Anda di halaman 1dari 16

EPILEPSI

dr. Hardhi Pranata Sp.S, MARS


Departemen Neurologi
RSPAD GATOT SOEBROTO
Epilepsi adalah suatu serangan mendadak, dengan manifestasi fisik seperti kejangkejang, gangguan sensorik, atau kehilangan kesadaran yang dihasilkan dari muatan listrik
abnormal di otak. Epilepsi dapat diklasifikasikan menurut etiologi (idiopatik/primer dan
sekunder), tempat asal kejang, manifestasi klinis (general atau fokal), frekuensi (isolated,
siklik, repetitif) atau berdasar korelasi elektrofisiologis.
Epilepsi didefinisikan sebagai suatu keadaan yang ditandai oleh bangkitan (seizure)
berulang sebagai akibat dari adanya gangguan fungsi otak secara intermiten, yang
disebabkan oleh lepasnya muatan listrik abnormal dan berlebihan di neuron-neuron secara
paroksismal, dan disebabkan oleh bermacam etiologi. Bangkitan epilepsi adalah
manifestasi klinik dari bangkitan serupa (stereotipik), berlangsung secara mendadak dan
sementara dengan atau tanpa perubahan kesadaran, disebabkan oleh hiperaktivitas listrik
sekelompok sel saraf di otak, bukan disebabkan oleh suatu penyakit otak akut.
Etiologi
Etiologi epilepsi dapat dibagi menjadi :
1. Idiopatik : penyebabnya tidak diketahui, umumnya mempunyai predisposisi
genetik.
2. Simptomatik : disebabkan oleh kelainan atau lesi susunan saraf pusat, misalnya
cedera kepala, infeksi SSP, kelainan congenital, gangguan peredaran darah otak,
toksik, metabolic, kelainan neuro-degeneratif.
Patofisiologi
Kejang epilepsi (serangan epilepsi, epileptic fit) dipicu oleh perangsangan sebagian
besar neuron secara berlebihan, spontan, dan sinkron sehingga menyebabkan aktivasi
fungsi motorik (kejang), sensorik (kesan sensorik), otonom (salivasi), atau fungsi kognitif
(kognitif, emosional) secara lokal atau umum.
Kejang epilepsi dapat bersifat lokal missal di gyrus precentralis kiri dengan neuron
di daerah tersebut yang mengatur kaki kanan (kejang parsial). Kejang dapat menyebar dari
tempat tersebut ke seluruh gyrus precentralis (epilepsi Jacksonian). Sebagai contoh, kram
klonik dapat menyebar dari kaki kanan ke seluruh tubuh bagian kanan (gerakan motorik
Jacksonian) tanpa pasien kehilangan kesadaran. Namun, jika kejang menyebar ke sisi
tubuh lainnya, pasien akan kehilangan kesadaran (kejang parsial dengan generalisasi

sekunder). Kejang umum primer selalu disertai hilangnya kesadaran. Kejang tertentu
(absens) dapat juga hanya menyebabkan kehilangan kesadaran yang terisolasi. Fenomena
pemicunya adalah depolarisasi paroksismal pada neuron tunggal (pergeseran depolarisasi
paroksismal). Hal ini disebabkan oleh pengaktifan kanal Ca2+. Ca2+ yang masuk mula-mula
akan membuka kanal kation yang tidak spesifik sehingga menyebabkan depolarisasi yang
berlebihan, yang akan terhenti oleh pembukaan kanal K+ dan Cl yang diaktivasi oleh Ca2+.
Kejang epilepsi terjadi jika jumlah neuron yang terangsang terdapat dalam jumlah yang
cukup. Penyebab atau faktor yang memudahkan terjadinya epilepsi adalah kelainan
genetic, malformasi otak, trauma otak (jaringan parut di sel glia), tumor, pendarahan, atau
abses. Kejang juga dapat dipicu oleh keracunan (alkohol), inflamasi, demam,
pembengkakan sel atau pengerutan sel, hipoglikemia, hipomagnesemia, hipokalsemia,
kurang tidur, iskemia atau hipoksia, dan perangsangan berulang.
Perangsangan neuron atau penyebaran rangsangan ke neuron sekitarnya
ditingkatkan oleh sejumlah mekanisme selular.
Dendrit sel pyramidal mengandung kanal Ca2+ yang akan membuka pada saat
depolarisasi sehingga meningkatkan depolarisasi. Pada lesi neuron, akan lebih banyak
kanal

Ca2+ yang

diekspresikan.

Kanal

Ca2+ dihambat

oleh

Mg2+,

sedangkan

hipomagnesemia akan meningkatkan aktivitas kanal ini. Peningkatan konsentrasi K +


ekstrasel akan mengurangi refluks K+ melalui kanal K+. Hal ini berarti K+ mempunyai efek
depolarisasi, dan karena itu pada saat yang bersamaan meningkatkan pengaktifan kanal
Ca2+. Dendrit sel pyramidal juga didepolarisasi oleh glutamate dari sinaps eksitatorik.
Glutamat bekerja pada kanal kation yang tidak permeable terhadap Ca 2+ (kanal AMPA)
dank anal yang permeable terhadap Ca2+ (kanal NMDA). Kanal NMDA normalnya
dihambat oleh Mg2+.
Akan tetapi, depolarisasi yang dipicu oleh pengaktifan kanal AMPA akan
menghilangkan penghambatan Mg2+ (kerja sama dari kedua kanal). Jadi defisiensi Mg 2+
dan depolarisasi memudahkan pengaktifan kanal NMDA. Potensial membran neuron
normalnya dipertahankan oleh kanal K+. Syarat untuk hal ini adalah gradien K+ yang
melewati membran sel harus adekuat. Gradien ini dihasilkan oleh Na+/ K+ ATPse.
Kekurangan energy (kurang O2 atau hipoglikemia) akan menghambat Na+/ K+ ATPse
sehingga memudahkan depolarisasi sel.
Depolarisasi normalnya dikurangi oleh neuron inhibitorik yang mengaktifkan kanal
K+ dan atau Cl diantaranya melalui GABA. GABA dihasilkan oleh glutamate
dekarboksilase, yakni enzim yang membutuhkan piridoksin (vitamin B 6) sebagai kofaktor.
Defisiensi vitamin B6 (kelainan genetik) memudahkan terjadinya epilepsy. Hiperpolarisasi

neuron thalamus dapat meningkatkan kesiapan kanal Ca2+ tipe-T untuk diaktifkan sehingga
memudahkan serangan absens.
Klasifikasi
Klasifikasi yang ditetapkan oleh International League Againts epilepsy (ILAE)
terdiri dari diua jenis klasifikasi, yaitu klasifikasi untuk jenis bangkitan epilepsy dan
klasifikasi untuk sindrom epilepsy. Klasifikasi ILAE 1981 untuk tipe bangkitan epilepsy:
1. Bangkitan parsial
a. Bangkitan parsial sederhana
i.
Motorik
ii.
Sensorik
iii.
Otonom
iv.
Psikis
b. Bangkitan parsial kompleks
i.
Bangkitan parsial sederhana yang diikuti dengan gangguan kesadaran
ii.
Bangkitan parsial yang disertai gangguan kesadaran saat awal bangkitan
c. Bangkitan parsial yang menjadi umum sekunder
i.
Parsial sederhana yang menjadi umum tonik-klonik
ii.
Parsial kompleks menjadi umum tonik-klonik
iii.
Parsial sederhana menjadi parsial kompleks menjadi umum tonik-klonik
2. Bangkitan umum
a.

Lena (absens)

b. Mioklonik
c. Klonik
d. Tonik
e. Tonik-Klonik
f. Atonik
3. Tak tergolongkan
Klasifikasi ILAE 1989 untuk epilepsi dan sindrom epilepsi:
1. Berkaitan dengan letak fokus

Idiopatik (primer)
- Epilepsi anak benigna dengan gelombang paku di sentrotemporal (Rolandik
benigna)
- Epilepsi pada anak dengan paroksismal oksipital
- Primary reading epilepsy.

Simptomatik (sekunder)
- Lobus temporalis
- Lobus frontalis
- Lobus parietalis

- Lobus oksipitalis
- Kronik progesif parsialis kontinua

Kriptogenik

2. Umum

Idiopatik (primer)
- Kejang neonatus familial benigna
- Kejang neonatus benigna
- Kejang epilepsi mioklonik pada bayi
- Epilepsi absans pada anak
- Epilepsi absans pada remaja
- Epilepsi dengan serangan tonik klonik pada saat terjaga.
- Epilepsi tonik klonik dengan serangan acak.

Kriptogenik atau simptomatik.


- Sindroma West (Spasmus infantil dan hipsaritmia).
- Sindroma Lennox Gastaut.
- Epilepsi mioklonik astatik
- Epilepsi absans mioklonik

Simptomatik
- Etiologi non spesifik
- Ensefalopati mioklonik neonatal
- Sindrom Ohtahara
- Etiologi / sindrom spesifik.
- Malformasi serebral.
- Gangguan Metabolisme.

3. Epilepsi dan sindrom yang tak dapat ditentukan fokal atau umum.

Serangan umum dan fokal


- Serangan neonatal
- Epilepsi mioklonik berat pada bayi
- Sindroma Taissinare
- Sindroma Landau Kleffner

Tanpa gambaran tegas fokal atau umum

Epilepsi berkaitan dengan situasi


- Kejang demam
- Berkaitan dengan alkohol

- Berkaitan dengan obat-obatan


- Eklampsi.
- Serangan berkaitan dengan pencetus spesifik (reflek epilepsi)
Diagnosis
Diagnosis epilepsi ditegakkan atas dasar adanya gejala dan tanda klinik dalam bentuk
bangkitan epilepsi berulang (minimal 2 kali) yang ditunjang oleh gambaran epileptiform
pada EEG. Secara lengkap urutan pemeriksaan untuk menuju ke diagnosis adalah sebagai
berikut:
1. Anamnesis
a. Pola/bentuk bangkitan
b. Lama bangkitan
c. Gejala sebelum, selama dan pasca bangkitan
d. Frekuensi bangkitan
e. Faktor pencetus
f. Ada/tidak adanya penyakit lain yang diderita sekarang
g. Usia pada saat terjadinya bangkitan pertama
h. Riwayat pada saat dalam kandungan, kelahiran dan perkembangan bayi/anak
i. Riwayat terapi epilepsi sebelumnya
j. Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga
2. Pemeriksaan fisik umum dan neurologik
Melihat adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan
epilepsi, seperti trauma kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan kongenital.
gangguan neurologik fokal atau difus, kecanduan alkohol atau obat terlarang dan
kanker.
3. Pemeriksaan penunjang dilakukan sesuai dengan indikasi
a. Pemeriksaan EEG
i. Rekaman EEG sebaiknya dilakukan pada saat bangun, tidur, dengan stimulasi
fotik, hiperventilasi, stimulasi tertentu sesuai pencetus bangkitan (pada
epilepsi refleks)
ii. Kelainan epileptiform EEG interiktal (di luar bangkitan) pada orang dewasa
dapat ditemukan sebesar 29-38%; pada pemeriksaan ulang gambaran
epileptiform dapat meningkat menjadi 59-77%.
iii. Bila EEG pertama normal sedangkan persangkaan epilepsi sangat tinggi,
maka dapat dilakukan EEG ulangan dalam 24-48 jam setelah bangkitan atau
dilakukan dengan persyaratan khusus, misalnya kurangi tidur, atau dengan
menghentikan obat anti epilepsi (OAE).
iv. Indikasi pemeriksaan EEG:
Membantu menegakkan diagnosis epilepsi
Menentukan prognosis pada kasus tertentu
Pertimbangan dalam penghentian OAE
Membantu dalam menentukan letak fokus
Bila ada perubahan bentuk bangkitan dari bangkitan sebelumnya

b. Pemeriksaan pencitraan otak, dengan indikasi:


i.
ii.
iii.
iv.
v.
vi.

Semua kasus bangkitan pertama yang diduga ada kelainan struktural


Adanya perubahan bentuk bangkitan
Terdapat defisit neurologik fokal
Epilepsi dengan bangkitan parsial
Bangkitan pertama di atas usia 25 tahun
Untuk persiapan tindakan pembedahan epilepsi

c. Magnetic Resonance Imaging


i. Merupakan prosedur pencitraan pilihan untuk epilepsi dengan sensitivitas
tinggi dan lebih spesifik dibanding dengan CT Scan
ii. Dapat mendeteksi sklerosis hipokampus, disgenesis kortikal, tumor dan
hemangioma kavernosa
iii. Pemeriksaan MRI diindikasikan untuk epilepsi yang sangat mungkin
memerlukan terapi pembedahan
iv. Pemeriksaan laboratorium
Darah : hemoglobin, hematokrit, trombosit, apus darah tepi, elektrolit,
kadar gula darah, fungsi hati, ureum, kreatinin, dan lainnya sesuai indikasi
Cairan serebrospinal : bila curiga ada infeksi SSP
Pemeriksaan-pemeriksaan lain dilakukan atas indikasi misalnya kelainan
metabolik bawaan
Diagnosis Banding
1. Sinkope
Sinkope adalah keadaan kehilangan kesadaran sepintas akibat kekurangan
aliran darah kedalam otak dan anoksia. Sebabnya adalah tensi darah yang menurun
mendadak biasanya saat penderita sedang berdiri. Pada fase permulaan, penderita
menjadi gelisah, tampak pucat, berkeringat, merasa pusing, pandangan kabur.
Kesadaran menurun secara berangsur, nadi melemah, tekanan darah rendah.
Dengan dibaringkan horizontal penderita segera membaik.
2. Gangguan jantung
Gangguan fungsi dan irama jantung dapat timbul dalam serangan-serangan
yang mungkin pula mengakibatkan pingsan.
3. Gangguan sepintas peredaran darah otak
Gangguan sepintas peredaran darah dalam batang otak dengan macam-macam
sebab dapat mengakibatkan timbulnya serangan pingsan. Pada keadaan ini dijumpai
kelainan-kelainan neurologis seperti diplopia, disartria, ataksia, dan lain-lain.
4. Hipoglikemia
Hipoglikemia didahului rasa lapar, berkeringat, paltisipasi, tremor, mulut
kering. Kesadaran dapat menurun perlahan.
5. Histeria

Kejang fungsional atau psikologis sering terdapat pada wanita 7-15 tahun.
Serangan biasanya terjadi di hadapan orang-orang yang hadir karena ingin menarik
perhatian. Jarang terjadi luka-luka akibat jatuh, mengompol, atau perubahan pasca
serangan seperti terdapat pada epilepsi. Gerakan-gerakan yang terjadi menyerupai
kejang tonik klonik, tetapi bisa menyerupai sindroma hiperventilasi. Timbulnya
serangan sering berhubungan dengan stress.
6. Paralisis tidur
Biasanya terjadi kejang menjelang tidur atau bangun dan sering didahului
halusinasi visual dan auditoris. Serangan ini sering merekrutkan penderita karena ia
dapat bernafas, menggerakkan mata, namun tidak dapat bergerak. Sentuhan ringan
atau rangsang auditoris dapat mengakhiri paralisis tersebut yang biasanya
berlangsung hanya beberapa detik.
Komplikasi
Komplikasi kejang parsial komplek dapat dengan mudah dipicu oleh stress
emosional. Pasien mungkin mengalami kesulitan kognitif dan kepribadian seperti:

Personalitas : sedikit rasa humor, mudah marah, hiperseksual


Hilang ingatan : hilang ingatan jangka pendek karena adanya gangguan pada

hippocampus, anomia (ketidakmampuan untuk mengulang kata atau nama benda).


Kepribadian keras : agresif dan defensif

Komplikasi yang berhubungan dengan kejang tonik klonik meliputi:

Aspirasi atau muntah


Fraktur vertebra atau dislokasi bahu
Luka pada lidah, bibir atau pipi karena tergigit
Status epileptikus
Status epileptikus adalah suatu kedaruratan medis dimana kejang berulang
tanpa kembalinya kesadaran diantara kejang. Kondisi ini dapat berkembang pada
setiap tipe kejang tetapi yang paling sering adalah kejang tonik klonik. Status
epileptikus mungkin menyebabkan kerusakan pada otak atau disfungsi kognitif dan
mungkin fatal.
Komplikasi meliputi:
Aspirasi
Aritmia
Dehidrasi
Fraktur
Serangan jantung
Trauma kepala

Pedoman Pengobatan Epilepsi


Untuk dapat mencapai hasil yang sebaik-baiknya, terdapat beberapa pedoman yang
perlu diperhatikan:

a. Diagnosis
Sebelum pengobatan dimulai, diagnosis epilepsi harus dipastikan. Penderita
epilepsi harus minum obat dalam jangka waktu lama sehingga perlu dipastikan bahwa
diagnosis ditegakkan dengan benar. Bila seorang pasien mengalami serangan lebih dari
satu kali dalam 12 bulan terakhir maka terapi dimulai. Jika pasien hanya mengalami satu
kalis erangan, pengobatan ditangguhkan bila tidak ada tanda-tanda lesi otak yang
mendasarinya.
b. Jenis epilepsi
Menentukan jenis serangan penting sekali oleh karena jenis serangan tertentu
memerlukan obat antikonvulsi tertentu. Pada bangkitan parsial tipe sederhana diberi
karbamazepin, tipe kompleks diberi difenilhidantoin dan tipe umum sekunder diberi
fenobarbital. Sedangkan bangkitan umumtipe konvulsif diberi asam valproat, tipe
mioklonik diberi asam valproat, clonazepam atau nitrazepam. Dan tipe lena diberi
etoksuksimid.
c. Usia
Beberapa obat mempunyai efek samping yang lebih besar bila diberikan pada anak
usia pertumbuhan, misalnya pada pemberian difenilhidantoin akan terjadi hipertrofi gigi.
Pemberian fenobarbital pada anak-anak dengan usia kurang dari 3 tahun sering terjadi
hiperkinetik serta efek teratogenik.
d. Keadaan sosial ekonomi
e. Faktor kepatuhan
Untuk dapat menjamin keberhasilan pengobatan sangat penting bahwa penderita
minum obat secara teratur dan untuk jangka waktu yang panjang sesuai dengan petunjuk
yang diberikan oleh dokter.
T
Tujuan utama terapi epilepsi adalah tercapainya kualitas hidup optimal untuk pasien
sesuai dengan perjalanan penyakit epilepsi dan disabilitas fisik maupun mental yang
dimilikinya. Untuk tercapainya tujuan tadi diperlukan beberapa upaya antara lain
menghentikan bangkitan, mengurangi frekuensi bangkitan tanpa efek samping/dengan efek
samping yang minimal, menurunkan angka morbiditas dan mortalitas.

Prinsip pemberian terapi farmakologis pada epilepsi adalah sebagai berikut:


a. Obat Anti Epilepsi (OAE) diberikan bila:
Diagnosis epilepsi sudah dipastikan (confirmed)
Terdapat minimal 2 bangkitan dalam satu tahun
Setelah pasien dan/atau keluarga menerima penjelasan tujuan

pengobatan
Pasien dan/atau keluarga telah diberitahu tentang kemungkinan

efek samping
b. Terapi dimulai dengan monoterapi menggunakan OAE pilihan sesuai
dengan jenis bangkitan dan jenis sindrom epilepsi.
c. Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikkan bertahan
sampai dosis efektif tercapai atau timbul efek samping; kadar obat
dalam plasma ditentukan bila bangkitan tidak terkontrol dengan dosis
efektif.
d. Bila dengan penggunaan dosis maksimum OAE bangkitan tidak
terkontrol, ditambahkan OAE kedua. Bila OAE kedua telah mencapai
kadar terapi, maka OAE pertama diturunkan perlahan dosisnya.
e. Penambahan OAE ketiga baru dilakukan setelah terbukti bangkitan
tidak dapat diatasi dengan penggunaan dosis maksimal kedua OAE
pertama.
f. Pasien dengan bangkitan tunggal direkomendasikan untuk dimulai terapi
bila kemungkinan kekambuhan tinggi, yaitu bila:
Dijumpai fokus epilepsi yang jelas pada EEG
Pada pemeriksaan CT Scan atau MRI otak dijumpai lesi yang
berkorelasi dengan bangkitan, misalnya meningioma, neoplasma

otak, AVM, abses otak dan ensefalitis.


Herpes
Kerusakan otak
Terdapat riwayat epilepsi pada saudara sekandung (bukan orang tua)
Riwayat bangkitan simptomatik
Terdapat sindrom epilepsi yang berisiko tinggi seperti JME (Juvenile

Myoclonic Epilepsy)
Riwayat trauma kepala terutama yang disertai penurunan kesadaran,

stroke, infeksi SSP


Bangkitan pertama berupa status epileptikus
g. Efek samping dan interaksi farmakokinetik

antar-OAE

diperhatikan
Obat saraf golongan antikonvulsan atau obat epilepsi terbagi dalam 8 golongan yaitu:
a) Golongan Hidantoin: Fenitoin, Mefenotoin, Etotoin.

perlu

b)
c)
d)
e)
f)
g)
h)
i)

Golongan Barbiturat seperti Fenobarbital, Primidon.


Golongan Oksazolidindion: Trimetadion.
Golongan Sukstnimtd: Etosuksimid, Karbamazepin, Ox Carbazepine
Golongan Bcnzodiazepin: Diazepam, Klonazepam, Nitrazepam, Levetiracetam
Golongan Asam Valproat dan garamnya (Divalproex Na)
Golongan Phenyltriazine; Lamotrigine.
Golongan Gabapentin dan turunannya (Pregabalin).
Lainnya: Fenasemid, Topiramate.

Pemilihan OAE pada Pasien Remaja dan dewasa Berdasarkan Bentuk Bangkitan
Tipe Bangkitan

OAE Lini I

Lena

Valproat

OAE Lini II / Tambahan OAE Lini III / Tambahan


Etosuksimid

Lamotrigin
Mioklonik

Valproat

Levetiracetam
Zonisamid

Topiramat

Lamotrigin

Levetiracetam

Clobazam

Zonisamid

Clonazam
Fenobarbital

Tonik Klonik

Valproat

Lamotrigin

Topiramat

Karbamazepin

Okskarbazepin

Levetiracetam

Fenitoin
Atonik

Fenobarbital
Valproat

Zonisamid
Lamotrigin

Pirimidon
Felbamat

Topiramat
Parsial

Carbamazepin

Valproat

Tlagabine

Fenitoin

Levetiracetam

Vigabatrin

Fenobarbital

Zonisamid

Felbamat

Okskarbazepin

Pregabalin

Pirimidon

Lamotrigin

Topiramat

Lamotrigin
Topiramat
Gabapentin
Tidak
terklasifikasikan

Valproat

Levetiracetam
Zonisamid

Bila lebih dari satu jenis obat yang digunakan bersama, kemungkinan saling
mempengaruhi tentu ada. Obat yang sering berinteraksi dapat mengganggu konsentrasi
obat (Meninggikan kadar difenilhidantoin seperti isoniazid, khloramfenikcol, dikumarol,
asetazolmaid; adapula yang menurunkan kadar difenilhidantoin seperti karbamazepin,
diazepam, klonazepam) dan anti epilepsi dan obat yang diketahui menurunkan kadamya
oleh obat antiepilepsi (griseolfulvin warfarin, hormon steroid PII kontrasepsi, dan vitamin
D doksisiklin).
Efek samping obat dapat terjadi salam hubungan dengan dosis, keadaan yang
disebut suatu intoksikasi. Pada keracunan akut difenilhidantoin berturut-turut dapat terjadi
nystagmus. ataksia, dan bila kadar obat lebih tinggi lagi penurunan kesadaran. Pada
keracunan kronik obat-obat epilepsi dapat teijadi degenerasi sel serebelum, neurophaty
perifer, anemia megaloblastik, dan defisiensi vitamin D.17
Efek Samping OAE
Obat

Efek samping yang

Efek samping minor

mengancam jiwa
Karbamazepin

Fenitoin

Fenobarbital

Anemia aplastik,

Dizziness, ataksia, diplopia, mual,

hepatotokisitas, sindrom

kelelahan, lekopeni,

Steven Johnson, lupus like

trombositopenia, ruam, gangguan

syndrome

perliaku, tics

Anemia aplastik, gangguan

Hipertrofi gusi, hirsutisme, ataksia,

fungsi hati, sindroma Steven

nistagmus, diplopia, ruam,

Johnson, lupus like syndrome,

anoreksia, mual, makrositosis,

pseudolymphoma

neuropati perifer

Hepatotoksik, ganggunan

Mengantuk ataksia, nistagmus,

jaringan ikat dan sumsum

ruam/ kulit, depresi, hiperaktif pada

tulang, sindroma Steven

anak, gangguan belajar

Johnsons
Asam Valproat

Hepatotoksisitas,

Mual, muntah, rambut menipis,

hiperamonemia, leopeni,

tremor, amenore, peningkatan berat

trombositopeni, pankreatitis

badan, konstipasi
-

Tevetiracetam

Belum diketahui

Mual, nyeri kepala, dizziness,


kelemahan, mengantuk, gangguan
perilaku

Gabapentin

Belum diketahui

Somnolen, kelelahan, ataksia,


dizziness, peningkatan berat badan,
gangguan perilaku pada anak

Lamotrigin

Okskarbazepin

Sindrom Stevens Johnson,

Ruam, dizziness, tremor, ataksia,

gangguan hepar akut,

diplopia, pandangan kabur, nyeri

kegagalan multi organ

kepala, mual, muntah, insomnia

Ruam kulit

Dizziness, ataksia, nyeri kepala,


mual, kelelahan, hiponatremia

Topiramat

Batu ginjal, hipohidrosis,

Gangguan kognitif, kesulitan

gangguan fungsi hati

menemukan kata, dizziness, ataksia,


nyeri kepala, kelelahan, mual,
penurunan berat badan, parestesia,
glukoma

Zonizamid

Batu ginjal, hipohidrosis,

Mual, nyeri kepala, dizziness,

ganemia apalstik

kelelahan, parestesia, ruam, gangguan


berbahasa

Ada dua mekanisme obat epilepsi yang penting yaitu dengan mencegah timbulnya
letupan depolarisasi eksesif pada neuron epileptik dan dengan mencegah

terjadinya

letupan depolarisasi pada neuron normal akibat pengaruh dari fokus epilepsi. Obat epilepsi
digunakan terutama untuk mencegah dan mengobati bangkitan epilepsi (epileptic seizure).
Golongan obat ini lebih tepat dinamakan antiepilepsi sebab obat ini jarang digunakan
untuk gejala kejang/konvulsi penyakit lain. Pasien perlu berobat secara teratur. Pasien atau
keluarganya Dianjurkan untuk membuat catatan tentang datangnya waktu bangkitan
epilepsi.

Mekanisme Kerja dan Tempat Ekskresi OAE


Karbamazepin

Blok sodium channel pada neuron, bekerja

>95% hati

Juga pada reseptor NMD A, monoamine dan


Fenitoin

asetilkolin
Blok sodium channel dan inhibisi aksi

>90% hati

konduktan kalsium dan klorida dan


Fenobarbital

neurotransmiter yang voltage dependent


Meningkatkan aktivitas reseptor GABAA,

75% hati

menurunkan eksitabilitas glutamat,

25% ginjal

menurunkan konduktan natrium, kalium, dan


kalsium
Valproat

Diduga aktivitas GABA glutaminergik,

>95% hati

menurunkan ambang konduktan kalsium (T)


dan kalium
Levetiracetam

Tidak diketahui

Cairan
tubuh

Gabapentin
Lamotrigin

Modulasi calcium channel tipe N


Blok konduktan natrium yang voltage

100%
85%

dependent
Okskarbazepin

Blok sodium channel, meningkatkan

45% hati

konduktan kalium, modulasi aktivitas calcium

45% ginjal

channel
Topiramat

Blok sodium channel, meningkatkan influks

90% hati

GABA- mediated chloride, meodulasi efek


reseptor GABAA, bekerja pada reseptor
Zonisamid

AMPA
Blok sodium, potassium, calcium channels,

>90 % hati

inhibisi eksitasi glutamat

Pemeriksaan neurologik disertai EEG perlu dilakukan secara berkala. Di samping itu
perlu berbagai pemeriksaan lain untuk mendeteksi timbulnya efek samping sedini mungkin
yang dapat merugikan, antara lain pemeriksaan darah, kimia darah, maupun kadar obat
dalam darah. Fenitoin dan karbamazepin merupakan obat pilihan utama untuk pengobatan
epilepsy kecuali terhadap epilepsi petit mal.

Setelah bangkitan terkontrol dalam jangka waktu tertentu (tiga hingga lima tahun tidak
mendapat serangan dan EEG normal atau hanya menunjukkan sedikit kelainan non
spesifik), OAE dapat dihentikan tanpa kekambuhan pada 60% pasien. Pada anak-anak,
penghentian OAE secara bertahap dapat dipertimbangkan setelah 2 tahun bebas bangkitan,
sedangkan pada dewasa diperlukan waktu yang lebih lama (5 tahun). Dalam hal
penghentian OAE, maka ada dua hal penting yang perlu diperhatikan, yaitu syarat umum
untuk menghentikan OAE dan kemungkinan kambuhnya bangkitan setelah OAE
dihentikan.
Syarat umum untuk menghentikan pemberian OAE adalah:
Penghentian OAE dapat didiskusikan dengan pasien atau keluarganya setelah
minimal 2 tahun bebas bangkitan
Gambaran EEG normal
Harus dilakukan secara bertahap, pada umumnya 25% dari dosis semula, setiap
bulan dalam jangka waktu 3-6 bulan
Bila digunakan lebih dari 1 OAE, maka penghentian dimulai dari 1 OAE yang
bukan utama
Kekambuhan setelah penghentian OAE akan lebih besar kemungkinannya pada
keadaan sebagai berikut:

Semakin tua usia kemungkinan timbul kekambuhan semakin tinggi


Epilepsi simtomatik
Gambaran EEG yang abnormal
Semakin lamanya bangkitan sebelum dapat dikendalikan
Tergantung bentuk sindrom epilepsi yang diderita; sangat jarang pada sindrom
epilepsi benigna dengan gelombang tajam pada daerah sentrotemporal, 5-25% pada
epilepsi lena masa anak kecil, 25-75% epilepsi parsial kriptogenik/simtomatik, 85-

95% pada epilepsi mioklonik pada anak


Penggunaan lebih dari satu OAE
Masih mendapatkan satu atau lebih bangkitan setelah memulia terapi
Mendapat terapi 10 tahun atau lebih
Kemungkinan kekambuhan lebih kecil pada pasien yang telah bebas bangkitan
selama 3-5 tahun, atau lebih dari lima tahun. Bila bangkitan timbul kembali maka
gunakan dosis efektif terakhir (sebelum pengurangan dosis OAE), kemudian di
evaluasi kembali.

Status Epileptikus
Status epileptikus adalah bangkitan yang teijadi melebihi dari 30 menit atau adanya
dua bangkitan atau lebih di mana di antara bangkitan-bangkitan tadi tidak terdapat

pemulihan kesadaran. Namun demikian penanganan bangkitan harus dimulai dalam 10


menit setelah awitan suatu bangkitan.
Penanganan status epileptikus konvulsivus
Stadium
Stadium I (0-10 menit)

respirasi
Memperbaiki jalan nafas, oksigenasi

Stadium II (1-60 menit)

Penatalaksanaan
Memperbaiki fungsi kardio dan

dan resusitasi bilamana diperlukan


Pemeriksaan status neurologik
Pengukuran tekanan darah, nadi dan
suhu
Pemeriksaan EKG
Pasang infus
Ambil 50-100cc darah untuk

pemeriksaan laboratorium
Pemberian OAE cito : diazepam 10-

20 mg iv (kecepatan pemberian 2-5


mg/menit atau rectal dapat diulang 15
menit kemudian)
Beri 50cc glukosa 50% dengan atau

tanpa thiamin 250mg


Menangani asidosis dengan

bikarbonat
Menentukan etiologi
Bila kejang terus berlangsung setelah

Stadium III (0-60/90 menit)

pemberian lorazepam/diazepam, beri


phenitoin IV 15-20mg/kg dengan
kecepatan kurang lebih 50mg/menit
sambil monitoring tekanan darah,
Atau dapat pula diberikan
Phenobarbital 10 mg/kg dengan
kecepatan kurang lebih 10 mg/menit
(monitoring pernafasan saat

pemberian)
Terapi vasopresor (dopamin) bila

diperlukan.
Mengoreksi komplikasi

Stadium IV (30-90 menit)

Bila tetap kejang, pindah ke ICU


Beri propofol (2mg/kgBB bolus iv,
diulang bila perlu)

Prognosis Epilepsi
Prognosis umumnya baik, 70 - 80% pasien yang mengalami epilepsi akan sembuh,
dan kurang lebih separuh pasien akan bisa lepas obat. Dua puluh sampai tiga puluh persen
mungkin akan berkembang menjadi epilepsi kronis dan pengobatan semakin sulit. Lima
persen di antaranya akan tergantung pada orang lain dalam kehidupan sehari-hari.
Prognosis buruk pada pasien dengan lebih dari satu jenis epilepsi. mengalami retardasi
mental, dan gangguan psikiatri dan neurologic. Penderita epilepsi memiliki tingkat
kematian yang lebih tinggi daripada populasi umum. Serangan epilepsi primer, baik yang
bersifat kejang umum maupun serangan lena atau melamun atau absence mempunyai
prognosis terbaik. Sebaliknya epilepsi yang serangan pertamanya mulai pada usia 3 tahun
atau yang disertai kelainan neurologik dan atau retardasi mental mempunyai prognosis
relatif jelek.
Daftar Pustaka:

Anda mungkin juga menyukai