Anda di halaman 1dari 246

Puthut EA

Dunia Kali
& Kisah Sehari-hari

Dunia Kali & Kisah Sehari-hari


Puthut EA
EA Books, 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Penyunting: Nody Arizona
Desain Sampul dan Tata Letak: Hamzah Ibnu Dedi
Pengantar: Agus Mulyadi
Cetakan Pertama, November 2015 oleh EA Books
244 hlm, 15x21 cm
ISBN: 978-602-1318-18-8
EA Books
Drono, Gang Elang 6E No 8 RT 4 RW 33, Sariharjo,
Ngaglik, Sleman, Yogyakarta 55581

Untuk Kali, anakku. Juga Diajeng Paramita, istriku.


Dua orang yang membuatku selalu merasa tumbuh bahagia.

UCAPAN TERIMAKASIH
Terlalu banyak tangan yang menyunggi kemunculan buku ini, dan karena itu, mestinya
ada terlalu banyak ucapan terimakasih. Hanya karena keterbatasan ruang sajalah yang
membuat tidak semua nama bisa saya kalungi ucapan terimakasih.
Versi awal buku ini dipilih dan dipilah oleh Fahri Salam, lalu lanjut disunting oleh Nody
Arizona. Diberi kata pengantar oleh Agus Mulyadi, didesain dan ditata oleh Hamzah
Ibnu Dedi, dan versi cetak diproduksi oleh Wijayakusuma Eka Putra atau lebih dikenal
sebagai Eka Pocer.
Buku ini hadir karena sebuah janji. Suatu kali, saya ingin membuat buku dari kumpulan
terpilih status Facebook saya, terutama yang punya hubungan dengan tema-tema
tertentu. Buku tersebut saya janjikan untuk dibuat dalam versi digital, sehingga bisa
diunduh gratis bagi siapapun yang ingin membacanya. Tentu saja tetap tersedia bagi
pembaca yang ingin memiliki versi cetaknya.
Semua berlangsung dengan cepat, sederhana, dan lancar. Semua itu berkat sederet
nama yang telah saya sebut di atas.
Semoga buku sederhana ini berguna buat pembaca.
Salam hangat, senantiasa.
Surabaya, 19 November 2015

Puthut EA

Pada Mulanya Adalah

Status facebook

Oleh: Agus Mulyadi

aya pertama kali bertemu dengan Puthut EA sekira bulan Maret 2014. Saat itu,
kami bertemu di sebuah kedai kopi di bilangan Jalan Kaliurang, Depok, Yogyakarta.
Sebelumnya, kami sudah sering mensen-mensenan di Twitter. Di kedai kopi
tersebut, kami ngobrol tentang banyak hal, tentang buku, tentang pergaulan, tentang
kuliner, dan bahkan tentang kisah asmara. Dari obrolan yang hanya sekitar dua jam,
saya sedikit banyak jadi tahu, bagaimana Puthut EA itu.
Ia pribadi yang ringan, supel, lumayan lucu (sengaja saya pakai kata lumayan
karena memang ia tidak lucu-lucu amat), dan agak kementhus. Seorang lulusan filsafat
yang sampai sekarang masih sering saya ragukan kefilsafatannya.
Puthut punya kebiasaan buruk, yaitu terlalu mudah percaya sama orang (entah ini
kebiasaan buruk, atau malah kebiasaan baik). kebiasaan buruk itulah yang kemudian
membuatnya enteng saja mempercayakan saya sebagai penulis kata pengantar di
bukunya ini, padahal kami baru kenal satu setengah tahun. Kurang nggentho gimana
coba?
Tapi tak apa, lagian, kalau tidak begitu, kapan lagi nama saya bisa mejeng sebagai
penulis kata pengantar di buku yang ditulis oleh cerpenis kondang ini. Yah, idep-idep
sebagai ajang eksistensi.
Semenjak pertemuan di kedai kopi tersebut, kami jadi berteman baik. Ia menjadi
teman sekaligus guru bagi saya. Ia pula yang kelak bakal memberikan saya akses
masuk ke dalam pergaulan dunia media digital yang maha asyik lagi menyenangkan.
Tapi sayang, saya mengenal Puthut justru pada saat ia sedang berada dalam titik
terendahnya sebagai cerpenis. Semenjak kami berkenalan hingga sekarang, tak ada
satupun buku kumpulan cerpen baru yang ia terbitkan. Kalaupun ada, itu adalah buku
kumpulan cerpennya terdahulu yang diterbitkan ulang.
Belakangan baru saya tahu sebabnya, ternyata, ia memang sedang sangat tertarik
pada dunia kepenulisan di sosial media, khususnya Facebook. Maka tak heran jika
kemudian ia lebih asyik menulis status-status Facebook ketimbang menulis cerpen.
Di Facebook, ia menulis tentang segala sesuatu, tentang anak dan istrinya,
tentang bisnisnya, tentang pergaulannya, dan tentang apapun itu yang menarik dan
menurutnya pantas untuk ditulis.
Sebagai seorang lulusan filsafat (yang sekali lagi masih sering saya ragukan
kefilsafatannya) cum cerpenis pilih tanding, tentu yang ia tulis bukan status murahan
seperti kebanyakan pengguna Facebook, melainkan status yang unik, renyah,
menggelitik, persuasif, dan kadang akan membuat orang bergumam jindul, apik tenan
ik setelah selesainya membacanya.

ii

Bagi saya, Puthut EA adalah Jonru dalam versi yang lebih santai dan elegan (saat
menuliskan bagian ini, saya berdoa, semoga kelak Puthut EA tidak akan jadi buzzer
obat peninggi badan).
Facebook bagi Puthut adalah kanvas yang menarik untuk dicorat-coret.
Ketertarikannya pada status Facebook itu juga menginspirasinya untuk mendirikan
Mojok.co, media online selow yang berangkat dari tulisan-tulisan hasil dari
pengembangan status-status Facebook yang menggelitik yang tersebar di seantero
timeline.
Nah, buku Dunia Kali dan Kisah Sehari-hari yang sedang Anda baca saat ini adalah
kumpulan status-status Puthut yang dinilai layak untuk disajikan dan dibukukan.
Sengaja dipilih judul Dunia Kali dan Kisah Sehari-hari karena memang buku
ini didominasi oleh tulisan-tulisan tentang anak semata wayangnya, Kali (nama
lengkapnya Bisma Kalijaga). Maklum, Puthut memang tipe ayah yang ideal (walau
belum masuk dalam tingkat idola mamah-mamah muda seperti Iqbal Aji Daryono)
yang mampu membagi waktu secara ideal untuk urusan bisnis maupun keluarga.
Mungkin Puthut berbeda jauh dengan Don Corleone, tapi untuk urusan keluarga, ia
punya prinsip yang sama dengan sang Don: A man who doesnt spend time with his
family can never be a real man.
Sebagai seorang lulusan filsafat (yang lagi-lagi masih sering saya ragukan
kefilsafatannya), Puthut tentu sadar benar, bahwa kehidupan adalah momok yang keras
dan kejam, ia tega menggampar siapapun dengan rutinitas yang luarbiasa sibuk dan
bergegas. Namun ia juga sadar, bahwa menghabiskan waktu bersama keluarga adalah
jalan keluar yang ampuh untuk mangkir dari rutinitas yang serba bergegas. Ia mampu
melakukannya. Dan hebatnya lagi, ia juga mampu untuk menuliskannya. Mungkin bagi
Puthut, menuliskan cerita tentang keluarganya (terutama anak semata wayangnya)
adalah cara yang paling tepat untuk menggampar balik si kehidupan yang keras dan
kejam itu.
Dan bedebah, saat membaca bab pertama buku ini, saya merasa sangat panas. Lha
bagaimana tidak, sebagai seorang bujangan, saya dipaksa untuk membaca cerita
tentang bagaimana Puthut mengarungi cerita berumah tangga yang walau penuh
dengan gesekan-gesekan kecil, namun tetap membahagiakan.
Nikmat sekali membaca cerita tentang bagaimana Puthut dan istrinya saling
mendukung satu sama lain. Tak kalah nikmat pula saat membaca tentang tingkah polah
Si Kali yang begitu lucu dan jenaka.
Nikmat, namun juga membuat cemburu.
Pokoknya, siapa saja pemuda yang membacanya, saya yakin pasti bakal merasa
ingin segera berumah tangga. Dan siapa saja yang membaca cerita kelucuan dan
kepolosan Si Kali, pasti ingin rasanya segera menghamili anak orang agar bisa segera
punya anak dan berbagi cerita.

iii

iv

Satu yang membuat saya suka dari cerita keluarga yang ditulis Puthut adalah,
ia bercerita dengan sangat manusiawi. Puthut menggambarkan dirinya bukan
sebagai sosok superdad yang serbabisa. Ada kalanya, ia nampak kemlinthi dalam
ketidakmampuannya.
Puthut membuktikan dengan sangat tepat, bahwa keluarga adalah tatanan yang
berdiri dalam sebuah konsep lock and key, saling melengkapi. Dan itu ia tuliskan
dengan sangat jelas dalam salah satu tulisannya yang berjudul Mengajari istri naik
Sepeda Motor, dimana Puthut berkisah tentang betapa heroiknya ia saat mengajari
sang istri tercinta untuk mengendarai sepeda motor, padahal dalam sisi yang lain, jika
ia ingin bepergian menggunakan mobil, ia harus selalu disopiri oleh istrinya karena
Puthut memang tidak becus mengendarai mobil.
Puthut mahir mengendarai motor dan istrinya justru kesulitan, sebaliknya, istrinya
begitu lancar mengendarai mobil, sedangkan Puthut sangat tidak becus mengendarai
mobil. Sungguh sebuah ketidakbecusan yang sangat indah dan harmonis.
Oalah...
Oh ya, ini bukan buku Kiat membangun keluarga kecil yang bahagia dan harmonis,
jadi isi buku ini tentu tak melulu tentang kisah Puthut dan keluarga kecilnya.
Selain tentang keluarga, Puthut juga banyak menuliskan tentang perkembangan
dunia pop (tentu saja), karena bagaimanapun juga, Puthut adalah seorang pembaca
berita yang lahap. Pergaulannya yang berada dalam arus dunia digital membuatnya
harus selalu update terhadap isu-isu terkini yang sedang berkembang di masyarakat.
Dan lagi-lagi, Puthut berhasil menuliskan itu semua, sama indahnya seperti saat ia
menulis tentang anak-istrinya.
Dalam kondisi tertentu, Puthut bahkan bisa begitu spartan dalam menuliskan
gagasannya, salah satunya adalah saat ia berani mempertanyakan dimana sebenarnya
letak keistimewaan Jogja.
Kawan-kawannnya juga tak luput dari incaran tulisannya. Mulai dari kawan satu
komunitas, kawan bisnis, hingga kawan satu akademis.
Dan lulusan filsafat memang harus begitu.
Urusan politik lebih menarik lagi. Disaat semua orang sibuk berdebat tentang Jokowi
dan Prabowo, Puthut justru memposisikan dirinya sebagai pihak yang luweh-luweh.
Seorang Jokower punya tugas untuk membela Jokowi, pun begitu juga dengan seorang
Prabower yang punya tugas untuk membela Prabowo. Nah, tugas Puthut sebagai pihak
yang luweh-luweh adalah mencari kegoblokan dan kedunguan dari para Jokower dan
Prabower untuk kemudian menuliskannya.
Statusnya sebagai pihak luweh-luweh itu pula yang kemudian membuat Puthut
mampu melihat dunia politik dari sisi yang lain, sisi yang lebih jenaka.
Dan itu bisa dilihat jelas dari tulisan singkatnya berjudul Handphone, dalam tulisan
tersebut, Puthut mengemukakan adanya campur tangan China dalam kemenangan
Jokowi, namun tentu bukan campur tangan dalam bentuk intervensi politik, melainkan
campur tangan HP China, karena bagaimanapun, Tanpa Hp murah produk China, media
sosial seperti Facebook, Twitter bahkan pemotretan data C1 tidak bisa dilakukan oleh
banyak orang. Hahaha, lak bajingan.

Bab terakhir di buku ini adalah bab Menuju Langit. Sebuah bab yang dikhususkan
untuk diisi dengan tulisan-tulisan yang penuh dengan nuansa religi. Ibarat SKJ (senam
kesegaran jasmani), bab ini adalah bagian pendinginan, yang tentu diharapkan bisa
membuat pembaca untuk merenung tentang hakikat hidup beragama.
Sebagai pria yang hidup di jaman yang serba egois, Puthut jelas termasuk pria yang
begitu beruntung, ia punya keluarga yang menyenangkan, kawan-kawan yang setia,
bisnis yang baik dan berkesinambungan, serta pengetahuan yang di atas rata-rata.
Dengan segala apa yang sudah ia punya, maka tugas yang harus diembannya kini
hanyalah satu: Berdakwah.
Dan dakwah yang dipilih Puthut adalah dengan menuliskan Menuju Langit ini.
Apa saja yang dituliskan oleh Puthut dalam Menuju Langit? Yo baca saja sendiri tho,
wong yang punya tugas dakwah kan Puthut, bukan saya. Nanti kalau saya ceritakan
di sini, saya takut dikira menyabotase tugas dakwah. Nanti kalau saya dituntut sama
Puthut, bisa berabe saya. Nanti anak istri saya mau dikasih makan apa?
***
Pada akhirnya, saya memang hanya bisa mengantar pembaca sampai sini saja.
Karena tugas saya memang hanya sebagai pengantar, bukan pemandu atau guide. Jadi
setelah ini, perjalanan Anda akan dipandu langsung oleh si empunya gawe.
Akhir kata, Selamat membaca. Dan bacalah sampai akhir, karena saya berani
menjamin bahwa buku ini sangat bagus. Kenapa? Karena buku ini ditulis oleh seorang
lulusan filsafat (yang sampai sekarang masih sering saya ragukan kefilsafatannya).

Yogyakarta, 20 November 2015

DAFTAR ISI
PROLOG
Usia
001

BAB 1

Dunia Kali
003

BAB 2

Renungan Harian
063

BAB 3

Komunitas & Orang-orang Sekitar


123

BAB 4

Bola Sastra
143

BAB 5

Menuju Langit
181

EPILOG

Jakarta-Yogya
227

vii

PROLOG
usia
U

mur saya baru saja masuk 38 tahun. Kalau Tuhan mengizinkan, dua tahun
lagi umur saya 40 tahun. Umur yang kata banyak orang, di situlah kehidupan
sesungguhnya dimulai.
Angka 8 adalah angka keberuntungan saya. Saya lahir tanggal 28, istri saya lahir
tanggal 18, hari pernikahan saya dan semua hal yang saya anggap penting, saya pilih
yang ada angka 8. Bisa 8, 18, 28. Saat menginap di hotel, jika memang ada pilihan,
saya memilih kamar yang ada angka 8.
Nody, sahabat saya, karena tahu saya suka angka 8, pernah memesankan tiket
kereta api dengan nomor kursi 8 di gerbong 8. Hasilnya? Saya terpaksa pontangpanting karena gerbong nomor 8 terletak paling belakang. Sehingga ketika turun
dari gerbong pun terpaksa harus melompat karena gerbong paling belakang tidak
kebagian bantaran tinggi.
Kebetulan pula, pemain AS Roma bernomor punggung 8 adalah salah satu pemain
yang saya sukai. Namanya: Adem Ljajic. Tatapan matanya dingin, seperti kebanyakan
pemain berdarah Serbia. Tatapan mata seperti para pemburu dan penembak jarak
jauh yang sabar mengincar objek bidikannya berhari-hari di belakang senapan, dalam
deru badai salju. Dia tidak banyak bicara. Tendangannya kencang, dan selalu bisa
menempatkan diri di posisi paling tepat.
Saya tidak terlalu bisa menulis dinihari ini karena habis dari Asmara Art & Coffee
Shop (Ascos). Menikmati brown sugar, sembari minum bir bersama teman-teman.
Saya seorang Aries. Bisa kalah, tapi tidak bisa menyerah.
Saya seorang Aries, yang bahkan dalam keadaan mabuk berat pun saya masih
ingat harus membelikan anak saya berkotak-kotak susu.
Saya seorang Aries, bershio ular, yang lahir sesaat setelah matahari terbit.
Dinihari ini, saya hanya ingin makan Indomie rebus sembari menunggu malam selesai.
Tapi kepala saya sudah telanjut berat. Terlalu berat bahkan untuk bangkit mengambil
Aspirin.
Terimakasih atas ucapan selamat dari teman-teman. Peluk erat. Salam hangat.
Eh, omong-omong, Francesco Totti, dimainkan pertama kali di klub senior AS Roma,
sekaligus menancapkan tonggak karir profesionalnya, pada tanggal 28 Maret.

mencoba meminjam mata


seorang ibunda
menatap punggung anaknya
yang akan menukar semua harga
dengan segala dharma.

BAB 1

DUNIA KALI
3

Sepasang suami-ISTRI
S

uami-istri yang rukun dan mintilihir itu banyak cirinya. Tentu saja sesuai dengan
kekhasan masing-masing. Saya akan kasih dua contoh yang khas, yang mungkin
sesuai dengan kepribadian Anda dan pasangan.

1
Kalau ke mal, sang suami lihat-lihat sepatu atau baju, sang istri langsung
semangat ikut milih mana yang pas buat sang suami.
Istri: ini bagus, pas buat mas...
Suami: tapi mahal, je...
Istri: nggak apa-apa, daripada nanti nyesel...
Dibelilah sepatu atau baju tersebut. Ketika lewat pajangan baju dan sepatu
wanita, sang istri langsung sibuk mencari-cari sepatu atau baju lalu bilang: ini cocok
nggak buat aku?

2
Ke gerai jam tangan. Tiba-tiba tangan sang suami ditarik oleh sang istri masuk:
lihat-lihat yuk siapa tahu ada yang cocok buat mas.
Masuklah pasangan ini dan melihat-lihat.
Istri: ini bagus untuk mas...
Suami: masak sih?
Istri: iya...
Dibelilah jam tangan tersebut. Keesokan harinya, saat sang suami mau pergi, jam
tangan barunya nggak ada di tempat. Sang suami menelpon istrinya yang sedang
menghadiri acara keluarga.
Suami: jamku kok nggak ada ya...
Istri: ini lagi kupakai...

kali
S

aya, seperti halnya tokoh yang paling saya kagumi, Vito Corleone, punya perasaan
yang sentimentil terhadap keluarga saya. Apalagi kepada anak saya: Kali.
Saya kerap membuntutinya jika ia sendirian. Hanya sekadar ingin tahu, apa yang
dilakukannya. Dan kadang-kadang mematut-matut diri, apakah apa yang ia lakukan
merupakan karakter yang diwariskan dari saya.
Kali sering bangun dini hari ketika saya menonton sepakbola. Tiba-tiba ia
langsung duduk di samping saya sambil ikut menonton. Kalau ia tahu saya mau
pergi malam hari, ia bangun. Minta ikut naik Vespa, memutari kompleks perumahan,
baru mau ditinggal pergi.
Dan acap kali begini. Ia menyantap dengan lahap makanan yang sangat saya
sukai: tempe. Bahkan kadang ia mengambil sendiri dari meja makan.
Apa yang dilakukan Kali pasti sama dengan apa yang dilakukan anak-anak
seusianya. Tapi karena saya bapaknya, maka saya sering merasa terharu. Mungkin
sama dengan apa yang dirasakan oleh Vito setiap kali melihat Santino dan anakanaknya yang lain pada saat bermain.
Besok pagi, Kali akan diajak ibunya, masuk ke bilik suara, mencoblos Jokowi.
Bapaknya tidur di rumah.

acara keluarga
S

ebagai seorang bapak dan suami, saya sering merasa kecewa dengan diri saya
sendiri karena tidak sanggup melakukan hal-hal sederhana untuk anak dan istri
saya.
Keluarga istri saya sedang punya hajat cukup besar, sebuah pernikahan. Tepat
di saat itu, saya juga punya beberapa agenda di Jakarta. Walhasil, jadilah kami
keluarga kompak ceria, berangkat ke ibukota dengan berusaha mengklopkan acara
keluarga dan agenda kerja. Istri saya dan Si Kali menginap di rumah mertua, saya
menginap di penginapan langganan.
Selain acara inti, istri saya juga punya acara-acara lain. Saya juga. Maklum masih
dalam suasana lebaran. Halalbihalal dan reuni-reunian masih sah dikerjakan.
Setelah kami susun jadwal bersama, dari sekian deret acara yang mestinya bisa
saya sambangi bersama istri dan anak, ternyata hanya tersisa satu: acara inti,
pernikahan saudara. Akad nikah dilakukan tadi pagi jam 8, syukuran dilakukan jam
10. Sementara untuk acara-acara keluarga yang lain, saya tidak bisa bergabung.
Semalam, saya punya acara kecil, menghadiri reriungan bersama teman-teman
di Yogya yang sudah tinggal di Jakarta. Saya memperkirakan jam 1 dini hari, acara
reriuangan selesai. Kemungkinan besar saya tidak akan tidur. Hal yang biasa bagi
saya. Toh saya bisa tidur setelah perhelatan.
Namun ternyata acara bersama teman-teman saya usai jam 2 lebih. Saya sampai
hotel hampir jam 3. Usai azan Subuh, saya menghubungi istri saya kalau sebentar
lagi akan meluncur. Ia berpesan agar saya tidak lupa membawa sepasang sepatu Kali
yang dititipkan ke koper saya. Semua seakan lancar saja.
Tapi usai mandi, mendadak saya mual. Kepala saya pusing. Sebelum berangkat ke
Jakarta memang kondisi fisik saya tidak begitu fit. Akhirnya saya tiduran. Beberapa
saat kemudian, saya bangkit dan mempersiapkan semua. Baru saja memakai
sepatu, badan saya oleng. Saya kemudian tiduran lagi. Setelah berpikir sesaat, saya
memutuskan kalau saya tidak mungkin bisa berangkat. Hal tersebut saya kabarkan
ke istri saya lewat pesan pendek. Dan saya tidur.
Terbangun pukul 13.00, kepala saya agak enteng. Badan agak segar. Saya
hendak mengambil sesuatu dari koper dan sepasang mata saya terperangkap pada
sepasang sepatu mungil yang mestinya saya bawa pagi tadi. Mendadak saya merasa
ingin menangis. Membayangkan betapa sedihnya istri saya, tidak ada suaminya
berbeskap di sebuah acara keluarga yang sakral dan khidmat. Sekaligus merasa geli,
membayangkan sepatu apa yang dipakai Si Kali...

makanan dan turunan


K

ali hobi sekali makan kerupuk. Sama seperti saya. Awalnya, ia melihat saya makan
kerupuk. Kemudian meminta. Saya kasih sedikit. Lalu meminta terus.
Selain suka makan kerupuk, saya juga suka makan peyek kacang dan kacang
bawang. Kali pun meminta. Awalnya saya waswas, takut dia langsung menelan. Tapi
ternyata Kali bisa lancar mengunyah cemilan keras itu. Istri saya keberatan jika saya
memberi Kali kacang. Jadi kadang-kadang saya lakukan sembunyi-sembunyi.
Khusus untuk kerupuk, istri saya tidak keberatan. Bahkan ia memberi porsi jumbo
khusus untuk Kali jika menginginkan makan kerupuk. Tapi semua itu diberikan
dengan cara khas istri saya kalau makan: tertib dan tepat waktu. Beda dengan gaya
makan saya yang khas ndeso dan tak tentu waktu.

10

mengajari istri naik sepeda motor


S

ebagai suami, saya kurang berhasil dalam banyak hal. Salah satunya adalah gagal
mengajari istri saya naik sepeda motor.
Usai menikah tahun 2010, mengajari motor istri saya adalah agenda terpenting.
Mengingat ia akan saya ajak pindah dari Jakarta ke Yogya. Saya sering berpergian
keluar kota sehingga menjadi keniscayaan bagi istri saya untuk bisa mengendarai
sepeda motor. Kalau tidak, bagaimana ia harus berbelanja atau berpergian jika saya
tidak sedang di rumah?
Tiga hari berturu-turut saya menggembleng istri saya agar bisa mengendarai
moda transportasi yang paling mudah itu. Waktu itu, sepeda motor saya adalah
Scoopy. Pendek, ringan dan metik. Istri saya bisa mengendarai sepeda angin.
Mestinya secara teoritik tidak akan ada masalah. Tapi ternyata tidak semudah yang
saya bayangkan. Selama tiga hari itu, istri saya tidak berhasil mengendarai sepeda
motor walaupun hanya 10 meter. Saya merasa gagal sebagai pelatih.
Akhirnya harus saya tempuh solusi yang lain. Kami beli mobil kecil termurah
meskipun begitu tetap mengkis-mengkis bagi saku seorang penulis. Jadilah kami
keluarga kecil yang sedikit unik. Istri saya tidak bisa mengendarai sepeda motor,
saya tidak bisa nyetir mobil. Jadi ke manapun kami berpergian berdua jika naik
mobil, istri saya yang nyetir. Ketika ia hamil dan rajin periksa ke dokter, saya tetap
nebeng. Sampai lahirlah Si Kali. Ketika kami berpergian bertiga naik mobil, istri saya
yang nyetir mobil dan saya di belakang menjaga Si Kali.
Hingga saya kemudian memutuskan belajar menyetir mobil setelah empat
tahun punya mobil. Perkaranya sepele. Musim hujan lalu, saya sering janjian sama
teman-teman saya baik untuk rapat maupun untuk sekadar ngopi. Kadang jam
19.00, kadang jam 20.00 tapi juga tidak jarang jam 22.00. Beberapa kali saat janjian
jam 22.00, hujan turun deras. Saya memang anti memakai jas hujan karena alasan
tertentu. Solusinya, saya diantar istri dan tentu saja anak saya. Lalu mereka pulang.
Sekali dua, saya tidak terganggu. Tapi setelah lewat lima kali, saya jadi tidak enak.
Akhirnya dengan tekad bulat saya belajar nyetir mobil. Soal pengalaman saya
belajar nyetir mobil akan saya ceritakan lain waktu. Kalau sempat.
Pagi tadi saya njumbul ketika dengan muka penuh percaya diri istri saya bilang
minta diajarin nyetir sepeda motor. Waduh. Sepeda motor saya sekarang sudah ganti
dengan Vespa metik yang berat, agak tinggi dan getarannya kencang. Kalau Scoopy
saja tidak bisa, apalagi Vespa? Tapi saya tidak boleh meremehkan tekad istri saya
dan tidak berhak melarang orang untuk belajar.

11

Segera saya kasih panduan singkat. Pesan saya: jangan takut. Hidup kami sudah
melalui serangkaian hal besar dan menakutkan, dan kami bisa melewatinya. Begitu
pesan saya, mendadak menjadi motivator. Istri saya langsung naik. Nyetater. Wus!
Bisa!
Ia memutari kompleks perumahan kami beberapa kali. Nyaris tidak ada hambatan
berarti. Hanya kadang diganggu Si Kali yang sedang mengendarai mainan sepeda
motornya.
Ini hari yang luarbiasa bagi keluarga kami.

hadiah dari istri


S

esibuk apapun jika saya di Yogya, saya berusaha keras untuk makan malam
dengan istri saya, kadang di luar rumah. Tapi lebih sering makan malam di rumah.
Dan selama makan, kami tidak pernah membicarakan soal pekerjaan. Kami bicara
yang ringan-ringan. Begitulah yang dilakukan oleh Don Vito Corleone bersama
keluarganya.
Hari ini setelah capek seharian mengikuti tiga kegiatan yang berbeda, saya
pulang untuk makan malam. Tiba-tiba saya dikejutkan oleh masakan istri saya. Wah,
ini hasil dari ia ikut kelas memasak sehat yang dipandu Bang Jon Priadi Barajo.
Setelah makanan tandas, seperti biasa istri saya minta dinilai hasil masakannya.
Saya pura-pura jadi ahli masak yang memberi penilaian.
Acara selesai. Ketika kami berdua hendak merapikan meja, saya bilang: Saya mau
membalas email karena seharian tidak sempat cek email, bisakah saya minta tolong?
Minta tolong apa? Tanya istri saya.
Buatkan Indomie goreng karena saya masih lapar.
Istri saya tertawa ngakak...

13

si kali membangkang di kamar mandi


S

aya termasuk bapak yang amat sangat jarang memandikan Kali. Sampai ia
berumur 2,5 tahun mungkin tak lebih dari 10 kali saya melakukannya. Tentu dalam
hal ini saya bukan contoh yang baik.
Kali memang punya polah yang luarbiasa. Hobinya lari, tertawa dan menangis.
Terlebih kalau di kamar mandi. Mendadak kamar mandi selalu menjadi medan tempur
jika ia mandi. Lari ke pojok, memanjat, menolak disabuni, hingga istri saya butuh
kesabaran ekstra.
Kali hampir selalu menangis dan menolak jika diajak mandi. Sekaligus ia
melakukan hal yang sama jika sudah selesai mandi lalu hendak diajak keluar kamar
mandi. Jadi saya sering bingung, sebetulnya ia suka atau tidak sih?

14

pagi yang mbentoyong


P

agi ini saya terbangun karena tiga hal. Pertama karena teringat saya tidak
salat Subuh. Walaupun gothang-gothang, salat Subuh adalah salat yang paling
sering saya kerjakan mengingat persis habis itu biasanya saya akan tidur. Tadi pagi
semestinya begitu, saya sudah mendengar azan Subuh tapi malah mak lesss...
Kedua, karena saya tidur di kasur. Saya sedang tirakat tidak tidur di kasur
melainkan di lantai tanpa alas apapun. Saya tidak bisa menjelaskan hal ini kepada
Anda semua karena saya biasanya punya sedikit urusan begini sama alam. Kadang
cuma makan singkong, kadang laku mbisu, kadang laku yang lain. Kali ini laku tidak
tidur di kasur. Tapi tadi Subuh sangat ingin memeluk Kali. Jadi saya naik ke kasur,
saya peluk anak saya itu. Damai rasanya. Eh keterusan sampai sekarang...
Ketiga, saya mendengar suara ramai di ruang TV. Suara ibu saya yang kemarin
datang, suara istri saya, suara Kali dan suara Jokowi.
Jo ko wi!
O o wi!
Begitu berulang kali suara istri saya yang tampak semangat karena bakal punya
presiden baru, ditirukan suara Si Kali. Ibu saya menimpali dengan sesekali tertawa
dan sesekali ikut teriak.
Saya pindah tidur di lantai dengan mata yang sangat berat. Saya ingin meminta
agar volume suara TV dikecilkan. Tapi saya berpikir biarlah toh momentum seperti ini
tidak sering terjadi.
Saya sedang menunggu istri saya masuk kamar untuk memberi selamat karena ia
punya presiden baru. Sembari menunggu, saya tulis status di Facebook.
Tiba-tiba terlintas bau Indomie goreng dari dapur...

15

teralis cinta
S

emalam, sebagaimana malam-malam biasanya, saya pulang menjelang jam 3


dinihari. Kepala sudah puyeng dan perut agak kembung. Ketika hendak membuka
pintu, sepintas saya melihat sesuatu yang asing. Saya menghentikan memutar kunci.
Teralis. Jendela rumah kami sekarang ada teralisnya. Memang sekitar seminggu
yang lalu, istri saya bilang sebaiknya segera membuat teralis karena Kali mulai
sering melompat jendela dan lari cepat ke mana saja. Terlena sedikit, kami bisa
kebingungan mencari bocah laki-laki yang berumur 2,5 tahun itu. Ketika keesokan
harinya saya dapat bayaran sebagai kepala suku dari manajemen Mojokdotco,
saya berikan sebagian ke istri saya untuk memesan teralis di dua jendela.
Saya tahu lewat istri saya tiga hari lalu bahwa teralis sudah dipasang. Saya
yang saat itu sedang menulis hanya menganggukkan kepala sambil mengucapkan
terimakasih.
Tadi, ketika saya perhatikan betul desain teralis itu, saya tersenyum sambil
terharu.

16

mengurus anak
S

emenjak istri saya mengandung Si Kali, kami bertekad untuk mengurus anak
kami sendiri, tanpa campur tangan baby sitter. Jadilah kami pasangan muda
yang pontang-panting. Tentu saja apa yang dilakukan istri saya tidak bisa
diperbandingkan dengan saya. Terlebih kalau saya sedang keluar kota.
Dengan energi polah yang luarbiasa, Kali selalu membuat kami ngos-ngosan.
Namun semua bisa terbayar karena kami bisa mengetahui perkembangan Kali menit
demi menit. Kami agak bernafas lega kalau mertua saya datang atau orangtua saya
datang. Sejenak kami berdua bisa piknik sebentar. Walaupun hanya sekadar makan
malam berdua di luar rumah atau nonton bareng.
Saya kira, saya bukan kategori bapak yang baik karena saya sangat jarang
memandikan Kali, memakaian baju untuknya, mencuci pakaiannya, menyuapi
makanan untuknya. Saya paling hanya menemani Kali bermain, menjaga kalau dia
sedang tidur sambil main Twitter dan Facebook.
Saya punya kesadaran bahwa merawat anak adalah tanggungjawab istri dan
suami. Tapi prakteknya, apa yang dilakukan istri saya tetap tidak sebanding dengan
apa yang bisa saya lakukan.

17

istriku
Ini bukan catatan untuk Hari Ibu

emarin, saya tiba di rumah ketika Magrib. Saya dikejutkan oleh sesuatu yang
agak asing di rumah, sebuah kursi berwarna biru di depan televisi.
Tentu saja saya terharu. Lalu saya memeluk istri saya dan mengucapkan selamat
hari ibu.
Rumah kami kecil. Kami bahkan tidak punya ruang tamu. Saya tidak punya ruang
untuk bekerja. Istri saya yang dulu berprofesi sebagai seorang desainer interior lalu
membuat konsep untuk menyikapi itu. Ia memfungsikan gazebo kecil di belakang
rumah kami untuk menerima tamu, dan mendesain meja makan yang juga mungil
sekaligus sebagai tempat saya bekerja di rumah.
Kursi santai yang dihadiahkan kepada saya itu untuk menyelesaikan persoalan
kecil supaya saya tidak perlu membongkar sofa yang sekaligus bisa berfungsi
sebagai tempat tidur jika saya mau menonton film atau televisi. Sofa serbaguna itu
kami beli sebagai persiapan jika ada kerabat yang menginap di rumah kami. Istri
saya juga bisa menyikapi secara cerdik bagaimana rak-rak buku bisa terpasang
dengan apik tanpa kehilangan fungsi utama sebagai penopang buku-buku, sehingga
kami tidak perlu lemari buku yang pasti tidak kompatibel dengan rumah kami.
Saya dan istri saya adalah dua dunia yang berbeda. Sebagai ilustrasi, begini saja.
Lima tahun kami berpacaran jarak jauh. Saya di Yogya, pacar saya yang kelak jadi
istri saya ini di Jakarta. Suatu saat ketika sastrawan besar Pramoedya Ananta Toer
meninggal dunia, saya menelepon pacar saya, agar ia datang karena beberapa teman
saya butuh tumpangan mobil. Usai pemakaman, malamnya, pacar saya itu mengirim
SMS: Mas, sebetulnya siapa sih Pramoedya itu, kok yang layat banyak dan seru...
Ilustrasi kedua. Seperti biasa, setiap berkunjung di Jakarta, saya sering diajak
pacar saya untuk ikut mengecek proyek-proyeknya. Waktu itu ia bekerja di
salah satu perusahaan interior terkemuka di Jakarta, di daerah Kemang. Saya
terbengong hanya karena istri saya sedang membahas persoalan engsel pintu ke
pihak developer. Saya mencoba menyimaknya dan nyaris tidak paham dengan apa
yang mereka obrolkan. Kira-kira kalau saya sarikan dan saya masukkan ke ilmu
humaniora: engsel pintu itu punya mazab. Kalau engsel pintu saja punya mazab,
bagaimana dengan pintu, jendela, lantai, tembok, atap, tangga dan lain-lain? Tapi
yang paling syok tentu saja soal harga. Saya baru tahu kalau ada meja kecil, saya
lupa apa istilahnya, seharga Rp300 juta. Saya juga baru tahu kalau orang-orang
kaya itu jika merombak dapur atau ruang tidur mereka, bisa menghabiskan uang
miliaran rupiah. Kalau mereka kelak, setahun atau dua tahun, merasa bosan lagi,
dirombak lagi.

18

Tentu saja, mengantar istri saya menghadapi klien-kliennya sering membuat saya
kikuk. Tapi ia selalu memperkenalkan saya ke mereka dengan nada bangga: Ini pacar
saya, ia seorang penulis. (((PENULIS)))
Ketika kami menikah, istri saya meninggalkan pekerjaannya, memilih tinggal di
Yogya dan sangat percaya bahwa saya, suaminya, bisa menghidupi keluarga kami
dengan profesi sebagai penulis. Fase itu sebetulnya adalah salah satu fase yang
membuat saya gentar menghadapi hidup. Tapi ya kami jalani saja.
Semalam, ketika mau ke kamar mandi, saya melewati foto ini. Segera saya jepret
karena sedang sesuai dengan suasana hati dan posisinya pas. Foto pernikahan kami
berdekatan dengan buku tentang Sunan Kalijaga. Anak laki-laki kami, punya nama
panggilan Kali.
Sebelum menikah, saya sudah sepakat dengan istri saya, jika punya anak laki-laki,
akan kami beri nama: Bisma. Jika dua: Bisma dan Karna. Kedua nama itu berasal dari
tokoh pewayangan yang saya kagumi. Persoalannya, ketika anak pertama kami lahir,
kami butuh nama kedua. Tidak mungkin hanya kami beri nama Bisma saja. Di situlah
saya berburu nama. Pilihan pertama nama anak saya adalah Bisma Bismillah.
Iramanya pas. Maknanya, kami suka. Saya berkonsultasi ke beberapa orang yang
saya anggap tahu soal agama Islam, apakah secara adab ini tepat? Akhirnya saya
putuskan tidak memakai nama tersebut.
Pilihan kedua: Bisma Sosrokartono. Nama kedua ini adalah tokoh yang saya
kagumi juga sejak masa remaja. Dan karena kehendak langit, istri saya ada pertalian
saudara dengan beliau. Makam kedua eyangnya ada di kompleks Seda Mukti, Kudus.
Sehingga setiap saya nyekar ke makam eyang istri saya, saya berkesempatan untuk
sekaligus nyekar di makam Sosrokartono. Kali itu, saya meminta istri saya untuk
berkonsultasi dengan keluarga besarnya. Intinya, nama tersebut tidak jadi kami
pakai.
Tinggal satu. Alternatif ketiga. Dan kami tidak punya alternatif keempat. Bisma
Kalijaga. Saya juga mengagumi Sunan satu itu. Bukan ke soal keislamannya tapi
ke soal perjalanan hidupnya yang dari bengal ke alim. Keteguhannya menjaga
tongkat sebagai pintu mencari ilmu. Dan terutama jiwa seninya. Ia menggubah lagu,
menganggit cerita-cerita wayang bahkan menciptakan tokoh-tokoh pewayangan
baru.
Entah kenapa, pilihan ketiga ini paling lancar. Awalnya, anak saya dipanggil
Bisma. Tapi kemudian kami panggil dengan nama: Kali.
Kini kami berada di sini. Sebuah keluarga kecil dengan kisah yang panjang, yang
sebagian kecil saya catat. Pagi ini, istri saya pergi bersama Kali. Mereka berdua
pergi ke Warung Mas Kali, dilanjutkan ke kantor KBEA untuk berkoordinasi proses
pindahan dari kantor lama ke kantor baru.
Sementara saya di rumah. Mencatat kisah ini sambil menyiapkan materi rapat
yang akan saya jalani hari ini.

19

celana
T

adi sore, Kali mengambil 3 celana di lemari pakaiannya. Ia memakai semua celana
tersebut. Sesudah itu mengambil mangkuk plastik di dapur dan dua buah sendok.
Ia memukul-mukul mangkuk itu dengan kedua sendok tersebut seperti bermain
drum. Tidak lama kemudian ia berlari mengambil handuk saya, menudungkan di atas
kepalanya lalu mengeluarkan suara seperti seekor dinosaurus.
Rasanya, ia cepat besar. Sekalipun saya berusaha menangkap dan menikmati
tiap momen bersamanya. Seperti tak mau kehilangan satu detik pun bagaimana ia
berproses untuk tumbuh. Tapi waktu punya cara dan sangkarnya sendiri. Dan saya
hanya bisa mencoba mengingat tahap demi tahap lewat foto-foto yang tersimpan di
telepon genggam ini.

20

kejutan
S

etiap hari, Si Kali selalu memberi kejutan. Anak laki-laki berusia 2 tahun 8 bulan
ini, seakan memberi hal segar tiap saat. Kadang mengkhawatirkan, kadang
membahagiakan.
Suatu saat, ketika masih tertidur, mata saya dijidet-jidetkan oleh Kali sambil
teriak, Bapak, wake up! Wake up!
Kontan saja saya kaget. Usai melek dan njenggelek, saya bertanya kepada istri
saya, Sapa sing marai Mas Kali omongan cara Landa?
Istri saya hanya mengangkat bahu. Saya akhirnya juga cuma kukur-kukur gundul.
Beberapa hari yang lalu, karena repot mengurus perubahan menu warung,
istri saya masuk rumah sambil sempoyongan. Seperti biasa, kalau sudah begitu,
keseimbangannya mudah goyah. Jedug! Sikutnya terbentur lingiran tembok. Kontan
ia meringis.
Kali yang tahu kejadian itu tiba-tiba membingungkan. Ia menarik kursi kecilnya
lalu menyeret mendekat ke lemari kecil. Ia naik dan sibuk mencari sesuatu. Ternyata
ia mengambil kotak peralatan pasca-mandinya. Segera ia turun. Berlari. Membuka
kotak berisi minyak telon, minyak kemiri dan lain-lain itu di lantai. Lalu memilih
salah satu dari botol itu, membukanya, mengusap-usap ke sikut ibunya.
Kami berdua hanya bisa bengong menyaksikan polah Si Kali.
Nah, dua hari lalu kami sekeluarga kedatangan priyagung dari Magelang. Kali
memang tipikal anak yang nggak punya takut dengan orang baru. Ia bahkan
langsung lendotan di bahu Oom Penulis. Saya sampai merasa khawatir karena tahu
tenaga Si Kali bisa membuat Penulis lucu itu kewalahan.
Siang tadi saya perlihatkan foto ini ke dia. Kali tampak serius memperhatikan
foto ini. Terus melihat muka saya. Begitu bergantian. Saya mulai paham, lalu
menunjuk bagian yang cemlorot... Ini ya?
Kali mengangguk.
O kalau bagian itu tiap orang punya beda-beda. Punya Om Agus memang
kempling dan mencorong.
Kali tidak paham omongan saya. Tapi saya nggak peduli.

21

hobi baru
K

ali kini punya hobi baru: bersembunyi di antara bantal-bantal. Terus pura-pura
tidur dan pura-pura mendengkur. Nah, saya harus pura-pura membangunkan dia.
Kalau tidak, dia akan menjerit keras-keras. Sesudah pura-pura saya bangunkan, dia
lalu berlari ke ruang depan televisi. Ambil bola sepak. Masuk lagi ke kamar sambil
teriak: main boa, main boa... Mau tidak mau, saya harus menemaninya main bola
secapek dia.
Tapi paling susah kalau dia menyeret saya ke depan televisi dan dia teriak-teriak:
Jokowi, jokowi!
Saya pusing karena tidak bisa mengatur kapan Jokowi harus muncul di televisi.
Sebagai gantinya, saya membujuk sekreatif mungkin, mengambil Ipad milik istri saya
atau tablet Samsung saya, lalu mencari Jokowi di Youtube, memutarnya.
Jika hal tersebut telah terjadi, ia segera merebut gajet tersebut dan mengutakatik sendiri kalau nggak nyetel Let It Go ya main catur. Main caturnya anak usia 2
tahun 7 bulan ya kayak gitu, asal pencet sana pencet sini.
Dan kalau bosan, gajet itu dibanting. Saya kira itu hobi yang boros dan
berbahaya. Itu hobi yang paling saya awasi. Saya pasang banyak bantal di
sekelilingnya. Setidaknya supaya pas gajet itu dibanting kena bantal. Kalau kena
tembok atau lantai ya... Ya begitulah...
Kalau bantal-bantal sudah mengelilinginya, biasanya dia akan meletakkan gajet
tersebut lalu kembali asyik dengan hobi barunya: bersembunyi di balik bantalbantal.

22

berbuat salah
D

i tradisi keluarga saya, kalau saya berbuat salah kepada orangtua ya meminta
maaf kepada mereka. Juga sebaliknya. Hanya momentumnya dicari yang pas.
Biasanya seusai makan malam atau seusai salat Isya.
Di keluarga kami, sejak kecil Kali kalau melakukan kekeliruan (saya kasih
tanda khusus karena kekeliruan apa sih yang dilakukan oleh anak berusia 2 tahun
7 bulan?), ia tidak cukup hanya bilang: maaf. Ia harus duduk bersila dan ngaras. Itu
tradisi keluarga istri saya.
Kadang terharu campur pengen tertawa juga melihat anak sekecil itu meminta
maaf dengan cara yang khusyuk. Baru kemudian ibu-anak itu berpelukan.
Oalah...

23

potong rambut
W

aktu masih TK, saya benci potong rambut. Sehingga saya sering lari jika mau
dibawa ke tukang cukur rambut. Bapak saya perlu kreativitas ekstra untuk
membujuk saya potong rambut. Mulai dari membelikan mainan sampai kesiapan
untuk mengisahkan dongeng baru sebelum tidur.
Bapak saya orangnya rapi. Setiap mau berangkat sekolah, saya didudukkan di
depan cermin, lalu diberi minyak rambut merek Brisk, kemudian dengan hati-hati
disisir belah pinggir. Biar besok pintar seperti Pak Harmoko.
Harmoko adalah Menteri Penerangan kala itu yang paling kerap muncul di TV,
memberi keterangan tentang apa saja, terutama pemutakhiran harga-harga pangan.
Pak Harmoko juga suka makan tempe, kata bapak saya. Walhasil selain ikan laut,
tempe adalah menu wajib keluarga kami. Sampai sekarang, saya penyuka tempe.
Bapak saya berpindah idola ketika era Reformasi. Di era ketika ia waswas dengan
aktivitas saya, bapak saya berhenti kagum kepada Harmoko dan berpindah kagum
ke Amien Rais.
Ibu saya beda lagi. Dia punya pandangan agak ganjil tentang penampilan orang.
Dia tidak pernah suka gaya yang necis. Ketika teman-teman sebaya saya sibuk
bagaimana menghapus jerawat dari wajah mereka, ibu saya malah bilang: Laki-laki
tanpa bekas jerawat tidak keren. Akhirnya saya tidak ikut-ikutan teman-teman saya.
Ibu saya pengagum Sukarno. Konon mendiang kakek saya pengikut Sukarno. Dalam
hal potongan rambut saya, dia berbeda dengan bapak saya.
Maka pembangkangan saya yang pertama kepada bapak saya adalah mengubah
model rambut Harmoko-nya menjadi belah tengah. Itu saya lakukan mungkin kelas
5 SD. Tidak lama kemudian, era rambut Lupus muncul. Terus menerus sampai saya
remaja: rambut model Samsul Bahri di sinetron Siti Nurbaya, lalu model rambut
Hongkong seperti bintang-bintang film Hongkong.
Saya mengikuti itu semua, tapi sudah tidak pernah lagi ke tukang cukur rambut.
Kepala saya cukup diberi sentuhan oleh kakak sepupu saya atau teman-teman lain
yang bisa memotong rambut. Tapi obsesi saya adalah berambut gondrong seperti
Heydi, sang vokalis Power Slave. Saya pengagum beliau sejak SMA sekalipun saat itu
Power Slave belum mengeluarkan album. Saya pernah dihukum guru SMA saya untuk
cukur rambut. Hampir semua teman laki-laki saya satu kelas kompak. Kami semua
potong gundul pelontos sebagai bentuk protes. Akhirnya kembali kami dipanggil
guru BP (bimbingan dan penyuluhan). Saat ditanya kenapa kok pelontos, saya jawab:
katanya disuruh potong rambut? Waktu ditanya kenapa pelontosnya massal, apakah
itu bentuk pembangkangan? Saya cuma jawab: ini hanya kebetulan karena tidak
janjian. Guru BP tidak percaya. Tapi dia tidak bisa membuktikan apa-apa.

24

Begitu kuliah, saya berambut gondrong. Pernah sampai sepunggung. Tapi


kemudian saya potong pendek gara-gara kutuan. Maklum zaman ngaktivis kan
tidur nggak jelas, keramas nggak jelas. Sayang, saya tidak punya dokumentasi
ketika berambut gondrong. Sehingga saya tidak bisa bergaya dengan memajang foto
berambut gondrong di Facebook.
Selebihnya sampai sekarang saya suka rambut pendek. Sederhana saja alasannya:
kalau keramas tidak ribet dan tidak perlu sisiran. Hal itu memang membuat saya
sedikit repot. Tiga bulan sekali harus menyempatkan diri cukur rambut. Ada
beberapa kegiatan manusia keseharian yang bikin saya sering tertawa sendiri:
bercermin dan sisiran. Maka ketika cukur rambut, saya geli sendiri karena di depan
saya ada cermin besar sekali. Jadi saya bercermin juga tiga bulan sekali. Cukur kumis
dan jenggot pun saya jarang bercermin.
Semalam saya mengalami hal yang membahagiakan. Istri saya dan Si Kali
mengantar saya untuk cukur rambut karena rambut saya mulai butuh disisir kalau
tidak bakal njebobok. Padahal saya paling tidak suka sisiran. Akhirnya datanglah
kami ke salon rambut. Tukang cukur yang bertanya model apa, cukup saya jawab:
pendek dan simpel.
Ketika tukang cukur mulai memotong rambut saya, Kali menjerit-jerit ke arah
ibunya. Saya menoleh memperhatikan mereka berdua. Rupanya Kali minta potong
rambut seperti saya. Ibunya mengambil keputusan cepat, meminta Kali juga
dipotong.
Akhirnya kami, bapak-anak ini, duduk bersebelahan. Sama-sama potong rambut.
Ada yang basah di hati saya ketika melirik cermin Kali dan cermin saya. Semacam
perasaan: anak saya mulai tumbuh besar, dan betapa makin tuanya saya. Termasuk
betapa besarnya rahmat untuk saya...
Model rambut Kali memang eksperimen ibunya dan saya. Sama seperti apa yang
dilakukan bapak saya kepada saya dulu. Bedanya cuma saya tidak bilang supaya Kali
mirip Harmoko.
Ada teman saya yang potongan rambutnya dari saya kenal 10 tahun yang lalu
sampai sekarang tidak pernah berubah. Potongannya simpel dan pendek. Rapi.
Tapi juga tidak pernah saya lihat dia menyisir rambut. Namanya Bilven Sandalista.
Potongan rambut model Bilven itulah yang kerap disebut potongan tidak punya
pacar.

25

26

kali kemping
K

ali membuat manuver baru. Tiba-tiba ia meminta ibunya memiringkan kasur


yang kami cadangkan di kamar tempat biasa dia bermain. Kemudian menggelar
sajadah, dan membawa beberapa mainannya masuk ke kolong antara kasur dan
tembok.
Kali tampak menikmati manuvernya itu. Dia merasa gembira sekali. Ngomong
sendiri. Kemriyek. Ngobrol sama tembok. Tidak apa-apa. Teruskan saja, Nak...

27

metal kecil
B

eberapa hari ini, tingkah Kali agak bikin repot. Ia mulai lari menghindar dan
menggoda jika habis mandi. Ia tidak mau memakai pakaian. Hal ini bikin repot.
Ia lari terus. Jika kemudian tertangkap tidak bisa lari lagi, ia menjerit meronta. Lalu
tertawa cengengesan lagi kalau sudah dilepas. Kadang sampai 30 menit bujuk-rayu
yang kami lakukan, tetap saja Kali tidak mau. Terpaksa saya harus berbohong mau
mengajaknya pergi. Baru kemudian ia mau memakai pakaian. Tapi saya tidak suka
cara itu sebab saya membohonginya.
Ia yang biasanya mengajak saya main bola di dalam rumah ketika sore hari, kini
dilakukan di pagi hari. Justru di saat saya mau berangkat tidur. Saya digeretnya
sambil berteriak minta main bola. Padahal tubuh saya di puncak letih, jam untuk
tidur. Kalau saya tidak mau, ia akan menangis.
Kalau saya sedang makan dan dia kebetulan sedang makan juga, ia meminta lauk
saya. Padahal lauk saya rata-rata pedas. Piring saya direbut dan diganti dengan
piringnya. Saya sih ikhlas saja. Namun punya risiko. Begitu ia makan makanan saya,
pasti kepedesan. Hal itu membuatnya tidak mau makan makanannya.
Kalau sudah seperti itu, istri saya hanya bisa tersenyum. Usut punya usut,
ibu-anak ini sering main iseng. Foto ini salah satu buktinya. Mereka berdua main
tempel-tempelan stiker di wajah Kali. Saya harus siap-siap menerima risikonya. Kali
bisa meminta saya menempel stiker di muka saya, kalau saya tidak mau, ia akan
menangis.
Apalagi semalam saya dibuat terkejut. Tiba-tiba kali tengkurap di lantai sambil
teriak minta diinjak-injak. Saya memang biasanya meminta injak-injak istri saya
kalau pas sangat capek sementara tukang pijat berhalangan datang. Saat seperti
itu, Kali biasanya ikut menginjak-injak saya. Begutu Kali teriak minta diinjak-injak,
terpaksa saya pijit Kali pakai tangan.
Tapi Kali malah berteriak makin keras. Ia meminta saya menginjak-injak
punggungnya dengan cara saya berdiri di atas punggungnya sebagaimana yang
dilakukan istri saya dan dia saat menginjak-injak saya.
Bagaimana nggak pusing...

28

hasil karya istri


K

etika memutuskan pindah ke Yogya, istri saya sempat bingung beraktivitas.


Profesinya sebagai desainer interior tidak banyak dibutuhkan di kota ini.
Tapi kemudian ia punya ide berkreasi membuat tas dengan dibalut kain batik.
Ternyata pasar menyambut baik. Setiap model tas maksimal hanya dibuat 5 buah,
dengan model batik yang berbeda. Beberapa butik di Jakarta dan di Surabaya
meminta ikut menjual, dan beberapa desainer busana meminta tas kreasi istri
saya dipakai sebagai aksesoris untuk fashion show, dicangking para peragawati
melenggang di panggung cat walk.
Ketika istri saya mengandung Kali, kegiatan ini dihentikan. Selain tempat
workshop pembuatannya cukup jauh yakni di Bantul, juga ia ingin konsentrasi
khusus untuk kandungannya yang kian membesar.
Sebagian tas masih ada. Tentu tidak untuk dijual melainkan sebagai barang
kenangan bahwa ia pernah melakukan kreativitas ini. Tapi ia pernah bilang, suatu
saat ingin kembali meneruskan berkarya membuat tas. Tentu saja saya akan
mendukung sepenuhnya. Ini bukan semata soal uang namun soal bagaimana
mengekspresikan diri.
Sebab saya tidak pernah membayangkan manusia tanpa karya. Apapun karya itu.

29

tiap hari tambah besar


T

iap pagi, rasanya Kali cepat sekali tumbuh besar. Saya


selalu berusaha keras berlama-lama dengannya, dan ia
selalu berkembang lebih cepat dari pikiran saya tentangnya.
Padahal rasanya baru kemarin, ibunya mengidam sushi
sewaktu hamil muda...

30

kawan kali
K

ali suka sekali dengan tokek. Kalau dia menangis, salah satu jurus pamungkas
saya adalah mencari gambar tokek di gajet, lalu menunjukkan ke dia. Kontan Kali
diam lalu sumringah.
Kabalikan dengan Kali, ibunya takut campur jijik dengan tokek. Kalau saya dan
Kali melihat gambar tokek berdua di gajet, Ibu Kali menyingkir. Dasar Kali, tahu
ibunya sengaja membuang muka atau pergi, malah dikejar ditunjukkan gambar itu.
Walhasil parade jeritan Ibu Kali berpadu dengan ketawa ngakak Si Kali.
Padahal ada seekor tokek di rumah kami. Tokek beneran. Dia masih kecil ketika
kami menempati rumah ini. Sekarang sepertinya sudah beranjak remaja. Tokek itu
bersembunyi di balik lemari yang berisi perkakas dapur. Kerap Ibu Kali tidak jadi
merebus air atau memasak gara-gara si tokek mecungul.
Kalau ibunya menjerit karena tokek itu anteng dan tidak juga pergi, Kali akan
menghampiri ibunya, bilang dengan muka terlihat serius, Baik dia, Ibu...
Tentu saya senang jika Kali tidak takut kepada tokek. Setidaknya, saya tak punya
pekerjaan rumah untuk mengusir tokek itu dari tempatnya. Tidak tega rasanya
mengusir tokek itu dari rumah.
Dulu sekali, di rumah saya yang di kampung, ada dua tokek yang bersembunyi
di balik lemari di dalam kamar saya. Kedua tokek itu sudah ada sejak saya duduk di
bangku sekolah dasar. Sampai saya masa awal kuliah, kedua tokek itu masih sering
terlihat. Tentu saja besar sekali. Ketika wabah bisnis menjual tokek berukuran besar
sedang melanda, tidak sedikit pun saya ingin menangkap kedua tokek itu. Sekarang
saya tidak tahu apakah kedua tokek itu masih ada atau tidak.
Saya berharap Kali dan tokek ini bersahabat. Walaupun saya juga khawatir kalau
suatu saat Kali akan memegangnya. Karena saya tidak punya pengalaman itu. Saya
tidak takut tokek, tapi saya tidak berani memegangnya.
Baik dia... kata Kali. Berkali-kali.

31

kali mulai bersekolah


K

emarin Kali pergi ke sekolah untuk pertama kalinya. Padahal masih besok Mei,
usianya ganjil tiga tahun. Saya tidak begitu gembira.
Sebagai orangtua, saya punya pemikiran ideal tentang pendidikan. Saya ingin Kali
banyak bermain dengan teman-teman kampung sebayanya. Tapi kampung adalah
sebuah kemewahan bagi saya sekeluarga. Secara ekonomi saya hanya sanggup
tinggal di sebuah perumahan. Itu pun sudah sangat saya syukuri. Lain waktu,
semoga bisa saya kisahkan betapa mahalnya kampung bagi kebanyakan kelas
menengah di Indonesia yang tinggal di kota.
Di perumahan ini, Kali hanya punya beberapa teman. Teman sebayanya hanya ada
tiga anak. Dua teman sebayanya jarang sekali berada di rumah karena sering ikut
berpergian orangtua mereka. Sedangkan satu lagi temannya sudah sekolah.
Walhasil, hari-hari Kali adalah hari-hari tanpa teman sebaya. Hal itu cukup
meresahkan hati saya dan istri saya. Tentu saja anak seusia Kali harus pelan-pelan
belajar berinteraksi dengan teman sebayanya. Belajar berbagi, bertenggang rasa,
bermain bersama.
Saya pribadi punya pandangan yang tidak baik dengan sekolah formal. Mungkin
karena pengalaman pribadi. Saya tentu saja penganut mazab Sekolah Itu Candu
ala Roem Topatimasang. Inginnya sih kalau bisa ya mengembalikan khitah sekolah
sebagai waktu luang untuk bermain dan belajar. Biar kelak Kali memilih sendiri mau
belajar apa.
Saya membayangkan Kali hidup di sebuah kampung yang ideal. Kalau dia mau
belajar menyanyi dan main musik, tinggal belajar di rumah Mbak Sinden dan Pakde
Pengrawit. Kalau mau belajar pencak silat yang langsung ke rumah Pak Merpati atau
Paklik Bangau. Ketika dia ingin belajar membaca kitab ya nyantrik di Nyai Hajar atau
Mbah Yai, kalau mau belajar senirupa ya segera lari dengan gembira ke rumah Lik
Sungging atau Mbokde Canting.
Selebihnya dia bersama teman-temannya akan langsung belajar dari alam
bagaimana menangkap ikan, menjebak burung, bikin mobil-mobilan dari jantung
pisang. Betapa ndeso dan agrarisnya pemikiran saya. Betapa romantisnya. Terlalu
terperangkap masa lalu. Orangtua yang tidak maju. Orangtua yang egois hanya
karena punya pengalaman yang tidak membahagiakan tentang sekolah lalu ingin
anaknya tidak usah sekolah.
Tapi itu semua adalah antologi muskil. Pada kenyataannya saya berada di sini,
di sebuah perumahan yang sebagian rumah-rumah dalam keadaan kosong karena
dibeli sebagai bagian dari produk investasi. Sedangkan yang benar-benar terisi
adalah orang-orang supersibuk. Sesekali kami bertegur sapa. Mereka orang-orang
baik, hanya saja sibuk sekali. Mungkin saya di mata mereka juga sama: sibuk sekali.

32

Tentu saya juga menyadari bahwa zaman Kali berbeda dengan saya. Sebagai
orangtua, saya tidak boleh egois. Dia butuh sekolah sebab tanpa itu, Kali bisa
tidak punya masa depan. Lha alasan itu juga yang dulu membuat orangtua saya
menyekolahkan saya.

Dan
sebetulnya
apa sih yang
disebut
masa depan
itu?

Ah sudahlah, jangan ke sana, nanti agak rumit obrolan kita.


Tapi baiklah... Apapun itu, suka atau tidak, sepakat atau tidak, saya dan istri saya
setelah melalui sekian rentetan diskusi yang serius dan ujicoba ke beberapa sekolah,
dengan berat hati kami memutuskan: Kali harus sekolah sekalipun usianya belum
ganjil tiga tahun. Dia butuh teman. Dia harus belajar hidup bersama orang lain yang
bukan keluarga intinya. Kali sebaiknya bermain dan bertemu dengan anak-anak
sebayanya. Dia tidak boleh terasing dan terkucil.
Dan itu semua hanya bisa dia dapatkan di sesuatu yang namanya: sekolah. Bukan
kampung. Luarbiasa kehidupan saya...
Semoga kamu baik-baik saja, Nak!

33

laporan sementara
H

ampir sebulan Kali sekolah. Setiap dia masuk sekolah, gurunya memberi laporan
aktivitas apa saja yang dilakukan bocah berumur 2 tahun 8 bulan ini. Gurune
kesregepen, batin saya kalau sedang membaca laporan tertulis tentang Si Kali.
Setidaknya ada sekali dalam seminggu Kali membuat teman sekelasnya menangis.
Ada yang karena tabrakan badan. Kali memang suka menabrak-nabrakkan tubuhnya
ke apa saja, lalu pura-pura terjatuh dan tertawa. Kata istri saya yang mengantar
Kali sekolah (saya belum pernah mengantar satu kali pun), beberapa teman Kali juga
suka menabrak-nabrakkan tubuh mereka. Walhasil mereka saling menabrakkan diri.
Dan pecahlah tangis teman-teman Kali.
Suatu saat, istri saya melaporkan, Kali bikin bocor mulut seorang temannya. Saya
langsung syok. Saya pikir, saya ini orang paling manis dan paling damai di seluruh
dunia, apalagi ibunya, masak anak kami hobi berkelahi. Tentu ini bukan perkelahian.
Saking penasarannya, saya mencoba mengajak berkomunikasi Si Kali. Walaupun
bingung juga bagaimana mengajak ngobrol anak seusia itu.
Nak, kenapa kamu bikin nangis temanmu?
Kali diam. Lalu malah cengengesan sambil main mobil-mobilan. Pusing saya. Istri
saya kemudian bercerita, ada teman Kali yang main sembunyi-sembunyian di kolong
tangga. Kali ikut sembunyi. Tidak lama kemudian, Si Teman menangis dan mulutnya
berdarah.
Masak sih sampai berdarah, memang diapain sama Si Kali?
Nak, kamu apakan temanmu? kembali saya mencoba bertanya.
Kali geleng-geleng kepala sambil bicara dalam bahasa UFO yang tidak saya
pahami. Lalu dia memperagakan adegan mendorong.
Ooo... Lha kenapa kamu dorong temanmu? Tapi segera saya menyadari betapa
bodohnya saya. Anak belum berumur tiga tahun kok diminta menerangkan.
Akhirnya saya sedikit lega karena menurut istri saya, Kali sudah meminta maaf.
Masih menurut laporan dari gurunya, Kali lebih suka main sama anak-anak yang
berumur di atasnya. Di sekolah Kali, ada juga anak-anak TK. Kalau mereka istirahat,
kadang masuk ke kelas Si Kali. Hanya Kali yang kemudian ikut nimbrung main
bersama mereka.
Kalau dengan teman-teman sebayanya, Kali cenderung suka iseng. Temannya
sedang pegang mainan, dia merebut. Kalau temannya mau menangis, dia kasih.
Sepatu temannya dipakai, kursi temannya dinaikin.

34

Soal iseng, jangankan temannya, kami saja sering dibuat kalang kabut. Beberapa
hari yang lalu misalnya, malam hari, hujan hampir turun, saya mau beli makan
malam di luar. Saya cari kunci Vespa tidak ketemu. Istri saya ikut mencari. Tidak
masuk akal. Saya mulai curiga, kunci itu disembunyikan Kali. Saya mencoba
mengajaknya bicara, menanyakan kunci.
Ai idak auuu... jawabnya.
Kembali kami mencari kunci yang lenyap tanpa sebab itu. Tiba-tiba Kali teriak, Ai
aaauuuuu!
Segera saya ikuti Si Kali. Ia menuju lemari. Nah, kaaaaan... saya hampir lega.
Tapi segera menepuk jidat begitu Kali mengambil kunci lemari sambil menjuntaijuntaikan kunci itu sambil bilang, Ini unciiii!
Kembali kami mencari kunci. Saya mulai kesal. Istri saya juga. Hujan mulai turun.
Kembali Kali melompat-lompat sambil teriak, Ai aauuuuu!
Saya tidak percaya. Pasti saya mau dikerjain lagi ini. Kali lari ke kamar. Saya tidak
mau tertipu. Ni unciii! Ni unciii! katanya sambil menunjuk-nunjuk di balik bantal.
Saya segera lari dan membalik bantal. Ada kunci memang, tapi lagi-lagi kunci lemari!
Saya dan istri saya akhirnya hanya bisa duduk-duduk di kursi. Capek. Tiba-tiba
istri saya mengambil tas raket badminton yang barusan saya beli. Dia memeriksa
kantong tas itu. Segera dia teriak, Nah ini dia!
Ketemu! Di kantong tas raket yang barusan dipakai main-main Si Kali. Kami
berdua melihat ke arah Si Kali dengan muka sebal, tapi Kali malah tertawa sambil
lompat-lompat.
Hujan makin deras. Mau tidak mau saya tetap keluar mencari makan. Eh, belum
selesai. Baru mau buka pintu, tangan saya dilendoti Kali sambil dia berteriak, Ai iku
naik espa! Ai iku naik espa!
Hhhhhhhhhhhh!

35

36

persamaan dan perbedaan


S

eperti itulah Si Bapak, begitu pula Si Anak. Kali punya banyak persamaan
dengan saya, yang paling terasa adalah dia tidak bisa tidur cepat di malam hari
sebagaimana anak-anak seusianya. Semalam misalnya, dia baru tidur pukul 23.45.
Kata orangtua saya, waktu saya kecil juga begitu. Apalagi ketika sudah besar.
Tapi ternyata dia juga punya banyak perbedaan dengan saya. Misalnya, kalau
dia diajak pergi ke Superindo, misalnya, dia akan menyapa semua satu persatu.
Dari mulai tukang parkir, satpam, pramuniaga, kasir dan juga pengunjung. Kalau dia
merasa belum kenal, Kali akan menyalami mereka sambik menerangkan siapa dirinya
dengan lidah cedalnya, Halo, namaku Kalijaga ganteng. Bapakku: Puthut EA ganteng.
Ibuku Diajeng Paramita cantiiiik!
Ngono je, piye jal? Kalau saya ya apa butuh saya. Diam, cepat, selesai.
Perbedaan yang lain, Kali tidak merasa grogi jika tampil di publik. Kalau saya kan
cenderung pemalu. Seperti beberapa hari lalu, ketika sekolahnya mengadakan acara
peringatan Imlek. Bocah yang besok tanggal 20 Mei berusia tiga tahun itu langsung
maju naik panggung ketika teman-teman lainnya masih perlu dibujuk.
Di pinggir panggung, dua musisi memegang gitar dan organ bersiap mengiringi
Kali. Sang Gitaris bertanya, Adik Kali mau menyanyi apa?
Bintangku.
O, bintang kecil?
No! Bintangku!
Istri saya juga bingung. Dia memberi kode ke para musisi, mungkin yang
dimaksud adalah lagu Bintang Kecil. Musik mulai mengalun. Kali dipandu untuk
menyanyi lagu Bintang Kecil.
Ternyata Kali menyanyi sendiri. Dengan kata-kata dari UFO-nya. Woooh ternyata
dia mengarang sendiri, sambil teriak-teriak, Bintangku! Bintangku! Bintangku!
Kedua musisi yang mengiringi terpaksa menghentikan alunan musik mereka.
Orang-orang yang di ruangan itu tertawa semua. Di situ kelihatan persamaan Kali
dengan saya: berbakat menyenangkan hati orang dan pandai mengarang.
Dia juga masih sering mengerjai saya. Biasanya kalau mau pergi dengan ibunya,
Kali akan pamit. Cium tangan, cium pipi, berpelukan. Tapi sekarang tidak hanya itu.
Dia mulai pakai kata-kata, tentu saja dengan lafal cadelnya: Bapak, Kali mau pergi
sama ibu, Bapak di rumah saja ya, sama ikan!
Asem...
Kreativitas Kali juga mulai harus diwaspadai. Kemarin saya kedatangan tamu.
Seperti biasa, saya suguh segelas segelas kopi di gazebo kecil yang ada kolam ikan
kecil di sampingnya.

37

Kali mendatangi Si Tamu dengan membawa gelas. Dia minta baik-baik kopi Si
Tamu. Terus menuangkan sebagian kopi ke gelasnya. Kemudian Kali menuju kolam
kecil, sambil menumpahkan kopi ke kolam, dia bilang ke saya, Bapak, ikannya
dikasih kopi ya...
Saya dan tamu saya cuma kamitenggengen.

38

kali tak jadi berangkat piknik


P

agi ini, saya belajar membuat keputusan yang belum pernah kami lakukan. Soal
piknik Si Kali.
Beberapa hari lalu, saya dan istri saya terlibat diskusi agak serius. Sekolah di
mana Kali belajar akan menghelat acara piknik di Kasongan. Guru Kali menyarankan,
istri saya tidak perlu ikut atau mengantar bocah yang belum berumur tiga tahun itu.
Biarkan Kali belajar mandiri dan menikmati waktu bersama teman-temannya, begitu
kira-kira ungkapan Miss Hana, guru Si Kali. Toh hanya beberapa jam, hanya di sekitar
Kasongan. Tapi, Miss Hana juga bilang, kalau belum tega benar, silakan ikut.
Setelah melalui berbagai pertimbangan, akhirnya kami memutuskan jalan tengah:
Kali ikut tanpa diantar ibunya sebagaimana yang disarankan Miss Hana, tapi Ibu Kali
akan menjemput ke Kasongan ketika acara hampir bubar. Saya kira itu solusi yang
tepat.
Semalam, kami pergi untuk membeli botol minuman sebagai bekal Kali pergi
piknik. Kali tampak antusias. Dia, sebagaimana biasa, lari ke sana ke mari dan
bergulingan di lantai. Ketika botol minuman sudah kami beli, tampaknya tak sabar
Kali menjumpai pagi ini. Kadang di saat seperti itu, saya merasa sedang menghadapi
bocah berumur 5 atau 6 tahun, bukan bocah yang belum berumur tiga tahun.
Namun semalam, ketika saya mencium Kali yang sedang terlelap, saya kaget,
badan Kali terasa panas. Saya segera membangunkan istri saya dan berkonsultasi,
apakah Kali harus tetap berangkat atau tidak. Semalam kami putuskan, lihat pagi
hari ini.
Ternyata badan Kali tambah panas, ditambah sedikit batuk. Kami memutuskan
dia tidak jadi ikut piknik. Ibu Kali segera menghungi Miss Hana dan saudaranya yang
kebetulan punya anak satu sekolah dengan Kali. Lalu saudara istri saya mengirim
foto ini, situasi ketika rombongan mau berangkat.
Kali terlihat sedih. Tapi dia juga tampak mengerti kenapa tidak jadi berangkat.
Saya tiba-tiba juga ikut bersedih. Hanya kemudian saya kibaskan perasaan itu
cepat-cepat. Setidaknya Kali mulai belajar, tidak semua hal yang dia inginkan terjadi
akan benar-benar terjadi. Begitulah hidup ini.
Dia mungkin juga perlu belajar sejak dini bahwa sakit itu penting agar selain bisa
tumbuh lebih baik, juga agar kita lebih bisa menghargai ketika dalam keadaan sehat.
Pelajaran itu tampaknya bukan hanya berguna buat Kali. Tapi juga buat saya.
Ayo Kali, sarapan dulu...

39

usil
S

ekalipun dalam keadaan sakit, Kali tidak kehilangan sifat main-mainnya. Kadang
juga usil. Dia melorotkan celananya, lalu joget-joget. Kaos yang dipakainya
dijadikan topi. Dari dia, saya belajar, kalau sakit jangan nglemprek. Usahakan hati
tetap riang dan semangat. Hati yang riang adalah obat yang mujarab.
Saya teringat suatu saat ketika duduk di bangku SMP, saya kena tipus.
Jangankan berdiri, duduk minum obat pun harus dibantu. Tiba-tiba tetangga saya
memberi kabar ke ibu saya kalau tulisan saya dimuat di sebuah media massa. Saya
mendengar hal itu lamat-lamat. Entah kekuatan apa, saya langsung bangkit dan
berlari menuju rumah tetangga saya, melihat karya pertama saya terpacak di media
massa tersebut. Saya langsung sembuh saat itu juga.
Selamat pagi, manteman... Bagi Anda dan anggota keluarga Anda yang sedang
sakit, semoga cepat sembuh... Amin...

40

ugm
P

agi tadi, Kali bersama teman-teman sekolahnya melakukan mini trip ke UGM.
Semalam dia terlihat senang sekali, sambil bilang, Besok ke UGM, ke sekolah
bapak! Begitu berulang-ulang.
Saya tertawa. Pura-pura gembira. Padahal sesungguhnya saya sedang merasa
malu karena UGM akhir-akhir ini sering didemo petani. Intelektual UGM banyak
terlibat mendukung kebijakan yang tidak prorakyat.
Tentu tidak semua begitu. Dan yang tidak semua itu, sayangnya, belum ada
gaungnya.

41

kangen
M

ereka berdua selalu mengantar saya jika hendak pergi. Di beranda. Tidak peduli
apakah saya akan pergi selama berhari-hari atau sekadar beli rokok yang
hanya sekian belas menit. Kalau Kali agak rewel dengan merengek minta diajak pergi
naik Vespa, dia dan ibunya akan mengantar dari balik jendela.
Paling susah meninggalkan Kali kalau dia tahu saya akan main futsal. Sebab dia
mengenali tas olahraga saya. Bapak mau main futsal, ya?
Saya terpaksa mengiyakan. Tidak perlu berbohong dan percuma saja kalau
berbohong.
Kali boleh ikut tidak?
Saya tidak bisa mengatakan tidak. Saya hanya bilang, Kali di rumah saja sama
ibu ya...
Tidak mau! Lalu mulailah dia merajuk, merengek dan kemudian menangis.
Tapi istri saya hanya perlu waktu sebentar untuk menenangkan Kali, hingga
mereka berdua mengantar saya hanya lewat jendela.
Kadang saya tidak tega. Butuh waktu untuk benar-benar meninggalkan mereka
berdua. Terutama tidak tahan melihat Kali menangis hanya karena tidak diajak main
futsal.
Kalau pergi berhari-hari seperti ini, saya selalu kangen mereka berdua. Terlebih di
pagi seperti ini. Pagi ketika Kali mulai bangun, meminta susu, lalu bercanda dengan
saya.
Canda seorang anak yang baru bangun tidur, dengan seorang bapak yang
baru akan tidur. Kalau sama-sama baru bangun tidur beda sekali. Anda harus
mengalaminya sendiri.

42

dunia
P

agi begini, saya biasanya hanya bisa memandang Kali asyik bermain sendiri.
Bercakap dengan dirinya sendiri. Berjalan mondar-mandir. Melempar daun-daun
kering di kolam mungil di belakang rumah. Jika dibiarkan, dia bisa bermain sendirian
selama dua jam. Tidak terganggu dengan apapun, dengan siapapun.
Saya tidak mau mengganggunya. Sebab setelah besar nanti, akan terlalu
banyak hal yang akan mengganggu hati dan pikirannya. Saya membiarkan Kali
menggenggam dunia. Hanya kanak-kanak yang sanggup melakukannya. Kita yang
sudah dewasa, biasanya, digenggam oleh dunia. Erat.

43

kasih sayang kali


J

adwal tidur saya tidak teratur. Kadang antara jam 7 atau 8 pagi, lalu bangun
sekitar jam 2 siang. Kadang jam 10an pagi, bangun jam 4 sore. Kalau saya bisa
tidur malam hari, hal itu saya anggap berkah. Belum tentu tiga bulan sekali.
Namun kalau ada pekerjaan mendadak, saya tidak jarang tidur antara jam 3 sore
sampai jam 6 petang. Hanya 3 jam dalam sehari. Seperti beberapa hari belakangan
ini. Karena sedang berurusan dengan sekian hal, saya hanya tidur di sekitar waktu
tersebut.
Sementara itu, saya punya jadwal momong Si Kali. Biasanya Kali tidur siang
jam 1 siang lalu bangun jam 4 sore. Ketika Kali mulai terlelap itulah, istri saya ke
Angkringan Mojok sampai menjelang Magrib. Waktu berdua bersama Kali inilah yang
paling saya nikmati.
Dulu, Kali begitu bangun pasti langsung mencari ibunya, ketika ibunya tidak
ada di rumah, dia langsung menangis. Saya butuh waktu 5 sampai 10 menit untuk
mengalihkan perhatiannya. Kami kemudian sudah asyik bermain. Kini, begitu bangun
tidur, Kali langsung tanya, Ibu Kali mana?
Biasanya saya jawab, Ibu Kali ke Angkringan Mojok.
Kenapa Kali tidak diajak?
Karena Kali tidur.
O, gitu ya...
Dia manggut-manggut terus meminta susu kotak kesukaannya, lalu kami bermain
berdua.
Beberapa hari kemarin tidak seperti itu karena ketika Kali terbangun, saya
sedang angler tidur, kecapekan. Kali bangun jam 4, saya baru tidur jam 3. Sehingga
apa yang dilakukan Kali ketika bangun tidur, saya tidak tahu. Seperti yang terjadi
kemarin, saya ingat dalam lamat.
Saya merasakan Kali memeluk saya. Dia berdiri di samping tempat tidur, saya
tidur di atas tempat tidur. Dia memeluk saya berkali-kali. Saya sambil terus merem,
lantas memeluknya. Bapak capek ya?
Saya menjawab malas, Iya, Mas...
Tidak lama kemudian, Kali naik ke tempat tidur. Dia menciumi saya lantas
memeluk saya lagi. Bapak, Kali mau main mobil-mobilan.
Saya antara sadar dan tidak menjawab, Mas, bapak capek sekali, mau tidur
sebentar saja. Boleh ya?
Kali memeluk saya. Dia kemudian mulai asyik bermain di tempat tidur. Dia
ngomong sendiri. Seperti sedang mendongeng. Dan saya terlelap lagi. Seperti
didongengi oleh Si Kali.

44

Hingga saya bangun


tidur menjelang Magrib,
tepat ketika saya istri saya
membuka pintu. Mendengar
pintu dibuka, Kali langsung
melompat dari tempat tidur
dan menyongsong ibunya.
Sambil berteriak, Ibu,
Ibu! Bapak sedang tidur,
gggrrrhhhh gggrrhhhh
ggggrrrhhh... ucapnya
sambil menirukan saya
mengorok.
Saya yang belum tuntas
tidur ketawa ngakak. Lalu
bangkit. Hari menjelang
Magrib. Siap memulai
aktivitas lagi walaupun
hanya tidur dalam waktu 3
jam saja.
Begitulah saya. Kadang
merasa beruntung bisa
tidur dalam keadaan
dijaga anak laki-laki
saya yang belum berumur
tiga tahun. Senang sekali
rasanya. Terlebih dari dulu
saya selalu merasa bahwa
tidur adalah kemewahan
bagi saya.

45

rekonstruksi
B

egitu keluar dari kamar mandi, istri saya protes, kenapa saya mau menerima
rengekan Kali agar menyetel film kesukaannya. Saya yang masih sibuk membalas
email, cuma plonga-plongo. Tidak mengerti apa maksud protes istri saya.
Akhirnya kami bicara supaya saya tahu duduk soalnya. Hari ini Kali ada jadwal
pergi sekolah. Dia belum menata tas dan ganti baju tapi sudah khusyuk menonton
film kesukaannya. Nah, yang jadi masalah adalah saya merasa tidak menyetel
film. Kami akhirnya mencoba menyelidiki bagaimana hal ini bisa terjadi. DVD film
kesukaan Kali diletakkan di atas rak buku yang mustahil rasanya bisa diambil oleh
Kali. Persoalan lain adalah Kali, sepengetahuan kami, belum bisa menyetel film.
Proses penyelidikan dimulai.
Istri saya menemukan barang bukti berupa wadah keping DVD yang diletakkan di
lantai. Rasanya pasti itu bukan kelakuan saya. Kedua, dia menemukan kursi kuning
di ruang Kali bermain dalam posisi tidak sesuai biasanya.
Akhirnya kami mencoba bicara baik-baik kepada Kali, bagaimana dia bisa
mengambil keping DVD itu. Segera Kali bercerita sambil mempraktekkan. Dia
mengambil kursi kuning dari kamar bermainnya, diseret mendekati rak buku. Lalu
naik, mengambil DVD. Turun. Kursi dikembalikan. Kemudian dia menyetel film. Selesai.
Saya hanya bisa melongo.

46

adu kreatif
M

enurut informasi yang saya ketahui, seorang anak akan banyak bertanya di
usia 4 tahun. Dalam sehari, seorang anak yang berusia 4 tahun bisa bertanya
200 sampai dengan 400 pertanyaan. Kali hampir berusia 3 tahun. Dia sudah mulai
gemar bertanya.
Seorang sahabat saya memberi nasihat, Kalau kamu bisa, kamu boleh kehilangan
apapun itu, kesempatan, karir atau uang. Tapi jangan sampai kamu kehilangan waktu
untuk anakmu paling tidak sampai dia berumur 5 tahun. Begitu kamu kehilangan
waktu bersama dia di rentang usia itu, kamu akan makin banyak kehilangan.
Segalanya berlalu makin cepat.
Saya sudah tentu manut. Orang kasep nikah macam saya ini, kalau sudah urusan
soal anak hanya boleh manut dan manut. Tidak ada bantahan.
Maka saya rajin menemani Kali. Minimal 5 jam dalam sehari. Tapi saya betul-betul
judeg kalau sudah ditanya. Apa saja ditanya. Jadilah saya pakai jurus. Adu kreatif.
Jurus pertama saya adalah jurus mbulet. Ini contoh tanya-jawab antara Kali dengan
saya.
Bapak sedang apa? Sedang makan. Makan apa? Makan lele. Lele apa? Lele goreng.
Goreng apa? Goreng enak. Enak apa? Enak Kali. Kali apa? Kali Jaga. Jaga apa? Jaga
Kali. Kali apa? Kali Jaga. Jaga apa? Jaga Kali.
Mbulet. Hingga Kali capek. Batin saya: Bapakmu diam-diam orang kreatif je, Le...
Jurus kedua saya, sebelum Kali bertanya, saya tanya duluan. Misalnya saya
sedang di depan layar gajet saya, utak-utik nulis, Kali mendekat mau bertanya,
langsung saya tanya duluan. Akhirnya dia bingung sendiri.
Aman. Tapi ternyata untuk sementara waktu. Mendadak kemarin, Kali bikin
kejutan. Saat saya mau makan, Kali mendekat hendak bertanya. Dengan sigap saya
tanya duluan.
Mas Kali sudah makan? Sudah. Makan apa? Makan krupuk. Krupuk apa? Krupuk
enak. Enak apa? Enak Kali. Kali apa? Kali Jaga. Jaga apa? Jaga ganteng. Ganteng apa?
Ganteng tak berujung. Tak berujung apa? Berujung dunia. Dunia apa? Dunia Kali. Kali
apa? Kali Jaga. Jaga apa? Jaga ganteng.
Weh! Trembelane. Dia putar-putar juga pertanyaan saya. Padahal biasanya Kali
akan mengakhiri dengan lari atau menjawab: Sudah, Bapak... Kali capek!
Rupanya dia juga belajar mengerjai bapaknya. Baiklah!

47

tertidur
K

ali biasa tertidur ketika bermain. Bahkan biasa tertidur ketika sedang ngemil atau
disuapin makanan. Tidur begitu saja. Cepat. Nyenyak.
Betapa berbeda dengan saya yang nisbi susah tidur. Di saat seperti itu, saya
akan nyawang Kali sebentar. Betapa damainya bocah kecil itu. Kadang juga saya
perhatikan lebih detil lagi: alisnya, telinganya, rambutnya, hidungnya dan lainlain. Kemudian saya angkat dia. Saya membopong menuju tempat tidur. Di saat itu,
dia akan terbangun sebentar. Kemudian terlelap lagi sambil memeluk saya erat.
Kemudian saya letakkan pelan dia ke tempat tidur. Dia akan memeluk saya lagi.
Saya kemudian tiduran di sampingnya. Memeluknya. Mendengar dengan jelas detak
jantung dan nafasnya.
Di momen sederhana itulah, saya merasa begitu berartinya menjadi seorang
bapak. Kemudian saya mendoakannya. Meniupkan doa itu di ubun-ubunnya.
Itu salah satu momen ketika saya bisa berdoa dengan tulus dan sederhana. Tanpa
banyak berpikir.

48

tiga tahun
R

angkaian ulang tahun Kali cukup panjang. Salah satunya: tumpengan. Seminggu
yang lalu, istri saya bilang, boleh tidak dia melakukan eksperimen bikin tumpeng
dengan mengeksplorasi menu yang ada di Angkringan Mojok? Boleh saja, jawab
saya.
Barusan tumpeng bikinan Ibu Kali dan Mbak Eti jadi. Mbak Eti adalah rekan bisnis
kami di Angkringan Mojok, istri Mas Anang Batas.
Tumpeng ini dan penganan lain, serta kado-kado mungil dibawa ke sekolah Kali
untuk memulai rangkain ulang tahun Kali hari ini. Kali diantar ibunya, orangtua saya
dan mertua saya. Tepat. Saya tidak ikut. Giliran saya nanti saja di rangkaian ketiga
dan keempat.
Selamat ulang tahun, Kali. Ambillah semua sifat baik kedua orang tuamu, jauhi
semua sifat buruk keduanya.
Hidup ini naik turun seperti harga emas. Tapi jalanilah dalam bentangan grafik
naik terus. Hidup ini seperti roda pedati, kadang di atas kadang di bawah, tapi
berputarlah terus untuk sampai ke tujuan.
Jalan terus. Nikmatilah.

49

dua kejutan
B

egitu sampai rumah, Kali langsung mengulungkan bungkusan plastik yang


berisi setangkup roti. Saya mengucapkan terimakasih. Saya pikir, roti itu adalah
bekalnya yang tidak habis.
Istri saya yang kemudian bilang, tolong dong diapresiasi karena roti itu bikinan
Si Kali. Ha? Kali bikin roti? Wuih! Pelajaran di sekolah Kali tadi adalah menjadi koki.
Tiba-tiba saya teringat Rahung Nasution Si Koki Gadungan yang sohor itu.
Belum usai saya mengagumi hasil racikan bocah berumur 3 tahun itu, Kali
menyodorkan ke saya sebuah undangan. Saya baca baik-baik sembari mengernyit.
Kali pentas main drama? Wah... anak berumur 3 tahun main drama? Saya memastikan
itu ke istri saya. Dia mengngguk. Kali jadi orang Indian... Bapak datang ya?
Saya segera mengangguk. Saya harus datang. Segera saya teringat Andy Sri
Wahyudi, aktor teater yang konon hebat itu...
Kali sudah main sepakbola. Sudah menggambar dan menyanyi. Sudah menjadi
koki. Sebentar lagi dia akan main teater. Saya harus bersabar untuk kelak
mengajarinya menulis. Langsung. Bapak kepada anak. Hiyak!

50

sapu
S

aya agak lupa, mungkin 10 tahun lalu, saya memberi pelatihan menulis sebuah
organisasi mahasiswa. Pelatihan dilakukan di Pantai Parangtritis. Selain saya,
ternyata ada Mas Whani Darmawan yang memberi pelatihan teater.
Kami berdua tidak kangsenan. Saya juga baru tahu kalau Mas Whani ikut
memberi pelatihan.
Mas Whani mengajak putrinya yang mungkin masih berusia 7 atau 8 tahun (?).
Saat itu saya diam-diam memperhatian bagaimana cara beliau mendidik putrinya.
Setiap sore, Si Putri menyapu di arena pelatihan. Sempat saya mau membantu putri
kecil itu, tapi Sang Bapak yang juga pendekar pencak itu memberi isyarat jangan.
Prosesi menyapu dilakukan dengan pelan dan khusyuk, di bawah panduan Sang
Bapak. Di dalam hati, saya berjanji akan meniru cara yang baik itu jika kelak punya
anak.
Siang tadi, ketika barusan bangun tidur, saya terkejut saat dari dalam kamar
melihat Si Kali sibuk menyapu. Tentu tidak jelas apa yang disapu, arah sapuan, cara
pegang sapu, dll. Wah blaik, padahal saya belum menurunkan ilmu menyapu yang
saya curi dari Mas Whani.
Dan saya cuma bisa kamitenggengen.

51

hadiah
M

estinya kali ini saya tidak berada di kota Yogya. Tapi karena hari ini ada momen
spesial, saya tetap memaksa tinggal di kota ini.
Hari ini, untuk pertama kalinya Kali pentas di sekolahnya. Saya hanya sekali
datang ke sekolahnya, itu pun hanya menjemput di pinggir jalan. Sekolah, apapun
itu, seperti rumah sakit bagi saya. Sesuatu yang tidak menyenangkan dan mungkin
meninggalkan trauma. Saya sampai sekarang masih sering bermimpi tidak lulus SMA
dan kuliah. Sampai sekarang.
Hari ini lain. Bahkan semalam saya bilang ke istri saya kalau saya akan
mengenakan sandal Birkenstock hadiah ulang tahun darinya Maret lalu, yang belum
sempat saya pakai. Sejak pacaran, istri saya cuma mengenal 2 benda untuk ulang
tahun saya, kalau tidak jam tangan Swatch ya sandal Birkenstock. Dua benda yang
pasti membuat saya riang jika membuka kado ulangtahun darinya.
Sekalipun hanya sempat tidur sejam, saya berangkat dengan riang. Tentu saja
saya tidak mandi. Hanya menggosok gigi, cuci muka, ganti pakaian. Saya hanya
mandi sehari sekali atau dua hari sekali. Saya aktivis garis keras #savewater.
Enggaklah, saya memang orang yang malas mandi. Tapi kadang senjata itu saya
pakai jika ada aktivis sok save-save-an berdebat dengan saya. Percuma jadi aktivis
save-save-an kalau mandi masih sehari dua kali.
Cukup lama menunggu Kali naik panggung. Saya senyum-senyum sendiri, sambil
sesekali mengobrol dengan istri saya dan beberapa orangtua murid.
Tiba saatnya Kali naik panggung. Sebelum naik, dia melihat ke arah saya. Segera
saya kasih kode dengan mengerdipkan mata dan mengacungkan jempol. Kamu akan
baik-baik saja, Nak. Dan benar, saya terpingkal-pingkal melihat aksinya karena Kali
lupa beberapa gerakan.
Turun dari panggung, langsung saya ucapkan selamat kepada bocah berumur tiga
tahun itu. Lalu saya bilang kalau saya mau memberinya hadiah. Kamu mau hadiah
apa, Nak? Kali menjawab dengan bersorak: Buku!
Kali belum bisa membaca. Tapi dia suka buku.
Segera kami bertiga meluncur ke Gramedia Ambarukmo Plaza. Kali lari ke sana
ke mari mengambil buku-buku yang dia sukai. Saya juga asyik melihat-lihat buku.
Sejam lebih, Kali dan ibunya mendatangi saya. Sudah? Keduanya mengangguk.
Sembari menuju ke kasir, saya sempat melihat tas hitam tempat buku-buku yang
diseret oleh Kali. Saya mulai deg-degan. Benar, ketika mulai di kasir, saya ulurkan
dua buku yang saya ambil dari rak. Dipindai dan dihitung petugas kasir. Kemudian
gantian buku-buku yang diambil istri saya. Giliran buku-buku Kali. Satu, dua, tiga,

52

empat... Saya mulai mengusap-usap muka saya... Lima, enam, tujuh. Saya kembali
mengusap-usap wajah saya. Selesai. Tujuh buku. Dan ketujuh buku itu, bukan jenis
buku-buku dengan harga biasa.
Kali menoleh ke arah saya. Segera saya kembali mengacungkan jempol ke
arahnya. Istri saya usai membayar, segera saya berbisik ke arahnya. Istri saya
tertawa terpingkal-pingkal. Itu pun tadi waktu di kasir sudah kusuruh mengurangi
petugas kasir...
Jadi sebetulnya lebih dari tujuh ya?
Istri saya mengaggukkan kepala. Saya langsung kukur-kukur gundul. Bukan
menyesal. Cuma berpikir keras, ke depan kalau Kali diajak ke toko buku bagaimana
caranya agar dia tidak membeli buku banyak-banyak? Kalau dia menangis di
Gramedia dan kebetulan ada orang yang kenal saya, kan saya malu. Penulis kok
melarang anaknya beli buku...
Saya unjal ambegan landung...

53

obrolan sore
Mas Kali, kalau ada teman atau saudara yang sedang sedih, kirimi mereka doa.
Iya, Pak...
Kalau ada orang yang sedang kesulitan dan Mas Kali tidak bisa menolong,
doakan juga.
Iya, Pak...
Itu ajaran Ibu kepada Bapak.
Gitu ya, Pak...
Nah, ini sedang ada orang berduka di Facebook. Mari kita doakan...
Lalu kami berdoa.
Saya tidak yakin Kali paham maksud saya. Tapi Dokter keluarga kami selalu
bilang sejak Kali masih bayi merah agar kami mengajak Kali bicara selayaknya bicara
kepada orang yang paham maksud kami. Dan kami selaku melakukannya.
Kami menyaksikan sendiri Kali lebih cepat bicara, terstruktur, dan lebih mudah
mengerti apa yang kami utarakan. Sekalipun usianya masih tiga tahun.
Kemarin sore, ketika istri saya sedang mengisi bensin mobilnya, dia meminta
Kali memberikan uang pembelian ke tukang bensin. Usai melakukan tertib dan adab
transaksi, tiba-tiba Kali bilang, Ibuk, Kali mau ikut mencari uang.
Istri saya terdiam. Tentu masih terkejut dengan kalimat Kali. Lalu dia bertanya, O
ya? Untuk apa Mas Kali?
Untuk bayar bensin.
Istri saya menahan ketawa. Dia manggut-manggut.

54

kali menjatuhkan ipad


K

ali baru saja menjatuhkan iPad. Benda itu ambyar dalam arti sesungguhnya.
Sebetulnya gajet itu adalah hadiah saya untuk istri saya, tapi tentu saja setiap
saat dipakai oleh Kali.
Jujur saja saya sebal. Bagaimanapun bagi saya, iPad benda yang nisbi mahal. Tapi
saya juga tidak bisa marah kepada anak umur tiga tahun itu. Saya teringat, bapak
saya mendidik saya cukup keras tapi dia tidak pernah marah kalau ada barangnya
yang saya rusakkan atau saya hilangkan. Takdir barang kalau gak rusak ya hilang,
ungkapnya suatu saat. Kalau nggak siap rusak dan hilang ya jangan beli barang
itu. Tiba-tiba kalimat-kalimat itu melintas di kepala saya. Tapi tetap saja saya sebal
sekali.
Kali mendekati tempat duduk saya. Dia menangkupkan tangannya, sambil sedikit
membungkuk, Bapak, Kali minta maaf...
Saya hanya meliriknya. Saya bergeming. Tetap duduk dan tidak merespons apaapa. Kali lalu naik ke pangkuan saya. Memeluk saya. Sambil bilang lagi, Bapak, Kali
minta maaf...
Akhirnya saya menjawab. Kali kan sudah dipesan oleh ibu dan bapak, hati-hati
kalau pegang iPad. Jangan dibawa lari-lari. Nanti jatuh. Akhirnya jatuh beneran.
Kalau sekarang rusak seperti itu terus bagaimana?
Ya beli lagi, Pak.. jawab Kali dengan suara lempeng.
Saya angkat Kali dari pangkuan saya, terus saya dudukkan di kursi. Saya segera
masuk kamar. Tiduran. Konon kata sebuah hadist jika seseorang dalam keadaan
duduk masih tetap marah, disarankan untuk berbaring.
Tidak lama kemudian, ucluk-ucluk, Kali masuk kamar. Dia memeluk saya lagi.

55

burung
N

anti malam, kedua mertua saya balik ke Jakarta, setelah beberapa hari
berkunjung ke Yogya. Saya tahu, Kali pasti akan bersedih.
Kali lengket dengan kakek-neneknya, baik kedua orangtua saya maupun kedua
mertua saya. Kalau mereka berkunjung ke Yogya, jangankan bermain bersama, saya
gendong pun dia enggan.
Saya akan tahu bagaimana kisah selanjutnya. Begitu besok pagi bangun tidur,
Kali akan mencari-cari kedua mertua saya, lalu menangis. Begitu juga saat bangun
dari tidur siang. Kalau tidak sedang tidur, dia akan menanyakan sedang di mana
kedua mertua saya. Dengan suara sendu, dengan muka suntrut. Begitu berlangsung
berhari-hari. Hingga Kali ceria kembali.
Saya teringat, waktu kecil pun, sebagaimana kebanyakan anak-anak, saya juga
lengket dengan kakek-nenek saya, terutama nenek dari pihak Ibu. Suatu saat, Bapak
saya mengajari mendengarkan suara burung. Jika saya bangun tidur di pagi hari lalu
mendengar suara burung tertentu, maka siangnya nenek saya bakal bertandang.
Tentu kala itu belum ada telepon di rumah saya. Apalagi di rumah nenek saya.
Nenek tinggal di pinggang Gunung Lasem. Karena itu pula, saya memanggilnya:
Mbah Nggunung. Jaraknya berkisar 40 kilometer dari rumah saya. Dia orang
yang cukup kaya untuk ukuran orang kampungnya. Jika dia datang, bukan hanya
membawa hasil kebun yang melimpah, namun juga membelikan saya mainan. Kalau
akan pulang, dia memberi uang saku yang jumlahnya banyak sekali untuk ukuran
anak kecil waktu itu.
Saya hapalkan betul suara burung yang dimaksud Bapak. Sekali dua, terbukti
Nenek datang. Akhirnya, mirip sebuah kepastian. Jika suara burung itu saya dengar
di pagi hari, begitu lonceng sekolah usai, saya langsung berlari kencang pulang, dan
mendapati nenek saya sudah di rumah dengan tawa renyah.
Makin hal itu sering terjadi, makin saya percaya dengan suara burung tersebut.
Hingga di kepala saya waktu itu tertanam semacam kepercayaan kalau burung itu
memang dikirim nenek saya untuk memberitahu ketika dia hendak bertandang.
Sama seperti Kali, saya akan menangis jika Nenek pulang. Bahkan sering, saya
mengejar Nenek yang hendak pulang. Saya tarik-tarik kain jariknya. Terkadang,
upaya saya berhasil. Nenek menunda kepulangan. Tapi lebih sering tidak berhasil.
Nenek pulang saat saya sedang berada di sekolah. Lalu ketika saya sudah tiba di
rumah, saya akan bersedih.

57

Saya bisa merasakan apa yang dirasakan Kali jika besok begitu dia bangun
tidur, bertanya sambil menangis, ke mana kakek dan neneknya. Hanya saja, Kali tak
sempat mengalami bagaimana suara burung bisa memberi pertanda kedatangan
orang-orang yang disayanginya. Di sekitar rumah saya ada banyak burung. Tapi saya
sudah tidak hapal yang mana yang memberi pertanda.
Lagian sudah ada telepon genggam. Kali tinggal mengambil punya saya atau
punya istri saya, meminta kami menelepon nenek atau kakeknya, lalu dia ambil lagi
untuk bicara langsung kepada mereka.

diajeng
T

entu saja saya lupa tanggal dan harinya, tapi saya tidak bisa melupakan hari itu.
Salah satu hari yang paling menentukan bagi kehidupan saya selanjutnya.
Saya menunggu di sebuah ruang tamu yang penuh dengan foto-foto lawas, guciguci, dan benda-benda kuno lain. Setiap suara yang terdengar dari dalam rumah,
membuat jantung saya berdegub keras. Hari itu, saya sowan ke seorang ibu sepuh.
Saya memanggilnya: Ibu Ageng. Nenek dari perempuan yang sangat saya cintai. Di
tangan perempuan itulah, nasib hubungan kami berdua diketok. Jika disetujui, saya
bisa melanjutkan prosesi berikutnya: perkenalan keluarga, lamaran, lalu serentet
prosesi pernikahan yang panjang.
Langkah-langkah kaki terdengar. Kedua orang tua dari perempuan yang saya
cintai keluar. Saya hanya berani memberikan senyum sebentar. Hati saya telanjur
kacau. Rasanya, saya tak kuat melanjutkan babak selanjutnya. Perempuan yang saya
cintai menyusul. Saya tak berani memandang wajahnya lama-lama. Mungkin muka
saya pucat kali itu.
Dengan suara yang pelan namun terasa berwibawa, Sang Ibu berucap. Ringkas.
Sang Nenek yang merupakan jangkar keluarga besar itu menyetujui saya kelak
menikahi cucunya. Airmata saya hampir keluar. Kalau tidak sungkan, saya pastilah
berteriak keras dan memeluk perempuan yang saya cintai. Kami memasuki tahap
baru, babak menuju pernikahan yang memakan waktu sekira 6 bulan sendiri. Sangat
lama untuk ukuran saya yang biasa bekerja efektif dan simpel.
Tapi lagi-lagi saya beruntung karena hampir semua hal ditangani oleh calon
istri saya. Dari situ saya makin sadar, di balik sosoknya yang sabar dan lembut,
perempuan itu sangat tangguh dan kuat. Keluarga besarnya seolah sudah
mengadernya untuk runtut dan tak abai pada detil.
Sampai sekarang, rasanya semua masih seperti mimpi bisa menikahinya. Saya
dijodohkan oleh salah seorang sahabat saya. Dan saya baru tahu kalau ternyata
perempuan yang dijodohkan itu adalah sepupu sahabat saya tersebut ketika kami
berdua sudah jadian. Di situlah saya sadar bahwa saya laki-laki yang cukup bisa
diandalkan. Kalau tidak, tak mungkin ada orang yang mau menjodohkan saya dengan
saudaranya sendiri.
Tapi kisah selanjutnya tidak mudah. Panjang. Kami berdua pacaran sembunyisembunyi selama kurang-lebih 5 tahun. Saya tinggal di Yogya, pacar saya tinggal
di Jakarta. Tahun keenam baru saya berkenalan secara bertahap dengan kakak
laki-lakinya, ayahnya, bundanya, baru kemudian neneknya alias Ibu Ageng. Kelak di
kemudian hari, bertahun lewat, Ibu Ageng, meninggal dunia di pelukan kami berdua.
Di atas pangkuan kami.

59

Hari ini perempuan yang saya cintai ini berulang tahun. Semoga dia makin
baik, sabar, bijak, bahagia, dan makin mulia. Semalam ketika membangunkannya
untuk mengucapkan selamat ulang tahun, saya bertanya, dia mau hadiah apa. Dia
menggelengkan kepala. Semua sudah cukup, katanya. Saya sungguh terharu.
Saya menghadiahinya beberapa donat karena semalam terlalu malam saya keluar
mencari kue ulang tahun. Toko-toko sudah tutup. Hanya tersisa Dunkin Donuts yang
buka. Kali yang ketika bangun tadi pagi tahu kalau ibunya berulang tahun, segera
mengambil salah satu mobil-mobilannya yang paling disayangi, lalu diberikan
kepada ibunya, sebagai hadiah ulang tahun.
Semalam kami sudah berdoa berdua. Pagi tadi, kami berdoa bertiga. Dan saya
ingin menghabiskan sejenak waktu di pagi ini untuk mengenang, betapa tidak mudah
bagi saya untuk mendapatkannya.
Rasanya masih selalu seperti mimpi. Mimpi yang indah sekali.

60

doa
P

agi tadi, Kali membangunkan saya. Dia mungkin satu-satunya orang yang berani
membangunkan saya dari tidur. Istri dan orang tua saya bahkan tidak berani
melakukannya. Mereka tahu betapa mahal harga tidur buat saya.
Kali pamitan. Dia dan ibunya mau Lebaran di Jakarta, di rumah mertua saya.
Muka istri saya sendu. Sepertinya dia tidak tega meninggalkan saya sendirian di
Yogya. Seperti biasa, saya mendoakan Kali dan istri saya. Mereka berdua suntrut.
Selama menuju dan berada di bandara, istri saya melaporkan, Kali selalu
bertanya: Ibu, kenapa Bapak tidak ikut kita? Dia bekerja ya? Dia bekerja untuk beli
susu Kali ya?
Diberi kabar seperti itu, saya tak bisa menahan laju air mata.
Detik itu pula saya berjanji sedini mungkin akan memperkenalkan Kali apa arti
tanggung jawab. Apa artinya menjadi pemimpin. Orang-orang yang siap sedih
dan kesepian agar orang lain bisa tertawa gembira. Orang-orang yang bisa saja
bergembira, bersenang-senang dengan menanggalkan semua tanggung jawab sosial
mereka. Tapi mereka memilih untuk tidak menikmati kesempatan itu.
Bergembiralah, Kali. Doaku selalu menyala untukmu...

61

Semua salah agama.


Semua salah PKI.
Semua salah Joko wi.

Terus yang bener siapa?

BAB 2

renungan harian
63

waras
T

embakau, juga ganja, dalam literatur kuno semua bangsa hanya dipakai untuk
dua hal: ritual spiritual dan pengobatan.
Kenapa kemudian tembakau dan ganja dianggap jahat? Ada sejarah
imperialisme, kapitalisme yang berkelindan di sana. Kalau baca buku jangan cuma
versi WHO dan Kementerian Kesehatan. Baca juga buku-buku yang lain.
Pada akhirnya, konsumsi itu seperti yang sering dibilang orang bijak: jangan
berlebihan. Makan gorengan ya jangan berlebihan, makan nasi juga, makan kambing
juga, minum kopi, minum wine, merokok bahkan air putih pun yang konon sangat
sehat tidak boleh berlebihan. Semua yang berlebihan tidak baik.
Selain menjaga kesehatan fisik Anda, jangan lupa yang jauh lebih penting adalah
menjaga kesehatan jiwa dan tentu saja: jaga kewarasan pikiran Anda.

65

kesehatan

ama sekali kopi menjadi musuh kesehatan. Sekarang banyak penelitian yang
menyatakan sebaliknya.
Lama sekali sarapan dianggap sebagai keharusan atau syarat sehat. Sekarang
banyak ahli kesehatan yang menentangnya.
Lama sekali puasa dan jenis-jenis tirakat lain menjadi polemik kesehatan, kini
banyak ahli kesehatan yang menganjurkannya.
Gula dan garam akhir-akhir ini sering dianggap sebagai musuh tubuh. Beberapa
hari ini saya bertemu ahli-ahli kesehatan yang waswas atas isu itu.
Semua akan terasa membingungkan kalau menganggap yang lalu selalu benar.
Dan yang sifatnya individual dianggap umum.

66

saya dan dokter


B

anyak orang menduga saya punya masalah besar dengan dokter. Masalah
dalam hal ini berarti pengertian negatif. Anggapan itu keliru total.
Saya justru punya hubungan yang baik dengan para dokter. Saya banyak belajar
dari mereka. Dan sejauh ini, saya tidak pernah menghina profesi lain. Penulis, dokter,
guru, tukang jual soto, tukang sate, presiden, semua sama. Kalau bekerja demi
kebaikan, sama-sama mulia.
Tahun 2003 sampai dengan 2005, saya ikut penelitian kesehatan. Di sana saya
berinteraksi dengan banyak dokter. Hingga suatu malam, seusai makan malam, saya
bertanya ke seorang dokter: bagaimana metodologi dan piranti penelitian yang
mereka lakukan sehingga bisa membuat konklusi: 80 persen penderita penyakit
jantung itu karena merokok. Kemudian dokter tersebut memberitahu caranya:
Pertama, dipilih 10 penderita masalah jantung. Lalu ditanya, apakah mereka
merokok? Jika ada 4 orang yang menjawab, mereka centangi. Lalu tanya lagi: apakah
ada yang pernah merokok? Ada dua yang menjawab, centang. Diteruskan: apakah
ada yang keluarganya merokok? Ada dua lagi, dicentang lagi. Ada 8 orang dari 10
penderita penyakit jantung yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan
rokok. Kesimpulan didapat dari sana.
Malam itu saya bilang bahwa model penelitian itu mengganggu akal sehat saya.
Mestinya, kalau mau adil, ambil 10 orang perokok, periksa mereka. Atau ambil 10
perokok dan 10 bukan perokok kemudian diperbandingkan. Kompleksitas variabel
kuantitatif kesehatan orang tidak bisa disederhanakan seperti itu. Ketidaksetujuan
saya yang lain, penelitian kesehatan tidak bisa kuantitatif saja, mestinya ada
kualitatifnya.
Tapi dokter tersebut bilang: itu sudah template dari atas. Tidak bisa diganggu.
Semenjak itu saya sangat hati-hati dengan penelitian kesehatan.
Ketika istri saya mengandung Si Kali, saya ganti beberapa dokter supaya dapat
dokter yang pas. Bukan yang lebih cerdas. Kadang kesehatan itu soal psikologis
juga. Rasa nyaman istri saya terhadap dokter juga penting. Dari beberapa kali ganti
dokter saya juga tahu hal baru. Misalnya, setiap dokter saya tanya pantangan
makanan. Karena saya memang tidak tahu, saya sempat tanya: boleh tidak istri saya
makan nanas?
Dokter tersebut menjawab: boleh dan bagus.
Saya tentu saja kaget. Bukankah konon orang hamil dilarang makan nanas?

67

Dokter itu menjawab, kisah itu tinggalan kolonial. Waktu itu, supaya perkebunan
nanas tidak dicuri oleh kaum kita, maka dibuat mitos bahwa nanas muda (karena
kalau tua kan sudah dipanen) akan membahayakan janin. Faktanya tidak demikian.
Nanas bagus untuk orang hamil. Tentu saja nanas tua dan matang, ngapain menyiksa
diri makan nanas muda yang masam. Sialnya kisah bahaya nanas buat kandungan
dipercaya sampai sekarang.
Dokter yang lain pernah saya tanya, apa yang tidak boleh dikonsumsi istri saya?
Anda dan istri muslim?
Saya mengangguk.
Kalau begitu jangan makan babi dan anjing.
Saya ketawa ngakak. Intinya dokter tersebut bilang makan apa saja boleh, yang
tidak boleh adalah makan makanan dengan cara berlebihan.
Si Kali punya dokter langganan. Karena kami rajin berinteraksi, akhirnya dokter
tersebut tahu kalau saya seorang penulis. Suatu saat, ia meminta tolong untuk
dibuatkan tulisan bahaya orang yang melarang mengkonsumsi garam dan gula.
Sekarang orang-orang ini gila semua. Dikit-dikit dilarang makan garam. Dikitdikit dilarang makan gula. Garam itu penting buat tubuh kita. Gula juga penting.
Bahaya hanya jika orang tersebut dalam kondisi tertentu. Seruan itu tidak boleh
bersifat umum.
Saya mengangguk pura-pura paham. Tapi saya mengerti substansi apa yang
dimaksud dokter tersebut.
Saya juga pernah berantem keras dengan dokter karena waktu itu istri saya
dikondisikan agar mau memberi sufor ke Kali. Saya maki-maki dokter tersebut
sampai ia pucat di depan banyak pasien dan di depan paramedis anakbuahnya.
Jadi saya tidak punya masalah dengan dokter.

68

rokok
K

awan saya pembela korban Sitok, diperingatkan oleh seorang intelektual


agar tidak pakai avatarnya yang sedang ngudud. Kata si intelektual itu: supaya
integritas kawan saya bisa dipercaya oleh masyarakat.
Jadi si intelektual yang konon arsitektur hebat itu punya dogma di kepalanya
bahwa ada hubungan yang kuat antara moral dan merokok. Kalau Anda merokok
makin nggak bermoral.
Saya bilang kepada teman saya tersebut agar mengganti avatarnya jadi yang
manis. Jangan yang merokok. Jangan merokok seperti Pak Andi Mallarangeng dan
Mas Anas Urbaningrum. Jangan merokok seperti kebanyakan koruptor di indonesia.
Sebab tampil manis itu jauh lebih penting dibanding apapun. Biarpun kamu bajingan.
Lain kali siap-siap saja moral Anda akan diukur hanya karena makan Indomie atau
makan beras. Kalau Anda makan Indomie maka makin bejat moral Anda.

69

ahli
M

aaf pagi ini harus dibuka dengan sesuatu yang agak serius. Dipicu oleh gempa
kemarin.
Bantul merupakan salah satu wilayah yang pada saat gempa tahun 2006 menelan
banyak korban, baik nyawa maupun harta.
Puluhan, bahkan mungkin seratus lebih LSM memberi bantuan dan membuat
program di sana. Semua LSM mafhum bahwa salah satu antisipasi soal bencana
yakni bentuk rumah yang tahan gempa. Sosialisasi dan pendampingan gencar
dilakukan. Juga pembuatan rumah-rumah contoh.
Kini di bantul, rumah-rumah kembali bertembok dan bertingkat. Jika gempa
melanda seperti dulu terjadi lagi, mungkin akan lebih parah.
Jadi apa kira-kira yang keliru? Masyarakat mengalami dan para ahli
mendampingi.
Saya tidak tahu jawabannya. Apakah anda tahu?

70

maaf
O

rang yang sudah mengaku salah ya dimaafkan. Mengaku salah dan memaafkan
itu perbuatan baik. Tapi ya nggak perlu diperumit dengan nggak ini nggak itu,
karena begini karena begitu, macam politikus saja. Biasa saja lah.

71

teori dan praktek


Menulis itu mirip-miriplah sama sepakbola. Ada teorinya, ada prakteknya.
Kalau Anda belajar di sekolah sepakbola atau bergabung dgn tim sepakbola, pasti
diajari bagaimana berlari, menendang bola, membayang-bayangi lawan, mencegat,
mengoper, kerjasama tim, dan lain-lain.
Kalau Anda belajar teori menulis tanpa praktek, seperti pemain bola disuruh
latihan terus tanpa pernah bertanding.
Tapi hati-hati, akan aneh kalau ada komentator bola menyalahkan pemain yang
menggolkan bola lewat jejakan tumit atau betis. Hanya gara-gara nggak ada teori
menendang bola dengan cara menjejakkan tumit atau lewat betis.

Teori itu penting.


Berlatih itu penting.
Bertanding juga penting.
Bikin gol lebih penting lagi.
Dengan cara apapun.
Maradona pun bikin gol lewat tangan. Malah dicatat dalam sejarah. Begitulah.

72

logika
R

asionalitas bukan satu-satunya cara mendekati dan memahami realitas. Apalagi


untuk yang sebesar fenomena alam seperti gunung njeblug, gempa, tsunami, dan
lain-lain. Maka baik pemerintah maupun kaum intelektual sebaiknya rendah hati
untuk menerima pendekatan-pendekatan lain demi kemaslahatan banyak pihak.
Terlebih pemerintah, sebab selain punya kuasa politik juga kuasa birokrasi dan
anggaran.

73

anggapan
K

adang-kadang saya agak risih kalo dibilang penulis itu profesi alusan, bukan
kerja fisik. Padahal pengalaman saya, kalau sedang bekerja, tidur hanya 2 atau
paling banyak 3 jam dalam sehari. Dan bukan sehari dua hari tapi bisa seminggu dua
minggu.
Kalau fisik nggak kuat, dijamin njempalik. Setidaknya nyawang satu monitor jadi
tiga.

74

Kalau fisik nggak

KUAT
,
dijamin njempalik

PUTHUT EA

budi
P

engalaman dari hanya berdasarkan pengamatan


sekeliling. Orang yang baik hati, pemurah, suka menolong,
hidupnya baik-baik saja. Rezekinya sempulur. Orang yang
pelit, tak pedulian, suka merepotkan orang, hidupnya penuh
persoalan. Banyak kena apes.

76

kaos
Mendengar percakapan ini:
+ kamu punya kaos yang harganya per biji Rp5 ribu? Ada partai X yang mau
pesan Rp10 ribu per kaos.
- aku hanya punya yang sebiji Rp10 ribu.
Aku: bajindul, satu kaos kok Rp5 ribu dan Rp10 ribu. Dibelikan rokok cuma dapat
satu bungkus.
Seruan untuk rakyat: cobloslah partai yang memberi kaos dengan harga kaos
Rp 50 ribu ke atas, syukur yang memberi kaos seharga Rp200 ribu. Apalagi kalau
memberi kaos plus seperangkat alat salat.

77

korupsi (1)
B

eberapa hari lalu, saya kembali mengundang salah satu idola saya, Agus Mulyadi,
untuk ngopi bersama teman-teman yang lain. Semacam memperingati ulangtahun
ke-37 dengan cara sederhana. Seperti biasa, kehadiran Agus Mulyadi membuat
situasi jadi kemripik dan gerrr. Perut sampai mules.
Di antara situasi yang serba guyon itu, terselip juga dialog-dialog serius, salah
satunya tentu yang sedang ngehits ya soal Pileg.
Saya: mul, kamu besok milih partai apa?
Agus: milih PKS, kang.
Saya: boleh tahu alasanmu?
Agus: alasanku sederhana kok, kang. Dulu yang ngursusin komputer aku sekarang
nyaleg dari PKS. Orang itu juga yang memberiku pekerjaan jaga warnet waktu baru
lulus SMA. Orangnya baik. Dia juga nggak minta aku nyoblos dia. Tapi aku tahu
balasbudi.
Saya: tapi kamu tahu kalau PKS kena kasus banyak kasus korupsi to?
Agus: lho yang korupsi kan bukan hanya PKS. Lagian yang korupsi bukan orang
yang mau kupilih.
Begitu sederhana, menurut sampeyan piye?

78

DOA CAK KLEPON

UNTUK INDONESIA
Y

a Allah, jika engkau jadikan Jokowi presiden indonesia, Insyaallah aku ikhlas
ya Allah. Tapi kalau bisa, tolong kau pancarkan aura kepemimpinannya. Kau
jauhkan ia dari para sengkuni yang sedang merapat ke dirinya. Kau bentengi ia dari
kelakuan partai-partai pendukungnya. Ah, kau tahu sendiri lah ya Allah, kelakuan
partai-partai itu...
Namun ya Allah, jika kau jadikan Prabowo presiden, insyaallah aku pun ikhlas.
Tapi kalau bisa ya jangan lah ya Allah... masak Prabowo sih ya Allah... kalau nggak
Jokowi ya Ahok atau Mahfud MD gitu lho ya Allah... tapi ya jangan Rhoma Irama
dong ya Allah, soalnya kadang sampeyan kalau becanda sering kebablasan ya
Allah... Hambamu ini kadang nggak siap dengan cara bercandamu itu.
Begitu dulu ya, ya Allah...
Amin...
See you.

arsitek
S

esungguhnya yang paling cocok menjadi politikus di Indonesia adalah orangorang yang memiliki latar belakang keilmuan arsitektur. Kenapa bisa begitu?
Coba perhatikan, ada banyak sekali pemakaian kata rumah untuk konteks politik di
negeri ini: Rumah Perubahan, Rumah Rakyat, Rumah Aspirasi, Rumah Dialog, Rumah
Informasi, dan lain-lain.
Maka agak memper kalau presiden Indonesia adalah seorang tukang mebel. Saya
hanya berharap sebentar lagi tidak ada serial sinetron: Tukang Mebel Jadi Presiden.

80

handphone
Y

ang sering dilupakan oleh kebanyakan orang di momentum Pilpres, termasuk


kemenangan Pak Jokowi, yakni kontribusi negara China. Tanpa Hp murah produk
China, media sosial seperti Facebook, Twitter bahkan pemotretan data C1 tidak bisa
dilakukan oleh banyak orang.

81

doa markenyot
S

uatu hari, Markenyot mendatangi seorang petambak garam. Ia berbincang asyik


dan merasa bahagia karena banyak petani garam yang sedang berbahagia.
Kualitas garam bagus, harga juga bagus. Di akhir obrolan, Sang Petambak meminta
didoakan supaya musim kemarau tetap bertahan setidaknya sebulan lagi. Markenyot
menyanggupi. Markenyot pun pergi.
Tidak lama kemudian, tidak jauh dari tempat tersebut, Markenyot bertemu
dengan seorang petani yang terlihat gundah di pinggir lahannya yang kering
kerontang. Markenyot pun mendatangi dan mengajak bicara. Petani tersebut
berbawarasa karena hujan tak kunjung turun. Padahal biasanya ia sudah menanam
padi atau jagung. Ia meminta Markenyot agar mendoakan supaya hujan cepat turun.
Markenyot menyanggupi.
Di sebuah langgar kecil, Markenyot berhenti. Ia mengambil air wudhu lalu
melakukan salat Ashar. Selesai salat, Markenyot berdoa. Lebih tepatnya wadul ke
Gusti Allah. Gusti Allah, hari ini saya bingung. Bagaimana sebaiknya saya berdoa.
Apakah minta kemarau semakin panjang atau minta hujan cepat turun? Masak hujan
harus milih-milih... Bagaimana solusinya ini?
Sampai detik ini, Tuhan tidak memberi jawaban. Karena itu, sampai detik ini pula
Markenyot masih belum berdoa.

82

bbm
Mari berdoa semoga kita dijauhkan dari tiga sifat buruk ini:
1. Dungu. Dulu menolak BBM naik, sekarang mendukung BBM naik.
2. Paranoid. Berpikir bahwa orang yang menolak penaikan BBM sebagai orang
yang ingin menurunkan Jokowi.
3. Amnesia. Saat menjadi mahasiswa ikut gerakan perlawanan, sekarang goblokgoblokin mahasiswa.
Alfatihah...

84

gumun
D

unia harus tahu tapi tak perlu repot-repot harus paham. Sore ini, karya
kolaborasi Wimo Bayang dengan saya, akan dipajang, ditayangkan, dihadirkan.
Tapi saya jangan ditanya maksudnya apa. Lha buat apa saya berkarya kalau masih
ditanya maksudnya apa. Masih perlu menjelaskan. Jangan sampai saya berpikir lebih
baik saya menjelaskan maksud saya daripada berkarya...
Suatu saat, usai membacakan karya-karyanya dengan cara yang apik, Gus Mus
ditanya oleh seorang wartawan: Itu tadi apa maksudnya, Gus?
Sekalipun beliau orang yang sabar dan arif, tetap saja tampak jengkel. Beliau
hanya diam sambil senyum... Seandainya saya yang ditanya, tentu sudah saya jawab:

Matamu, aku wis


pencolotan, jempalikan,
bengok-bengok, njuk
kualitas pertanyaanmu ki
mung apa maksudnya?
Tak tapuki raimu, gelem?

85

oplosan
S

ebetulnya maunya pemerintah itu bagaimana sih? Bir makin dilokalisir. Di Sleman
saja sudah nggak boleh. Orang Sleman kalau sedang butuh bir malah harus pergi
ke kota kekuasaan Pak Hariadi. Minuman lokal yang jelas-jelas sudah teruji seperti
arak Tuban, arak Bali, Cap Tikus, dan lain-lain, makin dilarang.
Salah satu akibatnya ya minuman oplosan makin berkembang. Korban makin
bertumbangan. Kalau begini, siapa yang rugi?
Iki piye sakjane... meh seneng-seneng wae kok ora entuk...
Legalkan wine salak pondoh khas Sleman!

86

ayam
S

eorang bapak berpeci membawa seekor ayam jago masuk ke lingkungan masjid.
Ia hampir masuk ke beranda masjid ketika Sang Takmir dengan segera menyapa
lembut, Maaf, Pak... Ayam Anda ditinggal di luar saja ya...
Lho kok ditinggal? tanya bapak itu dengan muka bingung.
Iya, Pak. Nanti bisa mengganggu orang yang mau beribadah.
Wah, begini Mas.. Saya jauh-jauh datang ke sini karena mendapatkan informasi
kalau Tuhan adalah tempat kita mengadu. Lha kok sekarang malah diminta
meninggalkan ayam aduan di luar. Nanti saya mengadu apa?
Takmir masjid pun melongo...

87

obrolan imajiner
Pengamat politik: Pak, mestinya Anda memilih Kapolri yang tidak punya rekening
gendut.
Jokowi: Kamu ada-ada saja, mana ada Jenderal Polisi tidak punya rekening
gendut? Dari pangkat kapten saja rekening mereka sudah gendut...
Pengamat politik: Ih, Bapak bisa saja. Takciwel lho...

88

krisis ekonomi
S

aya mencium bau krisis ekonomi di Indonesia. Seyogianya pemerintah cepat


tanggap. Badai tidak bisa dihela tapi jika ada sistem antisipasi yang bekerja
optimal, korban bisa diminimalisir. Dan saya punya firasat, kali ini ada dua
komoditas yang ikut membantu menahan badai: kopi dan akik. Dua komoditas itu
akan menyusul striker bernama kretek yang ada di barisan terdepan yang mencoba
menahan gempuran krisis. Sayang, bir dan beberapa jenis miras lokal yang lain, yang
juga teruji menahan serangan krisis, lebih dulu diberi kartu merah oleh pemerintah.
Rakyat siap berlaga. Tapi tergantung model dan karakter pemimpinnya.

89

korupsi (2)
T: Kenapa kita tidak boleh korupsi?
J: Karena kita tidak boleh mencuri milik orang lain.
T: Kenapa kita tidak boleh mencuri milik orang lain?
J: Mmm... anu...
Kalau pertanyaan terakhir itu belum bisa dijawab dengan baik, pemberantasan
korupsi akan begini-begini saja.

90

cerewet
S

eorang teman berkeluh kesah kepada saya, dia dijauhi oleh salah seorang
temannya hanya karena mulai suka mengumpulkan akik. Saya menghiburnya.
Memang kadang ada jenis orang di dunia ini yang cerewet banget melihat orang
senang. Sukanya melarang-larang, maido, ngece pada orang-orang yang makan mi
instan, suka akik, suka udud, suka kopi, suka dangdut, suka ngebir, macem-macem
lah. Bagi orang seperti itu, orang salat saja juga bisa salah, orang berbuat baik saja
bisa dikelirukan.
Tidak apa-apa. Teruskan bersenang-senang. Biarkan orang yang seperti itu terus
membusuk dalam kedengkian. Setiap orang berhak punya hati senang. Berhak punya
klangenan. Berhak menikmati keselowan.

92

menyesal
L

ama-lama negeri ini makin absurd saja. Menyesal saja kok nggak boleh. Orang
menyesal milih Jokowi kok nggak boleh. Cuma menyesal lho... Jangan-jangan
sebentar lagi menangis juga nggak boleh, tertawa juga nggak boleh.
Kalau saya sih, jangankan menyesal, bakar foto Jokowi juga boleh. Yang nggak
boleh, bakar rokok temanmu tanpa izin.
Kalau dulu menentang BBM naik, sekarang mendukung BBM naik, disebut
dinamis. Kalau dulu ada orang mendukung Jokowi, sekarang menyesal, disebut:
tolol.
Ini bukan salah atau benar. Tapi dobel standar itu kontol.

93

gaji tinggi
S

aya ikut berpendapat soal gaji ya... Terutama terkait dengan gaji tinggi untuk PNS
DKI dan pegawai kementerian tertentu.
Gaji pegawai makin tinggi tentu makin baik. Karena kesejahteraan adalah hak
setiap orang. Tapi selama ini kebijakan gaji masih bersifat teritorial (DKI Jakarta),
dan kementerian tertentu saja (Kementerian Keuangan, misalnya).
Kebijakan gaji tidak pernah diletakkan dalam konteks ke-Indonesiaan maupun
solidaritas kebangsaan. Ini bisa jadi proyek menang-menangan dan besar-besaran.
Konsekuensi logis dari berbangsa adalah solidaritas kebangsaan. Kita dulu selalu
mengkritik soal kesenjangan: Jawa vs non-Jawa, pejabat-politikus vs rakyat, pusat
vs daerah, dan lain-lain. Tapi soal gaji pegawai negeri, kita lepaskan hal semacam itu.
Kalau urusan duit, teori kita buang.
Gaji lurah di Jakarta bisa 10 kali lipat lurah di luar Jakarta, gaji Camat di Jakarta
bisa 10 kali lipat gaji Camat di luar Jakarta, mungkin tidak melanggar apapun dalam
matematika APBD. Tapi menyakitkan dalam etika berbangsa, dan tidak adil dalam
perspektif kemanusiaan. Ya kalau mau menang-menangan dan besar-besaran, tidak
usah saja ada NKRI.
Saya kira pernyataan terbodoh pejabat publik jika menyatakan demikian: APBD
gua tinggi, gua mau menggaji tinggi anak buah gua ya suka-suka, dong!
Kalau begitu dijawab saja: Oke mulai sekarang kita nggak usah satu bangsa dan
nggak usah satu negara, satu bahasa sih nggak apa-apa. Biar kita tahu, mana yang
lebih kaya: Jakarta atau daerah!
Kalau perlu hilangkan kosa kata adil dan tenggang rasa dari kamus bahasa
kita. Kalau masih mau menang-menangan, bubarkan saja negara ini sekalian. Itu
lebih jelas dan lebih adil.

94

blokir
K

alau hari ini Anda dukung pemblokiran belasan situsweb Islami dengan dalih
menebar fitnah, Anda juga harus siap situsweb Indoprogres diblokir karena
dianggap menyebarkan ajaran Marxisme, dan Mojokdotco juga dibubarkan karena
sarang tulisan ahli ghibah.
Itulah kenapa saya tidak pernah mau mendukung pembubaran FPI atau ormasormas lain. Kalau salah ya hukum saja orangnya. Jangan bubarkan organisasinya.
Ekspresi politik, sosial dan kultural tidak boleh diberangus. Kemerdekaan berserikat
dan berkumpul tidak boleh dihalang-halangi atas nama apapun. Cukup PKI dan
komunisme saja yang menanggung beban itu. Kalau angin sedang baik nanti, PKI dan
komunisme pun harus dipersilakan tumbuh di Indonesia kembali.

95

karya
H

asil karya itu tidak selalu merujuk pada karya seni, hasil penelitian, album lagu,
dan karya sastra. Organisasi itu hasil karya. Kembali menyuburkan tanah yang
tandus juga hasil karya. Bahkan menurut saya, keluarga itu sebuah hasil karya.
Jangan terlalu minder kalau ditanya: Memang karyamu apa? Biasanya yang
bertanya seperti itu hanya sedang krisis kepercayaan diri. Gamang dengan kualitas
karyanya sendiri.
Tetap rileks dan murah senyum.

96

kenapa ini, kenapa bukan itu


D

alam sebuah isu, pro kontra itu biasa. Dunia internet dan media sosial membuat
semua tampak lebih ramai sebab orang bisa berinteraksi dan berpendapat dalam
lalulintas yang lebih cepat.
Bagi saya yang justru menarik adalah ketika dalam sebuah isu, ada perdebatan
dengan model begini: Kenapa ini kamu bela sementara yang itu tidak; kenapa A kamu
advokasi sementara B kamu cuekin; kenapa isu X lebih kamu prioritaskan sementara
isu Y kamu lirwakan, dan seterusnya.
Saya pernah mewawancarai beberapa aktivis terkait pilihan mereka atas isu
tertentu untuk digeluti. Jawaban mereka pada intinya sama: Pilihan isu digeluti
atau diperjuangkan biasanya atas dasar sikap prioritas personal, dan tidak mungkin
seorang aktivis menceburkan diri lebih dari tiga isu secara total, bahkan satu pun
kadang sudah kewalahan.
Ambil contoh, aktivis antikorupsi kalau mau benar-benar total berjuang di isu
tersebut, seumur hidup pun tidak akan kemput. Ada sekian hal dalam satu isu.
Kalau orang mau masuk ke isu lingkungan, ada sekian puluh atau ratus turunan isu
yang tidak mungkin dia tuntaskan sepanjang usianya. Begitu juga di isu-isu lain:
pendidikan, pangan, keadilan hukum, dan lain-lain.
Sehingga orang memilih menggeluti isu tertentu karena alasan yang lebih
personal, baik interes maupun kedekatan. Kalaupun toh prioritas, maka sifatnya
adalah manasuka. Orang memilih isu korupsi dibanding isu lingkungan atau
sebaliknya, tidak bisa diadili dengan mana yang lebih benar.
Jadi dalam riuh segala pro-kontra, saya selalu merasa ganjil kalau ada orang yang
menggunakan argumen kenapa ini, kenapa bukan itu. Ya suka-suka dia. Maklum
tenaga, pikiran dan energi terbatas sehingga harus memilih.
Tapi memang ada orang-orang yang mengagumkan karena hampir setiap isu
mereka punya pendapat dan punya sikap. Hal ini juga tidak harus setiap orang
dianggap punya kemampuan seperti itu. Tidak perlu disamaratakan. Bisa juga hal
itu dianggap kelebihan, bisa juga tidak. Sebab kadang banyak bicara memang
pertanda tidak bisa bekerja.
Saya sempat berpikir bahwa dunia serbacepat dunia internet mendinamisir
kemampuan seseorang sehingga menit ini bicara isu X, menit berikutnya bicara isu
Y. Terus begitu. Dalam sehari bisa 5 isu, dalam sebulan bisa 150 isu. Sehingga sangat
cocok bekerja di LSM Jempol Perkasa. Sungguh luarbiasa. Takjub saya.

97

Saya sempat berpikir bahwa


dunia serbacepat dunia
internet mendinamisir
kemampuan seseorang
sehingga menit ini bicara
isu X, menit berikutnya
bicara isu Y. Terus begitu.
Dalam sehari bisa 5 isu,
dalam sebulan bisa 150
isu. Sehingga sangat cocok
bekerja di LSM Jempol
Perkasa. Sungguh luarbiasa.

Takjub saya.
PUTHUT EA

sendiri-sendiri
S

aya kira benar apa kata teman saya: Tugas sejarah Pak Jokowi ternyata hanyalah
sebatas mengalahkan Pak Prabowo. Sementara untuk soal ekonomi, kedaulatan,
kemerdekaan, keadilan, kebahagiaan, masing-masing kita harus berjuang sendirisendiri atau kalau sempat ya lebih baik berserikat.

99

perumpamaan lama
B

agi Anda yang sering membaca tulisan para budayawan kita, perumpamaan ini
sudah lama. Saya hanya menuliskan ulang saja.
Sepatu dibuat dengan fungsi utama untuk melindungi sepasang kaki kita dari
marabahaya dan cedera. Tetapi ternyata kita butuh memakai kaos kaki. Fungsi
utamanya apa? Untuk melindungi sepasang kaki kita dari bahaya lecet yang bisa
ditimbulkan oleh sepatu.
Jadi sebetulnya sepatu itu alat untuk melindungi atau mengancam kita? Menjaga
atau melukai kita?
Apa yang terjadi pada sepatu juga terjadi pada polisi. Juga pemerintah, juga
DPR. Dan lain-lain.

100

sabdaraja
J

ika Sabdaraja dibaca dengan cara sederhana, ada dua poin yang bersilangan:
Pertama, tepat secara politis karena memfasilitasi pemimpin perempuan. Kedua,
upaya melanggengkan kekuasaan sehingga paugeran pun ditabrak.
Anda pilih yang mana?

101

istimewa apanya?
S

oal Sabdaraja, membuat saya memikirkan hal-hal sederhana yang selama ini
tidak sempat saya pikirkan. Soal: Yogya Istimewa.
Apa sebetulnya yang istimewa dari Yogya? Kenapa Yogya disebut istimewa dan
yang lain tidak? Sejarahnya? Tata pemerintahannya? Undang-undangnya? Baiklah.
Berarti yang istimewa adalah pemerintah-nya tapi mungkin bukan warga-nya.
Mari kita uji dengan pertanyaan-pertanyaan yang juga sederhana.
Apakah pelayanan kesehatan rakyat Yogya lebih istimewa dibanding warga
yang tinggal di daerah lain? Apakah fasilitas dan sarana publik warga Yogya lebih
istimewa dibanding warga daerah lain? Apakah pelayanan pendidikan di Yogya lebih
istimewa dibanding yang lain? Apakah kalau kita membuat SIM, STNK dan KTP, lebih
istimewa dibanding yang lain? Apakah kualitas hidup warga Yogya lebih istimewa
dibanding kualitas hidup warga yang tinggal di daerah lain? Apakah... silakan
lanjutkan sendiri.
Tentu Yogya istimewa buat saya karena karena hampir 20 tahun saya tinggal di
sini. Saya berhutang banyak hal dari Yogya. Tapi setiap orang, dengan logika yang
sama, pasti merasa kota tinggalnya adalah istimewa.
Jadi sebetulnya Yogya itu istimewa apanya?

102

rupiah
R

upiah boleh makin melemah. Tapi semangat kerja tak boleh surut. Terlalu banyak
hal yang telah kita titipkan kepada berbagai pihak padahal mestinya hanya boleh
diamanatkan kepada diri kita, keluarga, para sahabat, dan organisasi kita sendiri.
Jalan terus!

104

siasat
A

pa yang dilakukan oleh para pedagang bakso dan mi ayam-bakso ketika terjadi
perlambatan ekonomi ditambah dengan harga daging sapi yang membubung
tinggi? Saya menelusurinya ke beberapa pedagang kaki lima dan warung kecil.
Saya pergi dengan membawa beberapa asumsi. Pertama, harga akan dinaikkan.
Kalau harga dinaikkan, perhitungan saya berkisar 20 persen dari harga lama. Kedua,
porsi akan dikurangi. Kalau bakso ya bulatannya mengecil, kalau mi ya dikurangi
beratnya. Ketiga, kualitasnya diturunkan. Persentase daging dikurangi. Keempat, bisa
kombinasi antara poin dua dan tiga. Porsi dan kualitas dikurangi.
Anda ingin tahu apa yang saya temukan di lapangan? Tentu tidak...

105

krisis dan analisis


D

i depan pintu gerbang krisis ini, ada banyak analisis. Kalau Anda tidak suka
dengan istilah krisis pakai saja frasa perlambatan ekonomi. Saya mau
memindai beberapa analisis yang ada di dinding Facebook saya. Tapi saya bukan
ekonom, hanya pebisnis kecil. Jadi ya mohon maaf kalau tidak otoritatif.
Analisis paling segar adalah pemerintah sengaja membuat krisis agar bisa
membeli saham-saham BUMN dengan angka murah. Tentu bagi Anda yang belajar
ilmu ekonomi-politik, analisis ini menggelikan. Pertama, tentu saja mana ada
pemerintah sebuah negera yang sengaja membuat krisis dirinya sendiri dengan
alasan supaya bisa membeli saham BUMN dengan harga murah. Kedua, seakan-akan
krisis itu barang bikinan yang mudah, semudah membuat bakwan.
Tapi mari kita lihat lebih lanjut dari logika tersebut. Dalam banyak kasus, logika
membeli saham BUMN banyak dipakai oleh beberapa negara yang kena krisis. Selain
memang harganya murah, juga diharap bisa mengintervensi pasar. Logika lebih
lanjut, biasanya negara tersebut tetap tidak mampu membendung merosotnya
saham-saham BUMN. Mau dibeli lagi? Duit siapa? Memangnya negara ini punya duit
berapa? Ketika harga makin rendah, di sinilah biasanya para investor yang dulu
menjual sahamnya, masuk lagi membeli di harga terendah. Jadi logika Pemerintah
akan membeli saham BUMN-BUMN yang ada sudah masuk dalam skenario dagang.
Itu wajar.
Analisis segar kedua menyatakan bahwa krisis ini bagus buat pengekspor. Ini
analisis paling luarbiasa. Saya kira bagi Anda yang sudah belajar ekonomi saat SMP
akan paham hal ini. Pertanyaan lebih lanjut, ekspor apa? Berapa nilai ekspor kita
jika diperbandingkan antara sebelum dan saat krisis? Berapa perbandingan industri
kita yang rontok dibanding pertumbuhan ekspor? Bagaimana dengan komoditaskomoditas ekspor yang justru anjlok seperti batubara, sawit, dan karet?
Ada juga analisis segar ketiga yang lebih maju dan kreatif. Indonesia ini masih
kaya sumber daya alam, dan merupakan pasar yang besar sekali. Artinya, para
pelaku ekonomi tidak akan melepas begitu saja Indonesia. Itu benar adanya. Ini
analisis yang baik. Hanya saja yang patut diwaspadai adalah para pelaku ekonomi
dunia memang tak akan melepas Indonesia begitu saja, tapi jamak bagi pelaku pasar
untuk membeli dan masuk di saat paling murah.
Terus kira-kira apa solusinya? Saya bukan ekonom dan bukan pemerintah. Saya
juga bukan jenis orang yang jika mengkritisi sesuatu, harus merasa perlu membuat
solusi. Tapi begini...

106

Kita pernah mengalami krisis termutakhir dua kali: 1998 dan 2008. Dari dua
krisis itu, pelajarannya sudah jelas. Eksperimen solusinya sudah ada. Baik yang
berhasil maupun tidak. Saya kira tak ada salahnya untuk mencoba dan memperbesar
intervensi pada solusi-solusi yang sudah terbukti berhasil. Tentu dengan sekian
modifikasi. Dan satu hal lagi, hal kecil yang namun tidak segera dilakukan: apa
sih salahnya menurunkan harga minyak? Minyak dunia turun, ekonomi domestik
melambat, masak menurunkan harga minyak saja pakai mikir panjang. Kecuali
pemerintah ingin dapat duit yang serba instan.

Satu lagi, mikirnya jangan


kelamaan... Nanti orang berpikir:
Situ sedang mikir atau sedang
tidur?

107

bisnis
S

aya sering bertemu dengan banyak teman yang ingin punya usaha.
Berbisnis, begitu bahasa mudahnya. Tapi hampir semua yang saya temui
belum punya sikap mental dalam berbisnis.
Pertama, kebanyakan dari mereka terlalu lama berpikir. Mau bikin warung
kopi saja, ada teman saya yang mikirnya sampai 8 tahun. Sudah bertemu
saya belasan kali, setiap ketemu obrolannya masih sama: konsep warung
kopi. Dan banyak yang seperti itu, ada yang sudah 2 tahun mikir bisnis, ada
yang 4 tahun, dan sebagainya. Itu mau bikin teori baru atau mau bisnis...
Saya terus terang bingung.
Kedua, tidak mau rugi. Bisnis itu ya seperti usaha yang lain, punya
kemungkinan berhasil tapi juga punya risiko rugi. Tapi banyak teman saya
yang mikir bisnis kemudian tidak segera dieksekusi karena menghitung ada
kemungkinan rugi. Sampai jebol pikiran mereka ya pasti tidak akan menutup
peluang terjadinya kerugian. Hukum alamnya demikian.
Biasanya mental yang tidak siap berbisnis, melihat bisnis itu sendiri
sebagai sesuatu yang molek. Enak. Indah. Saya juga sering mendengar
teman-teman saya berkomentar, enak ya saya punya bisnis KBEA dan
Warung Mas Kali.
Biasanya kalau saya tidak sedang malas, dalam rangka membantu
membangun pengertian yang lebih maju dan adil untuk melihat bisnis, saya
paparkan sedikit hal. Tidak banyak. Kalau banyak bisa takut. Misalnya soal
KBEA. Sebagai entitas bisnis, KBEA ini salah hitung saja sering. Itu masih
belum apa-apa, KBEA juga sering ditipu oleh rekan kerjanya. Kami pernah
ditipu mulai dari puluhan juta sampai ratusan juta. Sampai sekarang, kalau
salah hitung sudah jarang terjadi, tapi kalau ditipu orang, kadang-kadang
masih terjadi. Ya itu risiko bisnis. Tugas kita meminimalisir risiko tersebut
tapi tidak akan pernah bisa menghindari sepenuhnya. Risiko itu melekat.
Maka jika ada orang yang suka bilang: enak ya punya KBEA, kalau
kemudian saya ceritakan sedikit saja soal perjalanannya, mereka bisa pucat.
Karena jika mereka mengalami itu, belum tentu sanggup. Lha kami tidak
salah apa-apa tiba-tiba semua pekerjaan tidak dibayar, dan kerugian kami
dobel. Kenapa bisa begitu? Saya ambil contoh.

108

BIASANYA MENTAL YANG

tidak siap

berbisnis
melihat bisnis itu sendiri
sebagai sesuatu yang

Molek.
Enak.
Indah.

Katakanlah kami mendapatkan proyek pengerjaan buku dengan total


proyek Rp250 juta. Anggaran untuk menjalankan seluruh proyek itu: Rp200
juta. Keuntungan kami: Rp50 juta. Porsekot diberikan: Rp100 juta. Ternyata
sampai proyek jadi, pelunasan tidak diberikan. Kerugian kami bukan hanya
Rp100 juta, tapi Rp200 juta penuh. Karena kami tidak mau ada orang yang
menipu kami, lalu kami juga menipu pekerja yang bekerja untuk kami di
proyek tersebut. Ini sikap bisnis saya. Saya boleh ditipu dan dirugikan orang,
tapi saya tidak mau membebankan itu ke semua orang yang terlibat. Saya
berbisnis bukan untuk menjadi orang jahat. Sehingga kalau mau dihitung
secara benar, bukan hanya kerugian materi, tapi juga kerugian waktu dan
tenaga. Kalau proyek itu dikerjakan selama 4 bulan, maka berapa kerugian
kami?
Setelah cerita begitu, biasanya saya tanya: mau kamu menjalankan bisnis
seperti KBEA? Kalau tidak, jangan bilang bisnis KBEA itu enak. Bisnis jasa itu
potensi ditipunya besar sekali.
Maka tidak heran jika Anda pernah ikut seminar bisnis dan mendatangkan
para pebisnis sohor, biasanya akan ditanya: Apakah Anda pernah rugi dalam
bisnis? Apakah Anda pernah ditipu dalam bisnis?
Kalau ada yang bilang belum pernah rugi dalam berbisnis berarti belum
pernah berbisnis. Kalau belum pernah ditipu dalam berbisnis, berarti belum
pernah berbisnis.
Dua risiko itu melekat di dalam bisnis. Kalau tidak siap, sebaiknya jangan
berbisnis.
Jadi, masih mau berbisnis? Atau masih mau mikir bertahun-tahun hanya
untuk bikin sebuah warung kopi?

110

akhir dari sebuah warung


Teman-teman yang baik....
Tanggal 20 Maret nanti, Warung Mas Kali (WMK) menginjak usia 1 tahun. Di pagi
ini, saya memutuskan bahwa WMK akan tutup untuk selamanya pada tanggal 18
Maret 2015.
Keputusan ini sudah didasarkan atas banyak pertimbangan. Tentu saja
pertimbangan yang paling dominan adalah pertimbangan ekonomi. WMK gagal
dalam mewujudkan dirinya sebagai sebuah bisnis yang sehat.
Bukan kali ini saja saya gagal dalam bisnis. Tahun lalu, saya juga membekukan
sebuah usaha penerbitan saya karena pihak distributor melakukan gagal bayar
sehingga perputaran bisnis tersebut menjadi tidak sehat lagi.
Kegagalan bisnis pertama saya terjadi di tahun 2000. Waktu itu, saya bersama
para sahabat saya Bayu Kusuma, Agung Nugroho dan almarhum Jadek membuat
bisnis EO. Tiga kali mengadakan kegiatan, kami sukses berat. Lalu kami membuat
keputusan berani untuk menanggap Slank tanpa sponsor utama. Ternyata kami
keliru mengambil keputusan di dalam sistem pintu dan keamanan. Pintu jebol.
Pentas ramai sekali. Tapi kami bangkrut total.
Tahun 2008, saya dan sahabat saya Faiz Ahsoul juga membuat warung, dan hanya
mampu bertahan 8 bulan. Tutup. Masih ada sekian bisnis lagi yang saya lakukan dan
gagal.
Banyak orang bilang bahwa gagal itu kesuksesan yang tertunda. Tapi itu hanya
ada di dalam pepatah. Setiap kali saya gagal, ada perasaan marah dan kesal di diri
saya sendiri. Juga rasa traumatik. Untuk sekian bulan saya tidak mau membicarakan
hal itu. Kalau teringat kegagalan tersebut rasanya menyakitkan.
Biasanya itu berlangsung cukup lama. Bisa berbilang bulan, bisa berbilang tahun.
Tapi pada akhirnya, saya selalu kembali melakukan aktivitas bisnis. Apa saja. Asal
halal.
Bisnis atau melakukan wirausaha, saya anggap salah satu cara yang
mengakomodasi sekian karakter saya: kreativitas, inisiatif, dan keberanian
mengambil risiko. Sebab tidak banyak orang misalnya, yang punya uang Rp100 juta
atau Rp200 juta, lebih memilih berbisnis dengan risiko semua uangnya habis. Banyak
yang lebih memilih menyimpannya di dalam bank. Tentu ini bukan salah atau benar.
Ini soal pilihan.
Dari sekian hal yang melekat di dalam bisnis, ada satu hal yang paling saya sukai:
keberanian memutuskan sesuatu dalam tempo cepat. Kemudian mempelajari risiko
dari keputusan itu, baik risiko kecil maupun risiko besar.

111

Saya secara pribadi masih sangat tertarik dengan bisnis kuliner dan sedang
menjajaki kerjasama dengan beberapa pihak. Bisnis kuliner punya tantangan
tersendiri, selain saya memang suka makanan dan minuman. Saya ingin kebas dari
rasa gagal. Saya ingin seperti banyak orang hebat, menempa diri dengan bangkit di
kali delapan ketika jatuh tujuh kali. Bangkit di kali dua puluh ketika jatuh sembilan
belas kali.
Saya ingin suatu saat ketika gagal hanya tersenyum. Dan itu semua hanya bisa
dilakukan dengan memperbanyak peristiwa kegagalan. Bagi saya, sukses bisnis
adalah soal jatah urutan. Misal jatah saya sukses di urutan kesepuluh. Sembilan kali
sebelumnya adalah kegagalan. Setiap saya melakukan sesuatu dan gagal maka saya
sedang mendekati urutan itu. Sayang sekali kalau sudah gagal sembilan kali dan
tinggal satu kali lagi tapi stok nyali pas sudah putus.
Satu lagi saya punya prinsip, lebih baik saya menyesali sesuatu yang sudah saya
lakukan ketimbang saya menyesal tidak melakukan hal itu.
Dan pagi ini, dengan lapang dada, saya menyatakan WMK gagal. Saya adalah
satu-satunya orang yang paling bertanggungjawab atas kegagalan itu. Untuk
teman-teman yang mungkin ingin melakukan nostalgia dengan WMK, masih bisa
melakukannya sampai tanggal 18 Maret.
Dalam perjalanan WMK, saya dibantu banyak oleh orang-orang baik. Kepada
mereka saya ucapkan terimakasih yang tulus dan dalam.

112

sesaat seusai penutupan


B

arusan saya mendapat laporan lengkap dari istri saya yang bicara di depan
karyawan Warung Mas Kali tentang penutupan warung tersebut. Sungguh
mengharukan.
Saat kami membicarakan soal penutupan warung itu berdua, tidak ada
penyesalan di diri kami tentang hilangnya modal. Tidak ada. Justru yang
mengganggu kami adalah bagaimana nasib para karyawan. Walaupun jumlahnya
tidak banyak, tapi setidaknya ada orang-orang yang menggantungkan hidupnya di
warung tersebut.
Saya sudah pernah mendengar banyak kisah mengharukan tentang sebuah usaha
yang mau ditutup, dan yang dipikir para pemilik usaha tersebut bukan soal diri
mereka, melainkan para karyawan. Istri saya jauh lebih lembut hatinya dibanding
saya. Untuk menggambarkan perbedaan istri saya dan saya, ini ilustrasi yang paling
mudah. Kalau saya hanya punya uang Rp100 ribu, dan ada teman saya yang sedang
butuh uang, saya akan bagi untuk saya Rp50 ribu dan untuk teman saya Rp50 ribu.
Kalau istri saya mengalami hal yang sama, dia akan kasih semua uang itu.
Dalam soal bisnis seperti itu, saya kadang sering merasa marah atau
sengak kalau ada orang menghina satu jenis usaha dengan hanya dianggap
mempekerjakan sekian ribu orang. Saya selalu berkata, suruh orang yang bilang
seperti itu untuk membuka usaha dan coba saja pekerjakan 10 orang. Tidak usah
ratusan atau ribuan orang. Kalau dia bisa, saya akan sujud di depannya.
Anda tidak bisa berkata mempekerjakan orang itu mudah sebelum pernah
melakukannya. Anda harus tahu susahnya mencari pekerja, bekerja bersama mereka,
memecat mereka, mengakhiri usaha disertai doa dan airmata mereka.
Senja ini, suara istri saya gemetar. Bukan karena uangnya hilang untuk sebuah
usaha. Uang terlalu sederhana buat dia. Istri saya hanya mengkhawatirkan bulan
depan mereka mendapatkan uang dari mana...
Di saat seperti itulah, saya memeluknya erat sekali

113

ngangkring
S

ebelum kedai kopi marak di Yogya, para mahasiswa, sastrawan, penulis, dan kaum
kreatif Yogya kalau ngumpul di angkringan.
Dalam remang lampu, obrolan penting dan tidak penting terjadi. Ditemani
dengan nasi kucing, tempe goreng, pisang goreng, sate usus, ceker, dan sekian menu
khas angkringan. Tentu saja minuman macam teh nasgitel dan jahe anget siap
mendampingi.
Kini ketika kedai kopi sudah menjamur di Yogya, bukan berarti angkringan lenyap.
Angkringan juga dinamis. Beberapa warung makan mengadopsi konsep angkringan.
Termasuk salah satunya adalah Angkringan Mojok.
Selain tetap dengan menu khas angkringan, ada penambahan beberapa menu lain
seperti rica-rica enthok, oseng-oseng mercon, dan yang paling favorit tentu saja:
nasi goreng cakalang.
Angkringan Mojok juga menyediakan minuman khas selain teh, jeruk dan kopi,
yakni sereh jeruk nipis dan es kawista.
Yogya termasuk daerah yang harapan hidup masyarakatnya cukup tinggi. Salah
satunya karena kebiasaan ngumpul, reriungan, guyub, masih sangat tinggi. Sehingga
problem hidup dan sengkarut masalah mendapatkan tempat untuk ditumpahkan.
Tidak mbentoyong di kepala. Salah satunya bisa dilakukan di angkringan.
Jadi, silakan mampir bersama rekan-rekan Anda... sebab hidup harus dilanjutkan.
Jangan lupa tertawa...

114

amnesia
S

aya sebetulnya ragu untuk menyimpulkan bahwa manusia Indonesia itu paling
mudah lupa pada sejarah. Konsekuensinya tentu saja tidak pernah bisa belajar
dari sejarah.
Pagi ini saya berani mengiyakan pernyataan tersebut. Gara-garanya sederhana.
Ketika beberapa kali saya mengunggah soal Angkringan Mojok, sudah ada yang
tanya alamatnya di mana, dan sudah saya jawab, di bawahnya ada yang tanya lagi,
dan ada yang tanya lagi.
Barusan saya lihat teman saya mengunggah jadwal acara, ditanya hal yang mirip.
Sudah dijawab. Dan ditanya lagi oleh pengisi kolom komentar selanjutnya. Dijawab
lagi. Ditanya lagi. Edan.
Wkwkwk...
Kiat sebelum bertanya di kolom komentar, coba cek dulu komentar-komentar
di atas Anda, jangan sampai mengulang pertanyaan-pertanyaan yang sama.
Kelihatannya ini sepele, tapi mungkin dari hal seperti inilah, Indonesia ancur-ancuran
nggak jelas kayak gini...

115

gajian
H

ari ini, sebulan persis Angkringan Mojok berdiri. Para kru Angmo, demikian saya
biasa menyebut, gajian.
Istri saya berkisah. Hari ini semua kru bergembira. Secara material mereka
mendapatkan gaji, uang lembur dan bonus. Sebagian mata mereka berkaca-kaca
saking tidak percaya. Sebagian dari mereka pernah bekerja sebagau kru Warung Mas
Kali. Mereka telah mengalami masa-masa sulit, kurun panjang nyaris tanpa harapan.
Sekarang, selain uang lembur dan bonus yang tidak pernah mereka rasakan di
bisnis yang dulu, mereka mendapatkan sekian hal nonmaterial: kerjasama tim yang
apik, kebahagiaan melayani para konsumen, dan tentu saja harapan baik.
Hari ini pula mereka mengawali tradisi baru, saling memaafkan. Sebab bagi tim
baik kru maupun yang punya, telah melewati waktu yang nisbi panjang. Masih dalam
situasi adaptasi. Juga keriuhan dan mungkin lintang pukang. Semua bisa punya
kesalahan. Dan dalam situasi hati yang gembira, orang mudah memaafkan. Para
anggota tim kemudian punya pengalaman yang penting: lebih baik capek melayani
banyak konsumen daripada tidak capek karena warung sepi.
Dan sekadar informasi, laba atau apapun Anda menyebutnya, yang diterima
investor tidak lebih besar dibanding kru yang bekerja. Kok bisa begitu? Ya memang
begitu. Semua sudah diujicobakan sejak saya menjalankan kantor KBEA. Saya yang
punya kantor tersebut, belum tentu menerima lebih besar dibanding seorang kru jika
sama-sama terlibat dalam sebuah proyek. Kalau saya tidak terlibat di dalam proyek
ya tidak dapat uang. Hanya yang bekerja yang dapat penghargaan. Aneh? Saya kira
tidak.
Angmo juga mulai menambah kru baru. Itu artinya kami juga membuka lapangan
kerja. Artinya juga, ada makin banyak harapan di sana. Semoga semua makin baik,
makin ramai, makin bermanfaat. Minta doa restu kawan-kawan semua.

116

kepala dan cara


P

engelola kompleks makanan dan minuman di mana Angkringan Mojok


berdiri, membuat sebuah keputusan yang menarik untuk dipelajari. Dia
memutuskan akan memasang konblok di lahan parkir.
Alasannya sebagai berikut. Pertama, sepanjang Jalan Damai sejak bulan
Januari banyak warung makan dan minuman yang tutup, termasuk tiga
warung di kompleks tersebut. Kedua, musim kemarau membuat debu mudah
terbang. Atas kedua hal itulah keputusan membuat konblok diketok. Tentu
saja ada risiko bahwa setiap warung makan di kompleks itu harus membayar
iuran. Niatnya mulia: supaya debu tidak berterbangan, dan hal itu sebagai
sebuah upaya agar warung makan di seluruh kompleks tersebut bisa selamat
dari perlambatan ekonomi.
Saya setuju dengan kedua fakta yang dijadikan alasan. Tapi soal
keputusan, nanti dulu. Juga cara.
Mestinya pengelola tersebut harus mengajak semua pemilik warung
makan di kompleksnya untuk berembuk bersama, terlebih selain sebagai
pengelola, dia juga akan mengambil uang berupa iuran dari warung-warung
tersebut. Dia harus mendengarkan keluhan dan pendapat para warga pemilik
warung.
Hal lain, mestinya dia berpikir bahwa hampir semua warung di kompleks
tersebut, termasuk rata-rata di Jalan Damai, sedang dalam konsentrasi
menghadapi badai ekonomi. Semua energi dan kreativitas difokuskan ke
sana, keuangan dijaga dengan ketat. Bisa jadi, mestinya yang dilakukan
paling utama bukan memasang konblok. Dalam situasi sulit, semua
harus makin mengencangkan ikatan. Baik ikatan perut maupun ikatan
persaudaraan. Iuran yang mendadak tanpa rembukan bisa membuat
kekacauan. Katakanlah jika Angkringan Mojok setuju, warung-warung yang
lain bisa saja berpikir: mentang-mentang cukup kuat secara finansial, main
setuju saja tanpa mempertimbangkan yang sedang berjibaku menghadapi
ancaman tutup karena jebloknya omzet.
Penentuan prioritas menjadi sangat penting. Misalnya dalam situasi
seperti ini, mungkin yang bisa dilakukan justru menyiram lahan parkir secara
bareng-bareng agar debu tidak berterbangan. Uang iuran untuk konblok bisa
dipakai untuk hal yang lebih penting.

117

Atas dasar semua pertimbangan itu, manajemen Angkringan Mojok


melakukan protes keras. Untung, pihak pengelola bisa mengerti dan
menyadari landasan protes kami.
Mari kita lihat kasus tersebut. Dari sisi data dan informasi tidak ada
yang salah. Lebih tepatnya ada 11 warung makan dan minuman yang tutup
sepanjang Jalan Damai sejak bukan Januari. Dari sisi niat, juga tidak keliru.
Tapi analisis dan caranya berbeda dengan kami. Mana yang lebih benar? Ini
tidak soal benar atau salah. Ini soal mana yang lebih implementatif, taktis,
dan efisien. Juga yang lebih sesuai dengan kondisi yang ada.
Kasus seperti itu banyak muncul di kehidupan kita sehari-hari. Mungkin di
lingkup kampung atau desa. Mungkin saja kabupaten atau provinsi. Mungkin
juga di puncak pemerintahan tertinggi.
Demikian.

118

kemerdekaan akik
S

aya tidak pernah bisa membayangkan nasib rezim Jokowi tanpa akik. Kemenangan
Jokowi terlebih dahulu ditandai oleh ledakan akik. Semua menjalar dengan cepat,
dari Aceh sampai Papua.
Setidaknya saya telah mengalami pertarungan pemilihan Presiden langsung
selama 3 kali, dan baru di pertarungan Prabowo vs Jokowi, situasi politik lambat
dingin. Sampai sekarang bahkan di dunia maya dan keseharian, barisan Prabowo
garis keras masih sering bakusindir dengan Laskar Jokowi sampai mati. Sekalipun
begitu, saya tetap tak bisa membayangkan seandainya akik tidak ikut turun
tangan untuk mendamaikan. Mungkin pertarungan masih sangat sengit.
Selain hal itu, sudah banyak disebut orang, akik menggerakkan perekonomian
Indonesia ketika melambat. Sebagaimana kita tahu, begitu Jokowi naik jadi Presiden,
perlambatan ekonomi yang semula memang sudah terjadi, malah makin menjadi.
Tepat di saat itu pula, ledakan akik kian terasa di mana-mana.
Mari kita lihat sepintas saja bagaimana efek ledakan akik bagi rantai
perekonomian Indonesia. Di sektor hulu, ada para penyewa lahan dan penambang.
Anda juga pasti tahu, tiap noktah yang kita tunjuk di atas peta Indonesia, selalu
ada akik di sana. Industri makanan dan minuman otomatis berjalan. Sektor
transportasi juga. Kemudian masuk ke pemrosesan, dari mulai tukang ojek, tukang
becak, pengamen, dan sekian sektor informal lain yang tergencet oleh perlambatan
ekonomi, tertolong oleh akik. Di mana-mana orang menggosok akik. Waktu luang
menjadi berharga. Bukan hanya itu, akik juga menggerakkan para pengrajin cincin,
terutama pengrajin perak. Lagi-lagi, mereka bukan hanya selamat tapi juga bungah.

119

Di hilir, pasar bergemuruh. Saya tak tahu persis berapa besaran transaksi harian
akik yang terjadi di seluruh Indonesia. Itu belum kalau kita hitung juga majalah
dadakan yang hanya berisi soal akik, pameran-pameran akik, dan penyewaan geraigerai atau spot-spot perdagangan baru yang muncul karena akik. Sayang, lagi-lagi
tak ada data yang memadai yang bisa menyajikan itu semua. Namun segalanya
kasat mata.
Terakhir, yang sering dilupakan orang adalah semua rangkaian aktivitas akik ini
adalah rangkaian yang menentramkan. Karena semua dibutuhkan proses apresiasi
yang mat-matan, tenang, melibatkan kekusyukan. Sehingga ekonomi yang tak
begitu baik, tidak membuat tensi emosi massa naik.
Tiga poin di ataslah yang menurut hemat saya, merupakan kontribusi besar akik
terhadap rezim Jokowi. Saya tidak tahu, apakah Jokowi berikut jajaran kabinetnya
bisa melihat hal ini atau tidak.
Sekarang ledakan akik sudah hampir rampung. Booming nyaris selesai. Saya lebih
suka menyebutnya sebagai pasar akik telah terkoreksi. Akik tidak akan hilang dari
negeri ini. Akik akan tetap bertahan dengan harga sesuai mekanisme dan hukum
pasar. Itu hal yang wajar. Namun terlalu banyak hal yang telah diberikan oleh akik
dan insan akik untuk negeri ini.
Kalaupun toh rezim Jokowi kurang mengapresiasi, itu tak akan menyurutkan
harkat dan martabat akik di negeri ini. Marilah di hari kemerdekaan ini, kita
mengenang jasa akik yang begitu mulia. Mari kita kenakan akik kita dengan rasa
bangga dan merdeka.

120

bela negara
B

erbeda dengan kebanyakan sahabat saya, justru saya setuju dengan program
bela negara. Negara harus dibela. Masak dikhianati... AS Roma saja saya bela kok,
apalagi tumpah darah saya. Negeri yang udara segarnya saya hirup, airnya saya
minum, hasil buminya saya makan, memberi tempat untuk bekerja dan berkarya.
Nah, yang perlu diperjelas adalah definisi dan formulasi bela negara. Apa perlu
dilatih seperti militer. Atas dasar apa? Kalau misalnya supaya punya rasa disiplin,
militer bukan satu-satunya lembaga yang punya otoritas kedisiplinan. Saya kira
mereka akan kalah jauh dibanding para buruh dan petani kita. Atau bahkan dengan
kelas menengah Jakarta yang sejak Subuh sudah keluar rumah, kena macet yang
ngaudubilah, dan pulang larut malam. Begitu terus setiap hari.
Memang ada yang agak kebelinger dengan konsep bela negara di kalangan
elit politik kita sehingga masuk dalam sebuah undang-undang yang dangkal.
Menurut saya, para petani yang menjamin bahan makanan ada terus di pasar, telah
melakukan tugas penting bela negara. Para nelayan yang telah memberi asupan gizi
dengan harga nisbi terjangkau oleh masyarakat kita, juga telah menunaikan dharma
bela negara. Para wirausahawan yang telah menciptakan lapangan pekerjaan, para
seniman yang telah memberi kontribusi pada wilayah batin, kreativitas, dan buah
permenungan, mereka warga yang luarbiasa. Saya kira semua sektor masyarakat
telah melakukan aksi bela negara. Malah negara yang harus berendah hati untuk
makin membela wargannya.
Tapi hal seperti di atas tentu saja tidak mungkin bisa dimengerti oleh elit politik
kita, bukan karena mereka tidak ingin mengerti tapi karena tidak cukup punya
kapasitas intelektual.
Bagi mereka, bela negara adalah soal push up, lari-lari, sit up, dan semacamnya.
Ya begitulah...
Mungkin saatnya para elit politik kita masuk kamp untuk mendapatkan pelajaran
rendah hati.

121

122

~ Untuk Jopi

Belum hilang sedih benar


Kawan debu hanyut waktu

BAB 3

komunitas &
orang-orang sekitar
123

rileks
S

elalu menyenangkan buat saya bisa berkumpul dengan teman-teman yang


punya hobi makan dan ngopi. Hidup mereka tidak aneh-aneh. Ngomong politik
ya secukupnya, politik mereka adalah politik sehari-hari: mengantisipasi beras naik,
harga kertas naik, sambil bicara soal akik dan sepakbola. Di atas itu semua adalah
strategi individu dan komunitas dalam menghadapi semua persoalan supaya tetap
lentur dan rileks. Sebab kalau tidak, papan-papan pertahanan yang disusun oleh
setiap pribadi dan komunitas bakal dibuat patah oleh kenyataan.

125

lebih dari sekedar kantor


N

amanya simpel dan sedikit narsis: Klinik Buku EA atau biasa disingkat KBEA. Tidak
ada kerja besar dan gagasan hebat di sana. Semua tumbuh nyaris biasa begitu
saja.
Bermula dari sesuatu yang sepele. Tahun 2008 sebagai penulis, saya mulai
kebanjiran menulis buku dari berbagai lembaga maupun perorangan. Mulailah
saya merekrut tim setiap kali punya proyek menulis, mulai dari manajer sampai
transkriptor. Tugas saya menyempit dan lebih fokus: membuat konsep buku,
presentasi, melakukan wawancara (jika dianggap penting), terjun ke lapangan
(jika perlu riset lapangan) lalu menulis. Semua jadwal saya sudah diatur oleh
manajer proyek. Saya tidak perlu lagi melakukan kerja-kerja lain sebab sudah ada
transkriptor, peneliti pustaka, editor dan pemeriksa aksara (proof reader). Kalau di
proyek tersebut butuh fotografer atau ilustrator, semua sudah ada yang mengatur.
Juga kalau klien saya butuh sampai jadi buku. Sudah ada yang mengurus dari
tataletak, desain sampul sampai proses cetak.
Semakin banyak klien saya, semakin banyak orang yang saya ajak bekerjasama.
Dan tentu saja jadwal saya makin padat. Akhirnya saya sampai pada posisi membuat
konsep, presentasi, membuat outline lalu memeriksa di tahap sebelum penyuntingan
dimulai. Sebab sudah banyak penulis yang ikut bekerja bersama saya.
Semua orang yang bekerjasama dengan saya pasti tahu prinsip utama kerja saya.
Melanggar tenggat adalah dosa yang paling susah untuk diampuni. Saya dipercaya
orang karena saya nyaris tidak pernah ingkar tenggat. Kerja keras adalah keharusan.
Sebagai entitas usaha, tentu saya punya kompetitor terutama perusahaanperusahaan penulisan yang sudah mapan, memiliki sistem yang bagus, modal yang
besar dan tentu saja jaringan yang kuat. Bersaing dengan mereka tentu saya kalah.
Tapi untuk satu hal, saya tidak mau dikalahkan: kecepatan. Saya punya prinsip
bahwa saya boleh kalah pintar dan kalah modal, tapi saya tidak boleh kalah waktu.
Saya telah menempa diri saya untuk bekerja berhari-hari tanpa tidur. Bermingguminggu hanya dengan tidur maksimal 3 jam. Hal ini yang kemudian sering membuat
saya menang tender. Ketika kompetitor saya menawarkan proposal membuat buku
dalam waktu 6 bulan atau 3 bulan, saya mengunci semua pintu dengan kesanggupan
menulis 1 bulan.
Dari pengalaman tersebut, saya berpikir untuk membuat perusahaan penulisan
buku (bukan penerbitan) dengan nama yang nama saya melekat di dalamnya. Jadilah
janin KBEA.

127

Tapi kemudian saya memasuki momentum penting menikah. Di saat yang


hampir bersamaan, saya bersama beberapa teman membuat perusahaan di Jakarta,
sekaligus diminta menjadi direkturnya. Selama 1,5 tahun saya menyuntuki pekerjaan
tersebut. Jangankan untuk mengembangkan KBEA, untuk menulis status Facebook
pun saya nyaris tidak sempat. Hari-hari saya diisi dengan harus ke kantor jam 8
pagi, dan pulang ke rumah mertua jam 1 dini hari. Saya waktu itu usai menikah
sempat tinggal 3 bulan di rumah mertua di Jakarta. Ketika kondisi keuangan
perusahaan mulai baik, saya mengajak istri saya tinggal di Yogya, di rumah
kontrakan saya. Sehingga saya bolak-balik Jakarta-Yogya. Tentu perusahaan yang
membayar tiket pesawat terbangnya.
Di fase itulah, saya mulai memikirkan kembali KBEA. Akhirnya saya menyewa
rumah khusus untuk kantor KBEA. Tapi membuat usaha sendiri ternyata tidak
mudah. Tidak seperti yang saya bayangkan. KBEA nyaris bangkrut.
Usai memenuhi mandat menjadi direktur, saya punya waktu lebih banyak lagi.
Saya mulai melakukan beberapa pembenahan. Saya juga mengajak seorang anak
muda dari Jember untuk khusus konsentrasi menyelamatkan KBEA. Sebagai
gambaran, waktu itu saya tidak sanggup menggaji dia. Saya hanya bisa memberi
uang makan, komunikasi dan uang bensin sebesar Rp1 juta. Kami bahu membahu
berdua. Saat saya punya rumah mungil yang sekarang saya tempati, kondisi KBEA
masih tidak begitu bagus. Hingga saya putuskan KBEA pindah kantor dari kantor
lama ke bekas rumah kontrakan saya yang juga tidak begitu besar.
Saya beruntung karena tidak semua relasi saya menghilang setelah 1,5 tahun
saya ganti profesi dari penulis ke direktur. KBEA mulai dapat proyek pertama kali
dengan nilai Rp18 juta. Angka itu jauh di bawah rata-rata jika dibanding ketika saya
masih menjadi penulis sendirian. Tapi saya khas Aries dan romanisti sejati, ngotot.
Tandem saya sekalipun umurnya jauh di bawah saya dan kalem, tapi sangat militan.
Ia pernah tidak tidur hampir seminggu di depan laptopnya yang sudah butut.
Mulailah kami dapat proyek penulisan dan penelitian. Kami mulai merekrut
anggota tim. Saya mulai menemukan kegembiraan. Bukan semata karena periuk
perusahaan mengepul tapi karena ada banyak orang yang terlibat bekerja dengan
saya. Bagi saya yang kuliah saja nyaris tidak lulus, orang lain, terutama anak-anak
muda adalah tempat saya belajar. Mereka menguasai banyak hal, penuh dengan
semangat, banyak gagasan. Di KBEA mereka belajar bekerja dengan profesional dan
mendapatkan uang. Saya juga bisa berbagi pengalaman dan diskusi dengan mereka.
Kini, kantor KBEA tidak pernah sepi dari aktivitas dan anak muda. Bahkan bukan
hanya dari Yogya, ada banyak yang dari luar kota. Kantor KBEA yang sederhana
dan mungil itu kemudian menjadi tempat mampir dan menginap anak-anak muda
dari luar kota. Sungguh menyenangkan. Di kantor KBEA ada banyak kopi enak, kalau
jam makan tiba, siapapun tamu yang ada selalu ditawari makan, kalau ada musafir
kehabisan uang maka KBEA wajib membantunya.

128

Sampailah kemudian KBEA memasuki babak baru. Dengan agak nekat, saya
memutuskan KBEA untuk punya kantor sendiri. Bagi teman-teman dekat KBEA
mungkin keputusan saya dianggap gila. Tapi mereka sudah terbiasa dengan
kegilaan saya. Karena baru saja saya presentasi ke mereka bahwa bisnis
pembuatan buku harus segera ditinggalkan. Internet mengubah banyak hal. Juga
soal buku. Bisnis KBEA ini paling hanya akan bertahan 3 tahun lagi. Dan saya sudah
mempresentasikan ke mereka apa yang akan dilakukan oleh KBEA dan mengubah
nama klinik buku menjadi .... (maaf belum boleh saya tulis). Perubahan bisnis itu
membutuhkan modal yang tidak sedikit. Ada sekian banyak eksperimen yang harus
kami lakukan dan tentu saja akan menguras keuangan KBEA. Tapi saya memutuskan
KBEA harus punya kantor sendiri. Agak mencengangkan bagi mereka. Teman-teman
di KBEA pasti mengira saya punya skenario jos di balik itu semua. Mereka pasti
menunggu saya menjelaskannya.
Lagi-lagi, sebetulnya tidak ada yang hebat dari manuver itu. Ada satu prinsip
yang saya langgar karena situasi. Saya punya prinsip, orang harus punya tempat
usaha dulu, baru kemudian punya rumah. Tapi saya orang Jawa yang kadang-kadang
menjaga perasaan orang lain itu juga penting, apalagi perasaan orangtua. Akhirnya
saya langgar prinsip itu. Dan kini saatnya menunaikan. Selain itu, kantor KBEA sudah
terlalu sempit untuk aktivitas orang-orang yang ada di sana. Hal lain, kalau memang
nanti kurang modal ya tinggal kantor tersebut dijadikan agunan di bank. Hehe...
Saya bukan pebisnis hebat. Masih belum apa-apa. Saya hanya ingin
menyemangati teman-teman lain yang mungkin sedang punya usaha. Apapun usaha
Anda. Kalau saya diminta masukan, jawaban saya hanya satu: jaga janji. Orang yang
terbiasa melanggar janji atau tenggat, atau apapunlah, tidak akan pernah dipercaya
oleh klien dan relasi bisnisnya. Dan itu cara paling menyedihkan karena Anda
menutup pintu rezeki sendiri. Sebab tidak ada bisnis tanpa kepercayaan.
Saya juga minta restu teman-teman semua, semoga kantor baru kami nanti akan
semakin baik buat banyak orang. Amin.

129

gaya hidup bahagia


S

aya sering membaca artikel tentang bagaimana gaya hidup sehat di


berbagai media massa. Semua mirip. Intinya ya kira-kira menyarankan
agar rutin berolahraga, menjaga pola makan, menghindari stres, dan lainlain.
Kami di KBEA memiliki konsep sendiri, dan tentu konsep itu belum final.
Kami sedang mengusahakan sebuah komunitas dengan gaya hidup bahagia.
Apa itu? Bagaimana kira-kira praktiknya?
Kami percaya bahwa setiap orang mencari kebahagiaan. Tapi kadang kala
pencarian itu tertutupi pencarian lain: mencari uang, mencari ketenaran,
mencari pangkat dan jabatan, dan lain-lain. Sekali lagi mencari itu semua
bukannya tidak boleh. Tapi kerap kita mengorbankan pencarian akan
kebahagiaan. Kemudian yang terjadi kebahagiaan berusaha ditemukan
dengan cara yang berbeda: belanja, pesta, wisata. Lagi-lagi bukan berarti itu
tidak baik. Ini bukan soal baik atau tidak.
Beginilah kira-kira kami mencoba menyusun konsep hidup bahagia:
Bekerja dengan gembira. Kami kemudian mulai memikirkan hal yang paling
prinsip: menyikapi kerja. Tidak usah pakai teori keterasingan kerja, terlalu
berat. Kami sederhanakan saja. Intinya bagaimana menyikapi pekerjaan
sebagai sebuah kegembiraan. Sekaligus kami berusaha membuktikan jika kita
makin gembira melakukan pekerjaan tersebut maka hasilnya makin bagus,
makin tepat waktu, makin efektif dan makin banyak tertawa.
Menikmati hobi. Semua orang yang tergabung di KBEA pasti punya hobi.
Ada yang suka membaca, menonton film, menyanyi, dan lain-lain. Kadang
kesukaan itu harus dikorbankan karena kesibukan. Kami menciptakan kondisi
agar hobi lama itu tetap berjalan wajar tanpa terganggu kesibukan.
Berbagi. Kami menyadari bahwa membagikan apa yang kami miliki,
terutama ketrampilan yang kami miliki kepada orang lain, akan membuat
hidup kami berkualitas. Dengan landasan sederhana itulah kami membuat
kelas-kelas reguler seperti kelas digital dan kelas menulis. Akan ada cara lain
lagi yang kami lakukan untuk berbagi.
Nongkrong. Berkomunikasi dengan rileks, kami percaya sebagai salah satu
sumber kebahagiaan. Maka dulu di komunitas-komunitas lama, ada tempattempat publik untuk orang bertemu dan bercengkerama.

130

Bahkan ada beberapa penelitian yang membuktikan bahwa masyarakat


yang gemar nongkrong di warung kopi lebih bahagia dibanding yang tidak.
Padahal dulu aktivitas itu dianggap sebagai buang-buang waktu. Sebab
waktu hanya dihitung dari nilai ekonomis belaka. Hanya saja di KBEA,
nongkrongnya dibuat variatif. Kadang di kantor, kadang di warung kopi,
termasuk sebetulnya kalau kami futsal atau nanti namplek alias badminton,
sebetulnya sikap mental kami adalah nongkrong.
Berkarya. Terakhir, kami selalu saling menyemangati agar setiap orang
di dalam komunitas KBEA bisa berkarya di bidang masing-masing. Ekspresi
personal sangat kami hargai dan kalau bisa difasilitasi.
Begitulah kira-kira yang kami jalani sehari-hari. Dan kami sangat terbuka,
ini bukan sekte tertutup. Teman-teman yang datang untuk bersilaturahmi
atau gabung di kegiatan kami, pasti diterima dengan tangan terbuka dan
dianggap sama. Tidak ada istilah orang lama atau orang baru. Semua
berjalan dengan santai dan menggelinding begitu saja...

131

janji
Untuk Bajang dan Pay

aya perlu menulis ini, sesuatu yang saya anggap penting. Setidaknya bisa
mengurangi beban pikiran saya. Malam tadi saya telah melanggar janji. Bagi saya,
itu bukan soal sepele.
Kemarin malam, Pay, penulis dari Pontianak yang kebetulan sedang singgah
di Yogya, mengabari saya kalau sedang berada di sebuah kedai kopi yang jadi
langganan saya. Ia memensyen saya via Twiter bersama Bajang, seorang penulis lain
dari Lombok yang mukim di Yogya. Tapi kebetulan saya ketiduran, mungkin sejak
habis Magrib. Begitu terbangun dini hari, saya lalu membalas kicau mereka. Tapi
belum berjanji.
Tadi siang, barulah saya membuat janji lagi-lagi lewat Twitter. Malam tadi kami
kangsenan untuk bertemu. Bajang menjawab: dibatas jam delapan malam. Pay belum
menjawab. Biasanya, kalau saya berjanji dan ada kemungkinan dihagalkan oleh
keteledoran saya sendiri, maka saya akan bilang ke istri saya. Misalnya saya janji
ketemuan dengan orang jam 9 pagi lalu malamnya saya tidak tidur, maka saya cukup
bilang ke istri saya bahwa saya punya janji. Istri saya sangat tahu apa arti janji buat
saya. Ia akan melakukan apa saja kalau misalnya saya ketiduran.
Malam tadi, saya tidak bilang ke istri saya kalau saya punya janji. Karena saya
merasa bahwa tidak ada hambatan apapun yang mengancam saya untuk ingkar janji.
Satu-satunya hambatan adalah hujan. Saya tidak punya jas hujan dan tidak bisa
menyetir mobil. Tapi kalau hal itu terjadi, istri saya dengan senang hati pasti mau
mengantar saya. Hal seperti itu sudah biasa terjadi.
Lalu yang terjadi adalah seperti ini. Kira-kira jam delapan malam, sambil masih
menunggu jawaban Pay dan kabar dari Bajang, saya browsing melalui gajet sambil
tiduran. Dan lhesssss.... saya ketiduran. Begitu saya terbangun, saya langsung panik.
Benar, jam di gajet menunjukkan pukul tiga kurang sedikit. Sebentar lagi subuh.
Lalu saya cek Twitter, benar adanya, mereka sudah menunggu saya mungkin sejak
pukul sepuluh malam. Saya lihat gajet, ada panggilan masuk dari Pay. Saya langsung
lemas.
Saya meminta maaf lewat Twitter, tapi rasanya masih mengganjal. Saya tulis ini
sebagian karena dorongan rasa bersalah.
Mungkin ada pertanyaan, sepulas apakah sehingga ketika ditelepon tidak
mendengar? Persoalannya, saya selalu membisukan gajet saya. Saya punya anak
laki-laki kecil. Selain saya telat menikah, saya juga sering bekerja di luar kota.

132

Sehingga kalau saya berada di rumah, saya banyak menghabiskan waktu buat
keluarga. Saya punya kebiasaan menyentuh salah satu bagian dari Kali, nama
anak laki-laki saya, ketika ia tidur. Rasanya damai sekali. Kali tidur tiga kali dalam
sehari: kira-kira jam sembilan pagi (mungkin hanya sejam atau paling lama dua jam);
kira-kira jam dua siang (juga kurang-lebih dua jam); dan malam hari di atas jam
delapan. Karena sering bersama Kali, gajet selalu saya setel tidak bersuara dan tidak
memakai getaran. Jadi kalau saya tertidur dan ada orang menelepon, pasti saya
tidak mendengar.
Kembali ke soal pokok: janji. Saya perlu mengutarakan hal ini karena penting bagi
diri saya. Rasanya tidak ada nilai yang diajarkan oleh orangtua saya yang sesakral
janji. Dari kecil, memenuhi janji sama sucinya bahkan mungkin lebih suci dibanding
salat lima waktu. Hal itu yang bisa menjelaskan kenapa saya tidak pernah luput
dari tenggat sebuah pekerjaan. Karena tenggat itu janji yang saya sepakati dengan
si pemberi pekerjaan. Itu pula yang membuat saya bisa sangat marah baik dengan
sahabat maupun kolega kerja saya. Saya bisa mendamprat habis atau menjadi tidak
suka dengan orang begitu saya lihat ia ingkar janji.
Untuk menggambarkan hubungan soal janji dan diri saya, mudah sekali. Rasanya,
komplain terakhir yang saya dapat dari teman saya soal janji terjadi pada tahun
2001. Dan saya masih ingat sampai sekarang. Saya melanggar janji rapat dengan
beberapa adik kelas saya di Fakultas Filsafat UGM. Panjang ceritanya. Saya punya
alasan kenapa hal tersebut terjadi. Tapi saya sudah minta maaf dan sampai sekarang
saya tidak lupa.
Mungkin sebagian martabat saya dan kedua orangtua saya, diletakkan pada janji.
Janji itu suci. Janji itu harga diri. Titik. Tidak ada pembelaan.
Karena kuatnya ikatan saya dengan janji, maka nama lengkap Kali adalah Bisma
Kalijaga. Bisma, berasal dari bahasa Sanskrit yang artinya: orang yang memeluk
teguh janji. Bisma adalah tokoh pewayangan yang sangat saya sukai karena
keteguhannya dalam memeluk janji. Terlahir sebagai anak raja, ia bersumpah tidak
akan menikah karena ibu tirinya takut kalau ia menikah maka yang punya hak
atas kerajaan adalah anak Bisma. Tokoh yang jadi panutan Pandawa dan Kurawa
yang ingin membahagiakan bapaknya pun bersumpah tidak akan menikah. Ia tepati
sekalipun kelak harus mengecewakan kekasih hatinya.
Hal ini perlu saya tulis selain sebagai bagian dari permintaan maaf kepada Bajang
dan Pay, juga mungkin bisa membantu memperjelas kepada teman-teman dekat
saya atau kolega kerja saya, kenapa saya bisa sangat marah kalau urusannya sudah
pada ingkar janji. Mungkin bagi mereka biasa, tapi bagi saya tidak. Setiap orang
punya nilai-nilai utama, prioritas, yang menjaga dan dijaga oleh martabatnya. Saya
hidup dengan dijaga oleh janji.
Janji, nilai utama yang diajarkan oleh kedua orangtua saya ini akan saya
wariskan kepada anak-anak saya secara sadar. Dan saya tidak ingin merevisinya,
mengganti dengan nilai lain.

133

mansour fakih
M

endung begini, sambil menemani Si Kali tidur, saya teringat almarhum Pak
Mansour Fakih. Saya akan ceritakan secara singkat beberapa pengalaman kecil
saya.
Suatu saat, Akademi Kebudayaan Yogyakarta (AKY), hendak mengadakan diskusi
terbatas dengan Pak Mansour dan seorang narasumber lain. Informasi ini tidak
kami sebarluaskan karena kami ingin diskusi bisa berlangsung secara mendalam.
Namun tiba-tiba informasi ini bocor dan banyak orang bertanya ke saya tanggal
dan jam diskusi. Saya kebingungan. Akhirnya saya menghadap Pak Mansour dan
menceritakan soal itu, apakah harus dibilang bahwa untuk kalangan terbatas atau
bagaimana?
Pak Mansour diam (selalu begitu, segalanya dipikir dulu), kemudian ia menjawab:
Thut, kita tidak boleh menghalangi siapapun untuk belajar, jadi karena informasi ini
sudah bocor ya tidak apa-apa. Nanti kalau kalian merasa waktunya kurang, kita bikin
lagi.
Ada pengalaman lain. Masih soal acara diskusi. Tapi ini di awal AKY berdiri.
Saat itu ada diskusi di mana Pak Mansour juga jadi salah satu narasumbernya,
dan terbuka untuk umum. Menjelang acara, saya ikut mempersiapkan konsumsi.
Kebetulan ada salah satu mbak dari bagian keuangan INSIST yang datang ke
pendopo di belakang kantor INSIST di Blimbingsari. Ia heran dan bertanya: itu
konsumsinya kok beda wadahnya?
Enteng saja saya jawab: yang satu untuk pembicara, yang lain untuk peserta.
Si mbak keuangan bilang: jangan begitu, Pak Mansour bisa marah, nggak boleh
dibeda-bedakan.
Saya ngeyel: biasanya begitu yang saya lihat di tempat-tempat lain.
Si mbak sewot lalu pergi sambil bilang: lihat saja nanti, kalau kamu mau dimarahi
Pak Mansour. Dia (Pak Mansour) akan bilang: di tempat lain boleh begitu, di INSIST
nggak boleh!
Kali ini kisah soal dimarahi. Seingat saya, dua kali saya dimarahi Pak Mansour.
Saya ceritakan yang satu saja.
Suatu saat saya dipanggil ke rumah Pak Mansour di Gandok, dekat ringroad
utara. Ketika saya datang, sudah banyak pentolan dan sesepuh yang sering saya
lihat di kantor INSIST. Konon agendanya rapat. Tapi sebelum rapat, Pak Mansour
bilang kalau akan membahas kasus AKY dahulu.
Saya bingung. Kok penting amat AKY dibahas? Lagian kalau membahas AKY
kenapa harus saya yang dipanggil?

134

Pak Mansour terlihat mengendalikan rasa marah sambil mengacungkan buku.


Buku tersebut adalah karya dari salahsatu anggota AKY yang difabel.
Kenapa bisa disponsori oleh lembaga ini? Kira-kira begitu, Pak Mansour
menggugat. Lembaga yang dimaksud ternyata berseberangan dengan INSIST secara
politik. Dan itu dianggap sebagai mencoreng nama INSIST.
Sebelum diteruskan, saya bertanya, kenapa saya yang dipanggil, AKY bukan
hanya saya dan saya tidak merasa jadi apa-apa di sana.
Pak Mansour bilang: Thut, kamu itu pemimpin walaupun informal, walaupun nggak
ada jabatan formalnya.
Saya diam. Sambil menggerutu di hati. Enak saja saya dianggap pemimpin di AKY.
Terus saya jawab soal kasus tersebut. Mas X (anggaplah begitu namanya) bilang ke
saya dan teman-teman bahwa terbitnya buku tersebut dengan sponsor lembaga
yang dimaksud, sudah dapat izin dari orang-orang INSIST.
Orang INSIST yang mana?
Ya mana saya tahu, pak. Saya saja nggak tahu yang mana yang orang INSIST yang
mana yang tidak. Banyak orang berseliweran di insist.
Mendengar jawaban itu, Pak Mansour agak tersenyum. Lalu bertanya satu
persatu ke orang-orang yang hadir apakah ada di antara mereka yang pernah
memberi izin? Semua menjawab tidak.
Ini semua orang-orang INSIST, thut. Nggak ada yang memberi izin.
Wah, ya saya nggak tahu, pak. Masak saya bohong? Saya juga baru tahu kalau
orang-orang INSIST ya yang berkumpul di tempat ini.
Terus bagaimana? Apakah harus saya hadirkan mas X? Atau buku tersebut nggak
jadi kita edarkan?
Ruangan itu sepi. Seperti biasa, Pak Mansour terlihat berpikir keras. Lalu dia
menjawab pelan:
Gini teman-teman, saudara X ini mungkin berbohong tapi juga mungkin dia sudah
bertanya ke orang yang dianggap orang INSIST walaupun ternyata tidak ada di
antara kita yang ditanya. Kita harus berprasangka baik kepadanya. Lha wong Puthut
saja nggak tahu mana yang orang INSIST dan mana yang bukan... apalagi dia?
Kedua, kawan kita X ini mungkin sudah lama ingin bukunya terbit, dan isinya
juga bagus soal difabel. Kalau kita nggak jadi sebarkan buku ini, dia mungkin akan
digugat oleh lembaga itu dan dia juga akan kecewa.
Jadi biarkan buku ini tersebar, dan mari kita tanggung risikonya bersama-sama.
Saya terdiam. Tercekat. Terharu sekali. Di diri Pak Mansour bukan hanya saya
dapatkan sosok yang pintar tapi juga bijak. Dan di dalam kebijaksanaan terkandung
kebaikan hati.

135

jopi
P

erjalanan menuju kota asing ini adalah perjalanan yang paling menyiksa. Bukan
karena jalanannya yang berantakan dan penuh tanjakan. Bukan karena teman
seperjalanannya. Tapi karena kenangan atas seorang sahabat.
Dia mangkat subuh tadi. Dengan kisah yang memilukan. Membuat pagi saya
begitu gelap. Vertigo saya langsung kambuh. Saya tidak tahu harus bagaimana.
Sepanjang perjalanan, saya bahkan tidak bisa mengucap doa. Kerja saya hanya
menghapus foto-foto yang diunggah teman-teman saya di sebuah grup di mana
biasanya dia selalu membuat ramai.
Sampai di penginapan tua ini, pikiran saya tak pernah lepas dari dia. Saya
tidak suka kabar kematian. Apalagi kematian keluarga dan sahabat. Apalagi kabar
kematian yang mendadak.
Orang boleh saja memberi nilai. Juga saya. Dia orang baik. Periang. Dulu, kalau
saya sedang terlihat kucel dan suntuk, dia selalu berusaha membuat riang, Jangan
bersedih, Bung! Lalu tangannya yang bertato menyodorkan segelas bir dingin.
Selain berbagi keriangan, dia juga sering berbagi rezeki kepada teman-temannya.
Mulia hatinya.
Di kota asing ini, saya hanya ingin membeli bir dingin. Saya ingin segera bisa
berdoa untuknya. Lalu mengenangnya dengan riang gembira. Sebagaimana dia
melewatkan sebagian besar waktunya. Suaranya. Tertawanya. Guyonannya. Deretan
gigi putihnya. Tepukan tangannya di bahu saya.
Dia pergi begitu saja. Begitu saja. Begitu saja.

136

hikayat pohon cabe


Untuk Jopi

i kontrakan saya dulu, tumbuh dua pohon cabe. Satu di belakang rumah, satu di
samping rumah. Kedua pohon itu tumbuh begitu saja, tidak ada yang menanam.
Keduanya berbuah lebat. Dan pedasnya minta ampun.
Pohon yang tumbuh di belakang rumah sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan
penghuni kontrakan yang hanya 4 orang. Tapi pohon yang tumbuh di samping rumah
benar-benar luarbiasa untuk ukuran pohon cabe. Tinggi, ngrembuyung, dan buah
cabenya banyak sekali. Posisi pohon cabe itu persis di pinggir jalan tempat banyak
orang lewat.
Kadang ada tetangga yang meminta, tentu saja kami persilakan. Kadang ada yang
kepergok tidak minta izin. Tapi juga tidak kami tegur. Tetap kami persilakan. Bagi
kami, bagus juga kalau cabe itu diambil. Selain berbuah lebat juga syukur berguna
buat orang lain.
Hal yang sangat mengagumkan dari proses itu adalah tidak ada satu pun
tetangga pemetik cabe yang rakus, yang memetik di luar kebutuhan mereka. Padahal
kalau mereka mau, mereka bisa melakukannya. Karena kami berempat jarang berada
di rumah. Kalau saya perhatikan, rata-rata mereka memetik hanya segenggam.
Hanya untuk mencukupi kebutuhan harian dapur mereka.
Saat itu saya sering berkhayal, mungkin beginilah yang disebut masyarakat
sosialis itu. Ketika segala kebutuhan tersedia, lalu orang-orang hanya mengambil
sesuai kebutuhannya.
Hingga suatu saat saya melihat pohon cabe yang tinggi dan kuat itu dicerabut
lalu tergeletak di atas tempatnya tumbuh. Kering. Mati. Saya merasa sedih sekali.
Kenapa ada orang yang tega mencabut pohon yang berguna buat banyak orang itu?
Apa yang dipikirkan Si Pelaku? Siapa dia? Apa motifnya?
Semua sudah terjadi 10 tahun lalu. Saya masih sering sedih mengingat hal itu.
Dan masih tetap bertanya: Siapa yang tega melakukan hal itu? Merampas sesuatu
yang berguna bagi banyak orang. Tanpa jelas dasar alasannya.

137

janggal (kasus Jopi)


P

embunuhan terhadap Jopi Peranginangin menyisakan sekian persoalan.


Keterangan dari pihak POMAL hanya ada satu pembunuh. Padahal kalau kita
simak dari kronologi yang disusun saksi dan tim advokasi kasus Jopi, pelaku
pembunuhan lebih dari satu. Korban dikejar, dipukuli beramai-ramai, dan kemudian
ditusuk.
Persoalan ini nisbi mudah jika pihak Kepolisian dan POMAL mau bersikap terbuka.
Pertama, di dalam arena cekcok di Kafe Venue, ada CCTV. Kedua, ada pekerja Venue
yang sempat ditanya oleh rekan Jopi, siapa gerombolan berambut cepak itu? Dan
dijawab: mereka sedang bertugas. Artinya, pekerja di Venue tahu siapa mereka.
Ketiga, ada saksi dari rekan-rekan Jopi di malam itu yang bisa mengenali wajahwajah mereka.
Kasus ini tidak sesederhana keterangan pihak Kepolisian yang seakan
menghindar: Sudah dilimpahkan ke POMAL, tanya saja mereka. Juga tidak
sesederhana jawaban dari pihak AL yang mengatakan: Pelakunya satu, sedang
didalami kasusnya.
Tidak benar bahwa tim advokasi kasus Jopi dianggap cerewet. Mencari keadilan di
negeri ini memang harus keras kepala. Sebab kalau tidak, akan membentur tembok
bisu dan sekian drama.
Saya perlu mengingatkan kepada Anda semua, dalam kasus pembunuhan Jopi,
selain berupaya mencari keadilan, juga supaya kasus ini tidak terulang. Supaya tidak
lagi ada kasus seperti ini yang menimpa kita, sahabat kita, sanak saudara kita. Jadi
soal pembunuhan Jopi adalah perkara kita semua.
Perkara nyawa kita, yang rasanya makin murah saja.

138

pakdhe simon
S

aya lupa siapa yang menceritakan kisah ini kepada saya. Suatu saat, almarhum
Umar Kayam pergi ke Jakarta naik kereta api. Di stasiun Tugu, dia ketemu
dengan Simon HT yang sedang leyeh-leyeh di kursi ruang tunggu penumpang.
Sekian hari kemudian, ketika Pak Kayam balik dari Jakarta, dia masih melihat Pakde
Simon leyeh-leyeh di kursi yang sama. Semenjak itu, konon, Pakde Simon dijuluki
budayawan kondang itu dengan sebutan: Manusia Stasiun.
Semalam setelah mungkin belasan tahun tak bersua, saya menyimak sebuah
forum bernama Forum Gentong. Pakde Simon orang yang dicawuki ilmunya.
Begitulah mengapa forum itu diberi nama Forum Gentong.
Datang pula di forum itu Pak Muchtar Abbas yang menceritakan kisah bagaimana
dulu, ketika dia menjadi Kepala Desa di Pabelan kedatangan Simon yang mengajar
warga desanya Teater Rakyat. Proses berteater untuk membangun kesadaran dan
pembebasan. Tapi sudah lama nggak laku lagi model teater beginian, sebab semua
sekarang urusannya sudah perut... ungkap Pakde Simon.
Saya datang ke forum ini untuk niat egois, melepas kangen saya kepada Simon.
Saya sudah lama tidak bertemu Simon. Sudah puluhan tahun, ungkap Pak Muchtar
dengan suara agak gemetar. Dulu, selama berbulan-bulan dia mengajari warga
saya berteater, tidak pernah dia menanyakan berapa saya atau warga saya harus
membayar ke dia. Paling kalau saya pas ngobrol dengan almarhum Mansour Fakih,
Simon ngambil beberapa batang rokok kami untuk bekal latihan besok.
Pakde Simon adalah senior saya jauh di Fakultas Filsafat UGM. Kakau tidak salah,
dia sepantaran dengan Pakde Halim HaDe. Mungkin mereka kuliah di akhir tahun
70-an sementara saya masuk kuliah di pertengahan tahun 90-an. Jarak usia saya
dengan kedua senior saya itu cukup jauh. Maka saya lebih nyaman memanggil
mereka berdua dengan panggilan Pakde.
Saya kenal Pakde Simon justru di INSIST, sekitar tahun 2002 atau 2003. Ketika dia
sedang berada di Yogya, dia suka mampir ke INSIST, ngobrol dengan teman-teman
AKY. Biasanya ngobrol sebentar, dia lalu berucap, Kok nggak ana anget-angete iki,
Thut?
Wedang jahe, Pakde? Atau teh anget? balas saya menggoda.
Ah, ya ora ngono ta... Bir, bir...
Dia memang peminum bir sejati. Simon HT yang sesungguhnya dengan ketajaman
pikirannya hanya bisa dilihat kalau dia sudah minum barang dua atau tiga botol bir.
Suatu saat teman saya Hasta Indriyana perlu wawancara agak panjang dengan
Pakde Simon. Datanglah dia ke Jakarta. Seperti biasa, Pakde Simon hanya akan

139

mengeluarkan kata-kata sakti jika sudah minum bir. Maka Hasta pun membawa bir.
Tapi Hasta mungkin agak sial, Wah cilaka, nek rung ngombe bir, ora isa ngomong.
Tapi nek wis ngombe bir ngomonge tekan ngendi-ngendi... Mendengar komentar
Hasta itu, saya tertawa sampai sakit perut.
Tapi semalam tidak ada bir di samping Pakde Simon. Wis ora ngebir po Pakde?
tanya saya begitu forum buyar. Berharap dia segera tertarik minum bir, lalu akan
saya gelandang ke Prawirotaman atau ke mana gitu.
Dia menggelengkan kepala lemah. Namun sepasang matanya tidak bisa
berbohong. Begitu saya sebut bir, sepasang mata cemerlang itu berkilat. Saya kira
ada hubungan misterius antara dia dan bir. Semacam rasa cinta yang bertahan lama.
Aku saiki ya wis ora isa melek bengi-bengi.
Beberapa bagian tubuh Pakde Simon tertempel perban. Dia memang sudah agak
lama sakit, semacam tulang belakangnya kejepit. Kowe kok awet enom ya, Thut...
sepasang matanya mengerjap. Mulutnya terkekeh. Khas Simon HT.
Tapi sayang, obrolan kami hanya sebentar. Dia harus pulang dengan alasan
kesehatan dan daya tahan tubuh yang menurun. Aku sesuk ya kudu balik neng
Jakarta.
Numpak apa, Pakde?
Ya numpak sepur wae ta...
Kemudian saya ingat kisah dia dan Pak Kayam di stasiun Tugu. Sehat selalu,
Pakde!

140

roem
M

alam itu kami ngobrol berdua. Dia baru saja agak pulih dari sakit yang tak
begitu jelas. Kadang kambuh, kadang sembuh.
Saya menemani laki-laki sepuh itu makan malam. Lalu seperti biasa, kami
melanjutkan dengan ngobrol panjang. Angin kering bertiup. Angin yang sering
memberi pertanda musim sakit akan bangkit.
Aku ingin pergi dari tempat ini. Mungkin barang dua tahun. Syukur kalau lebih...
Dia tampak capek. Sebatang rokok di tangannya hanya dipijit-pijit. Tidak juga
dinyalakan. Cangkir teh poci diisi berkali-kali. Sepasang mata yang sudah hampir
berusia 60 tahun namun tetap tak juga ada kacamata plus yang nangkring di
wajahnya itu, lebih banyak menerawang.
Seekor burung tiba-tiba terbang di dekat kami. Meninggalkan kepak gema yang
sunyi.
Pak Roem mau pergi ke mana? tanyaku pelan. Daripada tidak ada suara di
antara kami berdua.
Mungkin ke Halmahera. Aku ingin mengerjakan sesuatu di sana. Aku ingin lebih
banyak menulis.
Dia ingin pergi dari sini. Dari tempat kami ngobrol malam itu. Dari sebuah
lembaga yang usianya lebih dari 20 tahun. Lembaga yang tak pernah lepas dari
namanya. Tapi ada rasa tegang. Gamang. Dia ingin pergi namun sadar bahwa
situasinya tidak sedang baik-baik saja.
Saya tiba-tiba teringat wawancara Janet Steel dengan Goenawan Mohamad.
Mungkin itu satu dari sedikit wawancara yang menegangkan. Soeharto baru saja
jatuh. Banyak mantan jurnalis yang ingin Tempo hidup lagi, dan meminta Goenawan
memimpin. Dalam wawancara dengan tempo yang lambat itu, terbaca jelas kalau
Goenawan sebetulnya tidak bersedia. Dia capek. Saya merasa tidak nyaman. Benarbenar tidak bahagia.
Malam ketika saya ngobrol dengan Roem belum begitu lama terjadi. Sekira
sebulan lalu. Menjelang Lebaran. Usianya mungkin mirip dengan usia ketika
Goenawan diwawancara oleh Steel saat itu, hampir 60 tahun.
Saya tidak yakin Roem akan benar-benar pergi. Hidup ini kadang tidak adil untuk
orang-orang yang terlalu banyak bekerja dan bertanggungjawab. Sebagaimana
Goenawan pada akhirnya tetap jadi Pemred Tempo yang waktu itu lahir kembali.
Bukan sekali saya bertemu dengan orang-orang seperti Roem. Orang hebat yang
begitu letih. Orang baik yang harus membuang jauh-jauh keinginan dan kesenangan
pribadinya. Sekalipun sudah menua. Mereka kembali harus bekerja dan berpikir
untuk segala hal yang mestinya dikerjakan oleh orang-orang yang berusia dua puluh
tahun di bawahnya.

141

Tapi tidak gampang mencari orang. Kadang tidak banyak pilihan. Kalau keliru
memilih, pertaruhannya terlalu besar.
Pemimpin pada akhirnya selalu berhubungan dengan stok. Nasibnya seperti
barang langka. Sialnya, bukannya disimpan agar terjaga, namun terus harus berada
di sana, menjaga sistem supaya terus bekerja.
Saya berharap semoga Roem bisa pergi ke Halmahera sesuka hatinya. Ada saat
dia harus memikirkan dirinya. Kesukaannya.

142

Di sini saya selalu kembali


Di pinggang Merapi
Menyepuh pedang dan puisi
Di sini saya selalu tetirah
Bertukar kisah
Menata ulang segala
yang tercabik dan berantakan
di segenap medan
Di sini
Bergelas-gelas kopi
Saya sesap
Dari lengser senja
Sampai batal dini hari
Di sini
Segala yang bercakap
Hadir setelah batas sunyi
-------

BAB 4

bola sastra
143

perselisihan
R

asanya, usai Pramoedya dibuang dari Pulau Buru, nama dan karya-karyanya tidak
bisa dipisahkan dari dua nama lain: Joesoef Isak dan Hasjim Rahman. Mereka
bertiga mempelopori berdirinya penerbit Hasta Mitra (April 1980), yang kelak banyak
menerbitkan karya-karya Pramoedya.
Hasta Mitra, hemat saya, bukan semata penerbit. Menerbitkan buku-buku Pram
di tengah kuatnya cengkeraman Orde Baru, posisi mereka bertiga sebagai bekas
tapol, dan sekian persoalan lain, mengukuhkan bahwa Hasta Mitra lebih dari sekadar
penerbit. Ia hadir sebagai sebuah benteng perlawanan yang khas, tempat melatih
otot-otot keberanian, membangkitkan lagi daya hidup, dan menyebarkan karyakarya yang menguatkan mental dan menyehatkan pikiran.
Joesoef Isak, juga hadir sebagai editor kampiun. Rasa bahasa, pengetahuan, juga
kecakapannya dalam menyunting, harus diakui punya kontribusi sangat besar bagi
lahirnya sejumlah adikarya Pramoedya.
Tapi kita tahu, di usia Pram dan Joesoef yang makin menua, mereka bertikai.
Pertikaian itu begitu sengit. Hingga dua sahabat, dua orang pemberani, dua orang
hebat itu, sampai tutup usia, tidak bertegur sapa, dan mungkin masih saling
menyimpan amarah.
Bagi saya, juga mungkin bagi Anda yang mengagumi kedua orang itu, hal ini
terasa sangat menyedihkan. Kita tidak pernah berdaya menyambungkan mereka
kembali. Upaya rekonsiliasi yang pernah diprakarsai oleh beberapa pihak sepertinya
kandas.
Tapi semua itu tidak pernah meruntuhkan penilaian saya. Pram dan Joesoef,
keduanya orang besar. Para pemberani. Kolaborasi kerja mereka, baik di Hasta Mitra
maupun di karya-karya Pramoedya, akan terus tumbuh bersama kita dan anak cucu
kita.
Dua api yang terus menyala. Selamanya.

145

mengapa sastra kita harus maju?


S

aya cukup sering ditanya tentang bagaimana memajukan sastra di Indonesia.


Biasanya saya balik bertanya ke Si Penanya: Mengapa sastra harus maju?
Biasanya Si Penanya lantas gelagepan.
Pertanyaan balik saya itu bukan keisengan. Bukan pula jebakan. Tapi memang
serius. Kenapa sastra harus maju dan untuk apa. Kalau dua hal tersebut tidak bisa
dijawab, maka pertanyaan yang bersifat bagaimana menjadi agak aneh. Kalau tidak
tahu alasan untuk apa maju, kenapa harus ditanya syarat dan caranya?
Karena tidak ada pandangan yang jernih pada pokok soal, maka kemudian kita
lihat serentetan pandangan untuk memajukan sastra, sekaligus sebagai alasan
mengapa sastra kita tidak maju. Mulai dari minimnya kritik sastra, tidak adanya
festival sastra yang bermutu, tidak ada penghargaan sastra yang baik, tidak ada
dukungan yang memadai dari Pemerintah, dan lain-lain.
Saya tidak mau menilai masing-maing jawaban yang ada. Tapi yang jelas saya
tidak akan pernah setuju jawaban-jawaban seperti itu. Ini sudah soal perbedaan
cara pandang. Bagi orang yang menjawab seperti di atas maka sastra adalah suatu
hal yang bisa dicopot dari sebuah realitas besar yang saling terkait. Saya bukan
penganut cara berpikir fragmentaris seperti itu.
Sastra bagi saya merupakan salah satu sekrup yang menjadi bagian dari
sebuah rangka besar yang entah kita beri nama peradaban, masyarakat atau
negara. Terserah. Sesuaikan saja dengan konteksnya. Pertanyaan bagaimana cara
memajukan sastra itu sama saja dengan pertanyaan bagaimana cara memajukan
sepakbola Indonesia. Apa sih biasanya jawaban dari pertanyaan tersebut?
Kurangnya kompetisi yang hebat, kurangnya pembibitan pemain yang baik,
organisasi yang tidak bertanggungjawab, negara kurang memberi perhatian, dan
lain-lain. Coba bandingkan dengan jawaban soal sastra. Hampir mirip bukan? Hakul
yakin hal yang serupa akan Anda dapatkan jika Anda bertanya soal senirupa, film,
teater, dan lain-lain.
Bagi saya, sastra atau sepakbola adalah bagian dari sebuah sistem ekonomi,
politik dan sosial di Indonesia. Tidak bisa problem sastra diselesaikan secara internal.
Itu persoalan yang relatif teknis. Kalau sistem kita masih seperti ini, ya sastra akan
begini-begini saja. Kalau sastra bisa maju sendiri terlepas dari sistem besar yang
mengelilinginya malah akan mengherankan. Kalau tiba-tiba kita masuk final piala
dunia padahal kebijakan ekonomi kita tidak jelas, cara memilih presiden kita gak
bener, partai-partai masih berwatak seperti itu, mental kita masih mental kacung
hanya pakaiannya saja yang necis, justru malah aneh...

146

Kalau kemudian Anda jawab: buktinya ada Pramoedya yang bisa melahirkan
karya-karya besar? Kalau seperti itu berarti kita tidak sedang bicara soal
masyarakat sastra tapi orang per orang. Kalau begitu tidak perlu ada diskusi karena
hanya bicara soal pribadi-pribadi. Setiap orang bisa punya solusi sendiri-sendiri.
Balik ke pertanyaan di atas, kadang saya juga menjawab: Bukankah sastra kita
sudah maju? Biasanya Si Penanya juga bingung dan lantas bertanya: kok bisa? Saya
menjawab dengan enteng: Di Indonesia, seorang penulis bisa sangat kaya, bukunya
bisa terjual jutaan eksemplar, bukankah itu pasar yang menggembirakan? Dan kalau
pasar seperti itu mestinya tidak ada yang mengkhawatirkan. Biasanya saya tambahi:
Makanya saya kadang bingung kalau ada komunitas atau lembaga yang dibentuk
untuk memasyarakatkan sastra. Bukankah pembeli karya sastra sudah sampai
jutaan orang. Mau dimasyarakatkan seperti apa lagi? Kadang-kadang saya tambahi
lagi: Jangan-jangan memang nggak ada persoalan di sastra kita tapi sengaja dicaricari supaya sastra terlihat penting dan ada sekian orang yang merasa peduli?
Biasanya mata lawan bicara saya kethap-kethip, clilang-clileng, ndomblong dan
seperti orang bingung.
Kalau sudah seperti itu biasanya saya lantas kasihan. Terus saya hibur:
masyarakat sastra ya memang harus peduli sama sastra, aneh juga kalau peduli
sama sinetron.
Kalau lawan bicara saya mulai tersenyum, saya akan lanjutkan: walaupun cara
peduli mereka susah dipahami.

147

sekilas pak goenawan


-sebatas coretan

agi saya, Pak Goenawan bukanlah orang remeh. Ia adalah pemegang kunci-kunci
penting.
Pak Goenawan memiliki apa yang pantas dimiliki oleh para pemegang kunci:
berkepala dingin; ketahanan stamina intelektual; kemampuan organisatoris, tertib
mengendalikan diri; piawai dalam bernegosiasi; seperti punya indera keenam dalam
melakukan pengkaderan; persuasif; mampu melihat bagaimana zaman akan bergerak.
Pendek kata, Pak Goenawan tidak seperti yang disangka oleh musuh-musuhnya.
Ia adalah salah satu dalang terbaik yang pernah ada di republik ini, dan mungkin
hanya bisa disandingkan dengan Suharto.
Suharto, di zamannya, nyaris bukan siapa-siapa. Tidak ditandai sebagai orang
yang berbahaya olek PKI, agak diremehkan oleh jenderal-jenderal tentara yang
lain, pernah hampir habis sejarahnya gara-gara dipecat dari ketentaraan. Hingga
kemudian banyak orang sadar setelah tahun 1965, Suharto tidak bisa disepelekan. Ia
memiliki banyak hal yang disimpan. Amunisi yang disembunyikan. Ia punya hal yang
nyaris tidak dimiliki oleh rival dan koleganya saat itu: gabungan antara kesabaran
dan kejelian membaca momentum. Semua hanya bisa terbelalak ketika di umur yang
relatif muda, Suharto berada di posisi tertinggi struktur pemerintahan dan politik.
Demikian pula dengan Pak Goenawan. Ia hanya dianggap bocah kemarin sore
yang rajin membaca ketika Manikebu diteken. Ia bahkan tidak ada di Indonesia
ketika ontran-ontran 1965 terjadi. Ia nyaris bukan siapa-siapa hingga tangan
dinginnya mulai menampakkan hasil: majalah Tempo.
Pak Goenawan seperti syair-syairnya yang liris, sendu dan agak gelap. Kisahkisahnya berkabut sehingga orang sering abai melihat yang sesungguhnya terjadi.
Ia luput dalam daftar pendosa 65 sebab di kelak kemudian hari, ia mencuci dosa itu
dengan nyaris sempurna: ikut menggalang kekuatan anti-Suharto, memfasilitasi
diskusi-diskusi yang berbau kiri, berada di garda depan gerakan pluralisme dan yang
paling penting adalah menabalkan dirinya dalam proses rekonsiliasi politik dengan
korban 65 walaupun tidak sepenuhnya berhasil.
Tapi gerakan Pak Goenawan licin dan langkah-langkahnya jitu. Ia pembaca arah
mata angin yang baik.
Jika Suharto menjaga jarak dengan dunia di luar dirinya memakai selapis senyum,
maka Pak Goenawan memagari dirinya dengan kernyit kening. Tapi pada hakikatnya
sama. Orang di luar tidak bisa segera menebak arah pikiran dan kecamuk strategi

148

150

yang sedang disusunnya. Wajah mereka berdua sekalipun beda ekspresi namun
berada sekian tingkat di atas wajah poker ala Anas Urbaningrum atau Akbar Tanjung.
Semua bisa dilakukan okeh para pakar strategi yang hebat seperti Suharto dan
Pak Goen. Musuh mereka hanya satu: waktu.
Pak Goen semakin menua. Kontrol emosinya mengendur, kendali dirinya merosot.
Ia kemudian lebih sering membuka diri untuk hal-hal yang tidak perlu, yang
mestinya bisa dia lakukan dari balik jendela hanya dengan memberi kode lewat
ketukan-ketukan di kaca.
Mirip sekali dengan kisah Suharto. Entah kenapa kemudian justru kontrol Jawanya yang jadi pijakan batin politiknya mengendor, lalu condong ke Islam, agama
yang tidak mudah ia pahami. Ia membaca angin dengan baik karena Islam saat itu
menguat. Tapi angin yang dibacanya tidak membuat kesehatan batinnya tahan. Ia
mulai sering terpeleset.
Pak Goen yang menjelang uzur mencitrakan dirinya sebagai seorang pemikir dan
begawan, tiba-tiba mulai terperosok dalam kekeliruan langkah yang seharusnya
tidak perlu dilakukan oleh ahli strategi sekaliber dia. Membuat berbagai dukungan
politik terbuka mulai dari SBY, Boediono dan terakhir Sri Mulyani. Ia yang
mengikrarkan politik sebagai langkah pragmatis yang tidak perlu ditempuh oleh
seniman termasuk juga penyair dan pemikir sepertinya, dilanggar sendiri dengan
vulgar. Walaupun dalam pembelaannya selalu dibuat dalam tulisan yang tetap
terlihat murung, seakan-akan reflektif, dan tentu saja sedikit njelimet.
Suharto mulai tidak bisa mengendalikan orang-orang di sekitarnya. Pak Goen
juga.
Suharto sampai di fase dimana cuci tangan atas apapun di luar dirinya tidak bisa
dilakukan. Pak Goen juga.
Kalau ada seorang pengendara sepeda motor yang bannya bocor di tengah jalan
pada tahun 1998 lalu mengumpat itu kesalahan Suharto, tidak ada yang protes. Sama
dengan apa yang kelak akan dialami oleh Pak Goen, yang tanda-tandanya sudah bisa
kita baca di dua tahun belakangan ini.
Sialnya Suharto adalah sialnya Pak Goen. Di detik-detik kejatuhan Suharto,
orang-orang terdekat dan tepercayanya menyelamatkan diri dengan cara dan gaya
masing-masing. Demikian pula yang akan terjadi pada Pak Goen. Tanda-tandanya
sudah bisa kita lihat di bulan-bulan ini.
Secara teoritis, kekuasaan Pak Goen akan segera runtuh. Tapi ia orang yang
berkualitas. Tidak ada yang bisa membantah bagaimana ia bisa membangun
jaringan politik yang kuat baik di dalam maupun di luar negeri. Ia bisa membuat
belasan lembaga donor mempercayainya dalam waktu yang relatif lama. Ia bisa
mengkonsolidasikan kekuatan-kekuatan yang telah dibinanya. Ia bahkan tetap
disegani oleh para Malin Kundang muda yang pernah dirawatnya yang lalu
membangkang.
Ia terlalu besar untuk bisa jatuh. Atau setidaknya jika ia jatuh, ia bisa memilih
gaya terbaik dengan landasan terempuk.

Hanya saja, zaman bergerak pada arah yang tidak gampang lagi dibaca oleh Pak
Goen.
Dan biasanya, begitu orang besar limbung, para musuhnya akan menusuk dari
berbagai sisi, yang membuatnya hanya bisa menahan serangan tanpa sanggup
menyerang balik.
Serangan musuh-musuh Pak Goen yang beragam itu, bisa memperlihatkan
kualitas mereka. Cara seseorang menyerang akan segera diketahui apakah ia emas
atau loyang.
Nasib Pak Goen bisa berakhir seperti nasib Suharto. Namun Suharto sedikit lebih
beruntung karena masih ada sedikit orangnya yang cerdas dan loyal, yang kelak
masih bisa menempel mukanya di bak truk dengan tulisan besar: Piye, isih penak
jamanku ta?
Saya ragu ada orang secerdas dan seloyal itu di belakang Pak Goen. Tapi
kalaupun toh tidak ada, Pak Goen sudah tahu persis. Toh ia orang yang cerdas dan
reflektif. Ia pasti tahu apa arti ngundhuh wohing pakarti.
Bagi saya, semua ini layak ditonton dan diperhatikan. Siapa tahu ada kejutan.
Sebab Pak Goen punya kapasitas untuk membuat kejutan.

151

jurus mabuk saut


A

da banyak celometan yang ditujukan kepada Pak Goenawan. Namun menurut


saya hanya satu orang yang benar-benar menjadi penantang serius sang
begawan Salihara yakni Saut Situmorang.
Apakah yang lain tidak serius? Ada yang sedikit serius, ada yang hanya bisa
berisik, bahkan ada yang oportunistik. Tapi yang benar-benar melawan dengan
menyeluruh, tangguh, hanya bisa saya dapatkan pada diri Saut. Apa sih maksud
melawan Sang Begawan dengan oportunistik? Jika kemudian ada sogokan
panggung, kegiatan atau bantuan maka mereka menjadi lembek dan terkooptasi.
Lalu apa sih maksudnya melawan dengan berisik? Mereka yang melawan Sang
Begawan tanpa argumen memadai, hanya mengumpat, tidak jelas maunya apa, tidak
terang alasannya mengapa.
Saut mengumpat. Ia juga mencaci dengan kecenderungan yang kasar. Tapi ia
punya argumen yang kokoh. Banyak orang terutama yang ikut-ikutan menentang
kekuasaan Pak Goen hanya meniru kekasaran Saut. Mereka lupa membaca
dengan cermat esai-esainya yang runtut dan jernih. Umpatan atau cacian pun bisa
dibaca sebagai ragam ekspresi khas Saut. Tapi juga bisa dibaca lebih dalam dengan
kerangka teoritik sebagaimana para pendahulu kita melawan hegemoni bahasa yang
tertib, halus dan santun dengan bahasa yang lugas, langsung, cenderung kasar.
Ekspresi tersebut dipilih dengan sadar dan bukan asal-asalan.
Kekuatan lain Saut adalah soal integritas. Saut menolak karyanya masuk
nominasi sebuah penghargaan dan menjelaskan alasannya. Ia bukan tipe orang yang
ada maunya. Kalau maunya sedang difasilitasi bisa berubah jadi anak baik-baik.
Ia bukan orang yang seperti itu.
Bagi Saut, semua hal bisa jadi cara dan propaganda untuk melawan dominasi Pak
Goen. Dari mulai minum bir, diskusi formal, buku, blog, media sosial, semua adalah
arena pertempuran dimana ia akan memposisikan diri sebagai lawan Pak Goen.
Selain memiliki kapasitas intelektual yang mumpuni, Saut juga diberkati ilmu
komunikasi yang baik. Ia propagandis sekaligus agitator yang ulung. Anda yang tidak
tahu Pak Goen atau dunia kebudayaaan maupun sastra di Indonesia, duduk setengah
jam saja dengan Saut akan terbuka peluang menjadi pembenci Pak Goen. Ditambah
dengan selera humor yang lumayan, lengkaplah senjata Saut.
Saut adalah nabi kecil lain yang sedang dan terus membangun kekuasaannya
yang khas, berhadapan dengan kekuasaan besar Sang Begawan. Setidaknya dalam
amatan saya sekitar 15 tahun. Bukan waktu yang pendek untuk kemampuan
melawan sebuah rezim kuat, mewah dan punya banyak sekali modal.

152

Saut adalah gerilyawan tulen, keras dan gigih. Mungkin dalam panggung
kebudayaan republik ini, Saut adalah fenomena yang pantas diberi tempat
tersendiri. Dalam ingatan saya belum ada seorang penyair cum intelektual seperti
Saut yang melawan sebuah dominasi kelompok elit kebudayaan dengan konsisten
dan awet.
Saya yakin ada banyak orang baik yang dekat sekali maupun agak dekat dengan
Sang Begawan yang risih dengan kehadiran dan jurus mabuk Saut. Pak Goen yang
dulu menganggap sepele kehadiran Si Gimbal dengan suara serak sengau bariton itu
pun lama-lama jengah juga. Tapi Pak Goen nyaris tidak bisa melakukan apa-apa. Ia
dalam posisi dilematis. Kalau melayani Saut berarti ia akan ikut terus mengangkat
performa pengganggunya itu. Jika tidak dilawan, Saut semakin bisa memperluas
arena pertempuran. Hal yang sama terjadi juga bagi orang-orang di sekitar Sang
Begawan. Mereka pura-pura tidak peduli Saut. Tapi sesungguhnya mereka sangat
terganggu.
Sialnya, Saut tidak bisa dibeli. Seakan-akan menghancurkan dominasi Sang
Begawan adalah salah satu tugas hidup Saut, alasan eksistensialnya, yang dilakukan
dengan riang dan bergairah.
Problem besar Saut saya kira adalah dia tidak berhasil membangun kapasitas
orang-orang yang ikut dalam rombongannya. Dan tampaknya Saut belum melakukan
pengorganisasian perlawanan yang baik dan terstruktur. Jurus mabuk masih efektif
di fase seperti ini. Tapi ada fase selanjutnya.
Dalam ilmu perang, jurus mabuk adalah sistem gerilya yang fungsinya untuk
mengganggu. Tapi untuk menganvaskan musuh tetap di tangan pasukan infanteri
yang masif, kuat dan solid.
Mari kita lihat babak selanjutnya...

153

denny ja dan rasa gampang kagetan


K

etika kasus Denny JA muncul lalu merebak di media sosial, bagi saya justru yang
mengherankan adalah kenapa banyak orang yang merasa kaget? Seakan-akan
persoalan Denny JA tidak mungkin terjadi di dalam kenyataan sosial kita. Ujug-ujug
alias makjegagik.
Tapi persoalan mendasar masyarakat lndonesia termasuk saya dan Anda memang
belum berubah, sebuah kejadian dianggap tidak punya tanah tempat akarnya
bersembunyi, tidak punya rahim tempat bocah kenyataan mbrojol. Peristiwa
dianggap terlepas dari persoalan sosial. Kasus Ratu Atut diobrolkan seakan-akan
jaraknya sangat jauh. Kasus Sitok diblejeti seakan-akan di dekat kita tidak banyak
terjadi.
Apa yang aneh kalau Denny JA yang berlebih uang itu menukar modal
finansialnya dengan modal sosial? Masih saja ada yang mencoba mengulik betapa
lemahnya argumen yang menempatkan Denny ke dalam himpunan 33 tokoh yang
berpengaruh di dunia sastra. Lalu merasa tidak habis pikir kenapa Sapardi Djoko
Damono dan sastrawan gaek lain mau membaiat Denny JA jadi sastrawan yang
memiliki terobosan dalam bidang penulisan esai puisi. Kok repot amat analisanya?
Panitia atau kuratornya jelas dibayar (mahal). Soal teori atau himpunan itu dibuatbuat saja supaya di dalam pembaiatan tidak terlalu vulgar. Makanya tidak usah
repot juga bertanya soal 33. Mau 33 kek, mau 50, mau 100 ya tidak apa-apa yang
penting bagi Denny dan panitia: nama Denny masuk.

154

Tapi apa persoalan Denny itu hal baru di dunia sosial dan kebudayaan kita? Kalau
sampeyan bilang baru ya berarti cupet. Apa sih beda antara kasus Denny dengan
kerajaan-kerajaan tertentu yang mengecer gelar untuk kaum politikus, intelektual
dan artis? Apa bedanya dengan kaum-kaum adat tertentu yang memberi gelar untuk
mereka yang punya uang dan jabatan? Jadi ya nggak usah kagetan. Biasa saja.
Menurut saya yang lebih menyedihkan lagi ketika pokok soalnya terarah bagi
Denny. Lho apa salah Denny? Dia sudah mengeluarkan uang, mungkin juga sudah
harus memotong urat malunya, kok masih disalahkan? Kalau sampeyan punya
rumah, terus rumah tersebut disewa 10 kali lipat dari harga biasa, lalu dipakai untuk
buka game center, kemudian ketika warga sekitar protes karena anak-anak mereka
lebih sering main game, yang disalahkan paling utama yang menyewakan rumah
(sebagai bagian dari anggota komunitas) atau yang menyewa rumah?
Saya kira juga tidak terlalu ribet untuk memakai teori ilnu sosial dan kebudayaan
untuk membedah peristiwa ini. Hanya persoalan banyak orang kelaparan dan ada
orang yang membawa makanan. Si pembawa makanan meminta syarat tidak hanya
diberi ucapan terimakasih tapi juga dipuji. Tempat untuk memuji sudah dipersiapkan
lalu sesudah memuji dikasih makan lagi. Sesederhana itu, nggak usah ndakik-ndakik.
Oke kalau sampeyan masih protes melulu, kita dolanan. Kalau Denny JA meminta
sampeyan untuk menulis resensi buku tentang 33 tokoh tersebut dengan nada
yang positif, mau nggak? Tidak mau? Bener? Dibayar lho. Satu resensi yang kirakira berjumlah 1.000 kata dibayar Rp5 juta. Nggak mau? Oke, kalau begitu dibayar
Rp10 juta. Media massa yang mau memuat tidak usah Anda pikir. Sudah disiapkan.
Bagaimana? Kok diam? Sudah gini saja, 20 juta ya. Tunai. Oke? Nggak mau? Taek!
Apakah kalau Anda menerima tawaran itu keliru? Ya enggak. Masak orang lapar
kok keliru. Apes banget hidup kita kalau sudah lapar tapi masih juga keliru.

155

surat untuk pak denny ja


S

elamat pagi, Pak Denny.... Semoga kebaikan dan kesehatan baik jasmani maupun
rohani senantiasa menyertai Anda. Amin. Maaf, pembukaan dan salam saya hanya
singkat, sebab saya tidak begitu pintar berbasa-basi. Tapi Insyaallah bukan berarti
saya tidak baik hati, sebagaimana Anda juga. Lagi-lagi amin...
Saya menulis surat ini dari sebuah noktah teritori di bumi Indonesia.. Duh
Indonesia. Pak Denny... sebuah nama yang membuat banyak orang bisa merinding.
Sebuah negara yang begitu molek dan kemerah-merahan menyongsong tahun
politik. Tentu saja sebuah pesta politik yang dibangun di atas demokrasi liberal,
demokrasi yang riuh penuh warna dan balon, yang membuat banyak orang menoleh
lalu bercita-cita jadi politikus. Demokrasi semacam inilah yang membuat dari mulai
tukang sablon sampai konsultan politik berikut lembaga survei laris manis tanjung
kimpul. Ah, Anda tahu itu. Demokrasi Indonesia mutakhir tidak akan melupakan
nama Anda sebagai salah satu tokoh konsultan politik di barisan awal sekaligus
sebagai salah satu maestronya. Pengamat dan konsultan politik belakangan ini,
yang luarbiasa lanyah dan masih berusia muda setiap kali habis salat mestinya
mendoakan Anda karena tanpa pendahulu seperti Anda rasanya muskil profesi ini
pun menjadi sohor, moncer dan mentereng.
Saya tidak berpanjang kata untuk membahas hal yang terlalu besar seperti
Indonesia. Selain hanya menggarami laut, juga ini bukan saat yang tepat. Karena
dinpagi seperti ini, tidak perlu kita membahas hal yang terlalu serius. Pagi ini, Yogya
mendung. Cocok untuk membahas hal yang ringan-ringan saja sembari menyeruput
kopi dan mengisap udud. Eh tapi kalau tidak salah Anda tidak suka ngudud ya?
Pak Denny, tentu tidak mungkin Anda tidak tahu pokok soal apa yang ingin saya
sampaikan. Orang secerdas Anda pastilah mudah tahu. Benar, ini masih soal sastra.
Selembar teritori kreatif yang membuat nama Anda mumbul akhir-akhir ini. Tapi
mohon maaf kalau dalam menyatakan hal tersebut terdapat banyak kesalahan,
selain karena ilmu sastra saya masih dangkal, karya-karya saya juga belum terlalu
banyak dan masih karya yang begitu begitu saja, tidak ada terobosan seperti
karya-karya Anda yang kata beberapa sastrawan sepuh punya kelebihan dan
kecemerlangan. Eh, apa kabar Pak Sapardi? Semoga beliau sehat selalu. Di Indonesia
jarang ada akademikus sekaligus praktisi sastra yang panjang nafas dalam berkarya
seperti beliau. Sampaikan salam hormat saya.
Pak Denny, saya masih yakin kalau dunia sastra baik sastrawan, kritikus, pembaca
dll masih riuh membicarakan Anda di pagi ini. Tentu Anda suka dengan dunia yang
riuh, sebab demokrasi liberal adalah demokrasi yang riuh. Keriuhan dibutuhkan

156

dalam perdagangan juga. Termasuk dagang gagasan. Termasuk tentu saja dalam
dunia marketing politik. Sebab konon, kata pebisnis marketing politik yang lain yang
tentu Anda kenal yakni Pak Rizal Mallarangeng, kuncinya hanya ada tiga: money,
momentum dan media.
Saya menduga, dalam dunia sastra yang sedang Anda singgahi ini, tiga hal
tersebut tentu menjadi parameter dan pijakan. Barang siapa memiliki ketiganya,
maka ia akan bisa berkibar. Namun hemat saya, seseorang sebetulnya cukup punya
satu: money. Duit. Mothik kalau kata orang Yogya. Sebab dengan uang, seseorang
bisa menguasai, membeli atau terpampang di media. Dengan uang pula, ditambah
sedikit saja kepintaran, sesorang bisa menciptakan momentum.
Dan menurut saya, Anda orang yang sangat piawai menciptakan momentum.
Itu pula yang membuat Anda terus bisa berselancar dalam keriuhan hari-hari
belakangan ini. Anda sudah ungkapkan hal itu di dalam pledoi dan kicau Anda. Dunia
sastra, menurut Anda, mulai terasa menggeliat sejak buku yang Anda sponsori soal
33 tokoh sastra yang punya pengaruh, terbit.
Saya tidak tahu, mungkin sebelum Anda masuk di dalam himpunan nama
tersebut, dunia sastra sedang tertidur atau mungkin bahkan matisuri. Coba nanti
saya cek apakah masih banyak cerpen dan puisi yang nongol di hari Minggu, apakah
karya-karya sastra masih dicetak oleh para penerbit buku dan apakah debat dan
celoteh sastra masih bertaburan di media sosial.
Maaf lho Pak, kalau saya langsung nembak bahwa buku tersebut terbit karena
Anda sponsori. Seperti saya bilang di awal bahwa saya tidak pintar basa-basi. Dan
menyeponsori hal seperti itu biasa kok. Termasuk titip nama supaya masuk. Lebih
tepatnya buku tersebut dan sejumlah nama yang lain di dalam buku tersebut hanya
sebagai pelengkap saja. Intinya ada di Anda. Dan sekali lagi saya konsisten, Anda
tidak bersalah dalam konteks kekinian yang segala hal bisa diperdagangkan dan
ditukar dengan uang. Kalaupun toh misalnya masih perlu untuk disalah-salahkan
tentu yang paling salah ya para sastrawan yang ikut mendongkrak Anda. Pertama,
kok tega mereka memperlakukan hal seperti itu di dalam dunia sastra. Dunia yang
kaya imajinasi tapi masih agak miskin dalam apresiasi dan dukungan. Kesalahan
kedua, kok mereka nggak meminta banyak sekali uang agar bisa dibagi-bagikan
ke pelaku sastra lain. Kalau hal tersebut dilakukan sebanyak mungkin, maka yang
menghujat buku tersebut hanya jadi minoritas. Tidak seperti sekarang ini, yang
mengritik dan menghujat jauh lebih banyak. Salah satu sebabnya tentu saja banyak
yang tidak kecipratan mothik Anda. Setidaknya kalau ada slep-slepan kan tidak
perlu ikut bicara. Diam. Tapi Pak Denny, sekali lagi saya tidak suka bicara benar atau
salah. Biarlah soal seperti itu diurus para ahlinya.
Saya hanya menyayangkan, seandainya jauh hari sebelum ini kita bertemu, saya
bisa sampaikan usul dan saran yang gratis dan elegan jika Anda ingin numpang
tenar di dunia sastra. Sehingga gegeran macam ini tidak perlu terjadi. Ini terlepas
dari bahwa mungkin dengan gegeran ini Anda makin senang karena makin tenar lho
ya...

157

158

Pak Denny, ada banyak hal yang bisa Anda lakukan di dalam dunia sastra tanpa
harus sevulgar itu, dan dunia sastra selalu mencatat nama-nama yang mendukung
sastra tanpa melalui berkarya. Sebab sebuah karya membutuhkan sekian banyak
dukungan baik langsung maupun tidak langsung. Sedikit contoh, ada nama HB Jassin
yang pasti Anda tahu. Beliau kritikus dan pelaku dokumentasi yang penting dalam
jagat sastra Indonesia. Ada juga Joesoef Isak, seorang editor sekaligus salah satu
inisiator Hasta Mitra, penerbit alternatif yang berani menerbitkan karya-karya
Pramoedya Ananta Toer. Ada juga yang mungkin tidak Anda kenal seperti Buldanul
Khuri dan Bilven sandalista. Nama pertama adalah mantan pemilik penerbit Bentang
Budaya. Penerbit ini di saat penerbitan belum sebanyak ini, sudah punya komitmen
untuk menerbitkan buku-buku sastra. Buku sastra zaman akhir dekade 80an dan
awal tahun 90an tidak seprti sekarng yang bisa laku jutaan eksemplar. Zaman itu
bisa laku 3.000 eksemplar saja sudah bisa bikin girang pihak penerbit. Sedangkan
nama yang kedua itu pemilik Toko Buku Ultimus di Bandung. Setahu saya problem
toko buku itu dari dulu hampir sama: terancam bangkrut melulu. Tapi jangan tanya
kontribusinya selama kurang-lebih 10 tahun berkiprah, ada banyak fora sastra
dihelat di sana, tempat para sastrawan diskusi, numpang baca buku gratis, sampai
numpang tidur bahkan berutang duit. Selain kedua nama-nama tersebut ada banyak
nama lain yang punya jasa dalam dunia sastra kita tanpa harus menghasilkan karya
sastra.
Nah, kalau Anda serius mau membantu dunia sastra makin berkembang dan
dinamis, Anda bisa bantu anak-anak muda untuk menerbitkan karya-karya mereka.
Ada banyak anak muda Indonesia yang karya-karya mereka cukup bagus tapi
tidak bisa diserap dan diterbitkan oleh penerbit di Indonesia. Mungkin karya-karya
tersebut dianggap tidak diterima oleh pasar. Anda juga bisa membuat semacam
sekolah singkat reguler untuk kritik sastra. Konon kata banyak pelaku sastra,
mengapa sastra Indonesia kurang bermutu karena minimnya kritik sastra. Anggap
saja itu benar. Sebab saya tidak sedang ingin memperdebatkan hal tersebut. Sekolah
singkat itu bisa dirancang dan diisi oleh kritikus-kritikus gamben seperti Pak Faruk
HT, Pak Kris Budiman, Bu Katrin Bandel. Kalau spektrumnya mau lebih kaya lagi bisa
ditambah Pak Nirwan Dewanto, Pak Nirwan Ahmad Arsuka dan Pak Binhad Nurohmat.
Tapi kalau mau lebih kaya lagi bisa ditambah dengan Pak Jamal D Rahman dan
Mbak Helvy Tiana Rosa. Dengan sekolah kritik sastra yang reguler apalagi diampu
nama-nama keren di atas, maka anak-anak muda berbakat macam Arman Dhani dan
Dedik Priyanto bisa lebih terasah dan berdaya guna. Coba sekarang ini kalau Anda
perhatikan, kemampuan kedua orang itu hanya dipakai untuk hal yang menyemenye. Energi mereka dipakai untuk ribut. Termasuk untuk meributkan Anda.
Anda juga bisa melakukan hal lain yakni memberi beasiswa berkarya bagi para
pelaku sastra Indonesia. Ini juga keren. Kebanyakan sastrawan Indonesia masih ada
problem berkarya karena harus juga mencari makan. Sehingga mereka kekurangan
energi, waktu dan uang untuk melakukan penelitian untuk karya-karya mereka.
Kalau Anda lakukan itu, Insyaallah dunia sastra kita akan makin cerah. Bukan malah
berantem seperti saat buku yang Anda sponsori ini terbit.

Anda cukup memasang brand nama Anda di sana. Entah di nama lembaganya,
misalnya Denny JA Peduli Sastra, atau bisa memberi sedikit pengantar kalau
misalnya soal buku atau pidato singkat kalau misalnya sekolah kritik sastra.
Dan kalau Anda lakukan ini tiga tahun saja, saya yakin nama Anda akan berkilau.
Anda akan disubya-subya oleh banyak kalangan. Tentu pasti ada juga kritikan dan
cemoohan. Tapi tidak akan sebanyak sekarang. Kalaupun toh masih ada, mungkin
dari Saut Situmorang CS. Saya kira tidak ada masalah. Kritik itu bisa penting dan
tidak penting. Kalau Anda suka, tinggal Anda cap penting. Kalau tidak, ya tinggal
Anda bilang tidak penting. Gampang. Simpel.
Sebetulnya ada banyak hal yang bisa saya rekomendasikan untuk Anda. Tapi oagi
seperti ini tidak baik untuk terlalu mbentoyong. Perut saya juga mulai melilit. Kalau
misalnya Anda tertarik, kasih pesan di inboks saya. Atau: ping me.
Begitu dulu surat saya ya, Pak Denny... Selamat beraktivitas dan berkarya.

159

surat untuk ahmad gaus


U

s, sekolahmu mbiyen neng endi? Menurutku kamu nggak perlu membela


sok ngintekektuil macam di blogmu itu karena akan semankin menunjukkan
kebodohanmu.
Us, soal kebodohan aku yakin kamu bisa mengatasinya. Dunia ini memberi rumus
yang gampang untuk soal itu: kalau mau ijazah ya sekolah, kalau mau pintar ya
belajar.
Us, us... sesungguhnya yang penting bagimu adalah soal meruwat karmamu. Mau
kukasih tahu? Tapi kamu harus belajar rendah hati. Jangan pongah. Syarat utamanya
kamu harus sisihkan lebihdari 50 persen duit dari Pak Denny untuk menyumbang
anak yatim dan orang-orang manula yang disia-diakan keluarga mereka.
Selanjutnya, us... belilah seekor truwelu. Buatkan kandang yang bersih dan
nyaman. Beri makan yang baik. Lalu sejam dalam sehari, ajaklah truwelu itu bicara.
Lalu perhatikan jawaban-jawabannya. Lakukan dengan khusyuk. Sampai kamu bisa
dengar suara truwelu tersebut dengan gamblang. Sampai kemudian tidak jelas mana
yang Gaus dan mana yang truwelu. Itu namanya manjing. Setelah mengalami hal
tersebut, kamu bisa lepas truwelu itu dan kamu beli anjing. Lakukan hal yang sama.
Setelah itu kamu masuk tahap akhir, us... kamu harus belajar meminta maaf yang
tulus. Apa itu minta maaf yang tulus? Tidak perlu menulis surat terbuka. Boleh saja
itu dilakukan tapi bukan itu yang kumaksud. Nah siapa yang perlu kamu mintai
maaf? Pertama minta maaflah sama kedua orangtuamu kalau beliau berdua masih
hidup. Kalau sudah meninggal ya ziarahlah. Ungkapkan permintaan maaf. Mereka
melahirkanmu bukan untuk menjadikanmu bahan gojlokan, dibodoh-bodohkan,
hanya karena nafsu sesaatmu. Hanya semata karena duit yang fana. Duit itu apa
sih us.... kamu punya duit lumayan dengan duit banyak toh sekali mbadhog paling
banter ya dua piring.
Lalu minta maaf sama guru-gurumu. Sependek pengalamanku ini, Us... orang yang
melakukan zalim intelektual biasanya tidak pernah silaturahim lagi dengan gurugurunya. Dan berhenti mencari guru karena sudah merasa pintar.
Nah setelah itu kamu buatlah makan-makan sederhana. Jenis makanan apa saja
boleh dihidangkan. Tapi harus ada ketela, gembili dan durian. Kenapa harus ada
ketiga benda itu, nanti aku ceritakan. Begitu kamu siap buat makan-makan, kabari
aku. Kita cocokkan jadwal.

160

Di forum yang khidmat itu aku akan bongkar apa makna ketela, gembili dan
durian dalam konteks membakar karma sastra kita. Kalau nggak diawali dengan
doa khusyuk, bumi bisa horeg, gelas-gelas bisa pecah, gunung-gunung bisa njeblug.
Semoga kamu akan mengerti bagaimana melakukan kritikan tanpa kandungan
seujung kuku kebencian, menerima kritikan tanpa setitik air yang mengandung
kepongahan dan sakit hati.
Begitu dulu ya, Us...
Eh, ngomong-ngomong kalau kamu mengajar menulis atau ketemu penulis yang
lain apa nggak malu, Us... tapi ya nggak tahu ding, soalnya Pak Denny itu punya
gunting yang mahal banget harganya, khusus untuk memotong urat malu. Semoga
belum dipinjamkan ke kamu. Amin.
Wis ngono sik, Us...

161

tim 8
W

alaupun sudah saya duga, tapi saya tetap agak kaget juga. Ternyata ada
beberapa sastrawan yang ikut menyerang Denny JA tapi dapat uangnya. Lebih
baik anggota tim 8 daripada orang-orang macam begituan.
Kamu ambil uangnya, kamu maki-maki orangnya? Keji banget...

162

ahmadun
S

edih mendengar pengakuan Mas Ahmadun. Tapi dia telah menyatakan bersalah
dan menyesal. Saya tidak tahu apakah sastrawan-sastrawan lain yang
mendapatkan uang dari Denny JA akan berhenti memaki-makinya dan segera
membuat pengakuan dosa.
Saya usul. Kita membuat solidaritas urunan atau saweran mengumpulkan uang
Rp10 juta untuk Mas Ahmadun dan memintanya mengembalikan uang tersebut ke
Denny JA.
Kita basuh dosanya, biar ia bisa kembali tegak dengan harga dirinya.

163

tiga penjemput
K

etiga polisi itu masih muda. Dua orang mungkin masih di kisaran umur 25
tahun. Sedangkan satu lagi, Sang Pimpinan yang bernama Cepi, mungkin
30an tahun.
Ketiga polisi itu terlihat tertekan ketika makin banyak orang datang di
rumah Saut Situmorang. Apalagi ketika wartawan mulai berdatangan. Mereka
sempat pamit sebentar untuk makan siang dan salat di masjid terdekat. Tapi
begitu balik lagi, terlihat makin tertekan karena makin banyak kawan Saut
yang datang.
Mereka bertiga menjadi kikuk. Tekanan mengarah ke ketiga polisi itu.
Mulai dari memotret, bertanya, menyindir, dan seterusnya. Apalagi ada
kawan Saut dari Kotagede yang bawaannya ingin memakan ketiga polisi
tersebut.
Saya sendiri lebih sering mencandai ketiga laki-laki yang mulai kikuk
tersebut. Selain supaya suasana lebih rileks juga saya mau mengingatkan
ke kawan-kawan yang berkumpul kalau persoalan kita bukan dengan ketiga
polisi itu, tapi ke soal Fatin Hamama dan orang di belakangnya.
Tapi tetap tekanan mengarah ke ketiga polisi itu. Sampai akhirnya muka
mereka terlihat pucat ketika Cepi mendapatkan telepon. Sepertinya dari
pimpinan mereka. Tidak lama kemudian mereka sibuk mengecek gajet
yang sejak lama menjadi objek pelampiasan rasa tak nyaman. Ketiga polisi

164

itu lantas saling berbisik dan mendadak menjauh dari orang-orang yang
mengumpul di depan rumah Saut.
Salah seorang di antara mereka lalu meminta Iwan Pangka, pengacara
Saut, untuk berembuk dengan mereka bertiga. Sekira 10 menit mereka
berbincang, Bang Iwan memanggil saya masuk ke rumah Saut. Dia bilang
kalau polisi meminta agar kami mengizinkan membawa Saut lebih dulu ke
stasiun. Alasannya, tidak enak dengan tetangga-tetangga Saut yang juga
mulai bergerombol di depan. Alasan kedua, para polisi itu tidak nyaman
karena foto-foto mereka banyak sekali muncul di media sosial.
Saya tidak keberatan. Tapi keputusan ada di tangan Saut. Penyair gimbal
itu awalnya masih ngotot ingin diperiksa di rumah, akhirnya saya membisik
dia supaya mengikuti saja proses hukumnya. Soal nanti urusan panjang
dengan Fatin dan rezim uang di belakangnya, pasti menjadi prioritas banyak
orang. Saut setuju.
Ketiga polisi itu akhirnya masuk lagi dengan wajah makin grogi ke dalam
rumah Saut. Kemudian mereka mengulang penjelasan Bang Iwan. Kami bilang,
oke intinya kami setuju, silakan bawa Saut ke stasiun tapi tetap beberapa
orang akan ikut ke sana. Soal mereka yang keberatan jika ada banyak orang
di situ, kami bilang wajar saja, ini kan bentuk solidaritas kawan-kawan Saut.
Cepi cepat menyahut, Tapi jangan begini, dong...
Begini bagaimana? saut saya.
Ya Anda sudah dewasa lah, tahu yang saya maksud.
Saya tidak tahu. Anda yang harus tahu. Semua orang yang datang
mengerti kalau Anda ini hanya menjalankan tugas. Dari tadi Anda kan
mendengar semua wawancara, mendengar banyak obrolan, tidak ada yang
menyalahkan pihak kepolisian, kan?
Cepi tidak bisa menjawab. Wajahnya terlihat makin melas.
Saut sudah siap. Wajahnya yang kelelahan mulai terlihat sumringah.
Ketiga polisi itu bangkit dan beranjak pergi. Muka mereka menunduk karena
orang-orang yang semula duduk-duduk begitu Saut mau pergi, semua berdiri
dan mendekat ke arah Saut, tentu sambil memotret dengan gajet mereka
masing-masing.
Ketiga polisi itu menunggu Saut di ujung gang ketika ada doa bersama
sebentar yang dilakukan di depan rumah Saut. Sambil melangkah pergi,
Saut sempat melempar pertanyaan bernada canda, Di kantor polisi ada bir,
nggak?
Saya lupa. Mestinya Saut menyempatkan membaca puisi sebelum pergi
bersama polisi.

165

posisi
Teman-teman yang baik...
Ada beberapa orang yang bertanya kepada saya terkait dengan proses saling
memaafkan antara Sutan Iwan Soekri Munaf dengan Fatin Hamama. Saya jawab saja
di sini ya...
Pertama, mestinya pertanyaan kepada saya itu lebih tepat diajukan kepada
Iwan Soekri dan pengacaranya yakni Iwan Pangka. Bukan ke saya. Karena yang tahu
proses itu mereka berdua. Saya menyarankan supaya kabar tidak simpang-siur,
mereka berdua mengabarkan ke publik. Karena bagaimanapun proses Iwan Soekri
sudah menjadi perhatian publik sastra dan melibatkan sekian banyak orang lain.
Begitulah adab yang saya pahami. Juga supaya tidak terjadi fitnah.
Kedua, saya sendiri kalau soal saling memaafkan dan rekonsiliasi tidak ada
masalah. Peradaban menyediakan jalan itu. Proses hukum juga menyediakan tahap
mediasi. Sekali lagi yang dibutuhkan adalah penjelasan. Kecuali mereka berdua
menganggap bahwa orang lain yang pernah terlibat ikut membela kasus mereka
dianggap tidak penting.
Ketiga, saya juga tidak suka kalau kemudian proses ini menjadi lebih pelik lagi.
Mendadak menjadi pertikaian antara Saut Situmorang dengan Iwan Soekri dan Iwan
Pangka. Pertikaian itu makin menjauh dari pokok soal yang saya pahami.
Keempat, jika Saut tetap bersikukuh mengikuti proses hukum, saya dan beberapa
teman yang lain akan tetap berada di belakangnya. Apapun hasil akhirnya. Posisi
saya sejak awal sudah jelas. Saya akan bela Saut karena menurut saya tidak ada
yang boleh dimasukkan penjara hanya karena persoalan perdebatan. Belum lagi
ketidaksepakatan saya atas UU ITE.
Kelima, posisi saya di poin keempat tidak ada hubungan dengan apakah saya
setuju atau tidak dengan ekspresi Saut. Itu dua hal yang berbeda. Saya boleh saja
tidak setuju dengan caranya berekspresi tapi saya tetap bersikukuh dia tidak boleh
dimasukkan penjara hanya karena cara itu.
Demikian jawaban saya. Semoga tidak ada komentar yang melantur.

166

blues untuk saut


S

aya sudah bersiap tidak akan menemui hal yang istimewa ketika kemarin sore
memutuskan datang ke acara pembacaan puisi. Maka niat saya perluas menjadi
semacam silaturahmi dengan kawan-kawan lama, para penyair Yogya yang sebagian
saya kenal.
Ada enam penyair yang akan manggung membacakan puisi. Tentu nama-nama
mereka saya tahu semua. Tapi setidaknya ada empat orang yang saya kenal: Saut
Situmorang, Hasta Indriyana, TS Pinang dan Irwan Bajang.
Saya datang di Asmara Art & Coffee Shop, sebuah kafe di daerah Yogya Selatan,
tepat ketika grup musik Ilalang Zaman usai menjajal sistem pelantang. Sekian menit
kemudian, azan Magrib berkumandang. Tiga puluh menit kemudian sudut yang
difungsikan sebagai panggung menyala dengan dua pembawa acara yang cukup
jenaka. O, mungkin acara malam ini paduan antara pembacaan puisi dan stand up
comedy.
Penyair Kekal Hamdani membuka acara. Disusul Hasta Indriyana, kemudian
dilanjut ke Komang Ira Puspitaningsih. Gerimis sempat turun ketika Hasta maju ke
panggung.
Saya baru sekali ini menikmati puisi di sebuah kafe. Suasana cukup ramai.
Orang-orang hilirmudik. Banyak yang tidak beruntung mendapatkan tempat duduk
sehingga terpaksa berdiri. Orang-orang bergantian merapat ke panggung, mungkin
sesuai dengan interes mereka sendiri-sendiri.
Tempat saya duduk terhalang orang-orang yang berdiri. Butuh sedikit kelincahan
kepala untuk ikut menikmati suasana panggung. Agak meleng dikit, kadang agak
merunduk, sesuai hambatan yang terpancang dari tubuh-tubuh yang berdiri di
depan saya.
Tiba saatnya Saut maju. Ketika namanya disebut, orang-orang yang di tepi
jalan dan yang semula duduk-duduk segera bangkit. Depan dan samping panggung
langsung penuh sesak. Tambah sesak karena hampir semua orang yang berada di
dekat panggung mengeluarkan gajet mereka, bersiap merekam dan memotret Sang
Penyair. Saya ikut berdiri sebab tidak mungkin lagi menikmati panggung sambil
duduk manis di kursi.
Tubuh bertato dengan rambut gimbal itu muncul di panggung. Ia tersenyum
sambil meneriakkan pekik, Allahu Akbar!. Langsung tancap gas baca puisi.
Menonjok sekali.
Suara baritonnya yang sedikit sengau, menerjang telinga. Sekian detik kemudian,
seseorang dengan terompet besar mendekat di panggung. Suara Saut berpadu

167

dengan suara terompet. Tubuhnya terayun-ayun. Kadang diiringi dialog ringkas


dengan orang-orang di sekeliling panggung.
Beragam gaya dimainkan oleh Saut. Dia benar-benar tampil memikat. Mengambil
hati para pengunjung yang tak segan memberi tepuk tangan sangat meriah ketika
setiap sajak rampung dibacakan.
Ada dua penyair Indonesia yang sangat mempengaruhi saya, ucapnya sambil
matanya menyapu ke seluruh pengunjung, dan jari-jemari tangannya membolakbalik halaman-halaman buku puisi di tangannya.
...yaitu Chairil Anwar dan WS Rendra. Chairil membantu saya menemukan kata,
dan Rendra membantu saya menemukan kalimat.
Pengunjung terdiam. Hening. Menunggu apa yang akan diungkapkan Si Gimbal di
atas panggung. Tapi ternyata dia hanya menutup dengan kalimat, Semoga kalian
paham...
Dan kembali dia membaca sajak-sajaknya. Nyerocos. Membombardir. Kadang mirip
zikir, kadang mirip tarian. Mempesona.
Tibalah dia di satu judul: Blues untuk Katrin. Orang-orang bersuit-suit. Saut
kemudian melanjutkan dengan satu kalimat, Terimakasih.
Saut surut dari panggung. Disusul kemudian penampilan TS Pinang dan ditutup
dengan Irwan Bajang.
Ketika Saut sudah undur dari panggung, saya berpindah tempat menuju mejanya.
Seperti yang saya duga, penuh gelas-gelas bir. Dia dikerubuti banyak sekali orang.
Saut benar-benar jadi bintang malam itu.
Selesai? Belum.
Ketika kemudian Ilalang Zaman mengakhiri pergelaran, panggung hanya
butuh jeda sejenak, hingga kemudian satu grup musik muncul. Awalnya saya ikut
bergabung ngobrol dengan banyak kawan, tapi segera tertuju ke panggung ketika
lagu ketiga grup musik itu terdengar ganjil.
Mereka menyanyikan lagu Andy Liany, berjudul Sanggupkah. Wah nggak bener
ini, batin saya, kemudia langsung berdiri khidmat ikut menyanyi dan meneriakkan
syair salah satu lagu cinta paling gagah yang pernah diciptakan oleh penyanyi
Indonesia.
Biarkanlah manis, kita berbeda...
Jangan diubah, biarkan saja...
Nanti ada badai, yang kan mengujinya...
Kita hadapi, kita berbagi...
Semua orang berteriak. Andy Liany seakan bangkit lagi dari kuburnya. Malam
makin bedebah ketika dilanjutkan satu nomor dari Voodoo. Bah! Langsung gelasgelas bir terisi dan kosong, terisi lagi dan kosong lagi. Malam makin horeg ketika
satu lagu Power Metal dibawakan. Melengking.

168

Setidaknya sudah dua kali vokalis di panggung mengundurkan diri tapi para
pengunjung tidak mau. Setidaknya pula ada dua penyumbang lagu yang suara
mereka merdu sekali.
Purna sudah acara. Gelas-gelas telah kosong. Suara serak. Rokok habis. Saatnya
pulang.
Makan babi kita? ajak Saut. Kami yang masih bertahan belasan orang di meja
paling panjang, menggelengkan kepala. Aku menjawab, Aku nggak makan babi.
Kau orang Pantura masak nggak makan babi?
Saut mulai mabuk dan mulai cerewet, melompat dari kisah satu ke kisah lain,
sambil terus mengayun-ayunkan tubuh tambunnya.
Kau tolong itu Si Bilven kimak itu... katanya.
Ada apa dengan Bilven?
Orang-orang hilir-mudik di rumah besar yang ditempati Ultimus. Dan semuanya
punya pacar kecuali jomblo satu itu! Tahu kau apa kerjanya tiap malam?
Saya menggelengkan kepala.
Tiap malam dia hanya nonton sepakbola di TV. Sambil internetan. Lama-lama bisa
masuk rumah sakit jiwa temanmu itu...
Kami semua terbahak. Kembali Saut mengajak, Makan babi kita?
Kembali kami semua menggelengkan kepala. Dan kembali lagi Saut mengelana
dari satu cerita ke cerita lain...
Di Bali nanti, Si Jengki bilang akan membuatku merangkak dari tempat acara ke
hotel... dia mendengus..., aku akan ajari bagaimana penyair sekedar itu membaca
puisi.
Lalu dia tertawa terkekeh-kekeh. Dan kembali dia bertanya, Makan babi kita?
Akhirnya kami memutuskan pulang. Berjanji makan gudeg di Jalan Kaliurang.
Tidak ada satu pun yang mau menemani Saut makan babi.
Ketika kami semua sudah ngumpul kembali di gudeg lesehan, saya bertanya ke
mereka, kenapa tidak ada yang mau ikut Saut? Hampir semua menjawab, nanti bisa
sampai pagi dia ngoceh terus dan tidak mau pulang.
Tapi hampir semua orang sepakat bahwa malam itu adalah malam terbaik Saut
membacakan puisi. Malam itu sah untuk dimilikinya.
Senantiasa panjang umur kau, Datuk!

169

frankfurt book fair


S

ebelum ada saran ketiga, saya memutuskan untuk memenuhi saran dua
kawan saya yang memberikan tautan berita dari CNN Indonesia. Di sana
tercantum foto berisi nama saya sebagai bagian dari peserta yang hendak
diberangkatkan ke Frankfurt Book Fair 2105.
Mungkin sebulan lalu, saya memang menerima undangan dari panitia,
yang jika saya ringkas dalam satu kalimat berbunyi seperti ini: Anda masuk
dalam radar panitia untuk diberangkatkan ke Frankfurt Book Fair, tunggu
kabar dari kami. Sekira dua minggu kemudian, saya dihubungi oleh panitia
via telepon. Jelas di situ saya diminta untuk bergabung ke dalam rombongan.
Saya bertanya, kenapa saya diajak? Salah satu jawabannya adalah saya
dianggap punya kontribusi dalam perkembangan kesadaran membaca untuk
publik.
Di situ saya ragu, dan saya menyatakan bahwa saya tidak merasa punya
andil seperti itu. Usut punya usut ternyata saya dianggap bagian dari
Komunitas Radio Buku. Tentu saja saya menepis, kemudian memberikan
nomor telepon saudara Faiz Ahsoul yang setahu saya aktif di komunitas
Radio Buku. Panitia yang menelepon meminta waktu untuk menjernihkan
soal itu ke (mungkin) forum panitia. Dia kemudian mengabari bahwa memang
yang paling Radio Buku. Bukan saya. Jadi mungkin foto dokumen itu adalah
dokumen belum direvisi oleh panitia.

170

Di tengah beda pendapat soal penyelenggaraan pameran buku tersebut,


yang sesekali melintas di kepala saya malah betapa apesnya orang yang
menjadi panitia. Kalau soal di debat, apa sih yang tidak menjadi bahan
perdebatan di Indonesia? Kalau tidak terjadi perdebatan justru aneh. Dan
perdebatan itu baik.
Kenapa panitia apes, karena saya pernah bekerjasama dengan beberapa
kementerian di era rezim SBY. Saya akhirnya mengampil keputusan kapok
bekerjasama dengan lembaga Pemerintah. Dana sih pasti turun. Tapi tidak
sesuai dengan logika kerja. Saya membayangkan bagaimana panitia harus
bermain antara logika kerja dan alur penyelenggaraan vs nalar tahun
pembukuan dan birokrasi yang lemot.
Saya sudah membayangkan panitia akan ngutang uang dalam jumlah
besar. Ketika acara rampung, uang baru turun. Itu pun sedikit demi sedikit.
Saya berharap rezim Jokowi tidak seperti itu.
Kalau soal kenapa saya tidak ikut ambil suara soal Frankfurt Book Fair,
karena memang setiap orang punya interes masing-masing dan berhak
punya sudut pandang lain. Dalam konteks ini, panitia dan pengkritik
setidaknya bersepakat bahwa Frankfurt Book Fair itu penting. Maka yang
satu mengkritik karena ini urusan negara. Bukan urusan orang per orang.
Sementara panitia adalah representasi pemerintah.
Sedangkan saya mencoba berpijak, saya bosan bangsa ini dirumuskan dan
didefinisikan oleh pihak lain. Termasuk mengikuti imajinasi pihak lain. Selagi
saya mampu, saya akan coba ambil cara pandang itu.
Jauh hari sebelum gugon tuhon soal betapa bodoh-nya bangsa kita, toh
kitab-kitab hasil karya para sesepuh kita sudah diajarkan di universitasuniversitas besar di luar. Ulama-ulama kita disegani karena buah pemikiran
mereka yang luarbiasa. Sampai sekarang, hal itu masih jelas bisa dilihat.
Jika hal seperti itu tidak dilihat, kita tetap merasa penting untuk
mengikuti alur tetapan pihak lain, maka saya selalu ada di luar itu. Demikian.

171

biografer
S

alah satu penulis biografi yang bagi saya mentereng adalah Walter Isaacson.
Mungkin dia juga salah satu biografer paling kaya di dunia.
Isaacson jelas bukan penulis biasa. Karir jurnalistiknya nyaris sempurna, selain
pernah menjabat sebagai CEO CNN, dia juga pernah menjadi redaktur pelaksana Time.
Sederet karya biografi telah dirampungkannya: Henry Kissinger (1992), Benjamin
Franklin (2003), Albert Einstein (2007), dan tentu saja buku tentang Steve Jobs (2011).
Buku biografi pendiri Apple yang ditulisnya sangat monumental karena memecahkan
semua rekor penjualan buku biografi yang sejauh ini pernah ditulis. Selain itu,
menurut saya, buku ini salah satu buku biografi terbaik yang pernah saya baca.
Sialnya, buku biografi terbaik nomor dua yang pernah saya baca adalah tentang
Einstein yang juga ditulisnya. Baru yang ketiga adalah A Beautiful Mind karya
Sylvia Nasar tentang matematikawan John Nash yang baru saja meninggal dunia.
Buku biografi adalah salah satu gagrak buku yang menarik buat saya. Di
Indonesia, buku-buku biografi juga cukup banyak. Dari Sukarno, Suharto, Habibie,
sampai sederet jendral dan sederet artis mengeluarkan buku biografi mereka.
Terlepas dari cara penulisan yang rata-rata kurang memadai, tapi buku-buku
tersebut sangat informatif, dan bisa menyusun mozaik di tembok sejarah dengan
lebih apik. Buku biografi membuat masa lampau lebih memukau.
Berbeda dengan kebanyakan buku biografi di Indonesia, buku-buku biografi di
Barat memang sekian langkah lebih serius dikerjakan. Bukan saja dari sisi teknis
penulisannya, tapi semua proses dikerjakan dengan jauh lebih tertata. Isaacson
misalnya, di buku Einstein, dia melibatkan belasan tenaga ahli dari berbagai bidang
mulai dari sejarawan sampai profesor fisika untuk membantunya. Dia juga membuat
sesi-sesi diskusi khusus dengan para pakar untuk menguji tiap tahap tulisannya.
Tim editornya saja ada tiga orang. Hasilnya, sungguh karya yang bagi saya sangat
mencengangkan. Buku yang hak terjemahannya di Indonesia dimiliki oleh Penerbit
Bentang ini, hampir tiap halamannya disusun dengan cermat. Tak hayal, buku setebal
hampir 700 halaman versi terjemahan bahasa Indonesia ini, membuat saya selalu
menahan nafas ketika membacanya.
Buku Isaacson tentang Jobs baru saya baca tadi Subuh. Sudah cetakan ketiga.
Lagi-lagi hak penerjahan karya itu jatuh ke tangan Bentang. Tebal buku tersebut
membuat saya menunda membacanya. Harus cukup waktu. Hampir sama dengan
buku Einstein, buku Jobs menguras hampir semua rasa kagum di kepala saya. Nyaris
tak tersisa. Baru sekian puluh halaman saya baca, saya langsung memutuskan
buku ini sebagai buku biografi terbaik yang pernah saya baca, baik dari sisi teknis
penulisan maupun dari kualitas informasi yang disajikan.

172

Buku dengan ketebalan 730an halaman ini dikerjakan dalam rentang waktu dua
tahun. Isaacson mewawancarai Jobs sebanyak 40 kali, dan mewawancarai lebih dari
120 orang untuk mendukung kisah yang ditulisnya ini.
Saya memang punya sedikit penyakit untuk memeriksa sebuah buku nonfiksi,
yakni berapa tim yang terlibat dan berapa banyak wawancara yang dilakukan. Makin
banyak tim dan makin banyak wawancara, menunjukkan keseriusan pembuatan
sebuah buku nonfiksi termasuk buku biografi. Tingkat keseriusan selalu ada
hubungannya dengan kualitas dan penyajian. Justru ketebalan buku sebetulnya
tidak begitu saya perhitungkan. Hanya kebetulan saja jika saya menempatkan dua
karya Isaacson ini sebagai karya-karya terbaik yang kebetulan juga nisbi tebal.
Baik Einstein dan Jobs memang tokoh-tokoh yang menarik. Saya tidak tertarik
membaca karya Isaacson tentang Kissinger karena saya tidak tertarik tahu banyak
tentang dia. Itu juga salah satu faktor kenapa orang membaca sebuah karya
biografi yakni siapa yang ditulis. Setelah itu tentu siapa yang menulis berikut deret
pengalamannya di dalam dunia menulis.
Agak melenceng dari soal itu, sesungguhnya saya juga ingin membaca
pengalaman penerbit di dalam menerbitkan karya-karya tertentu. Saya yakin
hak terjemahan buku-buku Isaacson cukup mahal. Bagaimana Bentang misalnya,
merasa yakin buku-buku tersebut akan laku? Terlebih dengan ketebalan kedua buku
tersebut, tentu pertaruhan ekonominya pun lebih besar. Belum lagi tim pembuatan
buku, dari mulai penerjemahan, penyuntingan, sampai pemeriksaan aksara.
Kemudian, apakah Bentang perlu berebut hak terjemahan karya dengan penerbitpenerbit lain? Tentu sekian hal tersebut cukup menarik diketahui oleh publik.
Setidaknya, bagi penggemar Isaacson, Jobs, dan Einstein.
Mungkin Bentang perlu membuat buku biografi lembaga. Mungkin juga Mizan.
Jika iya, mereka tahu harus menghubungi siapa.

173

174

bersama ombak
J

ika Anda suka buku-buku sejarah, niscaya di rak buku Anda akan ada bukubuku terbitan dua penerbit yang punya konsentrasi menerbitkan tema tersebut:
Penerbit Ombak dan Komunitas Bambu. Kemarin, saya berkesempatan menemui
pendiri sekaligus pemilik rumah penerbitan Ombak, Bung Muhammad Nursam.
Menjelang akhir tahun 90an, nama Nursam lebih dikenal sebagai sejarawan
muda yang cukup moncer. Namanya berjajar dengan JJ Rizal, yang sekarang juga
memiliki rumah penerbitan Komunitas Bambu. Saya tanggalkan semua kemewahan
intelektual saya, dan banting stir memasuki dunia penerbitan buku. ungkap laki-laki
kelahiran Jeneponto 41 tahun lalu itu.
Di Yogya, Penerbit Ombak termasuk dalam daftar nama rumah penerbitan
yang muncul secara serempak di awal tahun 2000an. Di daftar itu pula ada nama
penerbit-penerbit buku yang saat itu tengah berkilau seperti Penerbit Jendela dan
Penerbit Buku Baik. Dua nama penerbitan itu sudah almarhum. Tapi Penerbit Ombak
masih bertahan. Bukan hanya itu, malah makin membesar.
Hari ini uang masuk sudah hampir tujuh juta. ujarnya sambil mempersilakan
saya menyantap pisang goreng yang masih mengepul. Kemarin ditutup dengan 12
juta. Tapi ini kan masih jam 12 siang. Hari masih panjang... dia terkekeh.
Jelas bukan jalan mudah buat Nursam untuk terus membesarkan Ombak. Berkalikali dia juga mengalami kegagalan. Dia pernah menggantungkan leher penerbitannya
di beberapa distributor buku. Lalu dia menunjuk sebuah rumah besar, Itu gudang
buku saya. Kalau dihitung sekitar 10 miliar. Semua itu buku returan dari distributor.
Stres saya. Tidak mau lagi saya melakukan hal itu. Hidup saya tak tenang.
Tahu angin sedang tidak baik buat bisnisnya, alumnus jurusan Sejarah UGM ini
mengubah haluan. Dia memutuskan untuk tidak masuk lagi ke jalur distribusi umum.
Awalnya, saya ketar-ketir juga. Bisa gak ya saya bertahan. Bisa gak saya menjual
buku tanpa lewat jalur distribusi umum dan tanpa lewat toko-toko buku?
Alhamdulillah, di tahun kedua setelah saya putar kemudi, terlihat tanda-tanda
langit cerah. Akhirnya beginilah sekarang, semua sesuai dengan keyakinan saya.
Dalam dunia bisnis buku, strategi bisnis Nursam bisa dibilang aneh. Lazimnya
orang menjual buku dengan cara konsinyasi, artinya pihak penjual baru akan
memberikan uang ke penerbit sesuai dengan jumlah buku yang bisa mereka jual.
Tapi Nursam tidak mau. Para penjual buku harus membeli buku ke dia dengan tunai.
Saya menjual buku bagus dan tema buku-buku saya tidak banyak digeluti oleh
penerbit-penerbit lain. Barang bagus pasti punya pasar. Saya percaya itu.
Awalnya tentu saja banyak penjual buku yang keberatan. Tapi lambat-laun,
mereka mau juga membeli produk Penerbit Ombak, karena memang produk-produk
tersebut dicari banyak orang.

175

Kini, sudah ada 30an penjual buku yang selalu mengambil apapun produk
Penerbit Ombak dengan tunai. Mari kita berhitung. Jika setiap penjual mengambil
setiap judul 20 eksemplar, berarti ada 600 eksemplar terjual untuk tiap judul buku.
Belum lagi yang dijual sendiri oleh Penerbit Ombak lewat pasar onlen. Bahkan ketika
saya sedang ngobrol dengan Nursam, ada banyak orang yang datang ke Ombak
untuk membeli langsung.
Dalam hitungan sederhana, Ombak bisa menjual 1.000 eks buku untuk terbitan
pertama. Padahal banyak yang terbit ulang. Nursam menunjukkan ke saya bukubuku Ombak yang diterbitkan ulang, ada yang terbitan ketiga, bahkan ada yang
terbitan kesembilan. Fantastis untuk ukuran penerbit Yogya yang melawan arus
utama distribusi buku. Dengan hitungan sebesar itu, saya tak heran jika penjualan
langsung hariannya bisa tembus Rp12 juta. Itu belum penjualan yang dilakukan lewat
jalur-jalur penjualnya.
Saya selalu menaruh apresiasi kepada para wirausahawan. Bayangkan, ada 20
orang yang bekerja dengan Nursam sekarang. Penerbitannya juga memperlancar
bisnis kertas, tinta, para pedagang buku baik yang oflen maupun onlen, bisnis
ekspedisi, sampai yang printilan kecil seperti lakban, kardus, dan lain-lain. Sudah
terlalu sering kita mendengar bahwa Indonesia kekurangan para wirausahawan. Tapi
memang begitulah adanya.
Kini, Nursam sedang bersemangat untuk mengumpulkan para pebisnis buku di
Yogya. Kita harus terus bekerjasama. Saingan dalam bisnis itu konsep yang kuno.
Konsep sekarang adalah bekerjasama. Kita bisa berbagi potensi. Menjual buku tak
harus lewat toko-toko buku, dan tak harus lewat cara konsinyasi.
Saya kira, Nursam benar. Pengalamannya sudah terlalu cukup untuk menyatakan
kebenarannya.
Ketika saya pamitan, sekantung buku dihadiahkan kepada saya. Hadiah yang
membuat saya riang gembira. Haha...

176

tempat khusus
S

uka atau tidak, dunia penerbitan Yogya, bahkan mungkin Indonesia, memberi
tempat khusus untuk Buldanul Khuri dan Ong Hari Wahyu. Buldan adalah
pendiri penerbit Bentang, yang kelak kemudian dijual ke kelompok Penerbit Mizan.
Sedangkan Ong adalah perombak kaidah umum perwajahan buku saat itu. Tapi
di antara dua legenda hidup itu, lagi-lagi, suka atau tidak, ada rak khusus yang
diberikan oleh insan buku Yogya untuk Dodo Hartoko, pemilik rumah penerbitan
Buku Baik.
Dodo adalah orang nyentrik. Saya yakin, jumlah orang yang tidak menyukainya
dengan orang yang menyukainya hampir seimbang. Lebih banyak yang suka, tapi
tidak akan terpaut jauh. Mungkin sama seperti Buldan. Tapi keduanya memang
punya sejarah bagi dunia penerbitan Yogya.
Dodo dikenal baik oleh berbagai kalangan. Dia hadir di mana-mana. Dengan
gayanya yang agak pecicilan, omongannya yang sedikit ketus, cara bercandanya
yang khas, dia mencatatkan pergaulannya di dunia senirupa, kampus, dikenal baik
oleh para penulis, bahkan para preman.
Dibanding penerbit lain, Buku Baik sebetulnya bukanlah penerbit yang cukup
banyak menerbitkan buku. Mungkin 40an judul. Tapi memang produk Buku Baik
dikenal dengan kualitas visual dan cetaknya. Hal yang kadang dianggap tidak terlalu
penting bagi puluhan penerbit yang muncul hampir serempak di awal tahun 2000an
di Yogya.
Dodo dikenal banyak penerbit lain karena dia rajin bertandang sambil
memamerkan buku-buku terbarunya yang baru saja turun cetak. Sementara publik
pembaca lebih mengenal Buku Baik sebagai penerbit yang berhasil menerbitkan
buku Semiotika Negativa karya St Sunardi. Buku ini sampai sekarang dianggap
sebagai salah satu buku penting yang pernah diterbitkan oleh sebuah rumah
penerbitan dari Yogya. Semiotika Negativa melekat dengan Buku Baik seperti
Pramoedya lekat dengan Hasta Mitra.
Sekalipun Buku Baik telah lama bangkrut, tapi sebetulnya Dodo tak pernah jauhjauh dari dunia buku. Dia masih kerap diminta tolong oleh beberapa galeri lukisan
untuk mengurus katalog pameran atau jika ada perupa yang ingin menerbitkan
karya-karya rupa mereka menjadi sebuah buku. Mungkin karena itu pula, dia
memutuskan menjadi perupa. Mungkin lho ya...
Sebetulnya dunia Dodo tak pernah jauh dari dunia senirupa. Begitu dia
menginjakkan kaki di Yogya pada awal tahun 1990, dia langsung menjadi sales
lukisan wajah di Malioboro. Hingga kariernya kemudian naik sebagai pelukis wajah.

177

Tapi kala itu tidak semua orang puas dengan hasil karyanya, sebab dia suka mabukmabukan. Lha nek mendem pil ki kadang alise lali ra tak gawe, je. Nyok ya brengose
barang lali. begitu pengakuan dia suatu saat kepada saya.
Kata orang, Dodo itu lucu. Tapi menurut saya, Dodo itu lucu tapi lebih banyak
kadar konyolnya. Apalagi kalau mabuk. Suatu saat, kami dan beberapa rekan minum
bir di Ascos. Lalu datanglah penyair gimbal Saut Situmorang yang kemudian cuapcuap tak karuan. Begitu Saut sedang sibuk berbicara di meja yang lain, Dodo segera
bilang, Lha orang kayak gitu kok mau melawan Goenawan Mohamad. Ya jauh... Lalu
semua orang tertawa terkekeh-kekeh.
Terlalu banyak kisah konyol Dodo. Satu lagi saya bagi untuk Anda. Suatu saat,
ketika masih mengelola Buku Baik, di sebuah perempatan dia melihat seorang
pebisnis buku di Yogya sedang mengendarai mobil Mercy keluaran terbaru.
Dodo yang saat itu sedang naik sepeda ontel segera menabrakkan sepeda yang
dikendarainya ke mobil gres tersebut. Kontan pemilik mobil muntab, lalu keluar dari
mobil. Begitu dia tahu yang menabrak adalah Dodo, mukanya menjadi kecut. Pak
Dodo ki ngapa kok mobilku ditabrak?
Dengan muka memerah dan suara keras, Dodo menjawab, Lha kok isa awake
dhewe ki kerjane padha, kok kowe isa luwih sugih mbangane aku? Aku numpak
sepeda je, kowe malah numpak Mercy!
Kontan semua orang di perempatan yang berharap akan ada adu tinju, malah
tertawa ngakak. Si Pemilik Mercy pun tertawa kecut.
Begitulah Dodo. Saya berpesan kepada Anda, jangan dekat-dekat dia kalau
sedang mabuk. Mulutnya tak terlalu nyaman buat telinga yang tak terbiasa.
Tapi ya begitulah. Memang ada rak khusus untuknya di dunia buku Yogya. Rak
yang sama dengan Adhe Maruf, Indra Ismawan, Muhammad Nursam, dan sederet
nama lain. Suka atau tidak suka.

178

indonesia berkabung
S

ejumlah dosen di beberapa universitas dan sejumlah seniman di Yogyakarta


membuat gerakan dengan tajuk Indonesia Berkabung. Mereka dipersatukan oleh
keresahan yang sama, kenapa dalam kondisi seperti ini kampus dan seniman yang
biasanya kritis tak juga bersuara?
Saya tak tahu detil isunya. Sampai sekarang saya belum membaca pernyataan sikap
resmi mereka. Hanya potongan-potongan kabar di media sosial dan poster kegiatan
mereka. Tapi bolehlah saya merasa lega. Masih ada sekelompok orang yang ikut
menjaga rasa awas.
Tiba-tiba saya teringat Pram. Di usia produktifnya, sastrawan besar itu senantiasa
bermasalah dengan kekuasaan. Maka dia melewatkan hampir 2 tahun di bawah
pemerintahan kolonial Belanda, 9 bulan di era rezim Sukarno, dan 14 tahun di bawah
kekuasaan Suharto. Ketika Gus Dur berkuasa dan meminta maaf atas kesalahan NU
yang terlibat terhadap pembantaian orang komunis, Pram menanggapi: permintaan
maaf saja tidak cukup.
Tapi Pram mengakui kebesaran Sukarno. Tanpa Sukarno, kata Pram, Indonesia
tidak ada. Dan Pram juga mengakui kebesaran Gus Dur. Saya kira di titik inilah Pram
menunjukkan marwah sekaligus rasa adilnya.
Orang seperti Pram adalah persoalan bagi setiap kekuasaan. Saya tidak tahu
bagaimana jika dia hidup di era SBY dan Jokowi. Mungkin dia termasuk orang yang
akan kena bully habis-habisan. Kalau Pram punya Facebook mungkin akan di-unfriend
koleganya atau bahkan pengagumnya sendiri. Mungkin SBY atau Jokowi malah
sebetulnya tidak punya masalah dengan Pram. Justru pendukung mereka berdua yang
mungkin punya masalah. Lalat-lalat memang lebih sering menjadi pengganggu daripada
seekor tawon.
Saya yakin mereka yang bergabung dengan gerakan Indonesia Berkabung ketika
musim Pilpres lalu banyak yang bergabung sebagai relawan Jokowi. Tapi ketika
perhelatan politik itu telah rampung, mereka kembali menjaga jarak dengan kekuasaan.
Hanya orang cekak pikir yang percaya begitu saja kepada kekuasaan. Mereka yakin
kekuasaan tidak akan pernah baik-baik saja karena itu perlu diawasi dan dikritik.
Mungkin keresahan Pak St Sunardi dkk ini juga dirasakan banyak orang. Dan
saya kira akan ada banyak orang yang akan bergabung dengan gerakan Indonesia
Berkabung. Sebab kesenian dan laku intelektual yang tidak mempertimbangkan
penderitaan manusia adalah dekaden.
Kalimat terakhir itu bukan dari saya melainkan dari sastrawan besar Seno Gumira
Ajidharma. Tapi saya lupa membaca pernyataan itu di tulisan yang mana.
Saya benar-benar sedang menunggu pernyataan politik gerakan Indonesia
Berkabung.

179

pulang
T

ubuh masih letih ketika menjelang Subuh saya sampai di Yogya. Untuk sementara
tidak berani naik pesawat terbang memang wajar mendapat ganjaran itu.
Sekaligus belajar menikmati semua yang serba lambat: derit kereta, duduk hampir 10
jam, pemandangan malam yang hanya itu saja.
Tapi hidup adalah soal mengubah atau menggeser apa yang ada di pikiran. Di
kereta api, pikiran saya bisa bekerja dengan lebih tenang. Berbagai agenda yang
sangat padat bisa saya susun dengan lebih baik. Sambil menikmati detik-detik
mendekati letupan rindu bertemu anak dan istri.
Begitu tiba, setelah memeluk Istri dan mencium Kali, saya mendapat hadiah
semangkuk Indomie rebus telor, dengan rajangan cabe rawit kesukaan saya. Setelah
mengisap sebatang rokok, sembari merapikan apa yang telah saya kerjakan selama
seminggu, saya persiapkan pula apa yang akan saya kerjakan di minggu ini. Semua
hanya sebagai pemanasan karena saya kurang tidur dan butuh tidur. Tentu sambil
memeluk Kali.
Menjadi penulis dalam arti luas, bagi saya selalu menyenangkan. Seperti pencinta
makanan, ada puluhan menu yang selalu menantang untuk dinikmati. Begitu
bervariasi.
Saya selalu bersyukur bisa menjadi penulis. Kalau nanti misalnya ada reinkarnasi,
saya ingin menjadi penulis lagi.

180

Apakah kau tak malu


Bicara tentang bulir hikmah
Dan keajaiban salat
Sementara itu
Mukena istrimu robek pun
Kau tak tahu
---bukan puisi-(4 Agustus 2015)

BAB 5

menuju langit
181

sesuap
R

itual makan sehari-hari yang saya temui cukup banyak yang unik. Ada yang kalau
mau makan, ritualnya harus makan nasi putih dulu tanpa lauk apapun. Sebagai
sebuah isyarat bahwa hidup ini penuh perjuangan. Kita harus makan yang tidak enak
dulu sebelum menikmati yang enak.
Kemudian ada pula yang tidak boleh menyisakan nasi satu biji pun. Karena kalau
menyisakan nasi satu biji saja dianggap sebagai kufur nikmat dan tuhan akan
menghukum dengan mengurangi rezeki. Namun ada pula yang menyisakan nasi
sesuap. Dengan alasan bahwa harus ada pihak lain yang ikut menikmati makanan
kita. Apakah itu roh halus atau hewan, seperti ayam juga cacing. Dua hal terakhir itu
terkesan kontradiktif pada praktiknya. Tapi menarik sekali.

183

visi
S

aya percaya, sebuah visi tak datang dengan jernih benar. Tak terang sejak awal.
Dia perlu digosok untuk memastikan kilaunya.
Terkadang gosokan itu pun tak melulu dengan ketekunan dan presisi tingkat
tinggi. Kadang ada banyak hal dalam hidup ini yang cenderung kita dramatisir.
Sehingga tak mau mengakui bahwa hidup sehari-hari selalu menyita energi
besar, berkutat dengan solusi-solusi sesaat seperti mencari rezeki, membayar
hutang, momong anak, membetulkan rumah yang rusak, belajar menyetir mobil,
mencari kredit rumah yang murah, datang ke resepsi pernikahan teman, mengurus
perpanjangan KTP, dan lain-lain.
Kadang saya berpikir, sekalipun tak perlu disuarakan dengan keras benar, mungkin
ada yang namanya takdir. Yang bahkan jika kita tersesat dan terpeleset pun, seakan
kita digiring ke arah sana. Kadang kita malu menyebut semua itu sebagai kebetulan,
rezeki nomplok, atau ndilalah kersane Allah.
Orang lain menyebutnya sebagai visi. Saya lebih suka menyebutnya sebagai: agak
kebetulan jika saya sampai di sini, secepat ini.

184

persaudaraan
R

enungan saya pagi ini adalah ungkapan jawa: Tuna


sathak bathi sanak. Artinya kurang lebih: rugi
uang tidak mengapa yang penting memperbanyak dan
mempertebal persaudaraan serta pertemanan.

185

tidak ada hal besar tanpa hal kecil

Dia datang sendiri. Atas kehendaknya sendiri. Bukan saya yang memintanya. Saya
tak pernah memilihnya. Kenapa minta diperlakukan sama? Kasihan sekali yang
namanya keadilan kalau begitu... Sang Guru Aji menggerundel sendiri di dapurnya.
Tapi baguslah kalau dia pergi. Setidaknya baik buat kita. Supaya kita tak lagi
diganggu hal-hal yang tak menyenangkan di saat kita sedang konsentrasi untuk
mengerjakan beberapa hal penting... ujarnya sambil beralih dari menjerang air ke
mencuci gelas di wastafel.
Kalau mau adil, apa urusanku dengan nasibnya?
Aku diam. Tersenyum. Ah, sudahlah, anggap saja sebagai pemanis hidup. Masak
semua yang datang kepadamu harus yang selalu baik. Jadi enak betul nasibmu. Ya
kadang yang pahit juga, lah...
Dia tertawa terbahak. Aku cuma kasihan atas pikirannya yang melanggar batas.
Dia pikir siapa dirinya? Mengatur diri sendiri saja tak bisa. Mengontrol pikiran dan
emosinya saja tak sanggup. Padahal itulah modal hidup.
Dia akan jadi pembimbang sejati. Berjalan lalu berhenti lagi. Balik. Menempuh
jalan lain lagi. Begitu seterusnya, sahutku sambil meraih cangkir kopi yang
diletakkannya persis di depanku.
Tiba-tiba denting suara bakul bakso terdengar. Kita makan bakso dulu, ajaknya.
Kami segera menuju beranda. Memesan dua mangkuk bakso. Kami berdua makan
lahap.
Dia akan menjadi orang besar... begitu usai menyantap bakso, sambil
menyalakan sebatang udud.
Siapa? tanyaku penasaran.
Penjual bakso gerobak itu.
Kenapa kamu bisa mengatakan seperti itu?
Kelihatan dari caranya menyajikan makanan, memberikan kembalian uang,
pamitan, dan caranya mendorong gerobak.
Saya mengangguk. Pura-pura mengerti.
Tidak ada hal besar tanpa hal kecil.
Lagi-lagi saya mengangguk sambil menyalakan udud.

186

di depan cermin
S

eseorang di dalam cermin berkata kepada saya dengan muka hampir tertawa.
Padahal isi omongannya sedih belaka.
Saya nyaris sudah tak kenal lagi apa yang disebut dengan kemewahan
pribadi. Keputusan-keputusan penting hidup saya sudah lama tidak pernah
mempertimbangkan variabel apakah saya nyaman atau tidak, saya suka atau tidak.
Saya banyak merancang liburan orang, sementara liburan diri sendiri malah tertunda
terus. Jangankan begitu, bahkan menonton film di bioskop, sulitnya minta ampun.
Saya pesan buku, dibaca orang dulu. Padahal kemewahan pribadi yang sederhana
hanya membaca buku dan menonton film. Kalau kedua hal itu sudah tidak punya,
berarti semua sudah saya serahkan di luar diri saya.
Oh, ada lagi. Kalaupun toh masih ada yang disebut kemewahan pribadi, salah
satunya adalah pijat. Itu pun malam ini pemijatnya telat. Janji habis Magrib, sampai
sekarang belum datang. Padahal jam 8 saya sudah ada janji. Sungguh sangat
nggatheli, bukan?
Saya jawab dengan agak kesal, Raimu koyok taek, Cuk... Berhentilah memikirkan
orang lain karena itu semua tak berguna. Percayalah kepada saya.

187

pengkritik
K

epada seorang alim, saya pernah bertanya, Gus, bagaimana Anda menghadapi
para pengritik?
Lho pengritik itu penting, Dik. Mereka kan membuat kita mawas diri.
Saya benar-benar mengagumi mentalnya. Tapi sebelum berpisah, sambil
bersalaman, dia berbisik, Gimana saya mau galak kepada pengritik saya, lha kalau
mereka ketemu saya tetap berebutan cium tangan.

188

GIMANA

SAYA

MAU
GALAK

KEPADA PENGKRITIK SAYA,


lha kalau mereka ketemu saya tetap berebutan
cium tangan

kisah tiga pendekar


A

lkisah, tiga pendekar sakti yang telah melanglang buana selama hampir
20 tahun, sowan ke Mahaguru mereka. Dulu, mereka satu angkatan.
Namun mereka pergi ke penjuru yang berbeda.
Mahaguru mereka memang menitahkan supaya mereka turba saat usai
menjalani pendidikan di padepokannya. Kemudian diminta kembali di saat
yang bersamaan. Saat ini.
Ketiga pendekar itu duduk santai di gardu yang berada di luar pertapaan
Sang Mahaguru. Pintu padepokan masih tertutup. Sekalipun mereka saling
kenal, satu guru, tapi terlihat jelas rivalitas di wajah mereka.
Pendekar Merah, apakah kau masih makan anjing? tak sabar atas
kebisuan, seorang pendekar berjubah kuning bertanya ke pendekar berjubah
merah.
Masih. jawab Pendekar Merah datar, dengan muka tanpa menoleh
sedikit pun ke arah Pendekar Kuning.
Tidakkah kamu tahu bahwa anjing itu binatang yang lucu? Tega sekali
engkau memakannya! Anjing itu sahabat manusia. Hina sekali mulut,
kerongkongan dan perutmu! suara Pendekar Kuning.
Sepasang mata Pendekar Merah langsung melirik tajam ke arah Pendekar
Kuning. Suaranya gemetar seperti menahan amarah, Kau masih makan
kambing, bukan? Tega sekali! Kambing bukan hanya lucu tapi juga berguna
buat manusia karena kotorannya menjadi bahan pupuk terbaik buat para
petani!

190

Suasana tegang. Saling lirik terjadi. Angin kering dari utara bertiup. Udara
begitu lengas. Matahari mulai turun, mendekati bayang gunung di arah
Barat.
Tiba-tiba pendekar berjubah hijau tertawa terbahak-bahak. Tawa yang
dibuat-buat. He, he, he, he, he.... dasar dua pendekar bodoh. Hanya nama
kalian saja yang terbang terbawa angin. Tapi otak kalian tetap saja dungu.
Contohlah aku! Sudah 10 tahun aku hanya makan tanaman dan buahbuahan!
Muka kedua pendekar yang lain memerah. Masing-masing mulai
memegang gagang pedang masing-masing dengan erat.
Kau tolol sekali! Bukankah tanaman juga punya nyawa? Potonglah bambu
di saat ia sedang menumbuhkan anakannya, maka kau akan tahu jeritannya
terlontar jauh, tubuhnya akan mudah bubukan! ujar Pendekar merah sambil
menggeser kakinya, memasang kuda-kuda.
Dasar bodoh! Telingamu sungguh tuli! Tidak bisa mendengarkan rintih
tumbuhan yang kamu makan! teriak Pendekar Kuning sambil menyibakkan
jubahnya, bersiap atas segala kemungkinan yang terjadi.
Sepergulingan babi kemudian, saat matahari telah tenggelam, ketika bulan
pucat mulai terlihat, pagar padepokan terbuka. Mahaguru mengernyitkan
mukanya, melihat tiga sosok bersimbah darah di depannya.
Ia hanya menggelengkan kepala. Sambil bergumam, ia menutup kembali
pagar padepokan. Dasar tiga murid bodoh... Kalian saling bunuh bukan
karena soal benar atau salah tapi karena kesombongan! Pengetahuan tanpa
kearifan adalah sumber dari segala kesombongan.

191

petaka
S

emua hal memang perlu dilatih. Diasah. Digeladi. Pisau yang tidak diasah akan
tumpul. Juga keberanian. Juga akal sehat. Juga solidaritas sosial. Termasuk sikap
politik.
Makin kita terbiasa memikirkan diri sendiri dan keluarga, makin kita terasing.
Makin batin kita menjadi egois. Kepala kita membatu. Makin kita terbiasa
memikirkan orang lain, kemanusiaan, masalah sosial, maka batin kita makin kinclong
dan bercahaya. Urat-urat kemanusiaan kita makin kuat dan liat.
Itulah perlunya berorganisasi, berkomunitas, bersahabat dengan orang-orang
baik, supaya bisa saling mengingatkan di dalam kebaikan dan kesabaran. Kita butuh
membangun lingkungan pergaulan yang baik dan kondusif untuk mengembangkan
dan menguatkan kepribadian kita. Belajar bersama. Makin kita terisolir dengan itu
semua, dunia kita hanya sebatas memikirkan nasib perut, jumlah rekening, deposit
pahala dan kapling surga kita sendiri.
Begitu kita hanya sibuk memikirkan diri sendiri, itulah mula dari semua petaka.

192

petani
T

iba-tiba saya teringat Pak Nengah. Saya pernah berguru meditasi dengannya. Dia
petani biasa di daerah Tabanan.
Pertemuan saya dengan Pak Nengah agak kebetulan. Waktu itu, berkali-kali saya
ke Bali hanya untuk mencari sebuah pura bernama Pucaksari. Pura tersebut menurut
kajian pustaka yang waktu itu pernah saya lakukan, adalah tempat bergurunya
Ronggowarsito. Sayang, pencarian saya kandas. Tapi saya bersyukur bisa bertemu
dengan Pak Nengah.
Pak Nengah punya perilaku yang cukup unik. Kalau tidak terpaksa, dia hanya
mau makan dari hasil olah tanganya sendiri. Dari hasil pertaniannya. Tapi kalau
saya bawakan oleh-oleh penganan, dia tetap makan. Setiap hari, dia selalu
mengalokasikan sekian jam untuk membersihkan sungai besar di dekat rumahnya.
Pak Nengah sangat percaya, membersihkan sungai adalah laku terbaik yang bisa dia
lakukan untuk bumi.
Saya juga pernah mendengar dari seorang sahabat saya yang baik hati, di sebuah
pesantren kecil di Pantura, ada orang saleh yang kerjanya bersama para muridnya
hanya berdoa. Mendoakan bumi dan manusia tak putus-putus. Mereka mengatur
supaya selama 24 jam selalu ada yang terjaga. Selalu ada yang berdoa dalam
kelompok-kelompok kecil. Satu kelompok usai, disambung kelompok lain. Hal itu
sudah dilakukan selama puluhan tahun.
Di sekitar saya, ada beberapa anak muda luar biasa. Mereka sangat cerdas. Kalau
mereka mau, mereka bisa bekerja dan hidup mapan. Tapi mereka justru memilih
mendampingi apa yang sering kita sebut sebagai orang-orang tertindas. Hidup tak
menentu. Mempertaruhkan masa depan.
Bagi saya, mereka adalah sederet orang hebat dengan beragam ekspresi. Saya
tidak perlu berpikir terlalu rumit, misalnya tentang apa yang harus dievaluasi dari
kerja-kerja mereka karena saya sadar bahwa apa yang mereka lakukan sangat luar
biasa. Saya tidak sanggup melakukannya.
Saya kira, saya orang yang sangat beruntung. Sebab jika saya mencoba
mengingat, ternyata makin banyak nama yang masuk ke deretan tersebut. Berarti
hidup saya lumayan baik-baik saja.
Setidaknya, saya banyak berkawan dengan orang baik. Sehingga kalau saya
ketularan sedikit saja, sudah lumayan.

193

porsi
S

eorang alim pernah menasehati saya. Sebagian persoalan mental orang ada pada
soal porsi.
Misalnya begini. Ada orang ngamuk-ngamuk di kantor hanya karena sedang
punya masalah di rumah. Terus apa kesalahan rekan kantornya kok kena imbas dari
persoalannya? Dalam hal bisnis juga sering seperti itu. Anda punya bisnis misalnya
jual-beli akik dan jualan buku. Di bisnis akik, Anda sedang rugi, lalu supaya kerugian
itu cepat balik, Anda bebankan ke bisnis buku. Apa salah konsumen buku Anda
sehingga mereka harus ikut menanggung risiko bisnis Anda?
Hal itu, kata orang alim tersebut, bisa menjadi awal persoalan besar. Sebab sering
terjadi jika seseorang kena masalah, bukan menyelesaikan masalah itu, malah
membebankan hal itu justru ke orang-orang terdekatnya. Rugi bisnis, malah yang
ditipu teman-temannya agar tidak jadi rugi. Bisnisnya sedang lesu, malah menekan
teman-temannya dan membebani keluarganya. Sedang tidak bisa berkarya, atau
karyanya sedang jelek, yang kena omelan para tetangganya. Jelas nggak jos itu.
Di dalam dunia bisnis, ada istilah begini: Kalau rugi ngomong ke mana-mana,
kalau untung diam saja. Kalau untung tidak berbagi kalau rugi ingin disebar. Itu jelas
nggak oke.
Porsi itu juga bisa berkaitan dengan hal begini: kalau ada orang melakukan satu
kesalahan, seakan seluruh hidupnya salah semua. Wah, baik kalau begitu.
Tidak tahu porsi juga sering muncul di media sosial. Semua orang dimaki. Dari
presiden sampai tetangganya, dan begitu terus setiap hari. Ya boleh-boleh saja, kan
di dinding Facebook sendiri atau di timeline Twitter sendiri. Suka-suka.
Tapi boleh juga siapapun yang membaca itu lalu menilai kalau hal itu
membosankan. Berlebihan alias lebay. Bahkan memualkan.

194

bersih saja tidak cukup


S

emalam, sambil berkemas hendak ke Pakem, saya menyaksikan acara


ngobrol di salah satu stasiun TV. Salah satu narasumbernya: Dahlan Iskan.
Saya tidak peduli siapa dia, tapi apa yang dinyatakan semalam, saya setuju
sepenuhnya. Namun karena menonton disambi kegiatan yang lain, jelas
konsentrasi saya tidak penuh. Kira-kira kalau disederhanakan menjadi begini:
Orang bersih saja tidak cukup untuk menjadi pemimpin (sepertinya
semalam konteksnya menteri, tapi menurut hemat saya ini berlaku untuk
semua jenis dan level pemimpin). Sebab ada orang bersih yang di otaknya
hanya ingin dirinya yang terlihat kinclong, sembari berharap dan bersyukur
jika ada orang-orang di sekelilingnya yang berlaku kotor dan korup.
Orang bersih saja tidak cukup kalau dia tidak kompeten. Banyak di
sekeliling kita orang bersih tapi tidak punya ketrampilan, tidak pekerja keras,
sehingga dia tidak punya kompetensi apapun. Memilih orang seperti itu
menjadi pemimpin adalah sebuah kekeliruan besar.
Dahlan kemudian menambah, sebaiknya pemimpin punya kemampuan
manajerial yang baik. Saya juga setuju. Namun sebelum acara berakhir,
saya keburu harus pergi karena punya janji. Saya tidak tahu apakah Dahlan
punya catatan tambahan lagi atau hanya berhenti di sana. Menurut saya,
kemampuan manajerial saja juga tidak cukup. Sebab yang paling dibutuhkan
bagi seorang pemimpin adalah jiwa kepemimpinannya.

195

Kita, kata Dahlan, tidak kekurangan orang jujur. Makin ke atas,


masih menurut Dahlan, makin sedikit orang dengan orang yang jujur
dan punya kualifikasi seorang manajer. Tapi dari sedikit itu, untuk
ukuran Indonesia masih berlimpah. Itu kata Dahlan.
Tanpa mempedulikan apa kata Dahlan selanjutnya, saya mau
menambahkan: yang jelas kita kekurangan para pemimpin. Hanya
saya belum punya kesimpulan yang cukup untuk menjawab: apakah
sesungguhnya pemimpin itu bisa dididik dan diciptakan? Tak terhingga
kursus-kursus kepemimpinan yang dihelat oleh negara dan swasta
dari dulu, tapi masih mentok juga. Namun kalau tidak bisa dididik dan
diciptakan kok terkesan bawaan lahir. Terkesan tidak adil.
Susah menjawabnya. Hal yang tidak susah adalah ada kemungkinan
kita semua untuk memberi akar atau fondasi pada seluruh proses
seorang pemimpin yakni menciptakan iklim yang membuat anak muda
kita punya hobi bekerja keras dan berkarya. Dari titik inilah saya
setuju bahwa lapangan kerja itu penting. Saya juga setuju Jokowi
bilang: kerja, kerja, kerja!
Kalau ada anak muda tidak punya pekerjaan, yang pertama
diperhitungkan jangan dari sisi ekonominya. Tapi ada pada kerugian
mental. Ia tidak tumbuh, tidak belajar, tidak berkembang. Di titik ini
pula, Pram benar: bekerjalah yang membuat kamu menjadi manusia.
Tentu yang dimaksud Pram bukan soal uangnya. Pasti lebih dari itu.

196

berdoa
P

ernahkan Anda berdoa untuk negeri ini? Walaupun sebentar saja. Atau sekadar
mengucapkan terimakasih setiap malam menjelang tidur seperti ini atau pagi
begitu membuka mata dari lelap, karena udaranya kita hirup, hasil buminya kita
santap, dan airnya kita minum?
Jangan-jangan Anda tidak pernah. Jangan-jangan politik bagi Anda hanyalah soal
siapa yang pantas berkuasa.
Pernahkan Anda memikirkan soal rakyat? Rakyat yang lebih luas bukan sekadar
teman-teman kongkow Anda. Bukan juga sekadar keluarg Anda. Mereka yang
tidak pernah diperhitungkan oleh para elit selain hanya biting alias suara pemilu
belaka. Mereka yang mengolah tanah negeri sehingga bisa menghasilkan padi, yang
menciptakan odol dan sabun untuk kita pakai setiap hari.
Kalau tidak pernah, jangan-jangan Anda hanya sedang memikirkan politik yang
hanya layak untuk kita kubur sesegera mungkin di dalam tanah negeri ini.
Atau belajarlah berpolitik dari pijakan yang lebih nyata. Sebab pada mulanya,
para elit politik itu dulu kala, berangkat dari titik yang sama dengan Anda.

197

keberuntungan
S

aya merasa sejak dulu, orang yang cukup beruntung. Sering sekali
keberuntungan itu datang di saat yang sangat tepat. Pada saat saya
sangat membutuhkan dan tidak tahu lagi harus melakukan apa. Dan
keberuntungan itu datang dari hal-hal yang tidak saya kira. Seperti
keajaiban.
Saya punya amalan keluarga. Semacam nilai-nilai yang diwariskan oleh
orangtua saya. Salah satunya adalah dilarang keras sambat atawa mengeluh
terutama soal ekonomi kepada orang lain, bahkan kepada teman. Tentu saya
bukannya tidak pernah keprojol melakukannya. Pernah juga.
Saya tidak tahu apakah amalan itu ada hubungannya dengan
keberuntungan atau tidak. Dari sekian banyak keberuntungan itu,
salahsatunya terjadi di tahun 2010. Saat itu saya terdesak, mau tidak mau,
dalam waktu 1 x 24 jam harus punya uang sejumlah kira-kira kalau dibelikan
sepeda motor Mio dapat 10. Dari mana saya dapat uang sebanyak itu dalam
waktu yang secepat itu? Dalam waktu berbulan-bulan saja belum tentu bisa.
Buntu pikiran saya. Tapi percaya nggak percaya, saya juga tidak berdoa.
Saya cuma bisa mumet, njekethut, dari siang sampai malam tidak melakukan
apapun karena tidak tahu lagi mau melakukan apa-apa. Tapi sungguh ajaib.
Esok paginya jam 8 sd jam 10 tiba-tiba beruntun rezeki ajaib mendatangi
saya. Jam 12 siang, semua urusan tuntas.
Pernah juga saya dirawat di rumahsakit tapi dalam kondisi di mana sekian
masalah mendatangi saya sebelumnya sehingga menguras emosi, energi
dan tentu finansial. Saya masuk ke kamar VIP. Ambeien saya dioperasi.
Setiap pagi, ibu saya yang menunggui dapat laporan pengeluaran kami. Dua
hari menjelang keluar rumah sakit, ibu saya dapat laporan keuangan dari
rumahsakit yng harus kami bayar. Total sekitar Rp25 juta. Saya juga cuma
bisa diam. Saya punya uang sebesar itu tapi harusnya saya pakai untuk
urusan lain. Eh, esoknya ada keajaiban lagi, saya dapat uang Rp30 juta.
Susuk. Sampai bisa saya pakai untuk obat jalan pascaoperasi dgn tetap
memakai fasilitas VIP.

198

Banyak kasus seperti itu. Terakhir, baru-baru ini, ketika Vespa saya rusak
dan harus dibawa oleh pihak dealer yang membutuhkan waktu 3 minggu,
saya juga judeg. Lha lalu selama 3 minggu ke mana-mana saya naik apa?
Saya belum bisa nyetir mobil, saya nggak mungkin merepotkan teman
untuk jemput-antar. Memang ada sepeda motor di kantor saya, tapi manajer
kantor terus naik apa? Akhirnya saya bertanya ke beberapa teman untuk
sewa motor. Eh ternyata sewa motor naik sehari jadi Rp50 ribu sampai
dengan Rp60ribu. Saya sempat mikir-mikir dulu, tidak langsung mengambil
keputusan. Di saat saya mikir, salah satu teman yang saya tanya harga sewa
motor menjawab: ngapain sewa, bro, nanti sore diantar motor ke rumahmu,
pakai saja sesukamu. Saya langsung njenggirat. Kini saya bisa kembali
beraktivitas, pulang jam dua dinihari.
Iseng-iseng, habis subuhan tadi, sembari mengucap syukur ke Gusti Allah,
saya mencoba mengingat-ingat, kayaknya ada salah satu teman dekat
saya yang melakukan laku seperti yang saya lakoni. Ketemu. Senior saya.
Sekarang jadi tokoh muda yang disegani di jakarta. Dari dulu saya nggak
pernah dengar ia mengeluh. Dan sepertinya, hidupnya juga penuh keajaiban
di saat-saat tertentu.
Nanti kalau pas saya ke jakarta, akan saya tanyakan ke dia. Kalau saya
nggak lupa.
Tentang keberuntungan-keberuntungan ini, saya tidak mau menganalisis
terlalu ribet. Itu yang saya alami, itu pula yang saya kisahkan. Nanti kalau
saya analisis malah keberuntungan saya nggak datang lagi.

199

kemaki
Biasane... wong kemaki prejengane alus kaya priayi.
Biasane... wong melik nggendong iri lan srei, saben omong
ninggal blai.
Tuture kaya kiai, ati lan kelakuane kaya sengkuni.

200

puasa
B

erbeda dengan kebanyakan orang, kalau mau puasa saya sedih. Harus menahan
lapar dan haus setiap hari. Dan terutama yang menjengkelkan adalah mendengar
pesan-pesan keagamaan di layar televisi yang sebetulnya sedang jualan produk.
Saya setuju dengan Emha Ainun Nadjib, lebih baik jujur tidak suka melakukan
ibadah. Sebab kalau suka melakukannya, maka sisi manusiawi kita terasa ganjil.
Justru karena kita tidak suka melakukannya maka Allah memerintahkannya sebagai
bagian dari rasa taat. Kalau suka, ngapain diminta.

201

dialog bapak dan anak di saat salat id

i hari raya Kurban beberapa waktu lalu, seorang bapak duduk di samping
anak sulungnya untuk mendengarkan khotbah. Si Bapak berumur kirakira 60an dan Si Anak kira-kira berumur 30an tahun.
Awalnya tidak ada yang aneh dari mereka berdua. Bapak-anak itu tampak
khusyuk mendengarkan khotbah tentang kisah Nabi Ibrahim dan Ismail.
Hingga tiba suara pengkhotbah meninggi:
Begitu dapat perintah dari Allah untuk menyembelih Ismail, Nabi Ibrahim
tidak ada keraguan dan langsung melakukannya! Semua karena Allah!
Si Bapak menoleh ke Si Anak. Demikian juga sebaliknya. Lalu Si Anak
berbisik, Kowe nek misale dadi Nabi Ibrahim ya kaya ngono, Pak?
Ya ora, edan po piye?
Mosok Nabi Ibrahim ora ragu, Pak. Mosok langsung gelem ngono wae?
Nek menurutku ora. Nek kaya ngono Nabi Ibrahim gagal sebagai bapak.
Suara Sang Pengkhotbah terdengar lagi: Nabi Ismail begitu mendengar
ayahnya diperintah, ia langsung bilang: sembelih saya, Bapak, saya ikhlas!
Si Anak menoleh ke arah bapaknya. Juga sebaliknya. Si Bapak bertanya,
Kowe nek misale tak omongi ngono njuk kira-kira apa responmu?
Ya aku wegah to, Pak. Aku ragu-ragu. Aku butuh wektu.
Wah iki ceritane ra manusiawi iki. Mosok kabeh ikhlas ora ana proses
keberatan dan mikir?
Mulane, Pak... Aku saiki meh ngaku. Mumpung wektune tepat.
Ngaku apa?
Anu, aku ki wis 3 tahun ra Jumatan.
Lha ngapa?
Lha piye, aku ki Jumatan kan ben entuk ilmu, nambah iman, ngenthengke
pikir. Tapi mulih-mulih malah mangkel, kemrungsung, ora bahagia. Lha
khotbahe ra mutu kabeh. Gek ya ra entuk diinterupsi. Misale diinterupsi
malah aku dikira wong edan to?
Sang Bapak diam. Khotbah masih berlangsung. Lalu Si Bapak menggulung
sajadah. Si Anak langsung bertanya: Arep neng endi je, Pak?
Mulih.
Lha khotbahe rung rampung, je.

202

Iki nek aku krungu khotbahe nganti rampung iso emosi.


Kowe nesu ro aku po, Pak? Merga ora Jumatan 3 tahun?
Ora! Wis ayo mulih...
Si Anak ikut menggulung sajadahnya. Lalu mereka berdua pulang, tentu
saja sambil dilihat banyak orang.
Mereka berjalan kaki menuju rumah. Si Anak masih penasaran, Kowe nesu
to asline? Merga aku ora Jumatan 3 tahun?
Kowe ki wis tak kandhani ora ya ora.
Tenane?
Ya piye aku meh nesu ro kowe. Pertama, kowe wis gerang, wis nduwe
anak. Kedua, lha aku dhewe ki wis meh 5 tahun ya ra Jumatan.
Si Anak langsung menghentikan langkahnya. Wah, bajigur. Nek iki jan
bapak ra urus tenan iki.
Ora usah crewet. Padha ra Jumatane wae kok padu.
Kedua bapak-anak itu tiba di pagar rumah mereka. Lalu mereka
bekerjasama membuka pagar rumah sambil saling menatap. Tidak lama
kemudian tertawa terbahak-bahak.

203

seorang anak kepada orangtuanya


Ini kisah biasa. Diceritakan dengan cara biasa.

ak Munajat dan Bu Warni adalah sepasang petani kecil. Mereka hanya punya
lahan seperempat hektar. Anaknya tiga, Imam, Subhan dan Lastri. Di antara ketiga
anaknya, hanya Imam yang kuliah. Subhan lulusan STM, lalu bekerja menjadi satpam
di sebuah bank. Lastri begitu lulus SMA bekerja di pabrik sepatu.
Pasangan itu banting tulang agar Imam bisa lulus sarjana. Pak Munajat kadang
menjadi kuli bangunan. Bu Warni menjadi tukang masak di sebuah warung milik
tetangganya.
Imam anak yang cerdas. Ia lulus tepat waktu dan kemudian bekerja di sebuah
perusahaan mobil ternama. Ia menikah, istrinya bekerja di sebuah perusahaan
elektronika. Pasangan ini dikaruniai dua anak, laki-laki (5 tahun) dan perempuan (2
tahun). Keluarga yang sempurna. Pak Munajat dan Bu Warni sangat bangga dengan
anak pertama mereka.
Hingga tiba suatu saat, Imam melarang bapaknya pergi ke langgar sebelum
salat Magrib dimulai. Karena Pak Munajat sering ikut pujian, ritual nyanyian yang
dilakukan di antara waktu usai azan sampai sebelum iqomah. Ketika Pak Munajat
bertanya kenapa, Imam menjawab: Itu bidah. Pak Munajat tidak berani membantah
anaknya. Dia kalah pintar. Dia tidak tahu banyak soal Al Quran dan Hadist. Akhirnya
Pak Munajat mengalah. Ia hanya bergegas ke langgar ketika iqomah sudah
diserukan.
Tidak lama kemudian, Imam melarang Pak Munajat melakukan Yasinan bersama
orang-orang kampungnya di malam Jumat. Padahal acara itu sangat ditunggu oleh
Pak Munajat karena di forum Yasinan itulah, dia bisa berkumpul dan bercengkerama
dengan tetangga-tetangganya, berbagi kabar, dan sering mendapatkan ilmu baru.
Ketika Pak Munajat bertanya kenapa, Imam menjawab: itu bidah.
Imam juga melarang Pak Munajat merokok. Haram, kata Imam. Padahal merokok
bagi Pak Munajat mungkin satu dari sedikit kesenangan yang dimilikinya. Selain itu,
merokok juga penting kalau sedang ngobrol dengan tetangga atau ketika datang ke
sebuah hajatan. Sebetulnya Pak Munajat hendak membantah. Tapi karena diancam
jika masih merokok tidak boleh mendekati kedua cucunya, terpaksa Pak Munajat
menghentikan hal yang disukainya itu.
Imam juga melarang Pak Munajat datang ke berbagai kendurian yang biasa
dihelat di kampungnya. Mulai dari tasyakuran, manakiban, khataman dan lain-lain.
Lagi-lagi Pak Munajat tidak bisa membantah. Dia kalah pintar.

205

Suatu saat, emak Pak Munajat meninggal dunia. Sebagaimana biasa, digelar
ritual doa bersama tetangga selama 7 hari di rumahnya, kelak dilanjut 40 hari, 100
hari, 1.000 hari dan seterusnya. Baru berjalan semalam, Imam kemudian melarang
acara itu diteruskan. Bidah, katanya. Kali ini, Pak Munajat membantah. Dia bilang,
sosok yang barusan meninggal adalah emak yang sangat disayangi dan dicintainya.
Orang yang mengandung dirinya, melahirkannya, merawatnya dan membesarkannya
seorang diri karena bapaknya meninggal saat dia berumur 10 tahun. Pak Munajat
hanya ingin berdoa, ingin tetangga-tetangganya ikut berdoa. Dia hanya ingin
menjadi anak yang berbakti. Pak Munajat memohon betul agar kali ini Imam
memperbolehkannya melakukan ritual yang sangat penting itu.
Imam tetap tidak memperbolehkan. Kali ini, Pak Munajat tetap bersikukuh dengan
sikapnya, dia tetap ingin melanjutkan acara doa bersama sampai 7 hari. Bu Warni
dengan bersimbah airmata pun memohon agar Imam memperbolehkan ritual itu. Toh
mereka memakai uang mereka sendiri, bukan uang dari Imam atau dari siapapun.
Imam marah luarbiasa. Dia tunjuk muka kedua orangtuanya yang masih berduka itu
dan bilang: kalian kafir!
Malam itu, sampai menjelang subuh, Pak Munajat dan Bu Warni masih menangis
di dalam kamar. Di atas sajadah mereka menangis. Mereka tidak menyesal telah
menyekolahkan Imam hingga menjadi sarjana. Mereka bersyukur karir Imam
cemerlang dan dianugerahi keluarga yang sejahtera. Tapi mereka berdua tidak
bisa mengerti, setiap hal yang mendamaikan mereka, yang menenangkan mereka,
yang menyenangkan mereka, harus diakhiri dengan tiga kata: bidah, haram, dan
bahkan kafir. Mereka tidak bisa mengerti kenapa anak yang begitu disayangi
tega mengatakan kafir kepada orangtuanya padahal mereka merasa tidak pernah
menyembah apapun selain Allah.
Malam itu, mereka berdua terisak. Tak tahu apa yang akan dilakukan. Tak bisa
menerima apa yang telah terjadi. Mereka hanya bisa menangis di depan Allah.
Sekarang ini ada banyak sekali orang yang mengalami seperti apa yang dialami
oleh Pak Munajat. Ada banyak sekali orang yang berperilaku seperti Imam.
Subuh ini, saya menangis untuk mereka.

206

pikiran
D

ulu sekali, saya pernah menulis kultwit di Twitter. Setiap kali saya mau naik
pesawat terbang dan saya tahu kalau di deretan calon penumpang itu ada
laki-laki berjenggot, dahi menghitam, celana cingkrang dan atau perempuan yang
memakai tutup muka hingga hanya kelihatan sepasang matanya saja, saya merasa
waswas. Saya merasa bahwa pesawat terbang yang saya tumpangi setiap saat bisa
dibajak dan atau tiba-tiba meledak.
Pikiran itu berlanjut dengan penyesalan dan kadang-kadang sampai saya tidak
bisa menahan tangis saat pesawat sudah mendarat. Mereka yang saya pikir keji
hanya karena apa yang tampak, yang kadang dibangun oleh apapun itu sehingga
saya berpikiran buruk, mungkin juga sama atau jauh lebih baik daripada saya: orang
yang sedang mencari nafkah untuk menghidupi diri dan keluarga mereka. Mungkin
mereka bahkan punya kehidupan sosial yang lebih baik daripada saya: dermawan,
suka menolong, baik kepada kerabat dan saudara, dan lain-lain, dan lain-lain.
Cara mereka berpakaian tak lebih hanya ekspresi atas keyakinannya atau
ekspresi lain sebagaimana saya. Sama dengan saudara kita yang bertato, atau yang
suka pakai surjan, atau yang suka ditindik. Dulu teman-teman saya yang bertato
sering melakukan kampanye yang juga saya dukung: tato bukan kriminal. Kira-kira
mudahnya seperti itu.
Saya menyadari betapa jahatnya stereotip yang mengendap di kepala saya. Saya
memang tidak punya purbasangka buruk kepada orang bertato tapi saya punya
purbasangka pada yang lain yakni orang-orang yang tidak saya kenal, hanya karena
dahi mereka menghitam, berjenggot dan celana mereka cingkrang.
Betapa kotornya pikiran saya. Semoga segera saya dijauhkan dari pikiran keji
seperti itu. Maafkanlah saya...

207

kiamat
S

ebagaimana kematian yang merupakan kepastian alamiah manusia, kiamat bagi


saya adalah kepastian alamiah matinya bumi. Tapi keduanya lebih sering saya
lupakan. Mungkin juga Anda.
Hingga suatu saat, saya bertemu dengan seorang ahli pemetaan. Saat itu saya
melempar guyonan, kalau semua hal kita tafsiri harfiah, kiamat tidak akan terjadi
karena tidak mungkin matahari terbit dari barat dan tenggelam di timur. Di luar
dugaan saya, teman saya itu membuka laptopnya, lalu membuka sekian program
pemetaan di sana. Dia menunjukkan bahwa semua arah berubah sekian derajat
setiap tahun. Jadi, menurut dia, bagi para ahli pemetaaan, matahari terbit dari barat
itu sangat mungkin. Bahkan pasti.
Keringat saya langsung gemrobyos. Kiamat, bagi saya sangat mengerikan.
Tapi tema kiamat itu pula yang sangat menarik saya. Sudah lama sekali saya
punya ide membuat naskah drama dengan tema: apa yang dilakukan oleh orangorang di sebuah malam ketika mereka semua tahu, keesokan harinya kiamat pasti
terjadi. Bumi ambrol. Meteor-meteor menghujani bumi.
Gagasan naskah ini sampai sekarang tidak saya kerjakan. Tidak tahu kenapa.
Tapi begitu membaca berita ini, tentang suara yang mirip suara sangkakala dari
langit, saya teringat kembali gagasan tersebut. Di agama saya, ciri kiamat bukan
hanya matahari terbit dari barat melainkan juga terdengarnya suara sangkakala dari
langit. Tapi saya hanya teringat gagasan naskah itu. Belum tentu juga saya kerjakan.
Omong-omong, apa yang akan Anda kerjakan malam nanti jika esok hari kiamat
sudah pasti terjadi?

208

muhammadiyah?
B

apak saya salah satu pendiri Muhammadiyah di kampung saya. Organisasi itu kini
kian membesar. Tapi saya tidak begitu mengerti apakah bapak saya benar-benar
Muhammadiyah?
Bapak saya kalau salat Subuh pakai doa Qunut. Bapak saya kalau Ramadhan,
kadang mengimami di masjid NU dan melakukan salat tarawih 20 rakaat. Bapak saya
ikut Yasinan dan Sholawatan. Bapak saya memperingati meninggalnya nenek saya
mulai dari 3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari, dan sebentar lagi memperingati 1000 hari
meninggalnya nenek saya. Bapak saya juga melakukan ziarah kubur.
Kalau yang dimaksud Muhammadiyah adalah anti-sholawat, tidak melakukan
ziarah kubur, tidak memakai doa Qunut, salat tarawih 8 rakaat, dan lain-lain. Maka
di mana letak ke-Muhammadiyah-an bapak saya? Kalau bapak saya dianggap bukan
Muhammadiyah, lha dia termasuk pendiri Muhammadiyah di kampung saya dan kini
lembaga tersebut tumbuh besar dengan punya BMT, masjid, membantu mendirikan
sekolah-sekolah Muhammadiyah di kampung-kampung lain dan seterusnya.
Saya mengaku NU. Saya kalau salat Subuh tidak memakai doa Qunut. Bukan
karena ideologis tapi karena lupa doanya. Saya kalau dulu salat Tarawih, cukup
8 rakaat. Alasan saya supaya efisien. Tapi sudah bertahun-tahun saya tidak salat
Tarawih. Insyaallah tahun ini saya mau salat Tarawih lagi ah... Lalu di manakah letak
ke-NU-an saya?
Akhir-akhir ini, saya tidak tega melihat orang-orang Syiah dipojokkan. Tiba-tiba
saya ingin pindah Syiah saja. Boleh kan?

209

sungkem musyrik
S

eketika mata saya yang mengantuk langsung membelalak. Sepele soalnya. Di


twiter ramai sekali orang berkomentar tentang peristiwa sungkem para siswa dan
guru di depan gambar Kartini. Beberapa komentar memvonis apa yang dilakukan oleh
mereka adalah perbuatan syirik. Orang yang melakukan syirik disebut musyrik.
Sungkem itu pertanda penghormatan. Ini lepas dari soal Anda suka atau
tidak suka kepada Kartini, setuju atau tidak soal hari Kartini. Ada bagian dari
masyarakat kita yang mengekspresikan rasa hormat dengan sungkem. Saya hormat
kepada kedua orangtua saya, maka saya sungkem kepada mereka. Bagi kelompok
masyarakat lain mungkin diekspresikan dengan menghormat secara militer, atau
membungkukkan badan, atau menundukkan kepala, atau menelangkupkan kedua
tangan di dada. Lalu mana yang benar? Pertanyaannya yang salah. Hal seperti itu
bukan soal benar atau salah.
Bapak saya mengajari, kalau makan harus habis. Sebab itu cara mensyukuri
nikmat dan menghormati petani. Mertua laki-laki saya sebelum makan, menyisihkan
sesendok nasi sebagai penghormatan untuk leluhurnya. Salah satu guru ngaji
saya waktu kecil mengajari kalau makan jangan dihabiskan semua, sisakan jatah
untuk makhluk lain seperti misalnya ayam dan kucing di piring nasi saya. Saya
menghormati semua pendapat itu.
Tapi baiklah jika Anda suka memvonis orang lain dengan cap musyrik. Apakah
orang yang berdoa di depan salib terus bisa dianggap menyembah salib? Apakah
orang yang salat menghadap kiblat, yang di situ dianggap terletak kabah, bisa
dianggap menyembah batu?
Macam baik saja kelakuanmu. Macam khatam saja ilmumu. Babi!

210

ki joyo bintoro (1)


K

i Joyo Bintoro dan Ki Ageng Bejo selain memiliki kisah-kisah bersama yang mistis
juga sama-sama punya kisah konyol.
Ketika kedua orang tersebut cuti sementara dari padepokan yang dikelola
seorang resi, mereka berdua bukannya pulang kampung tapi malah pergi ke gunung
Penanggungan. Mereka mendengar desas-desus bahwa di gunung Penanggungan
ada banyak pusaka Raja Airlangga. Berangkatlah mereka ke sana.
Sesampai di sana, mereka mulai mengheningkan cipta. Sehari, dua hari, tidak ada
sinyal apa-apa. Lalu mereka sepakat di hari ketiga jika tidak ada tanda apapun akan
meninggalkan tempat tersebut.
Tepat di malam ketiga, sebuah energi dahsyat mengepung mereka. Angin
berpusar mengitari dua laki-laki yang berjejer semadi itu. Lalu lhhhaaap! Tangan
kanan Ki Ageng dan tangan kiri Ki Joyo teracung menangkap sebuah benda. Satu
benda ditangkap dua tangan.
Dapat! Kemudian mereka menenangkan nafas, lalu membuka mata. Kaget.
Ki Ageng: ini apa?
Ki Joyo: ini cawet!
Ki Ageng: mosok Prabu Airlangga cawetan, jeh?
Ki Joyo: ya sapa ngerti, buktine kene tapa terus entuk cawet iki. Mesthi nggak
baek-baek!
Ki Ageng: bener kandhamu. Wis ayo mulih.
Lalu mereka bangkit dan siap pulang. Tiba-tiba Ki Ageng teriak: jeh, delengen tah
iki!
Ki Joyo: ana apa?
Ki Ageng: iki cawet-e ana tulisane, cuuuk!
Mereka berdua lalu membaca pelan-pelan tulisan di cawet tersebut.
Terbaca: s-o-n-y.
Ki Joyo dan Ki Ageng langsung misuh: juancuk, iki dikerjai iki, mosok zaman Raja
Airlangga wis ana cawet merek-e Sony...
Kluntrung-kluntrung mereka meninggalkan gunung Penanggungan dengan muka
ketekuk sambil mengomel.
Tidak lama kemudian terdengar suara resi mereka: mulane tah, ojok mbelingmbeling, pamite arep sowan wongtuwa malah dolin wae...
Segera mereka lari menuju gunung Arjuna.

211

ki joyo bintoro (2)


Memahami kepribadian orang dari caranya berdoa
Ki Joyo Bintoro tiba-tiba ada di samping saya: dik, menurutmu foto ini bicara apa?
Saya yang masih mengantuk, menjawab dengan polos dan tulus: PDIP mau koalisi
sama PKB, ki..
Ki Joyo: wah, kalau jawaban seperti itu bukan jawaban orang yang sedang belajar
ilmu kawaskitan dan ilmu tua. Itu jawaban cah sekolahan yang cari ijazah.
Jenggirat. Saya merasa ditempiling. Terus saya perhatikan betul, otak saya tetap
nggak sampai tentang apa yang diomongkan Ki Joyo.
Ki Joyo: bingung kan... coba perhatikan cara jokowi mengangkat tangan dalam
berdoa...
Saya mencermati lagi. Apanya yang aneh... Juancuk Ki Joyo ini... bikin saya nggak
percaya diri sedang lelaku ilmu kawaskitan.
Ki Joyo: cara berdoa Jokowi ini menunjukkan kalau dia dapat sesuatu cepat
dilempar ke belakang. Ini menunjukkan orangnya lang-lung, nyah-nyoh, brutal
sedekah. Beda sama yang lain...
Saya diam. Memperhatikan. Lalu hendak berkomentar. Tapi Ki Joyo sudah tidak
ada di samping saya...
Juancuk!

212

CARA BERDOA

JOKOWI

ini menunjukkan

kalo dia dapat sesuatu

cepat dilempar ke belakang


#KIJOYOBintoro

tanpa
N

U itu hebat. Muhammadiyah juga luarbiasa. Kita tidak


bisa membayangkan Indonesia tanpa NU atau tanpa
Muhammadiyah. Apalagi tanpa keduanya. Dan sejujurnya,
kita tidak bisa membayangkan Indonesia tanpa PKI.

214

orang jawa dan islam


S

aya ada pertanyaan besar tentang Orang Jawa dan Islam. Pertanyaan itu bermula
dari rasa penasaran saya tentang kenapa orientasi spiritual Suharto bergeser
dari Kejawen ke Islam. Selama ini cukup dibaca bahwa hal tersebut semata bagian
dari taktik Suharto untuk merespons membesarnya kelas menengah beragama Islam,
yang salah satunya kerap diidentikkan dengan ICMI. Tapi saya menemukan hal lain.
Karena ternyata Suharto benar-benar ngrasuk Islam dan pelan-pelan mencoba
menanggalkan Kejawen. Mirip dengan Brawijaya di akhir kekuasaannya, menjelang
munculnya kiblat baru yang dipimpin Raden Patah.
Hal lain, walaupun tidak sama persis, adalah orang-orang seperti Ki Manteb yang
juga ngrasuk Islam dan bahkan orang seperti Ki Joko Bodo.
Sekali lagi, bagi saya hal ini bukan semata persoalan benar tidaknya ajaran
agama. Lebih dari sekadar itu.
Semalam, saya diberi buku oleh Mas Waskito Giri Sasongko anggitan Ricklefs.
Saya berharap ada penjelasan memadai di buku Mengislamkan Jawa soal pertanyaan
saya di atas.

215

nulung menthung
D

i bahasa Jawa ada istilah nulung menthung atau terjemahan bebasnya kirakira: pura-pura menolong tapi sebetulnya justru mencelakakan. Menjerumuskan.
Membuat Anda makin tenggelam dalam persoalan yang rumit dan gelap.
Biasanya memang orang yang ditolong dalam keadaan kepepet, gelap mata,
tidak sempat berpikir panjang. Semoga Anda semua tidak sedang mengalami
hal seperti itu, dan semoga jika Anda sedang mengalami hal itu, segala petaka
yang sedang Anda alami akan berbalik ke orang yang melakukan kekejian nulung
menthung itu. Alfatihah...

216

islam mega asri


Mas, sampeyan setuju Islam Nusantara nggak?
Lho ya setuju. Sunni, Syiah, NU, Muhammadiyah, Islam Nusantara, dan lain-lain,
pokoknya saya setuju semua. Tapi Islam saya sih Islam Mega Asri.
Lho, apa itu Islam Mega Asri?
Berceritalah saya kemudian soal apa itu Islam Mega Asri. Suatu saat di sebuah
kompleks perumahan, para warga bersepakat untuk menghidupkan masjid
perumahan. Fasilitas masjid ada tapi selama ini tak ada kegiatan. Akhirnya kepala
RT perumahan tersebut diberi mandat untuk membangun kamar buat takmir masjid,
dan menambah fasilitas masjid. Dana disokong rame-rame oleh warga perumahan.
Ketika semua sudah terbangun, keributan kecil terjadi. Beberapa warga
berunding. Mereka takut kalau pengurus takmir masjid berasal dari orang Islam yang
berpakaian cingkrang. Mereka tidak mau hal seperti itu terjadi. Kekhawatiran itu
bukannya tanpa alasan, sebab Pak RT juga berasal dari aliran serupa. Tukang-tukang
yang bekerja juga serupa.
Maka beberapa perwakilan mereka menghadap Pak RT. Setelah mendengar apa
yang disampaikan oleh rombongan itu, Pak RT meminta maaf atas kekeliruannya
kalau memang dianggap tidak patut mendatangkan tukang-tukang yang satu aliran
dengannya. Sebab hanya mereka yang dikenal oleh Pak RT. Dia juga setuju kalau
takmir masjid bukan berasal dari kelompoknya. Kemudian mempersilakan para warga
untuk mencari takmir yang pas.
Sampai sekarang, masjid perumahan itu tetap kosong. Para warga tidak berhasil
mendapatkan takmir masjid sesuai keinginan mereka. Tetap tidak ada kegiatan di
masjid. Perumahan itu bernama Mega Asri.
Lha kok sampeyan malah pakai istilah itu, Mas? Itu kan proses yang gagal?
Pertama, soalnya saya ada alasan nggak Jumatan. Kedua, kejadian seperti ini
khas Indonesia, je. Masjid mereka sering kosong, lalu ketika tiba-tiba sudah dikuasai
kelompok lain, njuk nesu. Lha salah sendiri ditinggal kosong...
Jinguk sampeyan itu, Mas! kata teman saya sambil ngakak.

217

lebaran dan ingatan


S

udah 20 tahun saya tinggal di Yogya tapi belum pernah sekalipun merasakan
Lebaran di kota ini. Kali ini, kalau tidak ada perubahan jadwal mendadak, saya
akan mengalaminya.
Sebetulnya tahun 2012, ketika Lebaran tiba, saya berada di Yogya. Tapi saat itu
saya sedang dalam kondisi sakit. Seminggu sebelum Lebaran, saya masuk rumah
sakit untuk operasi wasir. Selama hampir sebulan saya terkapar di rumah. Saat itu di
Yogya, tapi tidak mengalami Lebaran.
Karena sedikit penasaran dengan suasana Lebaran di Yogya, mulai dari kemarin,
setiap habis Magrib saya luangkan sedikit waktu untuk sejenak berkeliling Yogya.
Melihat apa kira-kira yang membedakan Yogya ketika menjelang Lebaran dengan
hari-hari biasa, selain mobil-mobil plat B yang berjejalan di jalan.
Kalau Lebaran di kampung, saya hanya njegonggok di dalam kamar. Capek
rasanya harus tersenyum, berjabat tangan, berbasa-basi. Saya tidak begitu bisa
menikmati basa-basi.
Sejak kecil, saya tidak begitu suka Lebaran. Terakhir yang saya ingat, saya
menikmati Lebaran ketika kelas 4 atau 5 SD. Setelah itu hambar. Ingin cepat melalui
Lebaran, lalu situasi berubah menjadi hari-hari biasa. Tanpa pura-pura tersenyum,
dan berbasa-basi mengucapkan Minal aidzin wal faidzin.
Ada beberapa momentum Lebaran yang begitu saya ingat kejadiannya, sekalipun
tidak dalam arti menyenangkan. Pertama, ketika malam Lebaran. Seperti biasa, saya
bergabung dengan teman-teman di kampung untuk minum arak. Saya sudah mabuk
berat dan tertidur di pangkalan ojek ketika tiba-tiba saya mendengar orang-orang
menjerit di sekeliling saya. Mabuk saya langsung hilang ketika mendapati orang di
samping saya berdarah perutnya. Ternyata ketika saya tertidur, ada perkelahian di
dekat saya. Dia tertusuk perutnya. Segera saya menggedor beberapa rumah terdekat
untuk meminjam mobil dan memaksa yang punya mobil untuk mengantarkan
korban ke rumah sakit di Rembang sejauh 40an kilometer. Tentu, saya ikut
menemaninya.
Saya baru balik persis ketika salat Id akan dimulai. Rasanya aneh sekali. Kepala
saya berat. Badan saya melayang. Tangan saya masih penuh darah. Dan saya
berpapasan dengan orang-orang yang hendak menunaikan salat Id.
Di kampung saya, mungkin saya orang yang diingat, datang salat Id lalu tertidur
di ruang tamu orang. Kejadiannya selalu hampir mirip. Malam Lebaran, seperti biasa
saya bergabung dengan teman-teman kampung untuk minum arak. Tapi kayaknya
terlalu banyak dan sampai Subuh. Karena tidak enak dengan orang tua saya, cepat

218

saya mandi lalu berangkat ke masjid. Di depan masjid ada dua rumah yang biasa
dipakai nongkrong jika menjelang salat Id. Saking tidak kuat menahan kantuk dan
mabuk, saya masuk di salah satu rumah itu, lalu tidur di lantai ruang tamu.
Saya baru dibangunkan teman-teman saya ketika salat Id sudah rampung.
Saya mungkin orang yang pertama kali juga membawa minuman ke masjid
ketika salat Id. Pasalnya juga sederhana. Saat itu saya juga mabuk berat. Ibu saya
membangunkan untuk salat Id. Sudah saya guyur kepala saya berkali-kali tapi
rasa kantuk tidak hilang juga. Akhirnya saya membuat kopi, terus saya cangking
ke masjid. Sementara orang-orang takbiran, saya duduk-duduk di emperan orang
bersama beberapa kawan lain, sambil nguyup kopi, berusaha menghilangkan rasa
pening dan mual karena efek alkohol. Semenjak itu, tidak afdol rasanya jika saya ke
masjid tidak membawa minuman. Takbiran kan juga butuh minum...
Tapi salah satu momentum Lebaran yang paling saya ingat adalah ketika saya
menangis keras saat sungkem ke kedua orang tua saya. Waktu itu, saya merasa
menjadi anak yang tidak berguna. Sakit jantung ibu saya kumat, dan bapak saya
terancam lumpuh. Saya menangis keras sekali setelah beberapa tahun bertarung
dengan emosi yang meluap, berusaha mencari cara agar keduanya bisa sembuh. Tapi
saya gagal.
Saya sangat bersyukur sekali, sekian tahun kemudian, ibu saya melewati operasi
jantung yang menguras air mata, dan bapak saya lolos dari ancaman lumpuh.
Keduanya sekarang segar bugar. Alhamdulillah... Tuhan menyembuhkan mereka
berdua.
Selamat mudik, Teman-teman... Jangan nakal-nakal. Jauhi alkohol, tapi jangan
jauh-jauh.

219

tolikara
P

ersis dua puluh tahun sebelum pecah kerusuhan berbau sentimen agama di
jazirah Maluku, sebuah penelitian lapangan usai dilakukan dan disimpulkan.
Karena sifatnya yang genting, temuan lapangan itu sempat dipresentasikan ke
beberapa lembaga negara. Tapi hasilnya nihil. Tak ada tindak lanjut. Baru ketika dua
puluh tahun kemudian kerusuhan meletus di wilayah yang terdiri dari 1.000 lebih
pulau itu, dokumen penelitian ini dikaji kembali. Semua telah telat. Korban telah
jatuh.
Penelitian lapangan itu kelak terbit dengan judul Orang-orang Kalah
(INSISTPress, 2004), disunting oleh pemimpin peneliti: Roem Topatimasang. Para
peneliti adalah orang-orang di bawah jaringan Baileo, sebuah lembaga jejaring
pendidikan kritis yang ada di hampir semua titik penting di Maluku (Ambon, Haruku,
Kei, Tanimbar, dan lain-lain).
Dari sekian kesimpulan di penelitian itu, tidak ada yang mengarah ke persoalan
agama. Di Maluku, persoalan agama diterima dengan sangat lentur bahkan melebihi
kelenturan yang terjadi di Jawa dan Sumatra. Anda bisa ikuti contoh-contoh
kelenturan itu tiap hari selama bulan Ramadan kemarin di Jawa Pos.
Sebagian besar orang selalu menyederhanakan setiap konflik dengan istilah
provokasi atau desain. Kedua istilah itu terlalu diberi beban sehingga membuat
kita malas mencari pokok soal. Mudahnya begini. Provokasi dan desain tidak akan
bisa bekerja kalau tidak ada kondisi yang pas. Api tidak menyala di kayu basah. Api
mudah membara di dalam sekam. Sementara itu, kita sibuk mencari bagaimana cara
api dinyalakan tapi tidak pernah peduli dengan situasi sosial di wilayah tersebut.
Kenapa ada sekam? Kenapa kayu basah bisa kering? Apa yang menyebabkan itu
semua?
Hal yang sama juga tidak pernah ditanyakan ketika konflik Poso meletus. Bahkan
pertanyaan sederhana misalnya: Kenapa Poso? Kenapa tidak di kota lain?
Saya berharap kejadian di Tolikara, tidak lagi membahas bagaimana api bisa
bekerja dan menyala.

220

es campur dan religiusitas


S

aat kuliah, saya punya adik angkatan yang berasal dari Gunung Kidul. Orangnya
kemeriyek. Lucunya minta ampun. Sekalipun dari Gunung Kidul tapi logatnya
Suroboyoan. Maklum sahabat dekatnya berasal dari Surabaya.
Kami memanggilnya Katolik. Tentu saja karena agamanya Katolik. Tidak ada
alasan yang lain. Tidak ada usaha untuk menjelekkan sebuah agama. Sama seperti
kalau di antara kami ada yang memanggil China, Batak, Dayak, semua panggilan
dilakukan dengan tingkat kelenturan yang tinggi. Humor yang menggembirakan.
Katolik bersahabat akrab dengan Kardono. Kalimat barusan itu lebay, karena
kalau bersahabat ya pasti akrab. Kardono inilah yang berasal dari Surabaya.
Mereka punya geng dengan selera humor yang bisa bikin perut kejang.
Suatu saat di kamar kos Kardono, Katolik sedang nyek-nyekan dengan Todi.
Seperti biasa, Kardono ada di pihak Todi. Dengan cekakakan mereka ngece Katolik.
Sambil sesekali melempar kalimat, Dasar Katolik!
Sebaliknya Katolik membalas ecean mereka dengan sesekali mengeluarkan
kalimat, Dasar muslim! Atau kadang, Dasar Islam!
Hingga kemudian mereka capek, lalu bersepakat membeli es campur. Todi
disepakati yang pergi membeli es. Tidak lama kemudian, pintu kamar diketuk dari
luar. Katolik merasa yang mengetuk pintu adalah Todi. Mungkin ada barangnya
yang tertinggal. Entah uang atau dompet. Segera dia teriak kelas, Muslim dilarang
masuk!
Ketukan masih terjadi. Kali ini dengan kalimat salam, Assalamualaikum...
Nggak dengar apa, Muslim dilarang masuk! teriak Katolik.
Lagi-lagi ketukan pintu terjadi. Katolik teriak lagi. Kardono akhirnya punya
inisiatif untuk membukakan pintu. Tepat di depan pintu persis, ada dua orang
berpakaian rapi, berwajah bersih, memakai baju muslim. Ternyata mereka adalah
mahasiswa-mahasiswa sebuah jamaah yang sering berkeliling dari satu tempat kos
ke tempat kos yang lain untuk mengajak umat Islam melakukan aktivitas beribadah.
Terutama salat lima waktu di masjid terdekat.
Kardono cepat menguasai keadaan. Dia segera mempersilakan kedua tamunya
untuk masuk. Sementara Katolik yang masih dalam posisi tengkurap, belum begitu
ngeh dengan kejadian itu. Hingga dia dijawil oleh Kardono, diminta duduk. Begitu
Katolik mendongak, mukanya langsung pucat. Dia segera duduk sambil menundukkan
kepala.

221

Seperti sudah biasa, kedua tamu itu menyampaikan dengan runtut maksud
kedatangan mereka berdua. Kardono manggut-manggut, dia mengucapkan
terimakasih. Lalu dia bilang, Ini lho Mas, teman saya agamanya Katolik. Dia ingin
masuk Islam. Tapi belum punya sandaran yang kuat. Makanya tadi teriak-teriak
nggak jelas...
Muka Katolik memerah. Dia blangkemen karena merasa nggak enak dengan
teriakannya.
Kedua tamu itu langsung tertarik dengan kasus Katolik. Lalu mereka berdua
mengajak mengobrol Katolik soal Islam dan kisah orang-orang yang masuk Islam.
Kardono sesekali menimpali, Lebih baik kamu masuk Islam sekarang saja,
Lik... Kan kamu sudah mantap. Ya kan, Mas? tanya Kardono seakan-akan minta
konfirmasi ke para tamunya.
Muka Katolik makin gak enak dilihat. Seperti ada katak kecil tersangkut di
tenggorokannya.
Kembali rentetan dakwah keluar bergantian dari mulut kedua tamu, mengajak
Katolik dialog. Dalam hati, Katolik merutuk kebodohannya teriak-teriak, plus kedua
tamu yang tak pulang-pulang, dan Kardono yang membuat situasi tambah gak enak.
Akhirnya kedua tamu itu pergi. Pintu kembali ditutup. Suasana hening. Katolik
seperti menunggu waktu sekian menit, memastikan kedua orang itu pergi agak jauh,
lalu setelah yakin, dia teriak, Juancuk, koen Don! Tuaek! Ngguatheli!
Antologi umpatan keluar gilir-gumanti gak ada habisnya dari mulut Katolik.
Sementara Kardono terpingkal-pingkal sampai terguling-guling di lantai.
Di saat seperti itu, pintu diketuk kembali. Mereka berdua langsung berhenti
mengumpat dan tertawa. Muka Katolik pucat. Dengan perasaan gak enak, Kardono
membuka pintu.
Es-e mung kari loro, Don... Todi dengan muka capek kepanasan berkata begitu,
sambil memberikan plastik es ke arah Kardono. Sementara yang satu dia pegang
sendiri.
Kardono ngakak lagi. Begitu Katolik sadar kalau yang datang Todi, dia kembali
mengumpat berkali-kali. Sampai dia sadar kedua temannya sudah tandas minum es.
Lho lha es-ku endi? tanya Katolik dengan muka memelas.
Entek, Cuk. Mung gari loro. jawab Todi kalem.
Muka Katolik langsung mirip rempeyek. Lebih tepatnya rempeyek yang sudah
melempem.

222

majelis
K

awan saya, seorang alim, mengeluh. Istrinya tiba-tiba menegur saat dia mau
melakukan salat. Seorang laki-laki, kata istrinya, tidak boleh salat di rumah, harus
di masjid.
Kawan saya langsung syok. Dia tidak pernah mengira akan ditegur seperti
itu. Tapi karena bekal ilmu agamanya sangat baik, dia meladeni teguran istrinya
dengan kokoh. Kali itu istrinya kalah. Tapi bukan kejadian tersebut yang
mengganggunya, melainkan bagaimana istrinya bisa punya pengetahuan agama
yang mengkhawatirkan semacam itu?
Akhirnya, suatu pagi, kawan saya mengantar istrinya ke majelis pengajian yang
rutin diikuti Sang Istri. Di pengajian yang dihadiri ribuan orang dan rata-rata diikuti
para perempuan, kawan saya makin syok.
Ustadnya mantan seorang artis. Dengan kemampuan retorikanya, juga didukung
oleh pengeras suara dan layar visual, dia tampil memukau. Dia salahkan banyak hal,
dia haramkan banyak hal yang masih bisa diperdebatkan. Membalas salam kalau
salah sedikit, berarti temannya setan. Gila. Semua peserta dibilang goblok, tolol,
bodoh. Tapi mereka diam...
Coba kamu bayangkan, peserta yang datang kan sudah meluangkan waktu.
Mereka juga mengeluarkan uang untuk membeli buku dan CD ustad tersebut. Sudah
begitu masih ditolol-tololkan, dibodoh-bodohkan, dan mereka diam. Mereka mau
saja dibilang bodoh dan tolol. Padahal mereka perempuan-perempuan terpelajar.
Lalu pulang-pulang, para istri ini gantian membodoh-bodohkan suami mereka,
membodoh-bodohkan anak-anak mereka, membodoh-bodohkan tetangga-tetangga
mereka. Astaghfirullah...
Tampaknya teman saya benar-benar syok. Tapi setidaknya dia masih beruntung
karena bekal keilmuannya bisa menjadi benteng bagi keluarganya. Kini dia rajin
diskusi dengan istrinya tentang berbagai hal keagamaan. Dia menyadari ada yang
tengah mengancam banyak keluarga di Indonesia lewat majelis semacam itu. Kini dia
makin waspada.
Tapi bagaimana dengan nasib orang-orang yang lain?

223

ketipung
L

ebih dari 3 tahun saya tinggal di perumahan ini, tak pernah sekalipun mendengar
suara-suara di tengah malam seperti ini. Hanya suara jam dinding, dan sesekali
daun jatuh di taman belakang. Tapi barusan ada suara dangdut koplo terdengar. Ya
Allah, saya rindu ngesul. Menenggak arak dan AO, lalu njoget di depan panggung.
Tanpa ada orang yang peduli satu sama lain, selain kebersamaan, uyel-uyelan, dan
teriakan gembira.
Ya Allah, hanya ndangdutlah, musik yang sekalipun kadang liriknya sedih, bisa
kami nikmati dengan bergoyang riang, sembari merem melek.
Ketipung adalah alat pemersatu. Pada ketipung kami percaya. Ketipung adalah oh
yes...

224

ketika senja itu tiba


K

ira-kira 5 tahun yang lalu, saya diberitahu oleh teman saya bahwa kelak, jangan
pernah berpikir saya (juga dia, dan mungkin kebanyakan dari kita), akan dirawat
anak sendiri. Zaman bergerak tak tertebak.
Tapi arahnya bisa kita candra. Kelak kebanyakan dari kita akan menghabiskan
masa tua yang ngelangut di panti jompo. Memandang ke arah jendela. Melihat
matahari tenggelam, yang sebentar kemudian disusul beduk Magrib dan kumandang
azan.
Kita sudah tidak bisa bermain catur. Sudah separuh pikun. Tidak lagi kuat
membaca. Ingatan kita pun koyak dedel duwel oleh usia. Nafas kita memendek.
Tulang kita berderit serupa daun jendela kayu di rumah ibu kita dulu.
Sebagian dari kita, dihunjam rasa bersalah karena melewatkan masa-masa
produktif kita, tidak punya karya, menyepelekan waktu, menistakan kesempatan.
Penyesalan itu semakin merusak usia yang telah keropos.
Akan tiba di suatu saat, ketika kita masih lamat-lamat bisa melihat berbagai
benda, manusia dan peristiwa. Tapi kita tak sanggup mengingat mereka. Tak bisa
memikirkannya.
Jauh hari sebelum Pram meninggal dunia, penulis besar itu dengan tegar bilang,
Aku sudah tidak bisa menulis. Tidak kuat berpikir. Jari-jariku sudah tidak bisa
mengetik. Tapi semua sudah kutulis. Semua yang bisa kulakukan sudah kulakukan.
Dan sekian hari sebelum nafasnya berhenti, ia bicara dengan nada tanpa
gentar. Ini saatnya menemui yang satu ini. Kalau tidak kita hadapi hanya akan
menghantui.
Apa yang dihadapinya? Apa yang menakutkan itu? Kematian.
Teman-teman, besok, saya dan juga Anda semua, akan membaca sebuah karya
yang memikat di kisaran soal itu. Senja yang mengambang di ufuk sana. Senja yang
suatu saat akan menaungi kita.
Senja yang membuat nyali siapapun akan gemetar.

225

epiLOG
227

jakarta-yogya
S

228

etelah keluhan Mas Seno Gumira Ajidharma tentang Jakarta yang


penduduknya rela dalam kehidupan serba-macet kemudian bersedia
mengakhiri karir dengan uang pensiun tak seberapa, Minggu kemarin Mas
Bre Redana menyusul menumpahkan kekesalannya atas Jakarta lewat
tulisannya di Kompas. Dia memuji Yogya dan Magelang, kemudian kembali
merutuki Jakarta yang kerap macet itu. Sehingga kebudayaan juga macet.
Sebelumnya, saya sempat bertemu juga dengan Mas Agus Noor. Usai
iseng-iseng bikin acara membaca cerpen bareng, sambil mengobrol bersama
Pak Ong Hari Wahyu dan Mas Gunawan Maryanto, penulis naskah acara TV
Sentilan Sentilun ini juga mengeluh: Di Jakarta susah nongkrong ngobrol
ngalor-ngidul seperti yang saat itu sedang kami lakukan. Semua serba harus
pasti agendanya. Sebab terbayang, untuk ketemuan saja, seseorang harus
rela macet berjam-jam. Baik ketika pergi maupun pulang. Selain menyediakan
waktu dan energi yang cukup, dia juga harus menyediakan uang yang cukup.
Kawan saya yang bekerja di Jakarta juga pernah bilang ke saya, Mas,
saya ini kalau di Yogya, bawa duit Rp50 ribu di dompet, pede sekali. Kalau di
Jakarta bawa duit Rp200 ribu rasanya masih waswas.
Empat hari lalu, yunior saya yang menjadi redaktur di sebuah media
massa terkenal di Jakarta, saat menikmati dingin bir, dia mendesah sambil
bilang, Enak sekali ya di Yogya. Damai... Mungkin kalau tidak malu, sebentar
kemudian pasti dia menangis. Dia tampak menikmati Yogya, tempatnya
kuliah dulu. Juga pacaran.
Jadi di mata para orang-orang yang tinggal di Jakarta itu, Yogya adalah
kota yang damai, nyeni, tidak macet, asyik, dan berbudaya. Karena mereka
hidup di kota yang macet, tidak asyik, tidak nyeni dan tidak berbudaya
seperti Jakarta.
Saya kira pandangan ini tidak adil. Pertama, jelas setiap kota punya
persoalan sendiri-sendiri. Kedua, sebuah kota tidak bisa dilihat dari kerangka
kecapekan. Jakarta yang macet itu, mungkin juga indah bagi orang Yogya
yang sedang liburan di sana. Bagi orang yang terbiasa hidup di Jakarta,
mungkin Yogya indah karena dilihat dari orang yang sedang bosan terhadap
Jakarta. Atau dia sedang liburan. Buat orang-orang seperti itu, Yogya sangat
eksotik untuk barang seminggu dua minggu. Tapi belum tentu mereka tahan
hidup di Yogya sebulan atau dua bulan. Apalagi setahun atau dua tahun.

Banyak teman saya yang memutuskan pindah dari Jakarta ke Yogya tapi
tidak tahan juga dan akhirnya mereka balik ke Jakarta lagi. Saya dulu juga
merasa paling nyaman hidup di Bali. Ternyata saya hanya kuat tinggal di
sana kurang dari tiga bulan. Saya kira sebuah kota ditakar bukan hanya dari
persoalan lalu-lintasnya.
Dan kenyataannya, baik Mas Seno, Mas Bre dan Mas Agus Noor pun tetap
saja mencari penghidupan di Jakarta. Juga dua teman saya di atas.
Suatu saat, teman saya dari Jakarta begitu ketemu saya di Yogya
langsung protes: Kok Yogya mulai macet, sih?!
Nah, kan... Dia ingin sebuah kota bergerak sesuai dengan keinginannya.
Saya kira itu sebuah persoalan.

229

Puthut EA
www.puthutea.com

Puthut Ea
@puthutea
puthutea
puthutea@yahoo.com

ISBN 602-1318-18-8

9 786021 318188

Anda mungkin juga menyukai