PENDAHULUAN
Sepsis adalah suatu sindroma klinik yang terjadi karena adanya respon tubuh yang
berlebihan terhadap rangsangan produk mikroorganisme. Sepsis ditandai dengan panas,
takikardia, takipnea, hipotensi dan disfungsi organ berhubungan dengan gangguan
sirkulasi darah.
Sepsis merupakan penyebab kematian ketiga dari 10 penyebab kematian terbesar
secara keseluruhan di Amerika Serikat, setelah penyakit jantung dan neoplasma.Kejadian
sepsis meningkat sesuai dengan bertambahnya umur, kondisi ini menunjukkan bahwa
jumlah kasus akan meningkat di masa yang akan datang.
Dombrovskiy et al (2007) melaporkan bahwa angka kejadian sepsis berat
meningkat dari 66,8/100.000 menjadi 132/100.000 penduduk, dengan angka kematian
karena sepsis yang meningkat dari 26,6% pada tahun 1993 menjadi 43,8 % pada tahun
2003. Phue et al (2011) melaporkan bahwa angka kematian akibat sepsis berat di Asia
adalah 44,5 % dengan lama rawatan rata-rata pada ICU dan rumah sakit adalah 6 hari dan
10 hari sebelum meninggal. Penelitian di Indonesia, yaitu di Rumah Sakit Yogyakarta
ditemukan 631 kasus sepsis pada tahun 2007 dengan angka mortalitas 48,9%. Dari data
rekam medic tahun 2011 di RSUP Dr. M, Djamil Padang didapatkan kejadian sepsis
dirawat inap Bagian Penyakit Dalam sebanyak 512 kasus dengan mortalitas 53,9 %.
Insiden sepsis berat di dunia sekitar 20-30% pada kebanyakan intensive care unit
dan hal ini merupakan penyebab utama kematian. Terapi cairan merupakan terapi
pertama dalam manajemen terapi syok sepsis namun mengenai terapi cairan pada syok
sepsismasih terdapat banyak kontroversial. 18
Sepsis adalah hasil akhir dari respon inflamasi yang menyebar secara luas yang
dapat mengubah keadaan homeostasis. Sepsis berhubungan dengan ketidaknormalan
sistem sirkulasi (vasodilatasi perifer, menurunnya volum intravascular, peningkatan
metabolisme seluler, penurunan fungsi miokardial) yang menyebabkan ketidak
seimbangan antara hantaran oksigen dengan kebutuhan oksigen, memicu kerusakan
terminal organ sampai menjadi gagal organ. Resusitasi cairan merupakan kunci dalam
mengatasi ini, namun masih sedikit kesepakatan yang ada dalam pilihan, jumlah, dan
target dari resusitasi cairan ini. 17
Terapi cairan sesuai namanya dapat kita artikan sebagai terapi dengan cairan.
Tujuan akhir dari manajemen cairan adalah mengoptimalkan sistem sirkulasi untuk
memastikan cukupnya pengiriman oksigen ke organ tubuh. Terapi cairan dibutuhkan pada
beberapa kondisi seperti untuk maintenan pada kondisi normal, kehilangan darah atau
cairan pada luka, dehidrasi atau yang diinduksi oleh pemakaian diuretic, lolosnya cairan
tubuh ke ruang ketiga tubuh seperti pada udem atau ileus, meningkatnya kebutuhan
sistemik seperti pada demam atau hipermetabolik. 15
Terapi cairan harus disesuaikan dengan kebutuhan. Cairan inravena secara luas
diklasifikasi atas cairan koloid dan larutan kristaloid. Masing-masing larutan ini sangat
berbeda secara fisik, kimia maupun karakteristik fisiologis. Larutan koloid ada yang
alami seperti albumin ataupun sintetis seperti gelatin, dextran, dan hidroksi etil starch. 15
Tujuan langsung dari terapi cairan adalah mengoptimalkan cardiac output dan
transport oksigen. 15 Pada tahun 1930, Hartman dan Senna menambahkan natrium laktat
untuk menghindari asidosis hiperkloremik yang disebabkan oleh pengguanaan larutan
ringers, sehingga natrium terikat pada klorida yang berlebih. Hal ini memfasilitasi
metabolism laktat, sehingga meningkatkan larutan Hartman atau ringer laktat. Cara kerja
ringer, Hartman, dan lainnya.
Meskipun faktanya pengelolaan cairan merupakan penentu keberhasilan terapi di
rumah sakit, namun pada beberapa penelitian menunjukkan pengetahuan serta
pelaksanaan dalam keseimbangan cairan di antara dokter tidaklah optimal yang
kemungkinan hal ini disebabkan oleh tidak adekuatnya pengajaran mengenai ini. 3 Hal
ini dapat menyebabkan manajemen eror yang selanjutnya dapat menjadi penyebab sakit
yang sebenarnya dapat dihindarkan atau bahkan kematian. 3 . Walaupun terapi cairan
yang adekuat merupakan terapi yang memegang peranan penting, namun jumlah serta
tipe cairan yang digunakan pada terapi cairan syok sepsis sampai sekarang belum
disepakati sejumlah pihak. Untuk itu penulis bertujuan menulis tinjauan kepustakaan ini
untuk menambah pemahaman mengenai terapi cairan pada syok sepsis.
BAB II
2
SYOK SEPSIS
2.1 Definisi
Sepsis didefinisikan sebagai adanya (suspek atau bukti) infeksi disertai
manifestasi infeksi sistemik. Sepsis berat merupakan sepsis yang disertai disfungsi organ
atau hipoperfusi jaringan.
Syok sepsis adalah sepsis disertai hipotensi dan hipoperfusi jaringan yang
menetap meskipun telah mendapat resusitasi cairan yang adekuat.
2.2 Derajat Sepsis
Berdasarkan Surviving sepsis campaign 2012 sepsis merupakan proses yang
berkelanjutan. Apabila tidak ditatalaksana dengan baik, sepsis pada akhirnya akan
berlanjut menjadi syok sepsis. Sepsis dibagi menjadi:
a. Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS), ditandi dengan dua atau lebih
gejala sebagai berikut:
Suhu lebih dari 380C atau kurang dari 36oC
Takikardi (nadi >100x/menit)
Frekuensi nafas >20x/menit atau PaCO2<32 mmHg
Leukositosis >12.000/mm3 atau leucopenia <4.000/mm3 atau >10% sel
imatur
b. Sepsis: SIRS dengan infeksi (suspek/terbukti)
c. Sepsis berat : sepsis yang berhubungan dengan disfungsi organ, hipoperfusi, atau
hipotensi
d. Sepsis dengan hipotensi: sepsis dengan hipotensi (tekanan sistolik <90mmHg atau
penurunan tekanan sistolik >40 mmHg
e. Syok sepsis: Syok sepsis didefinisikan dengan disfungsi organ akut ( seperti gagal
ginjal akut, gagal nafas) pada infeksi akut dan butuh vasopressor dalam 12 jam. Onset
dari syok sepsis didefinisikan pada waktu vasopressor mulai diberikan. Sepsis berat
ditegakkan sewaktu bolus cairan 20 mL/Kg mulai diberikan dengan target CVP8.
mmHg pada 8 jam setelah terapi vasopresor. 19
2.3 Etiologi
abnormalitas di aliran darah regional dan mikrosirkulasi sering menetap. Abnormalitas ini
bisa mengarah
2.4 Patofisiologi
Endotoksin yang dilepaskan oleh mikroba akan menyebabkan proses inflamasi
yang melibatkan berbagai mediator inflamasi, yaitu sitokin, neutrofil, komplemen, NO,
dan berbagai mediator lain. Proses inflamasi pada sepsis merupakan proses homeostasis
dimana terjadi keseimbangan antara inflamasi dan antiinflamasi. Bila proses inflamasi
melebihi kemampuan homeostasis, maka terjadi proses inflamasi yang maladaptif,
sehingga terjadi berbagai proses inflamasi yang destruktif, kemudian menimbulkan
gangguan pada tingkat sesluler pada berbagai organ.
Terjadi disfungsi endotel, vasodilatasi akibat pengaruh NO yang menyebabkan
maldistribusi volume darah sehingga terjadi hipoperfusi jaringan dan syok. Pengaruh
mediator juga menyebabkan disfungsi miokard sehingga terjadi penurunan curah jantung.
Lanjutan proses inflamasi menyebabkan gangguan fungsi berbagai organ yang
dikenal sebagai disfungsi/gagal organ multipel (MODS/MOF). Proses MOF merupakan
kerusakan pada tingkat seluler (termasuk difungsi endotel), gangguan perfusi jaringan,
iskemia reperfusi, dan mikrotrombus. Berbagai faktor lain yang diperkirakan turut
berperan adalah terdapatnya faktor humoral dalam sirkulasi (myocardial depressant
substance), malnutrisi kalori protein, translokasi toksin bakteri, gangguan pada eritrosit,
dan efek samping dari terapi yang diberikan.
Sintesis NO mempengaruhi tonus pembuluh darah sehingga berperan dalam
pengaturan tekanan darah. Produksi NO melalui iNOS memiliki peranan pentin dalam
pathogenesis syok septic. Sel penjamu merespons lipopolisakarida dan sitokin dengan
mengeluarkan berbagai sitokinproinflamasi dan terjadi peningkatan ekspresi iNOS yang
menghasilkan kuantitas besar NO. Produksi NO pada paru dan hepar menyebabkan
hipotensi sistemik dan depresi miokard yang merupakan ciri khas syok sepsis.
Isoform Calcium independent NOS dapat tereduksi dalam dinding pembuluh
darah oleh sitokindan oleh endotoksin Lipopolisakarida, yang bekerja melalui pelepasan
sitokin. Hal ini terjadi pada endotel maupun sel otot polos yang menyebabkan relaksasi
vascular. Pelepasan NO oleh iNOS sebanding dengan vasodilatasi.
BAB III
TERAPI CAIRAN
3.1 Kompartemen Cairan Tubuh
Tubuh manusia terdiri atas air dan zat padat seperti protein, lemak dan mineral.
Air dengan zat terlarut didalamnya disebut cairan tubuh, yang didistribusikan ke ruangruang dalam tubuh yang disebut dengan kompartemen. Jumlah cairan tubuh bervariasi
menurut usia, jenis kelamin dan presentasi lemak tubuh. Proporsi cairan tubuh menurun
dengan pertambahan usia, dan pada wanita lebih rendah dibanding pria karena jaringan
lemak mengandung sedikit air.4,5
Air merupakan 60% dari berat tubuh, dipisahkan oleh membran sel menjadi
cairan intraseluler yang berjumlah 40% dan cairan ekstraseluler yang berjumlah 20 %
dari berat badan. Lebih lanjut, cairan ekstraseluler terdiri atas cairan interstitial (antar sel)
sebesar 15 % dan plasma darah (5%) serta cairan serebrospinal. Pada gambar 1 dapat
dilihat distribusi cairan pada kompartemem tubuh.4,5
3.2.1 Kristaloid
Cairan kristaloid adalah Cairan yang mengandung zat dengan BM rendah( < 8000
Dalton) dengan atau tanpa glukosa. Tekanan onkotik rendah sehingga cepat terdistribusi
ke seluruh ruang ekstrasel untuk meningkatkan volume ekstrasel, interstitial dan plasma
dengan atau tanpa peningkatan volume intrasel.
Cairan kristaloid adalah cairan steril yang mengandung molekul kecil seperti
garam, glukosa yang memungkinkan untuk mengkristal.1 Cairan ini secara mudah dapat
melewati membran kapiler yang membagi cairan tubuh atas volum plasma dan cairan
interstisial.1 Proses ini membawa serta air sehingga cairan kristaloid menyebar pada
seluruh cairan ekstraseluler.1
Berdasarkan osmolalitasnya cairan kristaloid dibagi atas:4,6
1. Cairan Hipotonis.
Yaitu cairan kristaloid yang osmolalitasnya lebih rendah dari osmolalitas plasma.
Cairan ini akan didistribusikan ke eksraseluler dan intra seluler. Oleh karena itu
penggunaannya ditujukan pada pada kehilangan cairan yang kronis dan pada kelainan
keseimbangan elektrolit terutama pada keadaan hipernatremi. Cairan ini tidak bisa
digunakan sebagai resusitasi cairan pada kegawatan. Contohnya detrose 5%.
2. Cairan Isotonis.
Yaitu cairan kristaloid yang osmolalitasnya sama dengan osmolalitas plasma
normal. Distribusi cairan ini terutama ke ekstraseluler (80%) dan Intravaskuler (20%),
sehingga untuk meningkatkan cairan intravaskuler dibutuhkan jumlah cairan ini 4-5
kali lebih besar dari kehilangan cairan. Cairan ini cukup efektif dipakai untuk cairan
resusitasi, contoh NaCl 0,9%, ringer laktat dan ringer asetat.
3. Cairan hipertonis.
Yaitu cairan kristaloid yang osmolalitasnya diatas osmolalitas plasma normal.
Contoh NaCl 3%, NaCl 7,5%, Bic-Nat dll.
10
11
dengan larutan normal salin. 1 Larutan ringer sebaliknya bisa berfungsi pada
kasus tekanan darah dan simpatis yang disebabkan oleh hipovolemia. 1
Larutan kristaloid tidak mahal dan tidak punya risiko reaksi alergi. 1
Namun pemberian yang cepat ( 2 liter dalam 15menit) dapat menyebabkan
sembab, sesak nafas dan nyeri kepala. 1 Pada pemberian yang lebih lambat tidak
ditemukan keluhan tersebut. 1 Pada pasien usia lanjut, loading cairan yang terlalu
cepat dapat menyebabkan udem paru akut dan dapat meningkatkan tekanan darah1
3.2.2 Koloid
Cairan koloid adalah Cairan yang mengandung zat dengan BM tinggi (>8000
dalton). Tekanan onkotik tinggi, sehingga sebagian besar akan tetap tinggal di ruang
intravaskuler, misalnya albumin.
13
BAB IV
TERAPI CAIRAN PADA SYOK SEPSIS
4.1 Target Terapi
Tujuan terapi cairan adalah ekspansi volum yang cepat, yang menghasilkan curah
jantung dan penghantaran oksigen. Pada pasien sepsis dengan hipoperfusi jaringan, the
surviving sespsis guidelines menganjurkan agar resusitasi cairan dimulai sesegera
mungkin dengan mengikuti protocol sepsis yang telah disetujui. Target yang harus
dicapai selama 6 jam pertama resusitasi adalah:
Mean Arterial Pressure (MAP) 65 mmHg
Central venous pressure (CVP) 8-12 mmHg pada pasien yang mendapat bantuan
dan syok sepsis. Larutan Hetastarch seharusnya tidak dugunakan pada terapi sepsis
menurut peneliti Eropa dan Amerika.
Minimal 30 mL/kg larutan kristaloid (1,5-3 liter) dianjurkan pada sebagian besar
pasien yang memenuhi syarat untuk pemberian rsusitasi cairan yang adekuat, namun
cairan ini harus diberikan secara agresif sampai atatus hemodinamik megalami perbaikan.
Pemberian vasopresor dimulai setelah 6 jam pemberian cairan yang agresif namun masih
dalam keadaan hipotensi.
4.2 Monitor terapi cairan Pada Syok Sepsis
4.2.1 Monitor Statis
Pada sepsis, penting untuk mengetahui pasien yang mana yang akan memberi
respon dengan resusitasi cairan. Pada kondisi sakit kritis, dapat diartikan untuk
mengetahui pasien mana yang memiliki cardiac output yang akan membaik dengan
resusitasi cairan, hal ini disebut dengan respon preload. Sebelumnya indicator statis
adalah CVP. Namun dalam penelitian terbaru, CVP tidak terlalu baik dalam
memprediksi respon cairan. 20
14
cairan ini dianjurkan untuk diberikan waktu jeda dalam pemberian cairan. 21 Kristaloid
memiliki keuntungan lebih murah dan tersedia dimana-mana, namun satu liter cairan
kristaloid mengembangkan volum plasma hanya sekitar 200-250 cc dan bisa menjadi
predisposisi terjadinya edema paru. Umumnya digunakan bolud kristaloid 500-1000 cc
intravena dalam 5-10 menit, sampai MAP dan perfusi jaringan adekuat (kira-kira 4-8 liter
dalam 24 jam). Bolus 250 cc mungkin sesuai untuk pasien usia lanjut atau ada penyakit
jantung atau suspek udem paru.
4.4.2 Koloid
Scheirhout dan colleagues,dalam studi metaanalisis menemukan bahwa adanya
peningkatan angka kematian pada resusitasi dengan koloid. Namun dari rekomendasi
terbaru the surviving sepsis campaign guidelines menganjurkan pemberian albumin untuk
penambahan volum sesudah pemberian kristaloid. 22 Albumin dilaporkan bertindak
sebagai anti oksidan dan anti inflamasi, mengikat endotoksin mengatur aktivitas sitokin.
Fungsi laiinya adalah mengikat obat, mengurangi nitrit oksida, serta menghambat
vasodilatasi. 23 Pada meta analisis luas menunjukkan bahwa adanya penurunan angka
kematian karena sepsis dengan terapi cairan koloid.24 Secara teoritis, koloid seperti
albumin dan Hydroxyethyl Starch (HES) memiliki keuntungan bertahan lebih lama di
intra vaskuler. Infus satu liter albumin 5% menghasilkan ekspansi volum plasma sebesar
500 sampai 1000 cc yang dapat bertahan di intravaskuler selama 24 jam. Karena koloid
cenderung menetap lebih lama di intravaskuler, koloid berperan jika ada kekhawatiran
edem paru.
4.4.3. Sel darah merah
Produk darah memiliki keuntungan tinggal hamper seluruhnya di intra vaskuler
walaupun ketersediaannya terbatas dan ada risiko transmisi penyakit dan reaksi transfusi.
Sel darah harus dicadangkan untuk pasien dengan kadar hemoglobin kurang dari 10 g/dL
dan ada bukti penurunan hantaran oksigen atau anemia memiliki risiko seperti pada
penyakit jantung koroner. Kadar hemoglobin yang dipertahankan lebih dari 8 sampai 10
g/dL belum memperlihatkan manfaat yang besar pada pasien.
4.5 Jumlah Cairan Yang Diberikan
Vasodilatasi dan kebocoran kapiler yang terjadi pada syok sepsis, kebanyakan pasien
membutuhkan satu sampai 2 liter koloid atau 4 sampai 8 liter kristaloid untuk
memulihkan secara adekuat volum sirkulasi.
16
4.6 Komplikasi
Komplikasi utama dari resusitasi cairan adalah edem paru. Edm paru sifatnya
serius dan biasanya bermanifestasi sebagai takipnea, hipoksemia, atau kelenturan paru
berkurang. Edem jaringan lunak biasanya tidak menimbukan masalah, kecuali risiko
pecahnya kulit. Masalah ini berkaitan dengan permeabilitas mikrovaskuler yang
menurun, tekanan hidrostatik yang meningkat dan tekanan onkotik koloid yang menurun.
17
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Syok sepsis adalah sepsis disertai hipotensi jaringan yang menetap meskipun telah
5.2 Saran
Pemahaman akan terapi cairan pada syok sepsis penting dalam penatalaksanaan syok
sepsis
Perlunya disediakan sarana dan prasarana pemasangan untuk mengukur central venous
pressure dalam memonitor keadaan pasien syok sepsis
18
Daftar Pustaka
19
1.
Hahn RG, clinical fluid theraphy in the peri operative setting, New York: Cambridge
pada
renjatan
hipovolemik.2010;
available
from:
http://www.fk.unair.ac.id/index.php/ringer-acetate.htm
12. Onizuka S, Kawano T, Takasaki M, Sameshima H, Ikenoue T. Comparison of effect of
rapid infusion of lactate and that of acetated ringers solutions on maternal and fetal
metabolism and acid-base balance. Masui 1999;48:977-80.
13. Hadimioglu N, Saaddawy I,Saglam T, Ertug Z, Dinckan A. The Effect of Different
Crystalloid Solutions on Acid-Base Balance and Early Kidney Function After Kidney
Transpantation .Anesth Analg 2008;107:264-269.
14. Nakayama M, Kawana S, Yamauchida H, Iwasaki H, Namiki A. Utility of acetated ringer
solution as intraoperative fluids during hepatectomy. Masui 1995;44:1654-60.
15. Alvis HR, et all, itravenous therapy in traumatic brain injury and decompresive
craniectomy, Bulletin of emergency and trauma, Colombia, 2014
20
16. Micek ST, et all. Fluid balance and cardiac function in septic shock as predictor of
hospital mortality.Digital commons@Becker, Washington, 2013
17. Madhusudan P, et all. Fluid resuscitation in sepsis:reexamining the paradigm.Biomed
Research International. 2014
18. C. Alberti, C. Brun-Buisson, H. Burchardi et al., Epidemiology of sepsis and infection in
ICU patients from an international multicentre cohort study, Intensive Care Medicine,
vol. 28, no. 2, pp. 108121, 2002
19. E. Rivers, B. Nguyen, S. Havstad et al., Early goal-directed therapy in the treatment of
severe sepsis and septic shock, The New England Journal of Medicine, vol. 345, no. 19,
pp. 13681377, 2001.
20. P. E. Marik, M. Baram, and B. Vahid, Does the central venous pressure predict fluid
responsiveness? A systematic review of the literature and the tale of seven mares, Chest,
vol. 134, no. 1, pp. 172178, 2008.
21. J. Bakker, M. W. N. Nijsten, and T. C. Jansen, Clinical use of lactate monitoring in
critically ill patients, Annals of Intensive Care, vol. 3, article 12, 2013.
22. R. P. Dellinger, M. M. Levy, A. Rhodes, et al., Surviving sepsis campaign: international
guidelines for management of severe sepsis and septic shock: 2012, Critical Care
Medicine, vol. 41, no. 2, pp. 580637, 2013
23. M. Roche, P. Rondeau, N. R. Singh, E. Tarnus, and E. Bourdon, The antioxidant
properties of serum albumin, FEBS Letters, vol. 582, no. 13, pp. 17831787, 2008
24. A. P. Delaney, A. Dan, J. McCaffrey, and S. Finfer, The role of albumin as a
resuscitation fluid for patients with sepsis: a systematic review and meta-analysis,
Critical Care Medicine, vol. 39, no. 2, pp. 386391, 2011
21