:tepian Selat Melaka itu Tepat di mana kapalku berhanyut pada secerca matlamat pelayaran. Layar menghala ke tangisan ombak semasa, menyaksikan kanak-kanak belia menjala todak di alur Selat Melaka. Ke manakah lesap tuan-tuan negerimu? kertasku merayap-rayap kuyup. Kau yang dulu mengais ombak, kini bahagia duduk bersila di kursi amanah negara. Sedang bangsamu? :tepian Sungai Siak itu Dalam cericau burung mencumbui tepian pantai, perahuku masih tegar berkayuh penat. Memuja-muja Tuhan, untuk tuan-tuan yang lupa tahta berpijaknya. Mungkin tuan, engkau akan surut dalam pasang yang menelentangkan riuhnya gemuruh. Pelepah tematu menyapa memberi isyarat, jangan melabuhkan diri di sini! Pulau kecil semakin merisau, askarnya masih berceracau, namun tuannya kecut dalam mimpi dan pukau. Kursimu di kerajaan demokrasi gantikan saja dengan perahu kertasku. Bagaimana? Terlalu lena engkau berpangku. Makin ke hulu bahteraku berkayuh, terpampang si hawa dengan kerudungnya berkayuh sampan mencari ikan. Ke manakah lakinya? Lagi dan lagi asinnya hari terjilat di celah lembabnya tubuhku. Air mata rakyat bercampur di sana. Tuan negeri, celikkanlah biji mata hatimu! Kapal kertasku tak kuasa menahan curamnya nasib hamba Tuhanku.
Beringsut ke hulu-hilir pelayaran. Terlihatlah pertunjukan anak-anak
negeri, mereka terjerat tanpa ilmu. Mengais hari di tengah asinnya samudra. Para pelaut yang tak berdaya mencengkram pada tengker minyak besar yang menguras kekayaan alam Tuhan. Mereka menepi. Perahu ini semakin galau. Tak kuasa menahan igau saat melihat orang Riau di celah-celah bakau. Mereka mengais-ngais lokan untuk menghapus risau. Sedangkan engkau wahai tuan, sedang eloknya bersama keluarga bersenda gurau. :tepian dermaga Sungai Duku itu Diri ini mulai melabuhkan diri. Terlihat di ujung dermaga, rakyat kita yang mengais rezeki. Peluh-peluh mereka menjadi saksi kemiskinan ini. Riau yang di mata nusantara termahsyur akan kekayaannya, tapi hanya ironis belaka. Olengnya perahu kertasku di penantian ini sepertinya sudah kelelahan. Membayangkan kedua kakiku berpacak di tanah negeri tak berdosa, tanpa iba tuan-tuan negeri. Harap. Perjalanan ini tak lama, Bung. Hanya melangkah beberapa depa. Tapi, inilah hikayat nusantara, tepatnya di Bumi Pusaka, yang di dalamnya masih ada rakyat jelata, yang masih membutuhkan belas kasih tuantuannya. Aku pun turut berbelasungkawa, kemana pergi kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia, seperti yang dilagukan si Pancasila. Huh!!! BilikBumiSriGemilang, april2012
Irdas Yan Penikmat fiksi yang pernah aktif di FLP Pekanbaru
Beberapa karyanya telah terbit di berbagai media, seperti sabili, annida,