Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Difteri merupakan salah satu penyakit yang sangat menular (contagious disease).
Penyakit ini disebabkan oleh infeksi bakteri Corynebacterium diphtheriae, yaitu kuman
yang menginfeksi saluran pernafasan, terutama bagian tonsil, nasofaring (bagian antara
hidung dan faring/ tenggorokan) dan laring. Penularan difteri dapat melalui kontak
hubungan dekat, melalui udara yang tercemar oleh karier atau penderita yang akan
sembuh, juga melalui batuk dan bersin penderita.
Penderita difteri umumnya anak-anak, usia di bawah 15 tahun. Dilaporkan 10 %
kasus difteri dapat berakibat fatal, yaitu sampai menimbulkan kematian. Selama
permulaan pertama dari abad ke-20, difteri merupakan penyebab umum dari kematian
bayi dan anak - anak muda. Penyakit ini juga dijumpai pada daerah padat penduduk
dengan tingkat sanitasi rendah. Oleh karena itu, menjaga kebersihan sangatlah penting,
karena berperan dalam menunjang kesehatan kita. Lingkungan buruk merupakan sumber
dan penularan penyakit.
Sejak diperkenalkan vaksin DPT (Dyphtheria, Pertusis dan Tetanus), penyakit
difteri mulai jarang dijumpai. Vaksin imunisasi difteri diberikan pada anak-anak untuk
meningkatkan sistem kekebalan tubuh agar tidak terserang penyakit tersebut. Anak-anak
yang tidak mendapatkan vaksin difteri akan lebih rentan terhadap penyakit yang
menyerang saluran pernapasan ini.

1.2 Rumusan Masalah


1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

Apa yang dimaksud dengan Dypteria ?


Bagaimana Etiologi dari Dypteria ?
Bagaimana Patofisologi dari Dypteria ?
Bagaimana Manifestasi klinis dari Dypteria ?
Bagaimana Pemeriksaan Diagnostik dari Dypteria ?
Bagaimana Penatalaksanaan dari Dypteria ?
Apa saja Komplikasi yang di timbulkan dari Dypteria ?
Bagaimana Asuhan Keperawatan pada Dypteria ?
Bagaimana Ronde Keperawatan pada pasen Dypteria ?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Dypteria.
2. Untuk mengetahui Etiologi dari Dypteria.
3. Untuk mengetahui Patofisologi dari Dypteria.
4. Untuk mengetahui Manifestasi klinis dari Dypteria.
5. Untuk mengetahui Pemeriksaan Diagnostik dari Dypteria.
6. Untuk mengetahui Penatalaksanaan dari Dypteria.
7. Untuk mengetahui Komplikasi yang di timbulkan dari Dypteria.
8. Untuk mengetahui Asuhan Keperawatan pada Dypteria.
9. Untuk mengetahui Ronde Keperawatan pada pasen Dypteria.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Difteri adalah suatu penyakita infeksi yang bisa menular yang disebabkan oleh
bakteri coryneabacterium diphteria yang berasal dari membran mukosa hidung dan
nasovaring, kulit dan lesi lain dari orang yang terinfeksi (Buku Pegangan Praktek Klinik
Asuhan Keperawatan pada Anak)
Difteri adalah penyakit infeksi yang mendadak yang disebabkan oleh kuman
Coryneabacterium diphteria. Mudah menular dan yang diserang terutama traktus
respiratorius bagian atas dengan tanda khas terbentuknya pseudo membran dan
dilepaskannya eksotoksin yang dapat menimbulkan gejala umum dan lokal (Ilmu
Kesehatan Anak)
Difteri ialah suatu penyakit infeksi mendadak yang disebabkan oleh kuman
Corynebacterium difteria (Staf Pengajar IKA FKUI, 2007). Adalah suatu penyakit infeksi
toksik akut yang sangat menular, disebabkan oleh Corynebacterium diphtheriae dengan
ditandai pembentukan pseudomembran pada kulit dan/atau mukosa. Difteri adalah
penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri Corynebacterium difteria. Bakteri ini
mempunyai cirri-ciri sebagai berikut:
a. Basil gram positif yang tidak membentuk spora.
b. Mempunyai kemampuan positif untuk memproduksi exotoxin, baik secara
invitro/invivo, dan dalam media telurit membentuk tipe koloni mitis, intermedius,
dan gravis.
b. Mempunyai kemampuan untuk membentuk toksin yang dipengaruhi oleh
bacteriophage yang mengandung gene tox (Nursalam, 2005).

2.2 Etiologi
Disebabkan oleh Corynebacterium diphtheriae, bakteri gram positif, yang bersifat
polimorf, tidak bergerak dan tidak membentuk spora. Pewarnaan sediaan langsung dapat
dilakukan dengan biru metilen atau biru toluidin. Basil ini dapat ditemukan dengan
sediaan langsung dari lesi (Staf Pengajar FKUI, 2007).
2.3 Patofisiologi
Kuman C. diphtheriae masuk melalui mukosa/kulit, melekat serta berkembang biak
pada permukaan mukosa saluran nafas bagian atas dan mulai memproduksi toksin yang
merembes ke sekeliling serta selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh melalui pembuluh
limfe dan pembuluh darah. Efek toksin pada jaringan tubuh manusia adalah hambatan

pembentukan protein dalam sel. Pembentukan protein dalam sel dimulai dari
penggabungan 2 asam amino yang telah diikat 2 transfer RNA yang mendapati
kedudukan P dan A dari ribosom. Bila rangkaian asam amino ini akan ditambah dengan
asam amino lain untuk membentuk polipeptida sesuai dengan cetakan biru RNA,
diperlukan proses translokasi. Translokasi ini merupakan pindahnya gabungan transfer
RNA + dipeptida dari kedudukan A ke kedudukan P. Proses translokasi ini memerlukan
enzim traslokase (elongation factor-2) yang aktif.
Toksin difteria mula-mula menempel pada membran sel dengan bantuan fragmen B
dan selanjutnya fragmen A akan masuk dan mengakibatkan inaktivitasi enzim
translokase melalui proses NAD+EF2 (aktif) toksin ADP-ribosil-EF2 (inaktif) + H2 +
Nikotinamid ADP-ribosil-EF2 yang inaktif ini menyebabkan proses traslokasi tidak
berjalan sehingga tidak terbentuk rangkaian polipeptida yang diperlukan, dengan akibat
sel akan mati. Nekrosis tampak jelas di daerah kolonisasi kuman. Sebagai respons terjadi
inflamasi local, bersama-sama dengan jaringan nekrotik membentuk bercak eksudat yang
semula mudah dilepas. Produksi toksin semakin banyak, daerah infeksi semakin lebar
dan terbentuklah eksudat fibrin. Terbentuklah suatu membran yang melekat erat
berwarna kelabu kehitaman, tergantung dari jumlah darah yang terkandung. Selain fibrin,
membran juga terdiri dari sel radang, eritrosit dan epitel. Bila dipaksa melepaskan
membran akan terjadi perdarahan. Selanjutnya akan terlepas sendiri pada masa
penyembuhan. (1)
Pada pseudomembran kadang-kadang dapat terjadi infeksi sekunder dengan bakteri
(misalnya Streptococcus pyogenes). Membran dan jaringan edematous dapat menyumbat
jalan nafas. Gangguan pernafasan / sufokasi bias terjadi dengan perluasan penyakit
kedalam laring atau cabang trakeo-bronkus. Toksin yang diedarkan dalam tubuh bias
mengakibatkan kerusakan pada setiap organ, terutama jantung, saraf dan ginjal.
Antitoksin difteria hanya berpengaruh pada toksin yang bebas atau yang terabsorbsi pada
sel, tetapi tidak menetralisasi apabila toksin telah melakukan penetrasi kedalam sel.
Setelah toksin terfiksasi dalam sel, terdapat masa laten yang bervariasi sebelum
timbulnya manifestasi klinis. Miokarditis biasanya terjadi dalam 10-14 hari, manifestasi
saraf pada umumnya terjadi setelah 3-7 minggu. Kelainan patologik yang mencolok
adalah nekrosis toksis dan degenerasi hialin pada bermacam-macam organ dan jaringan.
Pada jantung tampak edema, kongesti, infiltrasi sel mononuclear pada serat otot dan
system konduksi,. Apabila pasien tetap hidup terjadi regenerasi otot dan fibrosis
interstisial. Pada saraf tampak neuritis toksik dengan degenerasi lemak pada selaput
4

myelin. Nekrosis hati biasa disertai gejala hipoglikemia, kadang-kadang tampak


perdarahan adrenal dan nekrosis tubular akut pada ginjal.
Klasifikasi
Menurut tingkat keparahannya, penyakit difteri dibagi menjadi 3 tingkat yaitu:
a. Infeksi ringan bila pseudomembran hanya terdapat pada mukosa hidung dengan
gejala hanya nyeri menelan.
b. Infeksi sedang bila pseudomembran telah menyerang sampai faring (dinding
belakang rongga mulut) sampai menimbulkan pembengkakan pada laring.
c. Infeksi berat bila terjadi sumbatan nafas yang berat disertai dengan gejala
komplikasi seperti miokarditis (radang otot jantung), paralisis(kelemahan anggota
gerak) dan nefritis (radang ginjal).
Disamping itu, penyakit ini juga dibedakan menurut lokasi gejala yang dirasakan pasien,
yaitu:
a. Difteri hidung (nasal diphtheria) bila penderita menderita pilek dengan ingus yang
bercampur darah. Prevalesi Difteri ini 2 % dari total kasus difteri. Bila tidak diobati
akan berlangsung mingguan dan merupakan sumber utama penularan.
b. Difteri faring (pharingeal diphtheriae)dan tonsil dengan gejala radang akut
tenggorokan, demam sampai dengan 38,5 derajat celsius, nadi yang cepat, tampak
lemah, nafas berbau, timbul pembengkakan kelenjar leher. Pada difteri jenis ini juga
akan tampak membran berwarna putih keabu abuan kotor di daerah rongga mulut
sampai dengan dinding belakang mulut (faring).
c. Difteri laring ( laryngo tracheal diphtheriae ) dengan gejala tidak bisa bersuara,
sesak, nafas berbunyi, demam sangat tinggi sampai 40 derajat celsius, sangat lemah,
kulit tampak kebiruan, pembengkakan kelenjar leher. Difteri jenis ini merupakan
difteri paling berat karena bisa mengancam nyawa penderita akibat gagal nafas.
d. Difteri kutaneus (cutaneous diphtheriae) dan vaginal dengan gejala berupa luka
mirip sariawan pada kulit dan vagina dengan pembentukan membran diatasnya.
Namun tidak seperti sariawan yang sangat nyeri, pada difteri, luka yang terjadi
cenderung tidak terasa apa-apa.
2.4 Manifestasi Klinis
Gambaran klinik dibagi menjadi 3 golongan yaitu :
a. Gejala umum, kenaikan suhu tubuh biasanya subfebris, nyeri kepala, tidak nafsu
makan, badan lemah, nadi lambat, serta keluhan nyeri menelan.
5

b. Gejala local, yang tamapak berupa tonsil yang membengkak ditutupi bercak
putihkotor yang makin lama makin meluas, dan dapat menyumbat saluran nafas.
Pseudomembran ini melekat erat pada dasarnya sehingga bila diangkat akan mudah
berdarah. Pada perkembangan penyakit ini infeksi berjalan terus, kelenjar limfe leher
akan membengkak sedemikian besarnya sehingga leher menyerupai sapi( bullneck ).
Bila difteria mengenai hidung (hanya 2% dari jumlah pasien difteria) gejala yang
timbul berupa pilek, sekret yang keluar bercampur darah yang berasal dari
pseudomembran dalam hidung. Biasanya penyakit ini akan meluas ke bagian
tenggorak pada tonsil, faring dan laring.
c. Gejala akibat eksotoksin yang dikeluarkan oleh kuman difteri ini akan menimbulkan
kerusakan jaringan tubuh yaitu miokarditis, mengenai saraf cranial menyebabakan
kelumpuhan otot palatum dan otot-otot pernapasan.
2.5 Pemeriksaan Diagnostik
a. Pemeriksaan laboratorium: Apusan tenggorok terdapat kuman Corynebakterium
difteri (Buku kuliah ilmu kesehatan anak, 1999).
b.

Pada pemeriksaan darah terdapat penurunan kadar hemoglobin dan leukositosis


polimorfonukleus, penurunan jumlah eritrosit, dan kadar albumin. Pada urin terdapat
albuminuria ringan (Ngastiyah, 1997).

c. Pemeriksaan bakteriologis mengambil bahan dari membrane atau bahnan di bawah


membrane, dibiak dalam Loffler, Tellurite dan media blood ( Rampengan, 1993 ).
d. Lekosit dapat meningkat atau normal, kadang terkadi anemia karena hemolisis sel
darah merah (Rampengan, 1993 )
e. Pada neuritis difteri, cairan serebrospinalis menunjukkan sedikit peningkatan protein
(Rampengan, 1993 ).
f. Schick Tes: tes kulit untuk menentukan status imunitas penderita, suatu pemeriksaan
swab untuk mengetahui apakah seseorang telah mengandung antitoksin.
2.6 Penatalaksanaan

Pengobatan umum dengan perawatan yang baik, isolasi dan pengawasan EKG
yang dilakukan pada permulan dirawat satu minggu kemudian dan minggu berikutnya
sampai keadaan EKG 2 kali berturut-turut normal dan pengobatan spesifik.
Pengobatan spesifik untuk difteri :
1. ADS (Antidifteri serum), 20.000 U/hari selama 2 hari berturut-turut dengan
sebelumnya harus dilakukan uji kulit dan mata.
a. TEST ADS
ADS 0,05 CC murni dioplos dengan aquades 1 CC.
Diberikan 0,05 CC intracutan Tunggu 15 menit indurasi dengan garis
tengah 1 cm (+)
b. CARA PEMBERIAN
Test Positif BESREDKA
Test Negatif secara DRIP/IV
c. Drip/IV
200 CC cairan D5% 0,225 salin. Ditambah ADS sesuai kebutuhan. Diberikan
selama 4 sampai 6 jam observasi gejala cardinal.
2. Antibiotik, diberikan penisillin prokain 5000U/kgBB/hari sampai 3 hari bebas
demam. Pada pasien yang dilakukan trakeostomi ditambahkan kloramfenikol
75mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis.
3. Kortikosteroid, untuk mencegah timbulnya komplikasi miokarditis yang sangat
membahayakan, dengan memberikan predison 2mg/kgBB/hari selama 3-4 minggu.
Bila terjadi sumbatan jalan nafas yang berat dipertimbangkan untuk tindakan
trakeostomi. Bila pada pasien difteri terjadi komplikasi paralisis atau paresis otot,
dapat diberikan strikin mg dan vitamin B1 100 mg tiap hari selama 10 hari.
2.7 Komplikasi
Racun difteri bisa menyebabkan kerusakan pada jantung, sistem saraf, ginjal ataupun
organ lainnya:
a. Miokarditis bisa menyebabkan gagal jantung
b. Kelumpuhan saraf atau neuritis perifer menyebabkan gerakan menjadi tidak
terkoordinasi dan gejala lainnya (timbul dalam waktu 3-7 minggu)
c. Kerusakan saraf yang berat bisa menyebabkan kelumpuhan
d. Kerusakan ginjal (nefritis).
ASUHAN KEPERAWATAN
7

A.

Pengkajian
1. Biodata
a. Umur
Biasanya terjadi pada anak-anak umur 2-10 tahun dan jarang ditemukan pada bayi
berumur dibawah 6 bulan dari pada orang dewasa diatas 15 tahun
b. Suku bangsa
Dapat terjadi diseluruh dunia terutama di negara-negara miskin
c. Tempat tinggal
Biasanya terjadi pada penduduk di tempat-tempat pemukiman yang rapat-rapat,
higine dan sanitasi jelek dan fasilitas kesehatan yang kurang.
2. Keluhan Utama
Sesak napas disertai dengan nyeri menelan.
3. Riwayat Kesehatan Sekarang
Klien mengalami sesak napas disertai dengan nyeri menelan demam ,lesu, pucat, sakit
kepala, anoreksia.
4. Riwayat Kesehatan Dahulu
Klien mengalami peradangan kronis pada tonsil, sinus, faring, laring, dan saluran
nafas atas dan mengalami pilek dengan sekret bercampur darah
5. Riwayat Penyakit Keluarga
Adanya keluarga yang mengalami difteri
6. Pola Fungsi Kesehatan
a. Pola nutrisi dan metabolisme
Jumlah asupan nutrisi kurang disebabkan oleh anoraksia
b. Pola aktivitas
Klien mengalami gangguan aktivitas karena malaise dan demam
c. Pola istirahat dan tidur
Klien mengalami sesak nafas sehingga mengganggu istirahat dan tidur.
d. Pola eliminasi
Klien mengalami penurunan jumlah urin dan feses karena jumlah asupan nutrisi
kurang disebabkan oleh anoreksia .
7. Pemeriksaan fisik
a) B1 : Breating

Adanya pembengkakan kelenjer limfe (Bulls neck), timbul peradangan pada


laring/trakea, suara serak, stridor, sesak napas.
b) B2 : Blood
Adanya degenerasi fatty infiltrate dan nekrosis pada jantung menimbulkan
miokarditis dengan tanda irama derap, bunyi jantung melemah atau meredup,
kadang-kadang ditemukan tanda-tanda payah jantung.
c) B3 : Brain
Gangguan system motorik menyebabkan paralise.
d) -B4 : Bladder
Tidak ada kelainan.
e) B5 : Bowel
Nyeri tenggorokan, sakit saat menelan, anoreksia, tampak kurus, BB cenderung
menurun, pucat.
f) B6 : Bone
Bedrest.
B. Diagnosa Keperawatan
1.

Pola nafas napas tidak efektif berhubungan dengan penumpukan sekret dan edema
kelenjer limfe, laring dan trakea.

2.

Nyeri berhubungan dengan proses inflamasi pada tonsil dan faring.

3.

Hipertermi berhubungan dengan proses masuknya kuman dalam tubuh.

4.

Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia.

C. Intervensi Keperawatan
N
o
1

Diagnosa

Tujuan dan KH

Pola nafas napas

Setelah dilakukan

tidak efektif

tindakan keperawatan

berhubungan

tentang Oxygen theraphy

dengan

selama 2 X 24 jam

penumpukan

diharapkan pola nafas


9

Intervensi
1. Observasi tanda tanda vital
R/ untuk mengetahui keadaan
umum pasien terutama pada
pernapasannya.
2. Berikan posisi yang nyaman

sekret dan edema

pasien kembali normal.

kelenjer limfe,

Kriteria hasil :

laring dan trakea.

Frekuensi pernafasan

dalam batas normal.


Tidak ada suara nafas

/semi fowler.
R/ Peninggian kepala
mempermudah fungsi pernapasan
dengan menggunakan
gravitasiatau mempermudah
pertukaran O2 dan CO2.
3. Anjurkan pasien agar tidak

tambaha

terlalu banyak bergerak.


R/ Agar sesak tidak bertambah.
4. Kolaborasi dengan dokter
dalam pemberian O2 lembab atau
inhalasi, bila perlu dilakukan
trachcostomi
R/ Membantu kekentalan secret
sehingga mempermudah
2

Nyeri

Setelah dilakukan

pengeluarannya.
1. Kaji status nyeri (lokasi,

berhubungan

tindakan keperawatan

frekuensi, durasi, dan intensitas

dengan proses

selama 1 X 24 jam

inflamasi pada

diharapkan klien

nyeri).
R/ Memberikan data dasar untuk

tonsil dan faring.

mengalami pengurangan

intervensi yang diberikan.


2. Berikan posisi yang nyaman/

nyeri.
Kriteria hasil :

menentukan dan mengevaluasi

Klien tampak rileks.


Nyeri berkurang/
hilang.

semi fowler.
R/ Menurunkan stimulus terhadap
renjatan nyeri.
3. Ajarkan tekhnik relaksasi,
seperti napas dalam, visualisasi,
dan bimbingan imajinasi.
R/ Meningkatkan relaksasi yang
dapat menurnkan rasa nyeri klien.
4. Kolaborasi dengan dokter
dalam pemberian analgesik.
R/ Sebagai profilaksis untuk
menghilangkan /mengurangi rasa
nyeri dan spasme otot

10

Hipertermi

Setelah dilakukan

berhubungan

tindakan keperawatan

dengan proses

selama 3 X 24 jam

masuknya kuman

diharapakan suhu tubuh

dalam tubuh.

klien diharapkan normal.


Kriteria hasil :

Suhu tubuh normal

(36,50C-37,50C.
Akral hangat.

1. Kaji suhu klien.


R/ Untuk mengidentifikasi pola
demam klien.
2. Berikan kompres dengan air
hangat pada daerah dahi, axila,
lipatan paha.
R/ Vasodilatasi pembuluh darah
akan melepaskan panas tubuh.
3. Anjurkan minum yang banyak
seseuai toleransi klien.
R/ Peningkatan suhu tubuh
meningkat sehingga perlu
diimbangi dengan asupan cairan
yang banyak.
4. Kolaborasi dengan dokter
dalam pemberian terapi
( antipieretik) .
R/ Obat antipiretik membantu

Perubahan nutrisi Setelah dilakukan


kurang

dari tindakan keperawatan

kebutuhan tubuh selama 3 X 24 jam


berhubungan

diharapkan kebutuhan

dengan anoreksia. nutrisi klien terpenuhi.

klien menurunkan suhu tubuh.


1. Kaji pola makan klien.
R/ Menganalisis penyebab
ketidakadekuatan nutrisi.
2. Anjurkan kebersihan oral
sebelum makan.
R/ Mulut yang bersih dapat

Kriteria hasil:

meningkatkan/ merangsang nafsu

Nafsu makan klien

makan klien.
3. Anjurkan makan dalam

membaik.
Porsi makanan yang

dihidangkan habis.
Klien tidak mengalami

makanan lunak/lembek.

mual, muntah.

porsi kecil disertai dengan


R/ Makanan dalam porsi kecil
mudah dikonsumsi oleh klien dan
mencegah terjadinya anoreksia.
4. Berikan makan sesuai dengan
selera.
R/ Meningkatkan intake
makanan.
5. Kolaborasi dengan dokter

11

dalam pemberian obat antiemetic.


R/ Menghilangkan mual, muntah
dan meningkatkan nafsu makan.

BAB III
RONDE
3.1 Topik

: Asuhan Keperawatan Pada Pasien An. A Dengan Kasus Dypteria

Sasaran

: Anak dan Keluarga Pasien

Waktu

: 10.00 WIB s.d Selesai

Hari / Tanggal

: Kamis / 10 Desember 2015

3.2 Tujuan
a. Tujuan Umum
Menyelesaikan masalah-masalah keperawatan klien yang belum teratasi
b. Tujuan Khusus
-

Menjustifikasikan masalah yang belum teratasi

Mendiskusikan penyelesaian masalah dengan perawat

3.3 Sasaran
Klien An A umur 14 tahun, yang di rawat di Rumah Sakit dr. Soedono Madiun
3.4 Materi
a.

Teori keperawatan pada klien Dypteria.

b.

Masalah masalah yang muncul pada Dypteria

3.5 Metode
Ronde Keperawatan.
3.6 Media
12

a)

Papan White Board

b)

Spidol

c)

Penghapus

d)

Materi yang disampaikan secara lisan.

3.7 Tim Ronde


a. Pra Ronde
1. Penetapan kasus minimal satu hari sebelum waktu pelaksanan ronde
An. A dengan Diagnosa Medis Difteri
2. Pemberian informed consent kepada klien dan keluarga

b. Pelaksanaan Ronde
1. Penjelasan

tentang

klien

oleh

ronde

perawat

primer

dalam

hal

ini

penjelasan difokuskan pada masalah keperawatan dan rencana yang akan atau
dilakukan dan memiliki prioritas yang akan didiskusikan
An. A berumur 14 tahun dengan diagnosa medis difteri. Pada saat di lakukan
pengkajian keperawatan didapatkan pasien mengalami gangguan sesak nafas,
terdapat penumpukan sekret pada daerah trakea, suara serak dan susah
makan karena nyeri saat menelan. Sehingga masalah keperawatan yang
muncul yaitu Pola nafas tidak efektif, Nyeri dsan Nutrisi kurang dari
Kebutuhan. Sedangkan prioritas masalah keperawatan An. A adalah Pola
nafas tidak efektif.
2. Diskusi antar anggota tim tentang kasus tersebut
3. Pemberi justifikasi oleh perawat primer atau perawat konselor/manajer tentang
masalah klien serta rencana tindakan yang akan dilakukan.
4. Tindakan keperawatan pada masalah prioritas yang telah ada yang akan ditetapkan
c. Post Ronde
1. Mendiskusikan hasil temuan dan tindakan pada klien tersebut serta menetapkan
tindakan yang perlu dilakukan.
2. Bagaimana peran perawat primer dan perawat associate dalam pelaksanaan
pengorganisasian ronde.

13

BAB IV
KRITERIA EVALUASI
4.1 Struktur
a. Ronde keperawatan di lakukan di Ruang penyakit dalam Rs. Dr. Soedono
b. Peserta Ronde keperawatan hadir di tempat pelaksanaan ronde keperawatan
c. Persiapan di lakukan sebelumnya.
4.2 Tindakan Yang Telah Di Lakukan
1.

Dx. 1 Pola nafas napas tidak efektif berhubungan dengan penumpukan sekret pada
laring dan trakea.
1. Mengobservasi tanda tanda vital
2. Memerikan posisi yang nyaman /semi fowler.
3. Melakukan kolaborasi dengan dokter dalam pemberian O2 lembab atau inhalasi

2. Dx. 2 Nyeri berhubungan dengan proses inflamasi pada tonsil dan faring.
1. Memberikan posisi yang nyaman/ semi fowler.
2. Mengajarkan tekhnik relaksasi, seperti napas dalam, visualisasi, dan bimbingan
imajinasi.
3. Melakukan kolaborasi dengan dokter dalam pemberian analgesik.
3. Dx. 3 Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia.
1. Menganjurkan kebersihan oral sebelum makan
2. Menganjurkan makan dalam porsi kecil disertai dengan makanan lunak/lembek.
3. Memberikan makan sesuai dengan selera.
4. Melakukan kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat antiemetic.
4. 3 Proses
14

1. Peserta mengikuti kegiatan dari awal hingga akhir


2. Seluruh peserta berperan aktif dalam kegiatan ronde sesuai peran yang telah
ditentukan

4.4 Hasil
a. Pasien puas dengan hasil kegiatan
b. Masalah pasien dapat teratasi
c. Perawat dapat :
1. Menumbuhkan cara berpikir yang kritis dan sistematis
2. Meningkatkan kemampuan validitas data pasien
3. Meningkatkan kemampuan menentukan diagnosis keperawatan.
Menumbuhkan pemikiran tentang tindakan keperawatan yang berorientasi
pada masalah pasien
4. Meningkatkan kemampuan memodifikasi asuhan keperawatan
5. Meningkatkan kemampuan jastifikasi
6. Meningkatkan kemampuan menilai hasil kerja
4.5 Pengorganisasian
1.

Kepala ruangan

2.

Perawat Primer`

3.

Perawat Associated

4.

Konselor

5.

Pembimbing

6.

Supervaisor

15

BAB V
ANALISIS DAN INTERVENSI

4.1 Masalah Keperawatan Yang Belum Teratasi


Kebersihan napas tidak efektif berhubungan dengan penumpukan sekret pada laring
dan trakea.
4.2 Analisa Masalah
Perawat asosiet melakukan pengkajian kepada An. A didapatkan gangguan sesak
nafas, terdapat penumpukan sekret pada daerah trakea, suara serak dan batuk tidak
efektif.
4.3 Intervensi yang akan di lakukan
a. Melakukan postural drainage, latihan batuk efektif, clapping dan vibrating.
b. Melakukan tindakan Suction
b. Melakukan Pemasangan Trakeostomi.

16

BAB VI
PENUTUP
6.1 Kesimpulan
Suatu kegiatan yang bertujuan untuk mengatasi masalah keperawatan klien yang
dilaksanakan oleh perawat, disamping pasien dilibatkan untuk membahas dan
melaksanakan asuhan keperawatan akan tetapi pada kasus tertentu harus dilakukan oleh
perawat primer atau konselor, kepala ruangan, perawat associate yang perlu juga
melibatkan seluruh anggota tim.
Ronde keperawatan merupakan suatu metode pembelajaran klinik yang
memungkinkan peserta didik mentransfer dan mengaplikasikan pengetahuan teoritis ke
dalam peraktik keperawatan secara langsung.
6.2 Saran

17

DAFTAR PUSTAKA
Stephen S. tetanus edited by.Behrman, dkk. Dalam Ilmu Kesehatan Anak Nelson
Hal.1004-07. Edisi 15-Jakarta : EGC, 2000
Merdjani, A., dkk. 2003. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis.Badan Penerbit
IDAI, Jakarta.
Dr. Rusepno Hasan, dkk. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jilid II. Hal 568-72.. Cetakan kesebelas Jakarta: 2005

18

Anda mungkin juga menyukai