disekitarnya, termasuk juga mencakup Tasmania dan kepulauan selat Torres. Bentuk
fisik orang Aborigin mirip orang Papua, karena memang keturunan orang Papua yang
menjelajah ke benua Australia, sikitar 40.000 tahun lalu. dalam perkembangannya,
bentuk fisik mereka saat ini rata-rata lebih kecil dan lebih pendek dari orang Papua.
rambut mereka juga keriting, namun sebagian warnanya sudah kemerah-merahan
atau cokelat pucat, sedangkan warna kulit mereka gelap.
Diskiriminasi di Australia
Orang-orang asli Australia dikenali sebagai orang Aborigin. Mereka yang telah
tinggal di benua tersebut selama beratus-ratus tahun telah mengalami
penghapusan paling besar di dalam sejarah karena kedatangan orang-orang Kristen
dari Eropa di negara tersebut. Orang-orang Kristen ini melakukan pembantaian
terhadap orang Aborigin, selain karena berpedoman pada ayat-ayat Alkitab yang
memerintahkan untuk membunuh orang-orang non-Kristen atau yang menolak
masuk Kristen [Lukas 14:23, Lukas 19:27-28 dan Markus 16:15-16),
Juga karena mereka orang-orang Kristen pembunuh itu berpedoman pada Teori
Evolusi (Darwinisme), ciptaan seorang Kristen yang bernama Charles Darwin.
Pandangan ideologi Darwinisme tentang orang-orang Aborigin telah membentuk
teori
liar
yang
telah
menyiksa
mereka.
Bangsa pribumi Australia, Aborigin ini telah dilihat sebagai satu spesies manusia
yang tidak membangun oleh para pendukung teori evolusi dan telah dibunuh
beramai-ramai. Pada tahun 1890 Wakil Presiden Royal Society di Tasmania, James
Barnard, telah menulis: "proses pemusnahan ini adalah satu prinsip evolusi dan
'yang kuatlah, yang terus hidup' yang telah diterima umum". Oleh karena itu adalah
tidak perlu untuk beranggapan bahwa "telah berlaku kecualian yang buruk" di
dalam pembunuhan dan pencabulan terhadap orang-orang Aborigin Australia.
Hasil daripada pandangan rasialis, ganas, dan liar yang telah dipupuk oleh Darwin
ini, satu operasi pembunuhan beramai-ramai telah dijalankan untuk menghapuskan
orang-orang Aborigin. Kepala Aborigin telah dipaku di pintu-pintu stasiun oleh
orang-orang Kristen "tamu tak diundang" itu. Roti beracun telah diberikan kepada
keluarga-keluarga Aborigin. Di kebanyakan kawasan-kawasan Australia, kawasan
penempatan Aborigin telah dihapuskan dengan cara yang ganas dalam masa 50
tahun.
Kebijakan-kebijakan yang ditujukan kepada orang-orang Aborigin ini tidak hanya
terhenti dengan pembunuhan beramai-ramai. Banyak di antara mereka yang
dijadikan sebagai hewan-hewan eksperimen. Institut Smithsonia di Washington D.C.
telah menyimpan 15.000 jasad orang bangsa ini yang masih utuh. 10.000 orang
Abogin Australia telah dihantar dengan kapal laut ke Museum British dengan tujuan
untuk memastikan apakah mereka benar-benar adalah "mata rantai yang hilang"
(missing link) di dalam perubahan dari monyet kepada manusia, sesuai teori si
Kristen
Darwin.
Museum-museum ini tidak hanya berminat dengan tulang-tulang mereka, tetapi
dalam masa yang sama mereka juga menyimpan otak kepunyaan orang-orang
Aborigin ini dan menjualnya dengan harga yang tinggi. Terdapat juga bukti yang
menunjukkan
bahawa
orang-orang
Aborigin
ini
juga
dibunuh
untuk
digunakan sebagai spesimen. Fakta di bawah membuktikan keganasan ini:
Memoir sebelum mati dari Korah Wills, yang telah menjadi walikota Bowen,
Queensland pada 1866, telah menceritakan bagaimana dia telah membunuh dan
memenggal seorang penduduk asli pada tahun 1865 untuk mendapatkan spesimen
sains. Edward Ramsay, pegawai kurator Australian Museum di Sydney sejak 20
tahun dari tahun 1874, juga ikut terlibat. Beliau telah menerbitkan sebuah risalah
yang memasukkan Aborigin di bawah tajuk "hewan-hewan Australia". Ia juga
memberikan panduan tidak hanya bagaimana hendak merompak kubur, tetapi juga
bagaimana untuk mencabut peluru daripada daging "spesimen" yang telah
dibunuh.
Seorang pendukung teori evolusi dari Jerman, Amalie Dietrich (digelar juga 'Angel of
Black Death') telah datang ke Australia dan bertanya kepada pemilik-pemilik stasiun
tentang Aborigin untuk dibunuh demi mendapatkan spesimen, selalunya kulit
mereka dijadikan sebagai sarung pelapik dan rangka untuk majikan museumnya.
Walaupun, pernah dihalau sekurang-kurangnya sekali, tetapi dalam masa yang
singkat
beliau
telah
kembali
bersama
spesimennya.
Seorang missionaris di New South Wales adalah saksi atas penyembelihan oleh
polisi atas berlusin-lusin orang Aborigin, baik lelaki, perempuan dan anak-anak.
Empat puluh lima kepala telah dididihkan dan 10 tengkorak yang sempurna telah
dibungkus
untuk
dikirim
ke
luar
negeri.
Eksperimen ke atas orang-orang Aborigin ini terus berkelanjutan hingga abad ke-20.
Di antara metode yang digunakan di dalam eksperimen ini ialah pemisahan secara
paksa anak-anak Aborigin dari keluarga mereka. Cerita baru oleh Alan Thornhill,
yang telah muncul di dalam edisi 28 April 1997 Philadelphia Daily News, telah
menceritakan dengan panjang lebar tentang metode ini yang digunakan untuk
menentang
Aborigin,
seperti
berikut:
Bangsa Aborigin yang tinggal di padang pasir barat laut Australia, pernah
melumuri kulit anak-anak mereka yang cerah dengan arang, supaya kelompok
agen kerajaan tidak akan merampas mereka. "Kumpulan ini akan menangkap kamu
Diskriminasi terhadap penduduk asli yang jumlahnya sudah menyusut jauh tersebut
masih terus berlangsung sampai saat ini. Ironis memang, "si empunya rumah"
(penduduk asli) justru menjadi tamu di negerinya sendiri, dan kaum pendatang
yang
bengis-bengis
itu
justru
telah
menjadi
"si
tuan
rumah".
Di dalam buku beliau The Origin of Species Darwin melihat penduduk asli Australia
dan Negro sebagai makhluk-makhluk yang sama taraf dengan gorilla dan