Anda di halaman 1dari 4

Mengenal Syeikh Abdush Shamad al-Palimbani

Ahad, 15 Mac 2009 17:57

Dalam percaturan intelektualisme Islam Nusantara –atau biasa juga disebut dunia Melayu–
khususnya di era abad 18 M, peran dan kiprah Syeikh Abdush Shamad Al-Palimbani tak bisa
dianggap kecil. Syeikh Al-Palimbani, demikian biasa ia disebut banyak kalangan, merupakan
salah satu kunci pembuka dan pelopor perkembangan intelektualisme Nusantara.
Ketokohannya melengkapi nama-nama ulama dan intelektual berpengaruh seangkatannya
semisal Al-Raniri, Al-Banjari, Hamzah Fansuri, Yusuf Al-Maqassari, dan masih banyak lainnya.

Dalam deretan nama-nama tersebut itulah, posisi Syeikh Al-Palimbani menjadi amat sentral
berkaitan dengan dinamika Islam. Malah, sebagian sejarahwan, seperti Azyumardi Azra,
menilai Al-Palimbani sebagai sosok yang memiliki kontribusi penting bagi pertumbuhan Islam di
dunia Melayu. Ia bahkan juga bersaham besar bagi nama Islam di Nusantara berkaitan kiprah
dan kontribusi intelektualitasnya di dunia Arab, khususnya semasa ia menimba ilmu di Mekkah.
Riwayat hidup Abdush Shamad al-Palimbani sangat sedikit diketahui. la sendiri hampir tidak
pernah menceritakan tentang dirinya, selain tempat dan tanggal yang dia cantumkan setiap
selesai menulis sebuah kitab. Seperti yang pernah ditelusuri M. Chatib Quzwain dan juga
Hawash Abdullah, satu-satunya yang menginformasikan tentang dirinya hanya Al-Tarikh
Salasilah Negeri Kendah (di Malaysia) yang ditulis Hassan bin Tok Kerani Mohammad Arsyad
pada 1968.
Sumber ini menyebutkan, Abdush Shamad adalah putra Syekh Abdul Jalil bin Syekh Abdul
Wahhab bin Syekh Ahmad al-Mahdani (ada yang mengatakan al-Mahdali), seorang ulama
keturunan Arab (Yaman) yang diangkat menjadi Mufti negeri Kedah pada awal abad ke-18.
Sementara ibunya, Radin Ranti adalah seorang wanita Palembang. Syekh Abdul Jalil adalah
ulama besar sufi yang menjadi guru agama di Palembang, tidak dijelaskan latar belakang
kedatangannya ke Palembang. Diperkirakan hanya bagian dari pengembaraannya dalam
upaya menyiarkan Islam sebagaimana banyak dilakukan oleh warga Arab lainnya pada waktu
itu.
Tetapi selain sumber tersebut, Azyu-mardi Azra juga mendapatkan informasi mengenai dirinya
dalam kamus-kamus biografi Arab yang menunjukkan bahwa Al-Palimbani mempunyai karir
terhormat di Timur Tengah.
Menurut Azra, informasi ini merupakan temuan penting sebab tidak pernah ada sebelumnya
riwayat-riwayat mengenai ulama Melayu-lndonesia ditulis dalam kamus biografi Arab. Dalam
literatur Arab, Al-Palimbani dikenal dengan nama Sayyid Abdush Shamad bin Abdur Rahman
al-Jawi. Tokoh ini, menurut Azra, bisa dipercaya adalah Al-Palimbani karena gambaran karirnya
hampir seluruhnya merupakan gambaran karir Abdush Shamad al-Palimbani yang diberitakan
sumber-sumber lain.
Sejauh yang tercatat dalam sejarah, memang ada tiga versi nama yang dikaitkan dengan nama
lengkap Al-Palimbani. Yang pertama, seperti dilansir Ensiklopedia Islam, ia bernama lengkap
Abdus Shamad Al-Jawi Al-Palimbani. Versi kedua, merujuk pada sumber-sumber Melayu,
sebagaimana dikutip Azyumardi Azra dalam bukunya Jaringan Ulama Timur Tengah dan
Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII (Mizan: 1994), ulama besar ini memiliki nama asli
Abdus Shamad bin Abdullah Al-Jawi Al-Palimbani. Sementara versi terakhir, tulis Rektor UIN
Jakarta itu, bahwa bila merujuk pada sumber-sumber Arab, maka Syeikh Al-Palimbani bernama
lengkap Sayyid Abdus Al-Shamad bin Abdurrahman Al-Jawi.
Dalam pengembaraan putra mahkota Kedah, Tengku Muhammad Jiwa ke Palembang, ia
bertemu dengan Syekh Abdul Jalil dan berguru padanya, bahkan mengikutinya mengembara ke
berbagai negeri sampai ke India. Dalam sebuah perjalanan mereka, Tengku Muhammad Jiwa

1/4
Mengenal Syeikh Abdush Shamad al-Palimbani
Ahad, 15 Mac 2009 17:57

mendapat kabar bahwa Sultan Kedah telah mangkat.


Tengku Muhammad Jiwa lalu mengajak gurunya itu (Syekh Abdul Jalil) pulang bersamanya ke
negeri Kedah. Ia dinobatkan menjadi sultan pada tahun 1112 H/1700 M dan Syekh Abdul Jalil
diangkat menjadi mufti Kedah dan dinikahkan dengan Wan Zainab, putri Dato’ Sri Maharaja
Dewa, Sultan Kedah.
Tiga tahun kemudian Syekh Abdul Jalill kembali ke Palembang karena permintaan beberapa
muridnya yang rindu padanya. Di Palembang ia menikah dengan Radin Ranti dan memperoleh
putra, Abdush Shamad. Dengan demikian kemungkinan Abdush Shamad lahir tahun 1116
H/1704 M.
Sumber yang menyebutkan silsilahnya sebagai keturunan Arab tidak pernah dikonfirmasikan
oleh Al-Palimbani sendiri. Jika keterangan sumber tersebut benar, tentu Al-Palimbani akan
mencantumkan nama besar al-Mahdani pada akhir namanya. Ini dapat dilihat dari setiap
tulisannya, ia menyebut dirinya Syekh Abdush Shamad al-Jawi al-Palimbani. Kemungkinan
dalam dirinya memang mengalir darah Arab tetapi silsilah itu tidak begitu jelas atau ada mata
rantai yang tidak bersambung menurut garis keturunan bapak sehingga dia tidak merasa
berhak menyebut dirinya keturunan al-Mahdani dari Yaman. Dan barangkali dia lebih merasa
sebagai orang Indonesia sehingga mencantumkan ‘al-Jawi‘ dan ‘al-Palimbani‘ di ujung
namanya.
Al-Palimbani mengawali pendidikannya di Kedah dan Pattani (Thailand Selatan). Tidak ada
penjelasan kapan dia berangkat ke Makkah melanjutkan pendidikannya. Kemungkinan besar
setelah ia menginjak dewasa dan mendapat pendidikan agama yang cukup di negeri Melayu
itu. Dan agaknya sebelum ke Makkah dia telah mempelajari kitab-kitab para sufi (tasawuf)
Aceh, karena di dalam Sayr al-Salikin dia menyebutkan nama Syamsuddin al-Samatrani dan
Abdul Rauf al-Jawi al-Fansuri (Abdul Rauf Singkel). Namun sumber lain mengatakan bahwa ia
pernah bertemu dan berguru pada Syamsuddin al-Samatrani dan Abdul Rauf Singkel di
Makkah.
Di Makkah dan Madinah, Al-Palimbani banyak mempelajari berbagai disiplin ilmu kepada
ulama-ulama besar masa itu serta para ulama yang berkunjung ke sana. Walaupun
pendidikannya sangat tuntas mengingat ragam ulama tempatnya belajar, Al-Palimbani
mempunyai kecenderungan pada tasawuf. Karena itu, di samping belajar tasawuf di
Masjidil-Haram, ia juga mencari guru lain dan membaca kitab-kitab tasawuf yang tidak diajarkan
di sana. Dari Syekh Abdur Rahman bin Abdul ‘Aziz al-Magribi dia belajar kitab Al-Tuhfatul
Mursalah (Anugerah yang Diberikan) karangan Muhammad Fadlullah al-Burhanpuri (w. 1030
H/1620 M). Dari Syekh Muhammad bin Abdul Karim al-Samman al-Madani (w. 1190 H/1776 M)
ia belajar kitab tauhid (suluk) Syekh Mustafa al-Bakri (w. 1162 H/1749 M). Dan bersama
Muhammad Arsyad al-Banjari, Abdul Wahab Bugis dan Abdul-Rahman Masri Al-Batawi dari
Jakarta, mereka membentuk empat serangkai yang sama-sama menuntut ilmu di Makkah dan
belajar tarekat di Madinah kepada Syekh Muhammad al-Samman (w. 1162 H/1749 M), juga
bersama-sama dengan Dawud Al-Fatani dari Patani, Thailand Selatan.
Selama belajar pada Syekh Muhammad al-Samman, Al-Palimbani dipercaya mengajar
rnurid-murid Al-Sammani yang asli orang Arab. Karena itu sepanjarig menyangkut
kepatuhannya pada tarekat, Al-Palimbani banyak dipengaruhi Al-Sammani dan dari dialah
Al-Palimbani mengambil tarekat Khalwatiyyah dan Sammaniyyah. Sebaliknya, melalui
Al-Palimbani- lah tarekat Sammaniyyah mendapat lahan subur dan berkembang tidak hanya di
Palembang tetapi juga di bagian lain wilayah Nusantara bahkan di Thailand, Malaysia,
Singapura dan Filipina. Beberapa orang guru yang masyhur dan berandil besar dalam proses

2/4
Mengenal Syeikh Abdush Shamad al-Palimbani
Ahad, 15 Mac 2009 17:57

peningkatan intelektualitas dan spiritualitasnya antara lain Muhammad bin Abdul Karim
Al-Sammani, Muhammad bin Sulayman Al-Kurdi, dan Abdul Al-Mun’im Al-Damanhuri. Juga
tercatat ulama besar Ibrahim Al-Rais, Muhammad Murad, Muhammad Al-Jawhari, dan
Athaullah Al-Mashri.
Al-Palimbani rnemantapkan karirnya di Haramayn (Mekkah dan Madinah) dan mencurahkan
waktunya untuk menulis dan mengajar. Meski demikian dia tetap menaruh perhatian yang
besar terhadap Islam dan kaum Muslimun di negeri asalnya. Di Haramayn ia terlibat dalam
‘komunitas Jawi’ yang membuatnya tetap tanggap terhadap perkembangan sosio-religius dan
politik di Nusantara. Peran pentingnya tidak hanya karena keterlibatannya dalam jaringan
ulama, melainkan lebih penting lagi karena tulisan-tulisannya yang tidak hanya menyebarkan
ajaran-ajaran sufisme tetapi juga menghimbau kaum Muslimun melancarkan jihad melawan
kolonialis Eropa, dibaca secara luas di wilayah Melayu-lndonesia. Peranan dan perhatian
tersebut memantapkannya sebagai ulama asal Palembang yang paling menonjol dan paling
berpengaruh melalui karya-karyanya.
Al-Palimbani berperan aktif dalam memecahkan dua persoalan pokok yang saat itu dihadapi
bangsa dan tanah airnya, baik di kesultanan Palembang maupun di kepulauan Nusantara pada
umumnya, yaitu menyangkut dakwah Islamiyah dan kolonialisme Barat. Mengenai dakwah
Islam, ia menulis selain dua kitab tersebut di atas, yang menggabungkan mistisisme dengan
syariat, ia juga menulis Tuhfah al-Ragibtn ft Sayan Haqfqah Iman al-Mukmin wa Ma Yafsiduhu
fi Riddah al-Murtadin (1188). Di mana ia memperingatkan pembaca agar tidak tersesat oleh
berbagai paham yang menyimpang dari Islam seperti ajaran tasawuf yang mengabaikan
syariat, tradisi menyanggar (memberi sesajen) dan paham wujudiyah muthid yang sedang
marak pada waktu itu. Drewes rnenyimpulkan bahwa kitab ini ditulis atas permintaan sultan
Palembang, Najmuddin, atau putranya Bahauddin karena di awal kitab itu ia memang
menyebutkan bahwa ia diminta seorang pembesar pada waktu itu untuk menulis kitab tersebut.
Mengenai kolonialisme Barat, Al-Palimbani menulis kitab Nasihah al-Muslimin wa tazkirah
al-Mu’min fi Fadail Jihad ti Sabilillah, dalam bahasa Arab, untuk menggugah semangat jihad
umat Islam sedunia. Tulisannya ini sangat berpengaruh pada perjuangan kaum Muslimun
dalam melawan penjajahan Belanda, baik di Palembang maupun di daerah-daerah lainnya.
Hikayat Perang Sabil-nya Tengku Cik di Tiro dikabarkan juga mengutip kitab tersebut.
Masalah jihad fi sabililiah sangat banyak dibicarakan Al-Palimbani. Pada tahun 1772 M, ia
mengirim dua pucuk surat kepada Sultan Mataram (Hamengkubuwono I) dan Pangeran
Singasari Susuhunan Prabu Jaka yang secara halus menganjurkan pemimpin-pemimpin negeri
Islam itu meneruskan perjuangan para Sultan Mataram melawan Belanda.
Mengenai tahun wafatnya juga tidak diketahui dengan pasti. Al-Tarikh Salasilah Negeri Kendah
menyebutkan tahun 1244 H/1828 M. Namun kebanyakan peneliti lebih cenderung menduga ia
wafat tidak berapa lama setelah meyelesaikan Sayr al-Salikin (1203 H/1788 M). Argumen
mereka, Sayr al-Salikin adalah karya terakhirnya dan jika dia masih hidup sampai 1788 M
kemungkinan dia masih tetap aktif menulis. Al-Baythar - seperti dikutip Azyumardi Azra -
menyebutkan ia wafat setelah tahun 1200/1785. Namun Azyumardi Azra sendiri juga lebih
cenderung mengatakan ia wafat setelah menyelesaikan Sayr al-Salikin, tahun 1788 M.
Karya Tulis Al-Palimbani
Tercatat delapan karya tulis Al-Palimbani, dua diantaranya telah dicetak ulang beberapa kali,
dua hanya tinggal nama dan naskah selebihnya masih bisa ditemukan di beberapa
perpustakaan, baik di Indonesia maupun di Eropa. Pada umumnya karya tersebut meliputi
bidang tauhid, tasawuf dan anjuran untuk berjihad. Karya-karya Al-Palirnbani selain empat buah

3/4
Mengenal Syeikh Abdush Shamad al-Palimbani
Ahad, 15 Mac 2009 17:57

yang telah disebutkan di atas adalah:


Zuhrah al-Murid fi Bayan Kalimah al-Tauhid, ditulis pada 1178 H/1764 M di Makkah dalam
bahasa Melayu, memuat masalah tauhid yang ditulisnya atas perrnintaan pelajar Indonesia
yang belurn menguasai bahasa Arab.
Al-’Uwah al-Wusqa wa Silsilah Ulil-Ittiqa’, ditulis dalam bahasa Arab, berisikan wirid-wirid yang
perlu dibaca pada waktu-waktu tertentu.
Ratib ‘Abdal-Samad, semacam buku saku yang berisi zikir, puji-pujian dan doa yang dilakukan
setelah shalat Isya. Pada dasarnya isi kitab ini hampir sama dengan yang terdapat pada Ratib
Samman.
Zad al-Muttaqin fi Tauhid Rabb al-’Alamin, berisi ringkasan ajaran tauhid yang disampaikan
oleh Syekh Muhammad al-Samman di Madinah.
Mengenai Hidayah al-Salikin yang ditulisnya dalam bahasa Melayu pada 1192 H/1778 M,
sering disebut sebagai terjemahan dari Bidayah al-Hidayah karya Al-Ghazali. Tetapi di samping
menerjemahkannya, Al-Palimbani juga membahas berbagai masalah yang dianggapnya
penting di dalam buku itu dengan mengutip pendapat Al-Ghazali dari kitab-kitab lain dan para
sufi yang lainnya. Di sini ia menyajikan suatu sistem ajaran tasawuf yang memusatkan
perhatian pada cara pencapaian ma’rifah kesufian melalui pembersihan batin dan penghayatan
ibadah menurut syariat Islam.
Sedangkan Sayr al-Salikin yang terdiri dari empat bagian, juga berbahasa Melayu, ditulisnya di
dua kota, yaitu Makkah dan Ta’if, 1779 hingga 1788. Kitab ini selain berisi terjemahan Lubab
Ihya’ Ulum al-Din karya Al-Ghazali, juga memuat beberapa masalah lain yang diambilnya dari
kitab-kitab lain. Semua karya tulisnya tersebut masih dijumpai di Perpustakaan Nasional
Jakarta.***
Wallahua’lam sumber : http://infokito. wordpress. com/2007/ 10/02/mengenal- syeikh-abdush-
shamad-al- palimbani/ 

4/4

Anda mungkin juga menyukai