Anda di halaman 1dari 14

KEPERAWATAN DI INDONESIA

Oleh : Netha Damayantie


( NPM : 0606027221 )

Seiring dengan era reformasi dan era globalisasi di Indonesia saat ini,
juga diikuti dengan perubahan pemahaman terhadap konsep
sehat-sakit, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta
penyebaran informasi tentang determinan kesehatan yang bersifat
multifaktorial . Kondisi ini mendorong pembangunan kesehatan
nasional ke arah paradigma baru yaitu paradigma sehat. Dalam
perkembangannya keperawatan mengalami pasang surut
sekaligus babak baru bagi kehidupan profesi keperawatan di
Indonesia.

Gambaran Keperawatan di Indonesia


Kondisi keperawatan di Indonesia memang cukup tertinggal
dibandingkan negara-negara ASEAN seperti Piliphina, Thailand,
dan Malaysia, apalagi bila ingin disandingkan dengan Amerika dan
Eropa. Pendidikan rendah, gaji rendah, pekerjaan selangit inilah
paradoks yang ada. Rendahnya gaji menyebabkan tidak sedikit
perawat yang bekerja di dua tempat, pagi hingga siang di rumah
sakit negeri, siang hingga malam di rumah sakit swasta. Dalam

kondisi yang demikian maka sulit untuk mengharapkan kinerja


yang maksimal. Apalagi bila dilihat dari rasio perawat dan pasien,
dalam satu shift hanya ada 2-3 perawat yang jaga sedangkan
pasien ada 20-25 per bangsal jelas tidak proporsional(Yusuf,2006).

Jumlah perawat yang menganggur di Indonesia ternyata cukup


mencengangkan. Hingga tahun 2005 mencapai 100 ribu orang.
Hal ini disebabkan kebijakan zero growth pegawai pemerintah,
ketidakmampuan rumah sakit swasta mempekerjakan perawat
dalam jumlah memadai, rendahnya pertumbuhan rumah sakit dan
lemahnya kemampuan berbahasa asing. Ironisnya, data WHO
2005 menunjukkan bahwa dunia justru kekurangan 2 juta perawat,
baik di AS, Eropa, Australia dan Timur Tengah. Fakta lain di
lapangan, saat ini banyak tenaga perawat yang bekerja di rumah
sakit dan puskesmas dengan status magang (tidak menerima
honor seperserpun) bahkan ada rumah sakit yang meminta
bayaran kepada perawat bila ingin magang. Alasan klasik dari
pihak rumah sakit mereka sendiri yang datang minta magang.
Dilematis memang, tinggal di rumah menganggur , magang di
rumah sakit/puskesmas tidak dapat apa-apa . Padahal kalau kita
menyadari sebenarnya banyak sekali kesempatan dan tawaran
kerja di luar negeri seperti :USA,. Canada, United Kingdom
(Inggris), Kuwait, Saudi Arabia, Australia, New Zaeland, Malaysia,
Qatar, Oman, UEA, Jepang, German, Belanda, Swiss (Yusuf, 2006).

Kemampuan bersaing perawat Indonesia bila di bandingkan dengan


negara-negara lain seperti Philipines dan India masih kalah .
Pemicu yang paling nyata adalah karena dalam system pendidikan
keperawatan kita masih menggunakan Bahasa Indonesiasebagai
pengantar dalam proses pendidikan. Hal tersebut yang membuat
Perawat kita kalah bersaing di tingkat global. Salah satu tolak ukur
kualitas dari Perawat di percaturan internasional adalah
kemampuan untuk bias lulus dalam Uji Kompetensi keperawatan
seperti ujian NCLEX-RN dan EILTS sebagai syarat mutlak bagi
seorang perawat untuk dapat bekerja di USA. Dalam hal ini
kualitas dan kemampuan perawat Indonesia masih sangat
memprihatinkan (Muhammad, 2005)

Sejak disepakatinya keperawatan sebagai suatu profesi pada


Lokakarya Nasional Keperawatan tahun 1983, terjadilah
pergeseran paradigma keperawatan dari pelayanan yang sifatnya
vokasional menjadi pelayanan yang bersifat professional.
Keperawatan kini dipandang sebagai suatu bentuk pelayanan
professional yang merupakan bagian integral dari pelayanan
kesehatan yang meliputi aspek bio,psiko,sosio dan spiritual yang
komperehensif, dan ditujukan kepada individu, keluarga,
kelompok, atau masyarakat yang baik yang sehat maupun yang
sakit dan mencakup seluruh siklus hidup manusia . Sebagai profesi

yang masih dalam proses menuju perwujudan diri, profesi


keperawatan dihadapkan pada berbagai tantangan. Pembenahan
internal yang meliputi empat dimensi domain yaitu; Keperawatan,
pelayanan keperawatan, asuhan keperawatan, dan praktik
keperawatan. Belum lagi tantangan eksternal berupa tuntutan
akan adanya registrasi, lisensi, sertifikasi, kompetensi dan
perubahan pola penyakit, peningkatan kesadaran masyarakat
akan hak dan kewajiban, perubahan sistem pendidikan nasional,
serta perubahan-perubahan pada suprasystem dan pranata lain
yang terkait (Yusuf, 2006).
Keluarnya Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 1992 tentang
Kesehatan, UU No 2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional
serta Surat Keputusan Menteri Kesehatan No
1239/Menkes/SK/2001 tentang registrasi dan praktik keperawatan
lebih mengukuhkan keperawatan sebagai suatu profesi di
Indonesia. Adanya Undang-undang No. 8 tahun 1999 tetang
Perlindungan Konsumen semakin menuntut perawat untuk
melaksanakan praktik keperawatan secara profesional menjadi
suatu keharusan dan kewajiban yang sudah tidak dapat ditawartawar lagi. Penguasaan Ilmu dan keterampilan, pemahaman
tetang standar praktik, standar asuhan dan pemahaman hak-hak
pasien menjadi suatu hal yang penting bagi setiap insan pelaku
praktik keperawatan di Indonesia (Yanto, 2001)
Konsekuensi dari perkembangan itu harus ada jenjang karier dan
pengembangan staf yang tertata baik, imbalan jasa, insentif serta

sistem penghargaan yang sesuai dan memadai. Rendahnya


imbalan jasa bagi perawat selama ini mempengaruhi kinerja
perawat. Banyak perawat bergaji di bawah upah minimum regional
(UMR). Sebagai gambaran, gaji perawat pemerintah di Indonesia
antara Rp 300.000-Rp 1 juta per bulan tergantung golongan.
Sementara perawat di Filipina tak kurang dari Rp 3,5 juta (Kompas,
2001)
Selain memiliki kemampuan intelektual, interpersonal dan teknikal,
perawat di Indonesia juga harus mempunyai otonomi yang berarti
mandiri dan bersedia menanggung resiko, bertanggung jawab dan
bertanggung gugat terhadap tindakan yang dilakukannya,
termasuk dalam melakukan dan mengatur dirinya sendiri. Tetapi
yang terjadi di lapangan sangat memilukan, banyak sekali rekanrekan Perawat yang melakukan Praktek Pelayanan Kedokteran
dan Pengobatan yang sangat tidak relevan dengan ilmu
keperawatan itu sendiri. Hal tersebut telah membuat profesi
Perawat di pandang rendah oleh profesi lain. Banyak hal yang
menyebabkan hal ini berlangsung berlarut-larut antara lain:
a. Kurangnya kesadaran diri dan pengetahuan dari individu perawat
itu sendiri.
b. Tidak jelasnya aturan yang ada serta tidak tegasnya komitmen
penegakan hukum di Negara Republik Indonesia.
c.Minimnya pendapatan secara finansial dari rekan-rekan perawat
secara umum

d.Kurang peranya organisasi profesi dalam membantu pemecahan


permasalah tersebut.
e.Rendahnya pengetahuan masyarakat, terutama di daerah yang
masih menganggap bahwa Perawat juga tidak berbeda dengan
DOKTERatau petugas kesehatan yang lain (Muhammad, 2005)

Kondisi Sistem Pendidikan Keperawatan di Indonesia


Pengakuan body of knowledge keperawatan di Indonesia dimulai
sejak tahun 1985, yakni ketika program studi ilmu keperawatan
untuk pertama kali dibuka di Fakultas Kedokteran UI. Dengan telah
diakuinya body of knowledge tersebut maka pada saat ini
pekerjaan profesi keperawatan tidak lagi dianggap sebagai suatu
okupasi, melainkan suatu profesi yang kedudukannya sejajar
dengan profesi lain di Indonesia. Tahun 1984 dikembangkan
kurikulum untuk mempersiapkan perawat menjadi pekerja
profesional, pengajar, manajer, dan peneliti. Kurikulum ini
diimplementasikan tahun 1985 sebagai Program Studi Ilmu
Keperawatan di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Tahun
1995 program studi itu mandiri sebagai Fakultas Ilmu
Keperawatan, lulusannya disebut ners atau perawat profesional.
Program Pascasarjana Keperawatan dimulai tahun 1999. Kini
sudah ada Program Magister Keperawatan dan Program Spesialis

Keperawatan Medikal Bedah, Komunitas, Maternitas, Anak Dan


Jiwa.

Sejak tahun 2000 terjadi euphoria Pendirian Institusi Keperawatan


baik itu tingkat Diploma III (akademi keperawatan) maupun Strata
I. Pertumbuhan institusi keperawatan di Indonesia menjadi tidak
terkendali. Seperti jamur di musim kemarau. Artinya di masa
sulitnya lapangan kerja, proses produksi tenaga perawat justru
meningkat pesat. Parahnya lagi, fakta dilapangan menunjukkan
penyelenggara pendidikan tinggi keperawatan berasal dari pelaku
bisnis murni dan dari profesi non keperawatan, sehingga
pemahaman tentang hakikat profesi keperawatan dan arah
pengembangan perguruan tinggi keperawatan kurang dipahami.
Belum lagi sarana prasarana cenderung untuk dipaksakan,
kalaupun ada sangat terbatas (Yusuf, 2006). Saat ini di Indonesia
berdiri 32 buah Politeknik kesehatan dan 598 Akademi Perawat
yang berstatus milik daerah,ABRI dan swasta (DAS) yang telah
menghasilkan lulusan sekitar 20.000 23.000 lulusan tenaga
keperawatan setiap tahunnya. Apabila dibandingkan dengan
jumlah kebutuhan untuk menunjang Indonesia sehat 2010
sebanyak 6.130 orang setiap tahun, maka akan terjadi surplus
tenaga perawat sekitar 16.670 setiap tahunnya. (Sugiharto, 2005).

Salah satu tantangan terberat adalah peningkatan kualitas Sumber


Daya Manusia (SDM) tenaga keperawatan yang walaupun secara
kuantitas merupakan jumlah tenaga kesehatan terbanyak dan
terlama kontak dengan pasien, namun secara kualitas masih jauh
dari harapan masyarakat. Indikator makronya adalah rata-rata
tingkat pendidikan formal perawat yang bekerja di unit pelayanan
kesehatan (rumah sakit/puskesmas) hanyalah tamatan SPK
(sederajat SMA/SMU). Berangkat dari kondisi tersebut, maka dalam
kurun waktu 1990-2000 dengan bantuan dana dari World Bank,
melalui program health project (HP V) dibukalah kelas khusus D
III keperawatan hampir di setiap kabupaten. Selain itu bank dunia
juga memberikan bantuan untu peningkatan kualitas guru dan
dosen melalui program GUDOSEN. Program tersebut merupakan
suatu percepatan untuk meng-upgrade tingkat pendidikan perawat
dari rata-rata hanya berlatar belakang pendidikan SPK menjadi
Diploma III (Institusi keperawatan). Tujuan lain dari program ini
diharapkan bisa memperkecil gap antara perawat dan dokter
sehingga perawat tidak lagi menjadi perpanjangan tangan dokter
(Prolonged physicians arms) tapi sudah bisa menjadi mitra kerja
dalam pemberian pelayanan kesehatan(Yusuf, 2006).
Kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan sisitem pendidikan
keperawatan di Indonesia adalah UU no. 2 tahun 1989 tentang
pendidikan nasional, Peraturan pemerintah no. 60 tahun 1999
tentang pendidikan tinggi dan keputusan Mendiknas no. 0686
tahun 1991 tentang Pedoman Pendirian Pendidikan Tinggi

(Munadi, 2006). Pengembangan sistem pendidikan tinggi


keperawatan yang bemutu merupakan cara untuk menghasilkan
tenaga keperawatan yang profesional dan memenuhi standar
global. Hal-hal lain yang dapat dilakukan untuk meningkatkan
mutu lulusan pendidikan keperawatan menurut Yusuf (2006) dan
Muhammad (2005) adalah :
1.

Standarisasi jenjang, kualitas/mutu, kurikulum dari institusi


pada pendidikan.

2.

Merubah bahasa pengantar dalam pendidikan keperawatan


dengan menggunakan bahasa inggris. Semua Dosen dan staf
pengajar di institusi pendidikan keperawatan harus mampu
berbahasa inggris secara aktif

3.

Menutup institusi keperawatan yang tidak berkualitas

4.

institusi harus dipimpin oleh seorang dengan latar belakang


pendidikan keperawatan

5.

Pengelola insttusi hendaknya memberikan warna tersendiri


dalam institusi dalam bentuk muatan lokal,misalnya emergency
Nursing, pediatric nursing, coronary nursing.

6.

Standarisasi kurikulum dan evaluasi bertahan terhadap staf


pengajar di insitusi pendidikan keperawatan

7.

Departemen Pendidikan, Departemen Kesehatan, dan


Organisasi profesi serta sector lain yang terlibat mulai dari proses

perizinan juga memiliki tanggung jawab moril untuk melakukan


pembinaan.

Trend Dan Isu Keperawatan Di Indonesia


Salah satu masalah kesehatan yang menonjol di Indonesia semenjak
otonomi daerah adalah kasus gizi buruk. Salah satu cara
pemerintah untuk mengatasi masalah ini adalah dengan
melakukan revitalisasi untuk menghidupkan kembali konsep
Posyandu melalui konsep Desa Siaga. Kebijakan pemerintah ini
dapat mengalami hambatan untuk diwujudkan karena tidak
melibatkan perawat untuk ambil bagian dari desa siaga tersebut,
yang disebabkan kurangnya pemahaman pemerintah dalam
mengeluarkan kebijakan tersebut atau memang sengaja
pemerintah untuk tidak melibatkan perawat. Padahal dengan
adanya spesialisasi keperawatan komunitas dan keputusan
Menteri Kesehatan Nomor 1239 tahun 2001 tentang registrasi dan
praktik perawat, tenaga keperawatan dapat memberikan
kontribusi yan maksimal dalam penyukseskan program desa siaga.
Saat ini masih terjadi persepsi yang keliru si masyarakat tentang
profesi keperawatan di Indonesia. Persepsi keliru itu terjadi karena
kesalahan informasi yang mereka terima dan kenyataan di
lapangan. Kondisi ini didukung pula dengan kebudayaan dan
kebiasaan-kebiasaan perawat seperti mengambilkan stetoskop,
tissue untuk para dokter. Masih banyak para perawat yang tidak

percaya diri ketika berjalan dan berhadapan dengan dokter.


Paradigma ini harus dirubah, mengikuti perkembangan
keperawatan dunia. Para perawat menginginkan perubahan
mendasar dalam kegiatan profesinya. Kalau tadinya hanya
membantu pelaksanaan tugas dokter, menjadi bagian dari upaya
mencapai tujuan asuhan medis, kini mereka menginginkan
pelayanan keperawatan mandiri sebagai upaya mencapai tujuan
asuhan keperawatan
Institusi pendidikan keperawatan sangat bertanggungjawab dan
berperan penting dalam rangka melahirkan generasi perawat yang
berkuwalitas dan berdedikasi. Pemilik dan pengelola insititusi
pendidikan keperawatan yang sama sekali tidak memiliki
pemahaman yang cukup tentang keperawatan baik secara disiplin
ilmu atau profesi dapat menjadi penyebab rendahnya mutu
lulusan dari pendidikan keperawatan yang ada. Hal ini dapat di
ukur dengan kalah bersaingan para Perawat Indonesia bila di
bandingkan dengan negara-negara lain seperti Philipina dan India.
Pemicu yang paling nyata adalah karena dalam system pendidikan
keperawatan kita masih menggunakan Bahasa Indonesiasebagai
pengantar dalam proses pendidikan. Hal tersebut yang membuat
Perawat kita kalah bersaing di tingkat global.Disisi lain dengan
berkembangnya pola pelayanan kesehatan di Indonesia
memberikan kesempatan pada perawat untuk memperluas peran
dan fungsinya, sehingga perlu ditunjang dengan latar belakang
jenjang pendidikan tinggi dalam bidang keperawatan termasuk

pendidikan spesialistik, sehingga mampu bekerja pada berbagai


tatanan pelayanan kesehatan.
Isu hangat di berbagai pertemuan keperawatan baik regional maupun
nasional adalah isu tentang jasa keperawatan. Hal ini merupakan
kebutuhan mendesak, karena dapat menimbulkan dampak serius,
seperti penurunan mutu pelayanan, meningkatnya keluhan
konsumen, ungkapan ketidakpuasan perawat lewat unjuk rasa dan
sebagainya. Isu ini jika tidak ditanggapi dengan benar dan
proporsional dikhawatirkan dapat menghambat upaya melindungi
kepentingan pasien dan masyarakat yang membutuhkan jasa
pelayanan kesehatan, menghambat perkembangan rumah sakit
serta menghambat upaya pengembangan dari keperawatan
sebagai profesi. Hal ini juga terkait dengan kesiapan Indonesia
menghadapi AFTA 2003.
Menurut Muhammad (2005) dan kompas (2001), Ada beberapa hal
yang bisa dilakukan untuk mengatasi masalah tenaga perawat
yang menganggur , antara lain :
1.

Mengembangkan praktik mandiri keperawatan secara


berkelompok maupun individu untuk konsultasi, melakukan
kunjungan rumah, hospice care untuk pasien terminal

2.

Perawat bisa bekerja di perusahaan untuk menjaga kesehatan


pekerja dan kecelakaan kerja

3.

Perawat dapat melakukan dan terlibat secara aktif dalam


melakukan riset dan penelitian di bidang keperawatan

4.

Pemerintah memfasilitasi dan menggalakkan penempatan


tenaga perawat di luar negeri bagi perawat yangmemenuhi
kualifikasi.

5.

Memberi sangsi kepada rumah sakit atau institusi pelayanan


kesehatan yang memberikan gaji di bawah standar.

Pada akhirnya keperawatan yang bermutu adalah suatu bentuk


pelayanan yang mampu memenuhi kebutuhan dan kepuasan
pasien sebagai pelanggan. Untuk mencapainya Perawat dapat
memulai dari dirinya sendiri, Perawat harus bekerja sesuai
standar praktek pelayanan keperawatan sesuai wewenang dan
tangung jawabnya, selalu berupaya mengembangkan diri melalui
pendidikan dan pelatihan yang berkesinambungan serta sistem
jenjang karir.

Referensi :
Kompas. (2001). Nasib Perawat : Pendidikan Rendah, Gaji Rendah,
Diperoleh tanggal 12 April 2007 dari
http://www.kompas.com/kompas.

Kompas. (2001). Diskusi Era Baru Profesi Keperawatan : Perawat


Menjadi Mitra Sejajar Dokter. Diperoleh tanggal 12 April 2007 dari
http://www.kompas.com/kompas

Muhammad, SM. (2005). Jadi Perawat ? Ogah Ah. Diperoleh tanggal


12 April 2007 dari
http://www.inna-ppni.or.id/index.php

Muhammad, SM. (2005). Reformasi Keperawatan. Diperoleh tanggal


12 April 2007 dari http://www.inna-ppni.or.id/index.php

Munadi, R. (2006). Seratus Ribu Perawat Di Ri Nganggur !. Diperoleh


tanggal 12 April 2007 dari http://perawatoverseas.blogspot.com

Pusdiknakes. (2001). Kemandirian Dan Profesionalisme Perawat


Dalam Praktik Keperawatan. Diperoleh tanggal 12 April 2007 dari
http://www.pusdiknakes.or.id/new

Sugiharto (2005). Antisipasi Perencanaan Tenaga Kesehatan Guna


Mendukung Indonesia Sehat 2010, Diperoleh tanggal 14 April 2007
dari http://www.twnagakesehatan.or.id/artikel_detail

Yusuf, S. (2006). Maraknya Pendirian Institusi Kesehatan. Diperoleh


tanggal 14 April 2007 dari http://inna-ppni.or.id/html

Anda mungkin juga menyukai