indonesia sampai
penghujung tahun 2002 belum banyak ditertariki. Karena ide ini masih dianggap mengada-ada, sementara
usaha pembangunan sungai dengan konsep hidraulik murni yang distruktif sedang gencar berjalan. Ide
renaturalisasi sungai dimaksudkan untuk memberi gambaran ke depan tentang pengulangan sejarah
pembangunan sungai di Eropa oleh para insinyur sungai di Indonesia. Sehingga kesadaran kehati-hatian
akan tumbuh dalam pengelolaan sungai, sehingga restorasinya dikemudian hari tidak diperlukan lagi.
Renaturalisasi di beberapa negara seperti Jerman dan Jepang dilakukan secara selektif, dalam anti
lokas sungai yang akan direnaturalisasi atau restorasi dipilih dengan pertimbangan hidraulis dan ekologis.
Renturaisasi tidak dilkaukan secara serentak disepanjang sungai misalnya.
Sungai Bengawan Solo dan sungai Citarum misalnya, bisa direnaturalisasi dengan membuka
kembali beberapa tangul Oxbow hasil sudetan. Ekosistem kawasan Oxbow akan hidup kembali dan
konservasi air meningkat. Demikian juga sungai-sungai kecil di berbagai kota dan pinggiran kota yang
sudah ditalud tanpa alasan kuat, dapat direnaturalisasi secara selektif dengan membongkat talud yang ada
dan menanami bantaran bekas talud tersebut dengan vegetasi setempat yang cocok. Pulau-pulau buatan
dapat diinisiasi pada sungai-sungai kecil dan menengah di daerah pinggiran kota. Pembangunan pulaupulau ini akan meningkatkan deversivikasi ekologi sekaligus meningkatkan retensi hidraulis sungai dan
konservasi. Meandering sungai dapat dikembalikan dengan menginisiasi terbentuknya meander. Struktur
untuk menginisiasi dapat dipilih vegetatif atau gabungan bronjong batu dan vegetasi. Sehingga secara
dinamis sungai akan berubah berkelok-kelok lagis sesuai dengan kondisi awalnya.
Gambar 6. Ilustrasi Renaturalisasi Sungai yang Telah dibangun. (sumber : Buku Eko-Hidraulika
Pembangunan Sungai, Maryono,A. 2002.)
seluruh sungai setelah sungai sedang. Untuk lebih mudahnya, sungai kecil dapat didefinisikan sebagai
sungai yang umumnya melintas di sekitar kita yang lebarnya hanya sekitar 0,5 m sampai 20 m.
(Maryono,A. 2002.)
Sesegera mungkin menetapkan daerah bantaran sungai kecil yang tidak boleh dieksploatasi. Memperbaiki
kondisi ekologi-hidraulik sungai kecil berarti juga memperbaiki kondisi DAS secara keseluruhan.
Perhatian pemerintah yang selama ini hanya ditujukkan ke sungai-sungai besar saja perlu dikoreksi secara
substansial. Harus disediakan dana cukup untuk mengelola sungai kecil perkotaan dan pinggiran,
mengembalikannya lagi ke fungsi vitalnya sebagai komponen tata air utama dari suatu kawasan.
Memberdayakan masyarakat dan meningkatkan perannya dalam pengelolaan sungai kecil dengan
berwawasan lingkungan. (Maryono,A. 2002.)
KESIMPULAN
Dari hasil pengamatan yang dilakukan, kita harus lebih Memperhatikan sumber daya air dan menjaga
lingkungan tetap bersih berdasarkan konsep pembukaan sungai kembali dengan metode ekohidrolika
merupakan sebuah metode yang akan membuat kita lebih memerhatikan lingkungan biotik dan abiotik
dalam pembangunan DAS atau sungai-sungai kecil lainnya untuk melestarikan seluruh ekosistem perairan
yang ada, agar tetap terjadi keseimbangan alam, hewan dan manusia.
Pengamatan di lokasi menunjukkan bahwa sepanjang aliran sungai dari hulu yang mengalami
kekeringan dan penuh sampah menuju ke hilir merupakan daerah sungai berkarang dan mengalami
penyempitan Saluran dari hilir (bangunan bendung) tidak berfungsi dengan maksimal akibat adanya
endapan (sedimentasi) dan banyak sampah kayu, saluran terputus di beberapa bagian akibat tertimbun
tanah / sampah, dan saluran sudah banyak ditumbuhi tanaman sehingga mudah terjadi pendangkalan.
Pada tingkat saluran sekunder, sampah - sampah dan tanaman pada saluran sekunder menghambat aliran
air apalagi sungai tersebut sudah hampir jarang terdapat air.
Tindakan yang dapat dilakukan untuk mengatasi sampah dan kekeringan adalah sebagai berikut ::
1. Perlunya pengerukan sedimentasi dan tanaman di sungai dan saluran tersier lainnya
2. Penataan bantaran sungai
3. Perbaikan dan normalisasi saluran sungai, serta mengembalikan fungsi sungai yang
sesungguhnya
4. Sosialisasi pentingnya daerah aliran sungai kepada masyarakat agar tidak membuang sampah ke
sungai
5. Membuat bak kontrol serta saringan agar sampah yang masuk ke saluran drainase dapat dibuang
dengan cepat agar tidak terjadi endapan
6. Pemberian sanksi kepada siapapun yang melanggar aturan, terutama membuang sampah
sembarangan, agar masyarakat mengetahui pentingnya manfaat saluran drainase
7. Peningkatan daya guna air, meminimalkan kerugian serta memperbaiki konservasi lingkungan
Daftar Pustaka
Gunawan. 2007. Pengembangan Daerah Riparian di Badan Sungai dengan
Pengembangan Konsep EkoHidrologi. ITB Press. Bandung.
Maryono, Agus. 2002. EKO-HIDRAULIK PEMBANGUNAN SUNGAI. Menanggulangi
Banjir dan Kerusakan Lingkungan Wilayah Sungai. Program Magister Sistem
Teknik. Fakultas Teknik. Universitas Gadjah Mada.
Maryono, Agus. 2002. Restorasi Sungai (River Restoration): Pembangunan Sungai, Dampak
Pembangunan Sungai, Restorasi Sungai. http://www.ampl.or.id/digilib/read/restorasi-sungai-riverrestoration-pembangunan-sungai-dampak-pembangunan-sungai-restorasi-sungai/1326 (di kutip
pada tanggal 22 April 2016)
http://www.pikiran-rakyat.com/bandung-raya/2013/04/25/232500/wagub-nilai-normalisasi-citarummenimbulkan-penyempitan. pada tanggal 25 April 2016)
Bisnis.com, BOJONEGORO. Pemkab Bojonegoro Diminta Tertibkan Tanggul Bengawan Solo
http://surabaya.bisnis.com/read/20160304/4/87097/pemkab-bojonegoro-diminta-tertibkan tanggul-bengawan-solo. pada tanggal 25 April 2016)
LAMPIRAN