Anda di halaman 1dari 6

PENDAHULUAN

Permasalahan Kebakaran hutan dan lahan gambut dinilai tidak akan berhenti selama
kondisi ekosistem lahan gambut yang saat ini rusak tidak diperbaiki. Kebakaran hutan dan lahan
gambut di Sumatera Selatan sudah terjadi sejak sekitar tahun 1967. Sejak 1997, bencana ini
terulang tiap tahun selama 17 tahun terakhir. Lahan gambut yang terhampar ribuan hektar di
kawasan itu terlihat sangat kering. Tanaman yang mendominasi adalah ilalang, sawit, dan kebun
karet. Potongan-potongan pohon berukuran besar menandakan kawasan itu dulu berhutan
sebelum menjadi lahan terbuka.
Lahan gambut merupakan lahan yang sangat fragile dan produktivitasnya sangat rendah.
Gambut terbentuk dari bagian-bagian tumbuhan yang luruh terhambat pembusukannya, biasanya
di lahan-lahan berawa, karena kadar keasaman yang tinggi atau kondisi anaerob di perairan
setempat. Tidak mengherankan jika sebagian besar tanah gambut tersusun dari serpih dan
kepingan sisa tumbuhan, daun, ranting, pepagan, bahkan kayu-kayu besar, yang belum
sepenuhnya membusuk. Kadang-kadang ditemukan pula, karena ketiadaan oksigen bersifat
menghambat dekomposisi, sisa-sisa bangkai binatang dan serangga yang turut terawetkan di
dalam lapisan-lapisan gambut. Kendala sifat fisik gambut yang paling utama adalah sifat kering
tidak balik (irriversible drying), sehingga gambut tidak dapat berfungsi lagi sebagai koloid
organik. Produktivitas lahan gambut yang rendah karena rendahnya kandungan unsur hara makro
maupun mikro yang tersedia untuk tanaman, tingkat kemasaman tinggi, serta rendahnya
kejenuhan basa. Luasnya lahan gambut di Indonesia dijadikan salah satu lahan untuk perkebunan
kelapa sawit. Potensi lahan gambut di Indonesia cukup luas diperkirakan antara 17,4 20 juta
hektar yang tersebardi wilayah Pulau Kalimantan, Sumatera dan sebagian di Papua. Lahan
gambut digunakan untuk membudidayakan kelapa sawit, namun hasil perkembunan pada lahan
gambut tidak berkualitas baik dikarenakan lahan gambut ini memiliki kadar keasaman yang
cukup tinggi.
Adanya inovasi baru di bidang teknologi pertanian sangat memungkinkan penanganan
lahan gambut dengan hasil yang optimal. Selama ini penanganan lahan gambut di Indonesia
masih menggunakan sederhana, namun hasilnya cukup menggembirakan. Untuk itu
diperkenalkannya Teknologi Perforasi untuk membuat Lahan Gambut menjadi Lahan Pertanian
Produktif dan teknologi mikroba / bakteri guna untuk mengurangi kadar asam pada lahan
gambut.
1

PEMBAHASAN
Permasalahan umum pada lahan gambut adalah sebagai berikut:
1. Permasalahan bahwa unsur hara pada lahan gambut dalam kondisi tidak dapat diserap oleh
tanaman dikarenakan adanya keasaman tanah, dan beberapa unsur terikat dampak dari
proses penimbunan dan perendaman yang beratus-ratus tahun.
2. Kandungan unsur hara tertentu yang berasal dari tanah relatif sangat sedikit. Walaupun
dibutuhkan tanaman relatif sedikit, namun karena ketersediaan di lahan tidak mencukupi
maka tanaman yang ada di atasnya sering mengalami kekurangan unsur tersebut yang
berdampak pada proses metabolisme dan kesehatan tanaman.
3. Kandungan unsur-unsur racun bagi tanaman dan hewan yang merupakan dampak dari
keasaman tanah tersebut. Secara proses kimiawi hidroksida akan diikat, sedangkan unsurunsur kation yang biasanya berupa logam menjadi terlepas yang menjadi senyawa racun
bagi tanaman, hewan dan manusia.
4. Kandungan air yang ada di lahan gambut. Struktur lahan gambut tidak padat, yaitu terdiri
dari sisa-sisa tanaman yang tidak membusuk secara total. Sehingga antara satu bagian
dengan bagian lainnya mempunyai rongga. Pada saat lahan digenangi air maka seluruh
lapisan terisi air. Kondisi ini terjadi beratus tahun karena lahan gembut biasanya pada lahan
yang tergenang air yang tidak teralirkan. Upaya membuat drainase dan mengalirkan air
yang menggenang akan berdampak pada mengalirnya seluruh air yang ada di lahan tersebut.
Sehingga lahan menjadi kering kerontang.
5. Ketebalan gambut berpengaruh terhadap tanaman. Tekstur lahan tidak mantap, banyak
rongga, bahan berasal dari materi tanaman, kandungan tanah alam sangat sedikit atau bahka
tidak ada. Untuk tanaman tahunan yang dapat tumbuh dengan besar, maka ketebalan gambut
menjadi masalah. Lahan gambut pada umumnya tidak padat, sehingga tanaman besar dapat
miring atau bahkan rubuh jika ditanam di lahan gambut.
Salah satu faktor pemicu adalah pertanian di lahan gambut yang masih melibatkan
metode pembakaran. Menurut Direktur Pusat Teknologi Bioindustri Badan Pengkajian dan
Penerapan Teknologi (BPPT) Priyo Atmaji, abu hasil pembakaran tanaman dan pohon-pohon di
atas lahan gambut memiliki mineral yang berfungsi sebagai pupuk untuk menurunkan keasaman
gambut. Di sisi lain, cara membakar menurunkan kualitas, bahkan merusak tanah gambut.
2

Pembakaran mematikan seluruh kehidupan alami pada gambut, seperti mikroba dan cacing, yang
sesungguhnya berperan bagi hidup tanaman.
Dampak yang ditimbulkan dengan proses pembakaran ini adalah:
1. Hilangnya timbunan unsur hara (gambut) yang bernilai milyaran jika
2.

dikonversikan dengan harga pupuk an organik.


Tanah menjadi sangat miskin, dan biasanya jika digunakan untuk lahan pertanian
memerlukan unsur tambahan termasuk nitrogen yang seharusnya melimpah di

lahan gambut.
3. Berpengaruh terhadap emisi carbon yang sangat ini semarak dibicarakan.
Penggunaan teknologi bio perforasi yaitu memfungsikan Mikroba dekomposer
yang mempunyai kemampuan menguraikan/ membusukkan baik bahan organik
maupun membongkar bahan-bahan an organik dari tanah maupun batuan lunak.
Dengan demikian lahan gambut yang berasal dari tanaman yang tidak diuraikan
karena tergenang, dengan bantuan mikroba pada proses teknologi bio perforasi
akan terdekomposing (teruraikan) atau mengalami proses pembusukan menjadi
bahan organik yang tidak beracun bagi tanaman dengan kandungan unsur hara
tidak hilang baik oleh pembakaran maupun tercuci air.
Peneliti pada Pusat Teknologi Bioindustri BPPT Diana Nurani menjelaskan, di Indonesia,
lahan gambut tergolong gambut tropis yang terbentuk dari penumpukan sisa-sisa tanaman dan
kandungannya didominasi lignin. Lignin setiap saat terdekomposisi atau terurai menjadi asam
organik, membuat tanah gambut secara alamiah bersifat masam. Derajat keasaman atau pH
gambut berkisar pada angka 3 (pH normal 7), tidak cocok untuk pertanian. Ketersediaan unsur
hara, khususnya kalium, kalsium, dan magnesium, rendah. Pada sisi lain, dalam kondisi tanah
yang asam, tanaman tidak bisa menyerap sebagian besar unsur hara.
Terdapat beberapa bahan mineral untuk bahan pupuk guna menurunkan keasaman tanah,
antara lain abu vulkanik dari area gunung berapi, dolomit, dan lumpur sedimen. Namun, bahanbahan itu terbentur ketersediaan mengingat jumlahnya tetap di alam. Karena itu, bahan yang
lebih efisien adalah yang bisa diperbanyak. Mikroba sebagai makhluk hidup bisa tumbuh dan
berkembang menjadi banyak dalam waktu singkat. Karena itu, tim peneliti dari Pusat Teknologi
Bioindustri BPPT berupaya mencari mikroba-mikroba yang berperan menyuburkan lahan
gambut sehingga para petani tidak perlu lagi membakar lahan.
3

Tim peneliti pun mulai mengeksplorasi Sumatera dan Kalimantan pada 2006 untuk
memperoleh mikroba yang cocok melawan keasaman tanah gambut. Mikroba juga harus dari
lahan gambut, yakni pada area yang ditumbuhi tanaman, kata Priyo. Saat itu, tim
mengumpulkan banyak sampel dan membuat sekitar 100 isolat mikroba, antara lain dari
kelompok kapang atau fungi, bakteri, dan khamir (yeast). Tim juga menguji kemampuan masingmasing isolat dengan ditumbuhkan pada media mengandung asam organik yang diekstrak dari
tanah gambut. Sebanyak tiga jenis mikroba yang tergolong fungi didapati paling unggul
menyuburkan tanah gambut karena tumbuh paling bagus di asam organik. Asam organik menjadi
bahan makanan bagi mikroba-mikroba itu tumbuh dan berkembang. Proses metabolik itu
membuat asam organik terdegradasi menjadi bentuk senyawa lain dan berujung pada penurunan
kadar keasaman di tanah gambut.
Mikroba-mikroba tersebut menjadi bahan baku pupuk yang dinamai Biopeat oleh tim.
Dalam aplikasinya, tim peneliti menggunakan lebih dari satu jenis mikroba secara bersamaan
karena dengan disatukan, kinerja lebih efektif.
Mikroba tanah yang bisa diisolasi kemudian dikembangkan sehingga dapat membuat
lahan pasir kuarsa dapat ditanam. Bakteri berfungsi mengurangi keasaman tanah sehingga unsur
hara juga tersedia. Dalam waktu tiga tahun, lahan-lahan gambut dapat ditanami dengan berbagai
macam jenis tanaman, bahkan, ketika ada demplot penanaman padi pada lahan gambut, hasilnya
hasilnya mencapai 6 ton per hektare (ha).Tanaman padi mampu tumbuh dengan tinggi 121 cm.
Hasil per ha mencapai 3,5 ton hingga 4,2 ton, padahal sebelumnya hanya 1,2 ton. Hanya, ada
satu jenis mikroba yang bertugas mempersatukan sehingga terjadi sinergi antar bakteri. Mikroba
tersebut mampu membuat bakteri lainnya secara sinergi bekerja. Tidak saja menyerap logam
berat, tetapi juga menangkap unsur kimia alami untuk kesuburan tanah seperti N, P, dan K,
jelasnya. Ia pun mengembangkan bakterinya dengan metode kloning.
Bakteri ini mencari unsur-unsur penyubur tanah di alam dan menyatukannya. Mikroba ini
hanya ditemukan di Indonesia. Di daerah tropis macam Thailand dan Filipina tidak ditemukan.
Bakteri tersebut di produksi dengan nama Bio P2000Z dengan Teknologi Perforasi (Hydro
Cloning).

KESIMPULAN
4

Dalam mempertahankan sumberdaya gambut untuk pertanian pengendalian tata air


gambut sangat penting, ketinggian air tanah harus disesuaikan dengan kebutuhan dari rhizospher
tanaman. Semakin dalam jangkauan perakaran tanaman maka permukaan air tanah semakin
dalam pula. Kesadaran bahwa gambutmerupakan media tanam yang harus dilestarikan perlu
disampaikan kepadamasyarakat, pembakaran yang berlebihan pada waktu penyiapan lahan
sedapatmungkin dihindari, tehnologi pembuatan abu bakar melalui pembakaran sampahkebun
dan gulma dapat dilakukan secara terkendali. Pembakaran semak dangulma langsung di kebun
akan menyebabkan terbakarnya gambut. Pembakaran tidak terkendali akan menyebabkan
hilangnya gambut secara cepat. Pembukaanlahan gambut untuk pertanian memberikan dampak
pada lingkungan disebabkanoleh rendahnya kualitas pengelolaan drainase sehingga air yang
keluar dari lahangambut terjadi secara berlebihan dan menyebabkan keringnya lahan sekitar
lokasi pertanian
Kemajuan teknologi dikembangkan guna membantu memperkaya lahan gambut agar
dapat digunakan menjadi lahan pertananian yang subur. Selain itu untuk menghindari
pencemaran lingkungan seperti metode pembakaran hutan yang sengaja dilakukan dan menjadi
cara yang paling murah dan cepat untuk menurunkan kadar keasaman pada lahan gambut. Jika
teknologi ini secara masif dikembangkan, diharapkan lahan tandus atau tidak produktif pada
lahan gambut tidak ada lagi. Lahan tak produktif yang ada sekarang dapat diperbaiki dengan
adanya teknologi ini.
Dengan Teknologi Perforasi (Hydro Cloning) dan pupuk mikroba ini akan berdampak
baik bagi masyarakat dan negara. Dengan meningkatnya lahan gambut yang dapat digunakan
untuk pertanian akan menjadikan metode ini sukses dan berkelanjutan bagi para petani.
Akibatnya hasil pertanian meningkat dan juga meningkat perekonomian masyarat termasuk juga
perekonomian negara.

REFERENSI:

http://botanical.com/hydro/propagation/cloning.html di akses 4 Mei 2016


http://print.kompas.com/baca/2015/09/17/Kebakaran-Hutan-Musnahkan-Ekosistem-Gambut?
utm_source=bacajuga di akses 5 Mei 2016
http://print.kompas.com/baca/2015/11/09/Rawa-Gambut-Terlalu-Rentan-Diutak-atik?
utm_source=bacajuga di akses 5 Mei 2016

http://ulilmoucil.blogspot.co.id/2012/04/teknologi-tepat-guna-pengelolaan-lahan.html di
akses 4 Mei 2016

Anda mungkin juga menyukai