Anda di halaman 1dari 19

Kata Pengantar

Segala puji syukur penyusun haturkan kehadirat Allah Subhanahu WaTaala yang telah
melimpahkan rahmat, taufik, hidayah, dan inayah-Nya, sehingga

penyusun dapat

menyelesaikan tugas makalah Seminar Perpajakan dengan judul Perpajakan untuk Koperasi
dan UMKM.
Makalah Seminar Perpajaka ini berisi tentang peraturan dan konsep umum dari aspek
perpajakan yang terdapat pada koperasi dan UMKM. Makalah ini dapat diselesaikan berkat
bantuan beberapa pihak, di antaranya Bapak Otto selaku dosen pengampu mata kuliah
Seminar Perpajakan serta teman-teman yang telah membantu, yang tidak dapat penyusun
sebutkan satu per satu.
Penyusun menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu,
penyusun mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun demi perbaikan
pembuatan makalah di kemudian hari. Semoga makalah ini dapat memberi manfaat bagi para
pembaca. Amin.

Malang, 15 Maret 2016

Penyusun

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam ketentuan perpajakan yang ada, bentuk kegiatan usaha berupa koperasi termasuk
Wajib Pajak Badan. Sesuai dengan bunyi penjelasan Pasal 2 ayat (1) huruf b Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana terakhir telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, yaitu:
Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang
melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas,
perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik
daerah dengan nama dan bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun,
persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau
organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif
dan bentuk usaha tetap.
Sehingga, meski kebanyakan koperasi berdiri dengan modal yang tidak besar dan jumlah
pegawai yang sedikit, bukan berarti koperasi bebas dari sentuhan urusan perpajakan. Salah
satu persinggungan yang akan timbul dari sisi pajaknya dapat kita singkat menjadi tiga
kelompok, yaitu Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), Pajak Penghasilan (PPh)
dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Meski begitu, yang tidak kalah menariknya adalah,
terdapat banyak fasilitas/intensif perpajakan yang disediakan pemerintah khusus untuk
kegiatan usaha koperasi.
1.2

BAB II
PEMBAHASAN

Kewajiban Pendaftaran Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)


Kewajiban perpajakan paling awal yang harus dijalankan ole koperasi yang baru saja berdiri
adalah mengajukan permohonan pendaftaran NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak). Hal ini
merupakan kewajiban yang harus dijalankan Wajib Pajak sebagaimana yang telah diatur
dalam Pasal 2 ayat (3) huruf c dan Pasal 3 ayat (3) Peraturan Direktur Jendral Pajak Nomor
PER-20/PJ/2013 tanggal 30 Mei 2013 sebagaimana terakhir telah diubah menjadi PER38/PJ/2013, yaitu:
Pasal 2 ayat (3) huruf c:
Wajib Pajak badan yang memiliki kewajiban perpajakan sebagai pembayar pajak,
pemotong dan/atau pemungut pajak sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan, termasuk bentuk usaha tetap dan kontraktor dan/atau operator di bidang usaha
hulu minyak dan gas bumi;
Pasal 2 ayat (3):
Wajib Pajak badan sebagaimana dimaksud pasal 2 ayat (3) huruf c dan d, wajib
mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak paling lambat 1 (satu) bulan
setelah saat pendirian.
NPWP yang diberikan kepada koperasi merupakan sarana administrasi perpajakan yang
dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atas identitas koperasi dalam melaksanakan hak
dan kewajiban perpajakannya. Dengan demikian, jika koperasi telah memiliki NPWP, maka
ia wajib menjalankan seluruh kewajiban perpajakannya tanpa pengecualian apapun (kecuali
diatur lain sebagai fasilitas atau pengecualian). Dalam hal koperasi melewati jangka waktu 1
bulan setelah pendirian, tetapi belum mendaftarkan diri untuk mendapatkan NPWP, maka
dapat diterbitkan NPWP secara jabatan sebagaimana telah diatur di dalam Surat Edaran
Direktur Jendral Pajak No. SE-48/PJ/2012 tentang Kebijakan Pelaksanaan Verifikasi tanggal

1 November 2012 sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c Peraturan
Menteri Keuangan Nomor PMK-146/PMK.03/2012 tanggal 10 September 2012.
Data pendukung yang perlu disiapkan oleh Wajib Pajak untuk mengisi
formulir permohonan pendaftaran untuk mendapatkan NPWP:
1. Akte Pendirian dan perubahan atau surat penunjukan dari kantor
pusat bagi bentuk usaha tetap;
2. NPWP pimpinan/penanggung jawab badan (koperasi);
3. Kartu Tanda Penduduk bagi penduduk Indonesia, atau paspor bagi orang asing sebagai
penanggung jawab;
Kewajiban Mendaftarkan Diri Sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP)
Sehubungan dengan kewajiban untuk mendaftarkan diri sebagai Pengusaha Kena Pajak,
pengurus koperasi harus memperhatikan jenis barang dan atau jasa yang dijualnya serta
perolehan omset yang didapat dalam satu tahun pajak. Kedua hal tersebut menjadi penentu
secara substansional mengenai keharusan untuk berstatus sebagai Pengusaha Kena Pajak.
Sebagaimana telah diatur di dalam Pasal 4 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor
PMK-68/PMK.03/2010 sebagaimana terakhir telah diubah dengan PMK-197/PMK.03/2013
tentang batasan pengusaha kecil Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tanggal 20 Desember 2013,
disebutkan bahwa:
Pengusaha wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak,
apabila sampai dengan suatu bulan dalam tahun buku jumlah peredaran bruto dan/atau
penerimaan brutonya melebihi Rp4.800.000.000 (empat miliar delapan ratus juta rupiah)
Kewajiban tersebut harus dipenuhi paling lambat akhir bulan berikutnya setelah bulan saat
jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan brutonya melebihi Rp4.800.000.000 (empat
miliar delapan ratus juta rupiah), yang dengan tegas telah disebutkan di dalam Pasal 4 ayat
(2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-68/PMK.03/2010 sebagaimana terakhir telah
diubah dengan PMK-197/PMK.03/2013 tentang batasan pengusaha kecil Pajak Pertambahan
Nilai (PPN), yang berbunyi:
Kewajiban melaporkan usaha untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak
sebagaimana disebutkan didaalam ayat (1) dilakukan paling lama akhir bulan berikutnya

setelah bulan saat jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan brutonya melebihi
Rp4.800.000.000 (empat miliar delapan ratus juta rupiah)
Penghindaran terhadap kewajiban tersebut akan dapat menyebabkan suatu koperasi
dikukuhkan secara jabatan oleh Direktorat Jendral Pajak yang diiringi dengan penerbitan
Surat Ketetapan Pajak / Surat Tagihan Pajak sebagai sanksi administrasinya. Kedua hal ini
telah dengan jelas disebutkan di dalam Pasal 5 ayat (1) dan (2) Peraturan Menteri Keuangan
Nomor

PMK-68/PMK.03/2010 sebagaimana

terakhir

telah

diubah dengan PMK-

197/PMK.03/2013 tentang batasan pengusaha kecil Pajak Pertambahan Nilai (PPN).


Meski demikian, kewajiban untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak ini sangat
tergantung pada jenis barang/jasa yang dijual oleh koperasi, dalam hal apabila barang/jasa
yang dijual/diserahkan oleh koperasi merupakan barang dan jasa yang tidak dikenakan PPN,
maka tidak ada keharusan untuk dikukuhkan koperasi Pengusaha Kena Pajak. Untuk melihat
secara rinci daftar barang/jasa yang tidak dikenakan PPN, pemerintah melalui Direktorat
Jendral Pajak telah mengaturnya di dalam Pasal 4A ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor
8 Tahun 1983 sebagaimana terakhir telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun
2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai.
Dari segi jumlah omset/peredaran bruto yang diperoleh koperasi, maka apabila jumlah
tersebut dalam suatu tahun pajak belum melebihi Rp4.800.000.000 (empat miliar delapan
ratus juta rupiah), maka tidak ada kewajiban untuk mendaftarkan diri dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak, walau meamng tidak dilarang apabila koperasi tersebut berkeinginan
untuk mengajukan diri dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak karena keinginan sendiri.
Penulis menyarankan agar koperasi berpikir dengan hati-hati sebelum memutuskan
mengajukan diri dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, sebab kaitannya sangat erat
dengan pemenuhan kewajiban Pajak Pertambahan Nilai yang sanksi dan denga
administrasinya cukup berat dibanding Pajak Penghasilan. Direktorat Jendral Pajak
menerbitkan dua peraturan terkait pengawasan Pengusaha Kena Pajak ini, yaitu Peraturan
Direktur Jendral Pajak Nomor PER-40/PJ/2013 tanggal 26 November 2013 tentang
Pengawasan Pengusaha Kena Pajak dan PER-12/PJ/2014 tanggal 2 April 2014 tentang
Pencabutan Pengusaha Kena Pajak secara Jabatan atas Pengusaha Kecil PPN.

Ini menunjukkan bahwa memang status Pengusaha Kena Pajak membawa kewajiban yang
tidak sederhana, tetapi juga memberi privilege lebih dibanding pengusaha biasa, diantaranya
hak untuk menerbitkan Faktur Pajak serta mengkreditkan Pajak Masukan yang dipungut
pihak lain sehingga koperasi yang berstatus Pengusaha Kena Pajak tidak harus
membebankannya sebagai biaya yang berakibat penurunan Sisa Hasil Usaha pada akhir
tahun. Bagaimana? Berminat?
Menyelenggarakan Pembukuan
Setelah kewajiban pertama untuk mendapatkan NPWP, maka kewajiban berikutnya adalah
menyelenggarakan pembukuan. Sudah menjadi keharusan umum bagi siapapun mestinya
untuk melakukan pembukuan dalam bertransaksi bisnis/usaha di bidang apapun, dengan
maksud untuk memantau arus keluar dan masuknya uang. Begitu juga dengan koperasi, untuk
mengontrol pengeluaran dan penghasilan maka pembukuan harus dilakukan. Pembukuan
yang baik adalah pembukuan yang sejalan dengan prinsip-prinsip akuntansi yang umum
berlaku dan dilaksanakan penuh itikad baik (transparan dan dapat dipertanggungjawabkan).
Dari sisi perpajakan, kewajiban menyelenggarakan pembukuan, diatur didalam Pasal 28 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana terakhir telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan,
yaitu:
Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan
Wajib Pajak Badan di Indonesia wajib menyelenggarakan pembukuan.
Oleh karena itu, Wajib Pajak koperasi diwajibkan untuk menyelenggarakan pembukuan.
Pembukuan ini akan sangat erat kaitannya dalam pemenuhan kewajiban perpajakan yang
lainnya yaitu pelaporan SPT Tahunan PPh Badan yang akan kita bahas di bagian lain artikel
ini.
Ketika menjalankan kegiatan usahanya, jenis-jenis penghasilan yang diterima oleh koperasi
sangat tergantung dengan jenis usaha yang dilakukan. Jelas sangat berbeda antara koperasi
yang bergerak di bidang simpan pinjam dengan koperasi yang bergerak di bidang hasil
perkebunan/pertanian. Pengurus koperasi harus pandai-pandai mengidentifikasi jenis
penghasilan yang diterima koperasiagar tidak salah dalam pengenaan Pajak Penghasilan

atasnya, sebab pada dasarnya semua penghasilan yang diterima koperasi adalah objek Pajak
Peghasilan (PPh), kecuali dinyatakan lain dalam ketentuan perundang-undangan perpajakan
yang berlaku (Pasal 4 ayat (3) UU No 7/1983 sttd UU No 36/2008 tentang PPh), dan atas itu
semua

wajib

dilaporkan

di

dalam

SPT

Tahunan

PPh

Badan.

Di dalam Pasal 4 ayat (1) UU No 7/1983 sttd UU No 36/2008 tentang PPh terdapat 19 jenis
penghasilan dalam nama dan bentuk apapun yang menjadi objek Pajak Penghasilan. Dalam
kaitannya dengan koperasi, semua jenis penghasilan yang dapat diterima oleh koperasi, dapat
penulis sederhanakan menjadi dua kelompok saja, yaitu:

Penghasilan yang diterima atau diperoleh dari kegiatan usaha, contoh dalam hal
koperasi melakukan penjualan barang dan atau jasa kepada pihak lain, yang atas
penjualan tersebut menjadi sumber penghasilan.

Pendapatan bunga, fee, komisi dan seluruh penghasilan yang terkait dengan
pemberian kredit pinjaman, tidak termasuk pembayaran pokok kredit/pinjaman. Ini
berlaku untuk jenis koperasi simpan pinjam.

Contoh:
1. Koperasi yang bergerak di bidang pertanian/perkebunan melakukan penjualan Tandan
Buah Segar (TBS) Kelapa Sawit, adapun TBS tersebut berasal dari hasil pengumpulan
dari sejumlah anggotanya yang mayoritas merupakan petani kelapa sawit, maka
sumber penghasilan koperasi tersebut adalah berasal dari penjualan TBS kepada pihak
lain (Pabrikan).
2. Koperasi yang bergerak penyaluran BM melakukan penyediaan solar BBM bagi para
nelayan, adapun solar tersebut berasal dari SPBU Pertamina yang dibeli dengan
modal awal iuran para anggotanya, maka sumber penghasilannya bersumber dari
banyaknya jumlah solar yang disalurkan (dijual kembali) kepada para anggotanya.
3. Koperasi simpan pinjam, melakukan pemberian kredit kepada para anggotanya
dengan mendapat imbal hasil dalam persentase yang dihitung dari besarnya pokok
kredit yang dicicil setiap bulan oleh anggota, dalam hal ini, sumber penghasilannya
adalah persentase fee dan/atau komisi yang diterima atas setiap pembayaran kredit
dari para anggotanya.
Kewajiban Memotong Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21

Kewajiban pemotongan PPh Pasal 21 pada dasarnya muncul jika koperasi membayarkan
penghasilan kepada pihak lain yang berstatus sebagai Wajib Pajak Orang Pribadi sehubungan
dengan pekerjaan, kegiatan atau jasa yang dilakukannya untuk koperasi itu sendiri. Dalam hal
ini, pihak tersebut dapat karyawannya atau pengurusnya sendiri atau dari pihak lain yang di
sewanya.
Pengurus koperasi harus memahami dengan baik setiap konteks pembayaran sehubungan
dengan pekerjaan kepada pihak lain (Orang Pribadi) karena ini terkait erat dengan tata cara
penghitungan dan pengenaan PPh Pasal 21 yang harus dipotong oleh koperasi. Rujukan
peraturan yang dapat dipakai untuk menjadi panduan bagi para pengurus koperasi adalah
Peraturan Direktur Jendral Pajak Nomor PER-31/PJ/2012 tentang Pedoman Teknis Tata Cara
Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 (untuk Wajib
Pajak Warga Negara Asing) sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan Orang Pribadi.
Dalam kegiatan yang koperasi selenggarakan misalnya, kehadiran pihak lain dianggap lebih
memahami materi kerap kali memang sangat diperlukan sehingga sebagai imbal jasa, maka
koperasi membayar orang-orang tersebut dan merupakan objek PPh Pasal 21. Adapun
pemotongan tersebut dihitung berdasarkan tarif PPh Pasal 17 Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1983 sebagaimana terakhir telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2008 tentang Pajak Penghasilan yang dikenakan langsung dari 50% dari nilai brutonya.

Berbeda dengan pembayaran gaji yang diberikan koperasi untuk karyawannya yang
dilakukan setiap bulan, maka pengenaan PPh Pasal 21 atas setiap pegawainya dihitungn
setelah sebelumnya penghasilan bruto yang dibayarkan dikurangi terlebih dahulu dengan
biaya jabatan (5% dari penghasilan bruto atau maksimal Rp500.000/bulan) dan iuran terkait
gaji seperti iuran dana pensiun / jaminan hari tua kepada badan penyelenggara yang sah.
Tidak kalah pentingnya, hasil perhitungan tersebut masih harus dikurangi dengan Penghasilan
Tidak Kena Pajak (PTKP) yang terakhir telah ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangn
Nomor PMK-162/PMK.011/2012 tentang Penyesuaian PTKP. Apabila masih terdapat selisih
positif, maka PPh Pasal 21 yang harus dipotong dihitung berdasarkan tarif PPh Pasal 17
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana terakhir telah diubah dengan Undang-

Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan. Bagaimana bila masih di bawah
batas PTKP? Maka tidak ada PPh Pasal 21 yang dipotong.

Tertib administrasi perpajakan PPh Pasal 21 ini harus menjadi perhatian pengurus koperasi,
sifat kewajiban pelaporan PPh Pasal 21 ini adalah rutin dan wajib, meskipun besar nilai
penghasilan bersih pegawai tetapnya masih di bawah PTKP, sehingga PPh Pasal 21-nya
NIHIL. Kelalaian pemenuhan kewajiban pelaporan ini mengakibatkan terbitnya Surat
Tagihan Pajak Masa PPh Pasal 21 untuk menagih denda administrasi sebesar Rp100.000.
Jadi, jangan lupa untuk melaporkan SPT Masa PPh Pasal 21 Anda paling lambat tanggal 20
bulan berikutnya dan jangan lupa pula untuk membayarkan PPh Pasa 21 yang Anda potong
dari pihak lain (bila ada), paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya!
Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23
Kewajiban memotong PPh pasal 23 ini muncul jika koperasi melakukan pembayaran yang
atas pembayaran itu terutang PPh Pasal 23 sebagaimana diatur di dalam Pasal 23 ayat (1)
huruf a dan c Undang-Undang Nomor 7 Tahun Tahun 1983 sebagaimana terakhir telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, yang
berbunyi:
Atas penghasilan tersebut di bawah ini dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang
dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh
badan pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, Bentuk Usaha
Tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri
atau bentuk usaha tetap, dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan:
a. Sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto atas:
1. Dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf g;
2. Bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf f;
3. Royalti; dan
4. Hadiah, penghargaa, bonus, dan sejenisnya selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf e;

c. sebesar 2% (dua persen) dari jumlah bruto atas:


1. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan
penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang telah dikenai Pajak
Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2); dan
2. imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan,
dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21.
Adapun, jenis jasa lain yang dimaksud di dalam huruf c angka 2 diatur di dalam Peraturan
Menteri Keuangan Nomor PMK-244/PMK.03/2008 tentang Jenis Jasa Lain sebagaimana
disebut di dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2 UU Nomor 7/1983 sttd UU Nomor
36/2008 tentang Pajak Penghasilan, dan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE35/PJ/2010 tentang Pengertian Sewa dan Penghasilan Lain Sehubungan dengan Penggunaan
Harta, Jasa Teknik, Jasa Manajemen, dan Jasa Konsultan. Meski peraturan perundangundangan perpajakan menyebutkan bahwa Objek PPh Pasal 23 juga meliputi penghasilan
yang bersumber dari permodalan (Dividen, Bunga, dan Royalti), tetapi dalam kaitannya
dengan koperasi yang memberikan Bunga Simpanan dan/atau Sisa Hasil Usaha kepada
anggotanya, maka atas keduanya bukan merupakan Objek PPh Pasal 23 (diatur di dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2009).
Kewajiban koperasi untuk memotong PPh Pasal 23 juga muncul dalam hal koperasi
memberikan hadiah kepada pihak lain yang berbentuk badan. Mengenai tarif, PPh Pasal 23
hanya mengenal dua jenis tarif yaitu 15% (untuk Dividen, Bunga, Royalti, dan hadiah) dan
2% (untuk sewa aset/harta kecuali tanah/bangunan) yang keduanya dihitung dari nilai bruto.
Jadi, jangan sampai tertukar!

Contoh yang dapat kita ambil misalnya, koperasi kelapa sawit yang menyewa truk untuk
mengangkut TBS menuju pabrikan pembeli, saat membayarkan nilai sewa atas truk tersebut,
wajib memotong PPh Pasal 23 sebesar 2% dan membuat Bukti Pemotongan PPh Pasal 23.
Begitu pula dalam contoh apabila koperasi meminta pihak lain (Badan) memberikan jasa
pemanenan hasil perkebunan, maka saat koperasi melakukan pembayaran maka wajib
memotong PPh Pasal 23 sebesar 2% dari nilai kontrak yang disepakati (tidak termasuk PPN).
Terkait pelaporan, koperasi tidak wajib setiap bulan melaporkan SPT Masa PPh Pasal 23,
hanya apabila dalam suatu bulan terdapat transaksi / apabila dalam suatu bulan terdapat
transaksi /pemotongan saja, maka muncul kewajiban untuk melaporkan paling lambat tanggal
20 bulan berikutnya dan menyetorkan PPh Pasal 23 yang telah dipotong paling lambat
tanggal 10 bulan berikutnya untuk menghindari denda administrasi sebesar Rp100.000,00
plus sanksi administrasi 2%/bulan apabila terdapat nilai PPh Pasal 23 yang terlambat
disetorkan.
PPh Final Pasal 4 ayat (2)
Sewa Tanah/Bangunan
Dalam menjalankan kegiatannya, pengurus koperasi tentu memerlukan tempat atau ruangan
yang digunakan sebagai lokasi usaha. Bagi sebagian koperasi, mereka memiliki tempat
sendiri, tetapi bagi sebagian yang lain mereka harus menyewa dari pihak lain. Sebetulnya dari
segi kegiatan usaha koperasi mungkin ini tidak terlalu menjadi soal. Namun, dari sisi pajak,
jelas ada perbedaannya. Untuk koperasi yang memiliki lokasi usaha sendiri, tidak ada aspek
perpajakan atas kegiatan mendiami lokasi tersebut, sedangkan untuk koperasi yang menyewa
gedung, ia wajib memotong PPh Final sebesar 10% dari nilai sewanya.

Hal tersebut sesuai dengan Pasal 3 Peraturan Direktur Jendral Pajak Nomor 227/PJ/2002
tanggal 23 April 2002 tentang Tata Cara Pemotongan dan Pembayaran serta Pelaporan PPh
dari Persewaan Tanah dan/atau Bangunan, sehingga dalam hal ini koperasi yang menyewa
tanah dan/atau bangunan wajib bertindak sebagai pemotong PPh Final sebesar 10% dari nilai
sewa yang diserahkan kepada pihak penyedia.
Disebutkan pula di dalam Pasal 5 ayat (1) dan (2) Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor
227/PJ/2002 bahwa koperasi yang memotong PPh Final 10% atas sewa tanah dan/atau
bangunan wajib menyetorkan ke kas negara paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya dari
tanggal terjadinya pembayaran uang sewa dan melaporkannya ke dalam SPT PPh Masa Pasal
4 ayat (2) paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya. Keterlambatan pelaporan dan
penyetoran dapat menimbulkan terbitnya Surat Tagihan Pajak sebesar Rp100.000,00 dan
sanksi administrasi sebesar 2% dari nilai yang dipotong. Koperasi juga wajib menerbitkan
bukti pemotongan PPh Final Pasal 4 ayat (2) sebanyak 3 rangkap (untuk arsip, untuk
dilaporkan di dalam SPT Masa PPh, dan untuk pemilik tanah dan/atau bangunan).
Penting untuk dipahami, dalam hal koperasi menjadi pihak yang menyewakan tanah dan/atau
bangunan ke Orang Pribadi yang tidak dapat menjadi pemotong PPh Final, maka koperasi
dalam hal ini harus menjadi pemotong PPh Final sebesar 10% sebagaimana telah ditetapkan
di dalam Pasal 4 ayat (2) Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 227/PJ/2002 tanggal 23
April 2002 dan menyetorkan sendiri pemotongan tersebut paling lambat tanggal 15 bulan
berikutnya. Kewajiban yang muncul pada keadaan ini hanya sebatas menyetorkannya tanpa
diiringi keharusan menerbitkan bukti pemotongan PPh Final Pasal 4 ayat (2).
Pengalihan Hak atas Tanah/Bangunan
Lain sewa lain pula pengalihan hak. Dalam kasus di mana koperasi menjual atau
mengalihkan hak kepemilikan atas tanah dan/atau bangunan, maka terdapat pengenaan Pajak
Penghasilan Final Pasal 4 ayat (2) Final sebesar 5% dari nilai bruto/kotor penjualan yang
lebih tinggi antara yang tertera di dalam akta penjualan dengan nilai NJOP (Nilai Jual Objek
Pajak). Dasar hukum yang mengatur aspek pengenaan pajak atas transaksi ini adalah
Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2008 tanggal 4 November 2008 tentang Pembayaran
PPh atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.

Apabila koperasi melakukan penjualan tanah dan/atau bangunan kepada pihak lain tetapi
pengikatan jual beli yang dilakukan masih berupa Perjanjian Jual Beli dan belum dilakukan
penandatanganan Akta Jual Beli, maka kewajiban membayar Pph Final Pasal 4 ayat (2)
sebesar 5% dari nilai bruto/kotor penjualan yang lebih tinggi antara yang tertera di dalam akta
penjualan dengan nilai NJOP (Nilai Jual Objek Pajak) tersebut tetap berlaku sebagaimana
diatur di dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-30/PJ/2014 tanggal 14
Agustus 2014 tentang Pengawasan atas Transaksi Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau
Bangunan Melalui Jual Beli. Pembayaran tersebut dilakukan paling lambat sebelum Akta Jual
Beli ditandatangani.
Bunga Simpanan yang dibayarkan koperasi kepada anggota Orang Pribadi
Secara periodik, koperasi membayarkan Bunga atas simpanan kepada anggota Orang Pribadi.
Ini merupakan bentuk timbal balik manfaat yang diterima anggota atas kontribusinya dalam
menyimpan sejumlah dana di koperasi. Khususnya pada koperasi simpan pinjam. Perihal ini
telah diatur khusus di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2009 tanggal 9 Februari
2009 tentang Pajak Penghasilan atas Bunga Simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada
anggota Orang Pribadi. Disebutkan di dalam Pasal 1 dan Pasal 2, bahwa:
Pasal 1:
Penghasilan berupa bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi yang didirikan di
Indonesia kepada anggota orang pribadi dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final.
Pasal 2:
Besarnya

Pajak

Penghasilan

sebagaimana

dimaksud

dalam

Pasal

adalah:

a) 0% (nol persen) untuk penghasilan berupa bunga simpanan sampai dengan Rp240.000,00
(dua ratus empat puluh ribu rupiah) per bulan; atau
b) 10% (sepuluh persen) dari jumlah bruto bunga penghasilan berupa bunga simpanan lebih
dari Rp240.000,00 (dua ratus empat puluh ribu rupiah) per bulan.
Oleh karena itu, menjadi kewajiban pengurus koperasi untuk memotong PPh Pasal 4 ayat (2)
atas pembayaran penghasilan bunga simpanan tersebut sebelum dibayarkan ke anggota
koperasi dan disertai dengan penerbitan Bukti Pemotongan PPh Final Pasal 4 ayat (2) sebagai

bukti pemotongan dan sebagai arsip serta sebagai bahan lampiran dalam pelaporan SPT masa
PPh Pasal 4 ayat (2) yang wajib dilaporkan paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya dan
membayarkan ke kas negara paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya.
Pemotongan dan penerbitan bukti pemotongan tetap dilakukan pula oleh pengurus koperasi
meskipun nilai pemotongan adalah Rp0,00 atau dikenai tarif 0% (nol persen) karena nilai
bunga simpanan yang dibayarkan di bawah Rp240.000,00/bulan sebagaimana disebutkan di
dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-112/PMK.03/2010 tanggal 4 Juni 2010
tentang Tata Cara Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan atas Bunga
Simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi Orang Pribadi. Kegiatan
pelaporan dan pembayaran ini tidak rutin dilakukan setiap bulan, hanya jika pada bulan yang
bersangkutan terdapat transaksi dimaksud saja. Keterlambatan pelaporan dan penyetoran
dapat menimbulkan terbitnya Surat Tagihan Pajak sebesar Rp100.000,00 dan sanksi
administrasi sebesar 2% dari nilai yang dipotong.
Pembagian Sisa Hasil Usaha (SHU) Koperasi
Sudah sejak lama jadi pertanyaan banyak orang sebetulnya, apakah SHU yang dibagikan oleh
koperasi itu sama dengan dividen yang biasa dibagikan perusahaan kepada para pemegang
saham? Yang jelas, SHU itu merupakan objek pajak penghasilan sebagaimana disebutkan di
dalam Pasal 4 ayat (1) huruf g UU No 7/1983 sttd UU No 36/2008 tentang Pajak
Penghasilan. Namun disebutkan lagi di dalam Pasal 23 ayat (4), SHU yang dibagikan bukan
objek PPh Pasal 23. Kalau begitu termasuk objek pajak penghasilan pasal berapa?
Sebetulnya di dalam pasal 4 ayat (2) UU No 7/1983 sttd UU No 36/2008 tentang Pajak
Penghasilan tidak ada secara khusus disebutkan bahwa SHU yang dibagikan koperasi
merupakan objek Pajak Penghasilan tetapi di huruf e di dalam pasal tersebut disebutkan
penghasilan tertentu lainnya yang diatur dengan Peraturan Pemerintah. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa SHU yang dibagikan koperasi merupakan objek pajak penghasilan Final.
Penegasan perihal SHU yang dibagikan koperasi dijelaskan di dalam Peraturan Menteri
Keuangan Nomor PMK-111/PMK.03/2010 tanggal 14 Juni 2010 tentang Tata Cara
Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan atas Dividen yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri. Melalui Pasal 1 dan Pasal 2 telah dengan
jelas disebutkan sebagai berikut:

Pasal 1: Atas penghasilan berupa dividen yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Orang
Pribadi dalam negeri dikenai Pajak Penghasilan sebesar 10% (sepuluh persen) dari jumlah
bruto dan bersifat Final.
Pasal 2: Dividen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah dividen, dengan nama dan
dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis,
dan pembagian sisa hasil usaha koperasi.
Oleh karena itu, ketika SHU yang hendak dibagikan tersedia, maka pengurus koperasi harus
melakukan pemotongan sebelum dibagikan dan menerbitkan bukti pemotongan Pajak
Penghasilan Final Pasal 4 ayat (2) kepada para anggota yang telah dipotong SHU-nya.
Disebutkan pula dalam pasal 4 Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-111/PMK.03/2010
bahwa koperasi harus melaporkan transaksi pemotongan tersebut paling lambat tanggal 20
bulan berikutnya setelah masa pajak dilakukan pemotongan dan menyetorkan ke kas negara,
paling lambat tanggal 10 setelah masa pajak dilakukan pemotongan berakhir.
Kewajiban Memungut
Pajak Penghasilan Pasal 22
Kewajiban koperasi memungut PPh Pasal 22 muncul sebagai akibat dari terbitnya Peraturan
Menteri Keuangan Nomor PMK-08/PMK.03/2008 tentang Penunjukan Pemungut PPh Pasal
22, Sifat, Besaran Pungutan, dan Tata Cara Pelaporan dan Penyetoran. Mengenai hal tersebut,
koperasi berkewajiban menjadi pemungut apabila melakukan pembelian bahan atau produk
dari hasil pertanian, perkebunan, kehutanan, atau perikanan melalui pedagang pengumpul
untuk industri atau ekspor.
Besarnya tarif pungutan PPh Pasal 22 adalah sebesar 0,25% dari nilai bruto pembelian (tidak
termasuk PPN) sehingga masa pajak hanya membayar nilai bersih setelah pemungutan.
Pengurus koperasi wajib menerbitkan bukti pemungutan dan melaporkannya ke dalam SPT
Masa PPh Pasal 22 paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya dan menyetorkan hasil
pemungutan paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya.
Kegiatan pelaporan dan pembayaran ini hanya muncul apabila terjadi transaksi tersebut
dalam suatu masa pajak. Keterlambatan pelaporan dan penyetoran dapat menimbulkan
terbitnya Surat Tagihan Pajak sebesar Rp100.000,00 dan sanksi administrasi sebesar 2% dari

nilai yang dipungut. Penegasan lebih jelas terhadap kewajiban ini diatur di dalam Peraturan
Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-23/PJ/2009 tanggal 12 Maret 2009.
Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Kewajiban untuk memungut PPN hanya dibebankan kepada koperasi yang berstatus
Pengusaha Kena Pajak (PKP) atas penyerahan/penjualan jasa/barang kena pajak. Seperti telah
disebutkan

didalam

Peraturan

Menteri

Keuangan

Nomor

PMK-68/PMK.03/2010

sebagaimana terakhir telah diubah dengan PMK-197/PMK.03/2013 tentang batasan


pengusaha kecil Pajak Pertambahan Nilai, kewajiban untuk menjadi Pengusaha Kena Pajak
bagi koperasi muncul dalam hal peredaran/penerimaan bruto melebihi Rp4,8 M (empat miliar
delapan ratus juta rupiah).
Meski terkesan berat dan ketat, sebetulnya meski belum wajib menjadi Pengusaha Kena
Pajak, ada baiknya koperasi mengajukan diri untuk menjadi Pengusaha Kena Pajak. Karena
hampir semua produk atas kegiatan usaha koperasi adalah Barang/Jasa Kena Pajak (kecuali
produk Holtikultura) yang atas penyerahannya koperasi wajib menerbitkan Faktur Pajak
untuk memungut PPN (Pajak Keluaran) dan dalam kegitan operasionalnya, koperasi juga
dipungut PPN oleh pihak lain (Pajak Masukan) sehingga dengan berstatus PKP, maka
koperasi dapat mengkreditkan Pajak Masukan sehingga menyetorkan PPN Pajak Keluaran
setelah dikurangi Pajak Masukan.
Bila koperasi belum berstatus PKP, maka tindakan yang dilakukan pengurus cenderung untuk
membiayakan PPN Pajak masukan yang dipungut pihak lain sehingga mengurangi Sisa Hasil
Usaha pada akhir tahun yang dapat dibagikan kepada anggota. Jadi, berminat jadi Pengusaha
Kena Pajak?
Kewajiban Membayar Sendiri
PPh Pasal 4 ayat (2) untuk Koperasi dengan omset di bawah Rp4,8 miliar. Sejak Juli 2013,
Pemerintah berupaya mengintensifkan peran serta semua pelaku kegiatan ekonomi untuk
membayar pajak, tak terkecuali koperasi. Koperasi dengan omset kurang dari Rp4,8 miliar
dalam setahun di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tanggal 13 Juni 2013
tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang diterima atau diperoleh Wajib
Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu. Ini menyebabkan setiap bulan koperasi

dikenakan kewajiban untuk membayar PPh Pasal 4 ayat (2) Final sebesar 1% (satu persen)
dari omset per bulan. Kewajiban ini melekat sepanjang omset dalam satu Tahun Pajak yang
diperoleh koperasi tidak melebih Rp4,8 (empat miliar delapan ratus juta rupiah). Mengenai
omset yang diperoleh dalam satu tahun pajak atau satu masa pajak dalam suatu satu tahun
pajak telah melebihin batas tersebut, maka untuk tahun pajak berikutnya, koperasi tidak lagi
dikenakan kewajiban PPh Final Pasal 4 ayat (2) sebesar 1% per bulan.
Di dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-42/PJ/2013 tentang Pelaksanaan
Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 disebutkan bahwa penyetoran PPh Final Pasal 4
ayat (2) hanya dilakukan apabila terdapat omset/penyerahan pada bulan tersebut dan
pembayaran dapat langsung disetorkan paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya melalui
Bank/Kantor Pos/ATM. Sepanjang bukti penyetoran yang diperoleh telah mendapat validasi
yang sah dari kantor penerima, maka tidak perlu lagi melaporkan SPT Masa PPh Final Pasal
4 ayat (2) sebagaimana telah dipertegas di dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak
Nomor SE-32/PJ/2014. Dalam hal pada suatu bulan tidak terdapat penjualan/omset, maka
koperasi tidak wajib melaporkan SPT Masa PPh Final Pasal 4 ayat (2) seperti yang telah
disebutkan di dalam huruf F angka 5 SE-42/PJ/2013 dan huruf E angka 8 poin e SE32/PJ/2014.
Terhadap koperasi yang termasuk dalam kriteria omset tidak lebih dari Rp4,8m (empat miliar
delapan ratus juta rupiah) ini maka pembayaran PPh Final Pasal 4 ayat (2) yang dilakukan
akan menjadi pengganti pajak terutang di akhir tahun. Sehingga status SPT tahunan PPh
Badan pada tahun pajak tersebut menjadi NIHIL (tidak ada lagi PPh Pasal 29 terutang) yang
harus dihitung, koperasi hanya cukup melampirkan catatan pembayaran PPh Final Pasal 4
ayat (2) yang telah dilakukan sepanjang tahun tersebut.
Pajak Penghasilan Masa Pasal 25
Apabila omset sebuah koperasi melebihi Rp4,8 (empat miliar delapan ratus juta rupiah),
maka kewajiban koperasi adalah menghitung PPh Masa Pasal 25 yang akan terutang
sepanjang suatu tahun pajak sebagai kredit pajak pada perhitungan PPh pada akhir tahun.
Mungkin mudah untuk mengetahuinya apabila suatu koperasi sudah lama berdiri kegiatan
operasional usahanya berjalan. Omset pada suatu akhir tahun dapat dengan mudah diketahui
dan bisa langsung dilihat jenis kewajiban PPh membayar sendiri yang harus ditanggung di
tahun pajak berikutnya.

Bagaimana jika suatu koperasi yang telah berdiri sejak tahun 2010 lalu vakum dari kegiatan
usaha sejak akhir 2013 dan baru akan memulai kegiatan usahanya pada April 2014? Atau
bagaimana bila koperasi tersebut baru berdiri Juni 2014 dan baru menjalankan kegiatan
usahanya pada Agustus 2014? Maka menurut Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor
SE-32/PJ/2014 tentang Penegasan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013,
tata cara perhitungan Pajak Penghasilan untuk tahun pajak 2014 dan 2015 mengikuti
ketentuan umum yang berlaku yaitu dikenai PPh Pasal 25 Masa (Kredit Pajak) dan PPh Pasal
29 akhir tahun dan barulah jumlah pencapaian omset pada tahun pajak 2015 menjadi penentu
tata cara pengenaan kewajiban membayar sendiri Pajak Penghasilan. Mengenai ketentuan
penentuan jumlah omset/peredaran bruto bagi koperasi yang baru beroperasi secara komersial
untuk pertama kali ditentukan berdasarkan jumlah omset/peredaran bruto dari usahanya
dalam 1 (satu) tahun pajak setelah beroperasi secara komersial.
Secara sederhana, PPh Masa Pasal 25 adalah jumlah PPh yang akan dibayar setiap bulan
sebagai Kredit Pajak yang besarnya ditentukan dengan menghitung jumlah PPh terutang
akhir tahun pada tahun pajak sebelumnya lalu dibagi 12, ini berdasarkan asumsi bahwa
besaran omset pada tahun pajak berikutnya tidak akan jauh berbeda. Penyetoran PPh Masa
Pasal 25 dilakukan paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya dan menurut Pasal 4 ayat (1)
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-22/PJ/2008 tanggal 21 Mei 2008 tentang Tata
Cara Pembayaran dan Pelaporan PPh Masa 25 disebutkan bahwa:
Wajib Pajak yang melakukan pembayaran PPh Pasal 25 pada tempat pembayaran
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan SSPnya telah mendapat validasi dengan NTPN,
maka SPT Masa PPh Pasal 25 dianggap telah disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak
sesuai dengan tanggal validasi yang tercantum pada SSP.
Jadi, penting untuk dipahami bagi para pengurus koperasi bahwa Pajak Penghasilan Masa
Pasal 25 hanya diwajibkan apabila koperasi Anda memiliki omset melebihi Rp4,8m (empat
miliar delapan ratus juta rupiah) dan jangan terjebak pada anggapan bahwa terdapat
pengenaan multi pajak penghasilan masa pada koperasi, karena penentuan jenis
pengenaannya tergantung pada batasan omset.
Pajak Penghasilan Pasal 29

Pada dasarnya perhitungan Pajak Penghasilan Pasal 29 adalah bagian tak terpisahkan dari
pemenuhan kewajiban pelaporan SPT Tahunan PPh koperasi yang paling lambat harus
dilaporkan empat bulan setelah berakhirnya tahun pajak. Hasil perhitungan PPh Pasal 29 ini
tertuang di dalam SPT Tahunan PPh. Meski demikian, tata cara perhitungan PPh Pasal 29
dalam rangka pemenuhan kewajiban pelaporan SPT Tahunan PPh untuk koperasi sangat
tergantung pada jumlah omset koperasi itu sendiri.
Apabila omset suatu koperasi pada tahun pajak sebelumnya masih dibawah Rp4,8m (empat
miliar delapan ratus juta rupiah), maka semua isian SPT Tahunan PPh adalah NIHIL, karena
pengenaan pajaknya sudah dilakukan secara Final sebesar 1% PPh Final Pasal 4 ayat (2),
sehingga koperasi hanya perlu mencatat semua jumlah omset bulanan yang telah dijadikan
dasar dalam menghitung PPh Final Pasal 4 ayat (2) setiap bulannya. Meski demikian,
pengurus koperasi tetap wajib melampirkan Laporan Keuangan (Laporan Rugi/Laba dan
Neraca) di dalam pelaporan SPT Tahunan PPh Badan. Karena jumlah omset yang dilaporkan
di dalam Laporan Rugi/Laba akan jadi penentu tata cara pengenaan kewajiban PPh dibayar
sendiri pada tahun pajak berikutnya.
Dalam hal omset suatu koperasi pada tahun pajak sebelumnya melebihi Rp4,8m (empat
miliar

delapan

ratus

juta

rupiah),

maka

pengurus

koperasi

benar-benar

harus

memperhitungkan berapa laba bersih (biasa disebut Sisa Hasil Usaha) yang diperoleh untuk
menjadi dasar menghitung PPh Pasal 29. Adapun tarif yang digunakan adalah tarif yang
berlaku secara umum menurut Pasal 17 ayat (1) atau Pasal 31E UU No 7/1983 sttd UU No
36/2008. Tentunya dengan tidak lupa memperhitungkan PPh Masa Pasal 25 yang telah
dibayar sendiri dan Kredit Pajak yang diperoleh sepanjang tahun pajak tersebut. Dalam hal
ini pengurus koperasi juga harus menghitung PPh Final atas SHU setelah dikurangi PPh Pasal
29 yang masih kurang bayar, sebelum dibagikan ke seluruh anggota.

Anda mungkin juga menyukai