Anda di halaman 1dari 15

Laporan Proyek Ekofisiologi Hewan

Pengaruh Alas Kandang terhadap Bobot Jangkrik (Gryllus testaceus)

Disusun oleh :
Nur Hariris
4411412007

BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2015
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Jangkrik merupakan serangga lompat yang termasuk dalam family Gryllidae.
Terdapat sekitar seribu spesies jangkrik yang hidup terutama di daerah tropis. Banyak juga
spesies yang hidup di daerah yang beriklim sedang yaitu, dengan suhu 26 - 33 0 C dan
kelembaban 75-80%.
Jangkrik memiliki berbagai manfaat, fiantaranya yaitu dapat dijadikan pakan burung
berkicau, yeng menyebabkan burung tersebut akan rajin mengeluarkan suara yang merdu.
Selain itu, jangkrik dapat pula dijadikan pakan ikan arwana, dimana apabila ikan arwana
diberi pakan jangkrik warna tubuh ikan tersebut akan semakin cemerlang. Dengan
memperhatikan keuntungan- keuntungan tersebut, banyak masyarakat yang membudidayakan
jangkrik.
Usaha budidaya jangkrik di Negara kita sangat didukung oleh iklim, cuaca,
ketersediaan lahan, jenis jangkrik, dan alas kandang yang digunakan. Usaha budidaya ini
dilakukan untuk menghindari kelangkaan dan kepunahan akibat perburuan yang intensif dan
habitat jangkrik yang semakin terdsak oleh modernisasi atau perluasan daerah perkotaan serta
dampak penggunaan pestisida. Seiring dengan meningkatnya kebutuhan jangkrik sebagai
pakan hewan piaraan, maka sudah banyak yang melakukan budidaya jangkrik secara lebih
intensif dan kontinyu, sehingga dapat memenuhi permintaan pasar, akan tetapi, dalam
pelaksanaanya, dalam kegiatan budidaya atau beternak jangkrik ini, para peternak kurang
memperhatikan pemilihan alas kandang yang tepat bagi jangkrik, karena alas kandang
mempengaruhi kondisi lingkungan jangkrik.
Menurut Mitruka et al (1976), biasanya bahan alas kandang yang cocok addalah hasil
sisa (limbah) pertanian dan industry. Menurut Lane-Petter (1976) penambahan lumut, sekam
padi, bubur gula bit yang kering, selulose dan pangkal tongkol jagung sebagai baik unruk
dijadikan sebagai bahan alas kandang. Sedangkan Green (1968) menambahkan bahan untuk
alas kandang yaitu jerami, tanah liat penyerap, dan potongan kertas.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
pengaruh maca-macam alas kandang terhadap pertumbuhan bobot jangkrik
.
B. Rumusan Masalah

Bagaimana pengaruh alas kandang terhadap bobot/berat jangkrik (Gryllus sp)?


C. Tujuan
Untuk mengetahui dan membandingkan pengaruh alas kandang terhadap bobot/berat
jangkrik (Gryllus sp)
D. Manfaat
Memberikan informasi kepada peternak jangkrik mengenai pemilihan alas kandang
yang tepat untuk membudidayakan jangkrik, agar diperoleh jangkrik yang berkualitas
dengan bobot yang optimal.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Jangkrik merupakan jenis insekta yang hidup di semak-semak rerumputan


pekarangan. Menurut Borror (1992) jangkrik dikelompokkan dalam :
Kingdom

: Animalia

Phylum

: Arthropoda

Klas

: Insecta

Ordo

: Orthoptera

Sub Ordo

: Ensifera

Famili

: Gryllidae

Sub Famili

: Gryllinae

Genus

: Gryllids

Spesies

: Gryllus mitratus (Jangkrik celiring)


Gryllus testacius (Jangkrik cendawang)
Gryllus bimaculatus de geex (Jangkrik kalung)

Sumber

: Jannah. 2000

Menurut Paimin et al. (1999), jangkrik-jangkrik yang hidup dan berkembang biak di
Indonesia sebanyak sekitar 123 jenis, dan belum diketahui dengan pasti asal usul bangsanya,
karena belum terklarifikasi dengan baik da nada yang hanya nama daerahnya. Jangkrik jawa
Gryllus bimaculatus atau kalung (karena pangkal sayap luarnya bergaris kuning menyerupai
kalung) memiliki panjang tubuh (dari kepala hingga ujung perut) kurang lebih 2-3 cm. warna
tubuh bervariasi, tetapi pada umumnya coklat kehitaman dan hitam. Ras yang mempunyai
sayap dan tubuhnya berwarna kuning kemerah-merahan disebut jerabang dan yang hitam
legam disebut jeliteng, yang ukurannya bisa sampai 5 cm. jenis Gryllus bimaculatus ini
umumnya dimanfaatkan untuk pakan burung, ikan dan aduan karena agresivitas dan
kerikannya yang nyaring (Suseno, 1999).
A. Persebaran Dan habitat Jangkrik
Jangkrik dapat ditemui hamper di seluruh Indonesia, tetapi lebih banyak ditemukan di
daerah yang kering yang bersuhu 20-30derajat C dan kelembaban 65-80% (Sukarno. 1999),
tanahnya gembur atau berpasir dan tersedia banyak tumbuhan semak belukar. Jangkrik hidup
bergerombol dan bersembunyi dalam lipatan-lipatan daun kering atau bongkahan tanah.
Jangkrik yang termasuk family Gryllidae ada sekitar 1000 jenis jangkrik. Kelompok
ini terutama hidup di daerah tropis. Jenis jangkrik yang paling umum dikenal masyarakat
adalah jangkrik kalung atau Gryllus bimaculatus. Di alam bebas bentuk dewasa jangkrik
kalung hanya bisa ditemukan pada musim-musim tertentu kira-kira bertepatan dengan musim
bunga Eulolia amaura (rumput lamuran), karena mempunyai hubungan yang erat (jangkrik
jantan yang digelitik dengan bunga tersebut akan marah, lalu diadu dengan jantan lain).
Jangkrik lokan jenis bimaculatus ini ditemukan secara soliter di kebun tembakau,
kacang, mentimun, di tanah kemerahan yang berpasir. Memasuki musim kemarau jangkrik
hijrah mendekati sumber-sumber perairan, seperti di rumput kaso atau ilalang di pinggir
sungai (Karjono. 1999). Pada siang hari, jangkrik kalung bersembunyi di bawah batu-batuan,

reruntuhan pohon atau dalam tanah. Pada malam hari jangkrik berkeliaran mencari makanan
dan pasangan.
B. Makanan Jangkrik
Jangkrik makan sejumlah besar aneka ragam bahan anabti dan hewani. Jenis pakan
yang disukai oleh jangkrik adalah daun-daun muda yang banyak mengandung air sebagai
pengganti minum seperti sawi, kubis, bayam, daun papaya, dan lain-lain. Untuk jangkrik
dewasa biasanya diberikan ketimun yang juga sebagai pengganti air minum. Kebutuhan
protein diperoleh dari penambahan pakan kering yang sudah dihaluskan (Budi. 1999).
Tipe dan jumlah pakan yang dimakan serangga ini dapat mempengaruhi pertumbuhan,
perkembangan, reproduksi, kelakuan, dan seringkali berbagai sifat-sifat morfologik lainnya.
C. Perkembangbiakan Dan Reproduksi Jangkrik
Usaha jangkrik untuk mempertahankan keturunannya dilakukan melalui siklus
reproduksi. Ini dimulai dengan proses kopulasi antara jangkrik dewasa jantan dan betina,
yang dicapai pada usia sekitar 70-80 hari. Usia jangkrik betina siap kawin ditandai dengan
keluarnya sayap terbang dan ovipositor secara lengkap, gerakannya gesit atau lincah dan pada
jantan, diiringi dengan suara ngekrik yang keras (Sukarno. 1999).
Jangkrik adalah serangga yang memiliki system reproduksi dioceus yaitu kelamin
jantan dan betina terdapat pada individu yang berlainan. Alat kelamin serangga biasanya
terletak pada ruas abdomen delapan dan sembilan. Ruas-ruas ini memiliki sejumlah
kekhususan yang berkaitan dengan kopulasi dan peletakan telur.
Alat reproduksi serangga betina terdiri atas sepasang ovarium dengan bagian-bagiannya yang
terdiri atas indung telur (ovariolla), saluran telur (oviduct), oogonia, sel folikel, sel
germanium, oosit dan reseptakulum seminalis (spermateka), sedangkan alat kelamin jantan
terdiri atas sepasang testis, vas differentia, seminal vesikal dan ductus ejakulatori. Alat genital
betina disebut ovipositor yang merupakan alat peletak telur berbentuk seperti jarum
sedangkan alat genital pada jantan disebut clasper. Clasper tersembunyi dalam abdomen dan
dapat dikeluarkan bila hendak digunakan Clesper balik ke ruas-ruas abdomen bila tidak
dipakai (Borror et al., 1992).

Gambar 1. Reproduksi Jangkrik


Saat perkawinan akan berlangsung, jangkrik jantan akan merayap dari belakang ke
bawah jangkrik betina dan meletakkan kantong kecil berwarna putih berisi sperma, ketika
mereka sudah tepat untuk berkopulasi, sperma tersebut akan masuk dan disimpan di bawah
andomen jangkrik betina untuk bertemu dengan sel telur yang akan membuahi telurnya
(Hasegawa dan Kubo. 1996). Setelah terjadi pembuahan, jangkrik betina akan bunting dan
bertelur secara bertahap. Jumlah tersebut mungkin lebih banyak lagi tergantung speciesnya
(Sridadi dan Rahmanto. 1999).

BAB III
METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitian dilaksanakan di kos gang Imam Bonjol pada tanggal 17 Mei-6 Juni 2015.
B. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Seluruh jangkrik yang terdapat di Pasar Burung Banaran Gunung Pati.
2. Sampel

36 ekor jangkrik dengan bobot rata-rata 0.2979 g yang diperoleh dari Pasar
Burung Banaran Gunung Pati.
C. Variabel Penelitian
1. Variabel bebas
Bahan alas kandang, meliputi pasir, daun pisang kering, kertas Koran, serbuk
gergaji.
2. Variabel terikat
Bobot akhir jangkrik setelah dilakukan perlakuan.
3. Variabel terkendali
Pakan jangkrik, berupa buah papaya.
D. Rancangan Percobaan
Penelitian ini bersifat eksperimental dengan desain penelitian RAL (Rancangan Acak
Lengkap) terdiri dari 4 macam perlakuan dengan 3 kali ulangan, setiap ulangan terdiri dari 3
ekor jangkrik

E. Alat dan Bahan Penelitian


Alat-alat yang digunakan diantaranya yaitu :

Bahan-bahan yang digunakan diantaranya yaitu :

Jangkrik

F.
1.
a)
b)
c)
d)

Prosedur Penelitian
Persiapan
Menyiapkan alat dan bahan yang dipelrukan dalam penelitian.
Pemilihan jangkrik.
Penimbangan awal sampel jangkrik menggunakan timbangan analitik.
Pemberian label/kode jangkrik menggunakan angka yang dipasang dibagian dorsal
jangkrik.

2. Perlakuan
a) Mengisi 12 buah toples dengan alas kandang yang berbeda, meliputi 3 toples diisi
pasir, 3 toples diisi daun pisang kering, 3 toples diisi kertas koran, dan 3 toples diisi
serbuk gergaji.
b) Memasukkan jangkrik ke dalam toples masing-masing sebanyak 3 ekor jangkrik.
c) Memasukkan pakan berupa 1 potong papaya yang ukurannya sama ke dalam semua
toples.
d) Menutup toples dengan plastic bening, dan diikat menggunakan karet, kemudian
plastik dibolongi untuk pertukaran udara.
e) Perlakuan dilakukan selama 3 minggu. Setiap hari dilakukan pengecekkan kondisi
jangkrik, dan penggantian pakan.
f) Setelah 3 minggu, dilakukan penimbangan ulang jangkrik untuk diketahui bobot akhir
jangkrik setelah perlakuan.
G. Data dan Pengumpulan Data
1. Data
Data yang diambil adalah bobot jangkrik yang dipengaruhi oleh kondisi alas
kandang yang berbeda.
2. Metode Pengumpluan Data
Pengumpulan data dilakukan setiap satu minggu sekali, dengan cara menimbang
jangkrik dan mencatat bobot setiap individu jangkrik.

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Bobot Jangkrik
Tabel 1.
Data Rata-Rata Pertumbuhan Bobot Jangkrik
Perlakuan
Daun Pisang
kering
P-I

Serbuk gergaji
P-II

Pasir
P-III

Kertas koran
P-IV

Ulangan
1
2
3
Total
Rata-rata
1
2
3
Total
Rata-rata
1
2
3
Total
Rata-rata
1
2
3
Total
Rata-rata

Bobot awal
0.3127
0.258
0.3215

1
0.4354
0.4081
0.4384

Minggu ke2
0.5252
0.3942

3
0.7196
0.4076
0.6424

0.8922
0.2974
0.2252
0.2044
0.2631

1.2819
0.4273
0.3176
0.2851
0.4163

0.5973
1.5167
0.50557
0.3965
0.3011
0.4056

0.6927
0.2309
0.3086
0.3101
0.3821

1.019
0.33967
0.3709
0.44
0.4447

1.1032
0.36773
0.4253
0.4575
0.4934

1.2092
0.40307
0.4288
0.508
0.6207

1.0008
0.3336
0.2878
0.325
0.3794

1.2556
0.41853
0.3482
0.4003
0.5061

1.3762
0.45873
0.3811
0.4417
0.5272

1.5575
0.51917
0.4199
0.443
0.5467

0.9922
0.33073333

1.2546
0.4182

1.35
0.45

1.4096
0.46987

1.7696
0.58987
0.4118
0.3172
0.4802

Berdasarkan table 1. dapat diketahui bahwa rata-rata pertumbuhan bobot jangkrik


tertinggi terjadi pada P-1, yaitu dengan rata-rata bobot akhir sebesar 0.59 g, dan rata-rata
bobot akhir terendah yaitu pada P-IV sebesar 0.47 g.

Table 2.
Laju pertumbuhan bobot jangkrik.
Perlakuan

Laju pertumbuhan bobot (g/minggu)

P-1
P-II
P-III
P-IV

0.2282
0.1857
0.1474
0.1170

Pada perhitungan laju pertumbuhan bobot jangkrik, diketahui bahwa laju


pertumbuhan bobot jangkrik pada P-I sebesar 0.2282 gram/minggu, P-II 0.1857
gram/minggu, P-III = 0.1474 gram/minggu, P-IV = 0.1170 gram/minggu (table 2), Laju
pertumbuhan bobot jangkrik terbaik adalah pada P-I yaitu perlakuan alas daun pisang kering,
disusul perlakuan alas serbuk gergaji (P-II), alas pasir (P-III) dan terakhir alas kertas Koran
(P-IV). Hal ini bisa disebabkan karena alas daun pisang kering memiliki kondisi lingkungan
yang hampir mendekati habitat asli jangkrik, sehingga jangkrik tidak mengalami stress dan
dapat tumbuh secara optimal, karena jangkrik dapat makan dengan baik.
Alas daun pisang kering digunakan sebagai tempat tinggal jangkrik yang optimal.
Sebagaimana pendapat Green 1968, potongan jerami, tanah liat penyerap, dan daun kering
dapat digunakan sebagai bahan untuk alas kandang/sangkar. Potongan jerami juga dapat
digunakan sebagai sarang/tempat tinggal dan isolasi panas. Sedangkan untuk persentase laju
pertumbuhan bobot yang terendah terdapat pada perlakuan IV menggunakan alas kandang
kertas koran yaitu sebesar 0.1170 g. Hal ini karena kondisi suhu media kertas yang panas,
sehingga tidak cocok untuk kondisi lingkungan jangkrik. Menurut Sukarno, 1999 dalam
Hutabarat, 2008, suhu dan kelembaban udara yang sesuai akan mendukung kehidupan
jangkrik. Menurut Borror et. Al (1992) suhu yang cocok untuk kehidupan jangkrik berkisar
antara 26 - 33C.

BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasar hasil pengamatan dan pembahasan dapat disimpulkan :

1. Rata-rata pertumbuhan bobot jangkrik yang tertinggi dicapai pada perlakuan alas daun
pisang kering.
2. Alas daun pisang kering merupakan alas kandang yang sesuai dan hamper sama
dengan habitat asli jangkrik.
B. Saran
Untuk membudidayakan jangkrik perlu diadakan penelitian lanjutan diadakan
penelitian lanjutan untuk meneliti pengaruh penggantian alas kandang pada periode tertentu
terhadap pertumbuhan bobot jangkrik.

DAFTAR PUSTAKA
Borror, D.J., C.a. Triplehorn dan N.F. Johnson. 1992. Pengenalan Pelajaran serangga. Edisi
keenam. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Budi, H.Y. 1999. Rahasia Beternak Jangkrik. Semarang.
Green EL. 1968. Biology of the Laboratory Animal. Dover Publication Inc. New York.
Hasegawa Y & H Kubo. 1996. Jangkrik, Sari Misteri Alam. Terjemahan S. handoko. Jakarta :
PT. Blex Media Komputindo.

Jannah, Raudatul. 2000. Optimalisasi Manajemen Pemeliharaan Jangkrik Lokal (Gryllus


bimaculatus de greex) Selama Masa reproduksi. Jurusan Ilmu Produksi ternak
Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Lane-Petter W. 1976. The Laboratory Mouse di dalam Anpnymous The UFAW Handbook of
the care and Management of Laboratory Animal. Churcil Livingstone edinburg
London New York.
Mitruka BM, HM Rawnsley & DV Vadhera. 1976 animal for Medical Research, Models for
the Study of Human Desease. John Wiley and Sons Inc. Canada
Paimin, F.B., L.E. Pudjiastuti dan Erniwati. 1999. Sukses Beternak Jangkerik. Cetakan 1.
Penebar Swadaya. Jakarta.
Sridadi dan Rachmanto. 1999. Teknik Beternak jangkrik. Penerbit kanisius. Jakarta.
Sukarno, H. 1999. Budidaya jangkrik. Penerbit kanisius. Jakarta.
Suseno. 1999. Beternak jangkrik Untuk Mancing. Trubus. Bandung.

Lampiran
1. Perhitungan Laju Pertumbuhan Bobot Jangkrik
ln A t ln A 0
At = A0.ek.t, rumus ini diturunkan menjadi k =
t
At = bobot akhir rata-rata
A0 = bobot awal
t = lama pengamatan = 21 hari
Laju pertumbuhan bobot :
a) P-I
ln1 .7696ln 0.8922
k=
21
= 0.03261 gram/hari x7
= 0.2282 gram/minggu

b) P-II

k=

ln1.2092ln 0.6927
21

= 0.026529 gram/hari x7
= 0.1857 gram/minggu
c) P- III

k=

ln1.5575ln 1.0008
21

= 0.021061 gram/hari x7
= 0.1474 gram/minggu
d) P- IV

k=

ln1.4096ln 0.9922
21

= 0.016721 gram/hari x7
= 0.1170 gram/minggu

Anda mungkin juga menyukai