Anda di halaman 1dari 7

USAHA KONSERVASI TANAH DAN AIR SEBAGAI ALTERNATIF PENINGKATAN

PENDAPATAN PETANI DI LAHAN KERING


(Kasus Konservasi Tanah dan Air di Desa Rejosari, Kecamatan Semin,
Kabupaten Gunungkidul, Propinsi DIY)
Yovita Anggita Dewi dan Rachmat Hendayana
Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian.
Jl Tentara Pelajar No 10 Bogor

ABSTRAK
Konservasi tanah dan air merupakan upaya meningkatkan fungsi lahan untuk berproduksi secara lestari.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui usaha konservasi tanah dan air sebagai alternatif upaya peningkatan
pendapatan petani di agroekosistem lahan kering. Penelitian telah dilakukan di Desa Rejosari, Kecamatan Semin,
Kabupaten Gunungkidul, DIY tahun 2002. Pengumpulan data dilakukan melalui pendekatan pemahaman pedesaan secara
partisipatif (Participatory Rural Appraisal-PRA) melibatkan beberapa tokoh masyarakat antara lain kepala desa dan
perangkatnya, penyuluh pertanian serta kelompok tani dan 15 orang anggota masyarakat lainnya. Melalui analisis data
deskriptif kualitatif dan kuantitatif diperoleh gambaran sebagai berikut: (a) usaha konservasi tanah dan air di lahan kering
dapat menurunkan besarnya erosi, merehabilitasi dan meningkatkan fungsi lahan sehingga mampu berproduksi secara
lestari. Oleh karena itu dapat dijadikan media untuk meningkatkan pendapatan petani, (b) metode konservasi tanah dan
air dapat dilakukan secara vegetatif dan mekanis melalui pembuatan hutan rakyat, kebun bibit desa, Unit Percontohan
Usaha Pelestarian Sumber Daya Alam (UP UPSA), pembuatan teras, saluran pembuangan air (SPA), dan gully plug
(pengendali jurang), (c) untuk keberlanjutan pelaksanaan dan keberhasilan konservasi perlu adanya peningkatan
partisipasi masyarakat melalui penyuluhan yang lebih intensif.
Kata kunci : Tanah, air, konservasi, pendapatan, lahan kering, Gunungkidul

PENDAHULUAN
Kegiatan konservasi di lahan kering merupakan langkah konstruktif, dapat meningkatkan
fungsi lahan untuk berproduksi secara lestari, sehingga potensinya dapat dioptimalkan sebagai
sumber pendapatan keluarga tani di pedesaan. Menurut Notohadiprawiro (1988), lahan kering
marginal yang berstatus kritis dicirikan oleh solum tanah yang dangkal, kemiringan lereng curam,
tingkat erosi telah lanjut, kandungan bahan organik sangat rendah, serta banyak singkapan batuan
di permukaan.
Kondisi demikian umumnya terdapat di wilayah desa tertinggal dan sebagian besar
dikelola oleh petani miskin yang tidak mampu melaksanakan upaya-upaya konservasi, sehingga
kondisinya makin lama makin memburuk (Karama dan Abdurrachman, 1995). Kondisi tersebut
lebih diperparah lagi oleh pola usahatani yang orientasinya subsisten, sehingga mempercepat
terbentuknya lahan kritis (Suyana, 2005).
Dalam hubungannya dengan erosi yang menyebabkan degradasi lahan serta langkahlangkah penanganannya di lahan marginal telah banyak dibahas pakar antara lain Scwab et.al
(1981), Arsyad (1989), Agus dan Widianto (2004). Pada prinsipnya, kejadian erosi erat kaitannya
dengan erosivitas hujan, erodibilitas tanah serta panjang dan kemiringan lereng. Sementara itu
pendekatan yang ditempuh untuk pengendalian erosi dilakukan melalui beragam cara.
Scwab et.al (1981) menekankan pendekatan dari segi rekayasa (engineering), sementara
itu Arsyad (1989) melakukannya melalui pendekatan vegetatif, mekanik dan kimia sedangkan
Agus dan Widianto (2004) dengan pendekatan teknis dan vegetatif. Tulisan ini tidak bermaksud
membahas satu persatu pendekatan pengendalian erosi dalam rangka konservasi tanah dan air,
akan tetapi lebih difokuskan pada beberapa pertanyaan berikut. (a) metode konservasi apa yang
sesuai dengan agroekosistem lahan kering? dan (b) sejauhmana petani memahami kegiatan
konservasi tanah dan air ini hubungannya dengan peningkatan pendapatan petani?.
Sehubungan dengan permasalahan itu, makalah bertujuan (a) membahas pendekatan
metode konservasi tanah dan air yang dilakukan petani di lahan kering, dan (b) mengungkap

dampak potensial kegiatan konservasi tanah dan air terhadap peningkatan pendapatan petani di
lahan kering. Hasil bahasan akan bermanfaat sebagai masukan bagi pejabat Pemda setempat dan
aparat terkait dengan kebijakan konservasi untuk mendorong terciptanya peningkatan optimalisasi
lahan kering yang akhirnya meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
METODE PENELITIAN
Data dan Sumber Data
Pengkajian dikembangkan dari hasil penelitian di Desa Rejosari Kecamatan Semin
Kabupaten Gunungkidul Propinsi DIY Tahun 2002. Penentuan lokasi didasarkan pada
pertimbangan praktek-praktek usaha konservasi tanah dan air serta merupakan areal percontohan
usaha konservasi oleh Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah/Balai RLKT Das Opak
Oya ).
Sumber bahasan utama didasarkan atas data primer yang dilengkapi data sekunder.
Pengumpulan data primer dilakukan melalui pendekatan pemahaman pedesaan secara partisipatif
(Participatory Rural Appraisal-PRA) melibatkan beberapa tokoh masyarakat antara lain kepala
desa dan perangkatnya, penyuluh pertanian serta kelompok tani dan 15 orang anggota masyarakat
lainnya. Selain itu melalui observasi langsung di lapangan untuk melihat usaha-usaha konservasi
yang telah dilakukan. Data yang dikumpulkan antara lain monograf desa, peta penggunaan lahan,
data curah hujan, data kelerengan. Data sekunder dikumpulkan dari dinas/instansi terkait melalui
penelusuran dokumen laporan, studi pustaka dan desk work.
Analisis Data
Data kualitatif dan kuantitatif yang terkumpul dianalisis secara deskriptif, menggunakan
parameter statistik sederhana. Khusus untuk menghitung besarnya erosi sebagai salah satu dasar
menentukan usaha konservasi dilakukan dengan pendekatan Universal Soil Loss Equation (USLE)
dengan formulasi sebagai berikut.
A = R x LS x K x C x P
A adalah besarnya erosi yang terjadi (ton/ha/thn), R adalah erosivitas curah hujan, LS
adalah indeks panjang lereng, K sama dengan erodibilitas tanah, C adalah faktor pengelolaan
tanaman, dan P yaitu faktor konservasi tanah
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kegiatan Konservasi Tanah dan Air
Desa Rejosari yang menjadi lokasi penelitian ini terletak di Kecamatan Semin Kabupaten
Gunungkidul Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Daerah ini tercakup dalam daerah sub DAS
Oya. Wilayahnya tercatat seluas 951,52 Ha yang secara administratif terbagi dalam 15 dusun.
Letak desa ini disebelah Utara dan Selatan berbatasan dengan Desa Candirejo dan Karangsari
sedangkan di sebelah Barat dan Timur berbatasan dengan Desa Bulurejo dan Mayaran Wonogiri
(Anonim, 1999).
Desa ini berada di dataran rendah pada elevasi 240 mdpl dengan rerata suhu udara 22
33 C. Topografinya bergelombang dengan kisaran kemiringan antara 15% dan 25%. Dari segi
curah hujan daerah ini tergolong kering (1950 mm/thn). Jenis tanahnya sebagian besar terdiri dari
Litosol dan seluruhnya merupakan lahan kering. Kondisi tanah di wilayah ini sebagian besar
digunakan sebagai hutan, diikuti ladang dan pekarangan serta sawah tadah hujan, dengan luas
masing-masing 331,70 ha, 210,02 ha dan 205,75 ha serta 196,25 ha.
Kegiatan konservasi tanah dan air (KTA) di lokasi penelitian, dilakukan mengikuti alur
seperti disajikan dalam Gambar 1.

Gambar 1 : Alur Pemilihan Teknik Pengendalian Erosi.

Hasil prediksi besarnya erosi dengan menggunakan pendekatan USLE pada 14 unit
pengambilan contoh (Land Unit) diperoleh gambaran bahwa tingkat erosi di wilayah ini berkisar
antara 2,1 ton/ha/thn sampai 84,50 ton/ha/thn dengan rata-rata 26,27 ton/ha/thn/unit. Dengan
variasi besar erosi tersebut klasifikasi tingkat bahaya erosi di wilayah ini tergolong dalam
klasifikasi erosi sangat ringan (SR = < 5 ton/ha/thn), berat (B = 5-15 ton/ha/thn), dan sangat berat
(SB = 40-105 ton/ha/thn). Menurut klasifikasi tingkat bahaya erosi masing-masing klasifikasi erosi
tersebut digolongkan ke dalam erosi kelas II, kelas III, dan kelas IV. Secara terinci kondisi erosi di
wilayah ini disajikan dalam Tabel 1.
Tabel 1. Kondisi Erosi Aktual dan Tingkat Bahaya Erosi (TBE) di Daerah Penelitian
No Land Unit (LU)

EA-1 (ton/ha/thn)

A
B
C
D
E
G
H
I
J
K
L
M
N
O
Rerata

65,30
32,60
29,80
14,90
3,60
84,50
29,76
14,90
14,30
7,10
40,60
20,30
8,00
2,10
26,27

Klasifikasi TBE 1
IV-SB
IV-SB
IV-SB
III-B
II-SR
IV-SB
IV-SB
III-B
IV-SB
III-SB
IV-SB
IV-SB
III-B
II-SR

Sumber : Hasil Analisis Data (2002)

Melihat besarnya erosi yang terjadi di wilayah itu, akan berpengaruh negatif terhadap
produktivitas dan prduksi pertanian. Besarnya erosi berbanding terbalik dengan perolehan
produksi. Semakin besar tingkat bahaya erosi, maka semakin rendah produksi pertanian yang
diperoleh yang pada akhirnya berpengaruh negatif terhadap pendapatan petani.

Ada 2 metode konservasi yang diterapkan di wilayah tersebut yaitu metode vegetatif dan
metode mekanik. Metode vegetatif yang dilakukan meliputi pembuatan hutan rakyat, pembuatan
Kebun Bibit Desa (KBD), dan pembuatan Unit Percontohan Usaha Pelestarian Sumber Daya Alam
(UP-UPSA). Sementara itu dalam metode mekanik yang dilakukan adalah pembuatan teras
bangku, pembuatan saluran pembuatan air (SPA), dan pembangunan pegendali jurang (gully-plug).
Uraian berikut menyajikan secara ringkas implementasi dari setiap metode tersebut.
Pembuatan Hutan Rakyat
Hutan rakyat adalah hutan yang dimiliki oleh rakyat (bukan hutan alam) baik secara
perorangan atau kelompok maupun suatu badan hukum dan berada di luar wilayah hutan negara
serta terletak dalam satu kompleks atau lokasi (Duryat, 1979).
Melalui pembuatan hutan rakyat ini dimungkinkan untuk menerapkan diversifikasi pola
penanaman dan cara pengolahannya, sehingga tidak bersifat kaku atau terbatas pada jenis tanaman
dan pepohonan berkayu sebagaimana layaknya pembentukan tanaman hutan. Di hutan rakyat bisa
dikembangkan pengaturan dan pemilihan jenis tanaman yang cocok untuk usaha konservasi,
sehingga akan dapat mendorong peningkatan pendapatan dan taraf hidup masyarakat di daerah
tersebut. Bibit untuk pembuatan hutan rakyat tidak hanya berasal dari pemerintah namun juga
melalui swadaya masyarakat. Jenis tanaman yang diusahakan terdiri dari sengon laut, jambu mete,
sonokeling, dan akasia.
Pembuatan Kebun Bibit Desa (KBD)
Kebun Bibit Desa (KBD) merupakan salah satu cara memperoleh bibit berkualitas sebagai
upaya meningkatkan produktivitas dan sebagai salah satu cara penghijauan dan reboisasi. KBD
pada dasarnya merupakan kebun pembibitan yang dikelola oleh kelompok tani dalam areal dampak
unit percontohan pelestarian sumber daya alam.
KBD di Desa Rejosari dimulai sekitar 2000-an dengan luas areal 0,5 ha yang dikelola
kelompok tani penghijauan Sido Mulyo Dusun Ngadipiro Kidul. Pada awal pembuatan KBD
kegiatan dimulai dari persiapan (bulan Juni). Total biaya yang dikeluarkan adalah Rp
2.048.000,-.Tahap selanjutnya adalah pelaksanaan, dengan pengadaan bibit pada bulan Agustus
sampai September berupa bibit jati unggul (50 kg), jati lokal (120 kg), Akasia (1 kg), sengon laut (1
kg), petai (10.000 biji) dan nangka (5.000 biji). Bibit semuanya berasal dari Departemen
Kehutanan Provinsi DIY. Kegiatan selanjutnya pengadaan alat-alat semuanya merupakan bantuan
dari pemerintah. Pelaksanaan ini juga dibarengi kegiatan pengolahan tanah (bulan AgustusSeptember), pembuatan bedengan dan saluran (bulan Juli-Aguatus), pengisian polybag dan
penaburan benih (bulan Agustus-September). Total biaya yang diperlukan adalah Rp 8.306.250,-.
Tahap yang paling penting dari KBD ini adalah pemeliharaan. Fase pemeliharaan untuk
bibit yang berbeda akan berbeda pula. Sebagai contoh untuk sengon laut, akasia, pete dan nangka
ditanam pada bulan Agustus dalam polybag kemudian disiram selama 3 bulan (Agustus-Oktober)
kemudian didangir dan disulam, diikuti pemupukan dan pemberantasan hama dari OktoberNovember. Sehingga untuk jangka waktu 4 bulan bibit-bibit ini sudah siap disalurkan dan
ditanam. Sedangkan untuk bibit jati baik unggul maupun lokal sedikit berbeda. Bibit jati tidak
ditanam dalam polybag, namun langsung ditabur dalam tanah, sebelumnya tanah dicangkul dan
diratakan kemidian dibuat bedengan dengan ukuran lebar 1 m dan panjang bervariatif dengan jarak
tanam 10 cm x 20 cm. Perlakuan sesudah ditanam sama seperti lainnya penyiraman, pendangiran,
pemberantasan hama, serta penyulaman ( 4 bulan), dan sesudahnya siap disalurkan. Biaya yang
diperlukan untuk pemeliharaan Rp 900.000,-.
Pembuatan Unit Percontohan Usaha Pelestarian Sumber Daya Alam (UP-UPSA)
Merupakan unit (petak percontohan) usahatani lahan kering dengan luas sekitar 10 ha di
dalamnya dilaksanakan teknik-teknik rehabilitasi dan konservasi lahan dalam rangka pelestarian
sumber daya alam, serta meningkatkan produktivitas lahan dan pendapatan petani. Tujuan
pembuatan UP UPSA adalah:

Merangsang masyarakat sekitar areal dan meingkatkan jumlah petani agar dapat mengusahakan
tanah disertai usaha pengawetan serta intensifikasi pertanian yang memadai secara mandiri
Meningkatkan produktivitas lahan dan pendapatan petani

Mengurangi run-off dan erosi

Pada UP-UPSA terdapat praktek cara berusahatani dengan menerapkan usaha konservasi
tanah dan air penanaman menurut kontur, pemilihan pola tanam yang tepat dan juga adanya
intensifikasi pertanian berupa penggunaan varietas unggul yang spesifik lokalita. Output yang
paling diharapkan dari kegiatan ini adalah adanya transfer teknologi dari lokasi percontohan ke
areal dampak di sekitarnya. Transfer teknologi tersebut diharapkan berjalan dengan sendirinya
sebagai akibat proses interaksi dan mobilisasi petani sendiri yang tentu sangat bergantung dari
kesadaran dan kemampuan petani serta tingkat teknologi yang diteerapkan. Dalam pelaksanaannya,
plot demonstrasi dengan pola tanam secara terpadu di lahan kering harus disesuaikan dengan
kondisi lahan seperti topografi dan tebal solum tanah, misalnya lahan dengan kemiringan > 50%
untuk vegetasi kayu-kayuan yang bernilai ekonomis tinggi dan disenangi petani seperti jambu
mete, jati, sengon laut dan akasia. Kemiringan 30-50% untuk tanaman kayu-kayuan 80% sisanya
20% untuk tanaman pangan atau pembuatan teras.
Melihat agroekosistem desa Rejosari dengan tingkat kemiringan lereng antara 15%-40%
dan tebal solum tanah < 30 cm, UP UPSA merupakan salah satu alternatif usaha konservasi yang
mempunyai peluang cukup baik. Pada kenyataannya, peaksanaan UP UPSA di Desa Rejosari
belum berjalan secara baik karena kendala dana, kurangnya sosialisasi manfaat UP UPSA, dan
kurangnya komunikasi antara pemerintah dan masyarakat.
Pembuatan Teras Bangku
Teras berfungsi mengurangi panjang lereng, mengurangi kecepatan dan jumlah aliran
permukaan serta memungkinkan adanya penyerapan air oleh tanah yang lebih besar. Bentuk teras
yang dibuat disesuaikan dengan kemiringan lahan, jenis tanah, vegetasi, kondisi penggunaan lahan.
Dengan kemiringan lahan 15%-40% teras bangku merupakan jenis teras yang paling sesuai
diterapkan. Teras bangku yang ada adalah jenis teras bangku datar, dengan tanaman penguat berupa
ubi kayu, selain berfungsi sebagai tanaman penguat teras juga dapat dimanfaatkan sebagai pakan
ternak. Teras bangku (Land Unit G) di desa Rejosari terbukti mampu mengurangi laju erosi dari
sebelumnya sebesar 29,40 ton/ha/thn menjadi 7,90 ton/ha/thn (menurunkan faktor pengelolaan/CP
dari 0,03 menjadi 0,008). Yang perlu diperhatikan dalam pembuatan teras bangku adalah,
tersingkapnya tanah sehingga menjadi tidak subur, untuk itu perlu adanya perbaikan lahan misalnya
dengan pemupukan atau penanaman tanaman penguat teras yang mampu menyediakan unsur hara
tambahan seperti kacang-kacangan (leguminose) yang mampu menyumbangkan unsur N, kemudian
rumput gamal (Gliricida), lamtoro dan turi, yang juga dapat dimanfaatkan untuk pakan ternak.
Pembuatan teras bangku juga memerlukan tenaga kerja dan biaya yang lebih mahal dibandingkan
metode konservasi vegetatif, sehingga pembuatan teras juga harus memperhatikan kemampuan
finansial dan ketersediaan masyarakat lokal. Selain itu teras perlu dilengkapi dengan bangunan
pelengkap seperti saluran teras, bangunan terjun sehingga teras berfungsi maksimal dalam
mengurangi laju aliran permukaan dan erosi akibat energi kinetik curah hujan.
Pembuatan Saluran Pembuangan Air (SPA)
SPA dibuat searah lereng berfungsi untuk mengalirkan air dari saluran pengelak atau dari
saluran teras ke sungai atau ke tempat penampungan air lainnya. SPA yang baik sebaiknya
diperkuat dengan rumput atau batu pada dasar saluran untuk mengurangi laju aliran air dan
sedimentasi. SPA yang ada di Desa Rejosari sudah diperkuat dengan rumput meskipun pada
beberapa teras belum dilengkapi SPA.
Bangunan Pengendali Jurang (Gully Plug)
Metode konservasi mekanis dengan gully plug bertujuan untuk mengurangi terjadinya
erosi jurang akibat pengaruh kecuraman lereng dan kepekaan tanah. Gully plug sebaiknya

dilengkapi bronjong atau bangunan beton untuk mengurangi jumlah erosi dan seimentasi yang
terangkut oleh air. Gully plug di Desa Rejosari masih sangat sederhana, terbuat dari tanah dan
belum dilengkapi dengan bronjong kawat atau bangunan beton hanya diperkuat dengan rumput.
Dampak Potensial Kegiatan Konservasi Terhadap Pendapatan Petani
Dari aspek teknis, konservasi yang dilakukan di daerah penelitian telah berhasil
menurunkan kadar erosi dan tingkat bahaya erosi. Tabel 2 menunjukkan bahwa hampir semua
perlakuan erosi di 14 unit pengambilan contoh kecuali di 2 unit pengambilan contoh telah mampu
menurunkan tingkat erosi antara 3,75% sampai 86,68% dengan rata-rata 75,20%.
Tabel 2. Kondisi Erosi dan Tingkat Bahaya Erosi (TBE) Setelah Penerapan Usaha Konservasi di Lokasi Penelitian
No Land Unit
(LU)

Erosi sebelum
konservasi
(ton/ha/thn)

A
B
C
D
E
G
H
I
J
K
L
M
N
O
Rerata

65,30
32,60
29,80
14,90
3,60
84,50
29,76
14,90
14,30
7,10
40,60
20,30
8,00
2,10
26,27

Erosi setelah
konservasi
(ton/ha/thn)
8,70
8,70
7,90
4,00
1,80
11,30
7,90
4,00
3,80
7,10
10,80
5,40
7,70
2,10
6,51

Selisih
56,6
23,9
21,9
10,9
1,8
73,2
21,86
10,9
10,5
0
29,8
14,9
0,3
0
19,75

Persentase (%)
86,68
73,31
73,49
73,15
50,00
86,63
73,45
73,15
73,43
0,00
73,40
73,40
3,75
0,00
75,20

Sumber : Hasil Analisis Data (2002)

Dalam kaitannya dengan tingkat pendapatan masyarakat, analisis dilakukan berdasarkan


dampak potensial, artinya perhitungan dilakukan menggunakan proksi-proksi keberhasilan tanaman
yang diusahakan dalam rangka melakukan konservasi tanah dan air dalam hutan rakyat. Di lokasi
penelitian tanaman yang digunakan dalam konservasi meliputi jambu mente, kayu akasia, jati,
sonokeling, dan mahoni.
Semua jenis komoditas tersebut secara agronomi dan ekonomi memenuhi beberapa
persyaratan untuk usaha konservasi di lahan kering. Tanamannya cepat tumbuh pada berbagai lahan
dan mempunyai kemampuan menghasilkan tunas baru bila dipangkas dan mampu memperbaiki
kondisi tanah, bertajuk lebat dan dapat memberikan seresah yang banyak, dapat hidup di lahan
kritis, mempunyai sistem perakaran dalam, sehingga mampu mengikat tanah dari longsor, batang
yang kasar, dapat menurunkan kecepatan air, mudah ditanam dan tidak memerlukan pemeliharaan
khusus, tahan hama dan penyakit, ekonomis dan mampu berproduksi dalam jangka pendek.
Jika tidak dilakukan konservasi, tanah kering marjinal di lokasi desa ini tidak produktif
sama sekali. Tidak ada orang yang mau mengambil resiko mengusahakan tanaman di lahan yang
kering marjinal. Dengan demikian petani di daerah ini tidak mendapatkan hasil apa-apa. Akan
tetapi ketika dilakukan kegiatan konservasi dengan melakukan penanaman tanaman tahunan
produktif seperti jambu mente dan jenis pohon kayu yang komersial, petani mendapatkan nilai
tambah dari lahan tersebut.
Jambu mete misalnya, menghasilkan biji jambu mente yang dapat dimanfaatkan untuk
pembuatan kacang mete, buahnya untuk bahan pembuatan abon, sirup, dan pakan ternak. Hasilnya
tidak hanya dikonsumsi sendiri namun juga dipasarkan ke luar desa seperti Klaten, Solo,
Sukoharjo. Buah jambu mete basah dijual sekitar Rp 6000,- sampai Rp 7000,-/ kg, abon jambu
mete mencapai Rp 30.000,-/kg. Hasil yang lain misalnya kayu, akasia dengan diameter 1 m,
panjang 5 m berharga Rp 400.000,- sampai Rp 500.000,-/kubiknya.

Dengan demikian tidak dipungkiri lagi bahwa melakukan konservasi di lahan kering
marjinal dapat menjadi alternatif sumber peningkatan pendapatan penduduk desa.
KESIMPULAN DAN SARAN

Usaha konservasi tanah dan air di lahan kering yang dilakukan dengan pendekatan vegetatif
dan mekanis melalui pembuatan hutan rakyat, kebun bibit desa, Unit Percontohan Usaha
Pelestarian Sumber Daya Alam (UP UPSA), pembuatan teras, saluran pembuangan air (SPA),
dan gully plug (pengendali jurang) terbukti dapat menurunkan besarnya erosi, merehabilitasi
dan meningkatkan fungsi lahan.

Keberhasilan penerapan konservasi di lahan kering mampu menciptakan kondisi lahan yang
kondusif untuk menghasilkan produksi secara lestari dan terpeliharanya produktivitas lahan
sehingga pada akhirnya berpengaruh positif pada peningkatan pendapatan petani.

Keberhasilan konservasi tanah dan air di lahan kering tidak terlepas dari peran aktif masyarakat
setempat, oleh karena itu untuk memelihara kelanjutan konservasi diperlukan dorongan dari
pihak berwenang menggerakkan partisipasi petani antara lain melalui penyuluhan yang lebih
intensif.
DAFTAR PUSTAKA

Agus, F dan Widianto, 2004. Petunjuk Praktis Konservasi Tanah Pertanian Lahan Kering. World
Agroforestry Centre. ICRAF Southeast Asia. Bogor.
Anonim, 1999. Monograf Desa Rejosari Kecamatan Semin Kabupaten Gunungkidul.. Pemerintah
Desa Rejosari. Semin. Gunungkidul, Yogyakarta.
Arsyad, S. 1989. Konservasi Tanah dan Air. Penerbit Institut Pertanian Bogor Press. Bogor.
Duryat, P. W. 1979. Meningkatkan Kegiatan Penyuluhan Dalam Rangka Pembentukan Hutan
Rakyat. Seminar dan Reuni III Fak. Kehutanan UGM. Yogyakarta
Karama, A.S dan A. Abdurrachman. 1995. Kebijaksanaan Nasional dalam Penanganan Lahan
Kritis di Indonesia. Prosiding Lokakarya dan Ekspose Teknologi Sistem Usahatani
Konservasi dan Alat Mesin Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Yogyakarta, 17-19 Januari 1995.
Notohadiprawiro, T. 1988. Pembaharuan Pandangan terhadap Kedudukan Lahan Kering dalam
Pembangunan Pertanian Pangan yang Terlanjutkan. Seminar Fak. Pertanian UNISRI.
Surakarta
Scwab, et. al. 1981. Soil and Water Conservastion Engineering. 3rd edition. John Wiley and Sons.
Inc. Toronto.
Suyana, J. 2005. Berkelanjutan Penerapan Teknologi Konservasi Hedgerows Untuk Menciptakan
Sistem Usahatani Lahan Kering. Bahan Mata Kuliah Konservasi. IPB.

Anda mungkin juga menyukai