Anda di halaman 1dari 14

IMPLEMENTASI

UNDANG-UNDANG

NOMOR

13

TAHUN

2013

TENTANG

KETENAGAKERJAAN DI INDONESIA
A. Analisis Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
Dewasa ini masih menjadi perdebatan mengenai Undang-Undang No.13 tahun 2013
tentang Ketenagakerjaan. Fakta menunjukkan banyak pasal dari undang-undang itu yang
dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi karena dianggap bertentangan dengan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Tercatat sampai saat ini ada tujuh kali
pengujian Undang-Undang No. 13 tahun 2003 yang semuanya diajukan oleh buruh atau
serikat buruh. Hanya satu pengujian yang ditolak Mahkamah Konstitusi. Selebihnya diterima
Mahkamah Konstitusi dengan menyatakan pasal tertentu tak mempunyai kekuatan hukum
mengikat. Atau ada juga pasal yang tetap dinyatakan konstitusional sepanjang memenuhi
syarat-syarat tertentu yang ditetapkan Mahkamah Konstitusi. 1 Dari segi aturan hukum,
Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pun menimbulkan pro dan
kontra dalam penerapannya. Berikut pasal demi pasal yang menjadi pro dan kontra dalam
penerapannya :2
1. Pasal 52-54
Perjanjian Kerja/Kontrak Kerja.
Memiliki kontrak kerja sangat penting dalam hubungan profesional. Tanpa kontrak
kerja, kejelasan tentang hak dan kewajiban menjadi tak terjamin. Oleh karena itu ada halhal yang perlu dicermati dalam kontrak kerja yaitu :
1. Mengikat pengusaha dan pegawai.
2. Dibuat dengan Jelas.
3. Tambahan yang perlu diperhatikan: tunjangan dan fasilitas, masalah pengangkatan,
kontrak khusus, jadwal kerja, pemutusan hubungan kerja, kontrak kerja masa
percobaan.

1 http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt5078c83ecf921/putusan-putusan-mk-yang-mengubahaturan-ketenagakerjaan, diakses pada tanggal 16 November 2015.


2 Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Edisi Revisi, (Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada, 2009), hlm. 100.

Sebagian besar para pengusaha membuat perjanjian kerja yang merugikan buruh
dikemudian hari, hal itu disebabkan masih rendahnya tingkat pendidikan buruh di
Indonesia.
2. Pasal 64-66
Outsourcing.
Outsourcing tidak dapat dipandang secara jangka pendek saja, dengan menggunakan
outsourcing perusahaan pasti akan mengeluarkan dana lebih sebagai management
fee perusahaan outsourcing. Outsourcing harus dipandang secara jangka panjang, mulai
dari pengembangan karir karyawan, efisiensi dalam bidang tenaga kerja, organisasi,
benefit dan lainnya.3 Perusahaan dapat fokus pada kompetensi utamanya dalam bisnis
sehingga dapat berkompetisi dalam pasar, dimana hal-hal intern perusahaan yang bersifat
penunjang (supporting) dialihkan kepada pihak lain yang lebih profesional.4 Pada
pelaksanaannya, pengalihan ini juga menimbulkan beberapa permasalahan terutama
masalah ketenagakerjaan. Karyawan outsourcing selama ditempatkan diperusahaan
pengguna jasa outsourcing wajib mentaati ketentuan kerja yang berlaku pada perusahaan
outsourcing, dimana hal itu harus dicantumkan dalam perjanjian kerjasama.
Mekanisme penyelesaian perselisihan ketenagakerjaan diselesaikan secara internal
antara perusahaan outsourcing dengan perusahaan pengguna jasa outsourcing, dimana
perusahaan outsourcing seharusnya mengadakan pertemuan berkala dengan karyawannya
untuk membahas masalah-masalah ketenagakerjaan yang terjadi dalam pelaksanaan
outsourcing.5
3. Pasal 35 dan 37
Masalah pada Pasal 35 ayat (1) berbunyi yaitu pemberi kerja yang memerlukan
tenaga kerja dapat merekrut sendiri tenaga kerja yang dibutuhkan atau melalui pelaksana
penempatan tenaga kerja. Ditambah dengan Pasal 37 ayat (1) berbunyi yaitu pelaksana
penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) terdiri dari: (a)
3 Adrian Sutedi, Hukum Perburuhan, (Jakarta : Sinar Grafika, 2009), hlm. 220.
4 Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Edisi Revisi, (Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada, 2009), hlm. 187.
5 Sutedi, Op.Cit., 220

instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan; dan (b) lembaga
swasta berbadan hukum. Dilengkapi dengan Pasal 56 ayat (1) berbunyi yaitu perjanjian
kerja dibuat untuk waktu tertentu atau untuk waktu tidak tertentu. kerugian yang
ditimbulkan akibat pasal tersebut bagi pekerja/buruh adalah: Pertama, sulit mendapatkan
jenjang karir, atau mungkin tidak sama sekali. Kedua, Pemotongan upah yang besar.
Ketiga, jaminan sosial tenaga kerja tidak diurus.6
4. Pasal 78
Lembur.
Upah kerja lembur adalah upah yang diterima pekerja atas pekerjaannya sesuai
dengan jumlah waktu kerja lembur yang dilakukannya. Perhitungan upah lembur
didasarkan upah bulanan dengan cara menghitung upah sejam adalah 1/173 upah sebulan.
Berdasarkan ketentuan yang tertuang dalam Kepmenakertrans No. 102/MEN/VI/2004.
Harus dipahami bahwa lembur bukan merupakan penghasilan dan lembur itu adalah
sukarela. Kedua hal itu penting untuk dipahami sebab tidak selamanya pekerja/buruh
akan melakukan kerja lembur.
Disamping itu ada satu hal penting lain yang mestinya menjadi bahan pertimbangan
seorang pekerja/buruh melaksanakan lembur meski tidak mudah dilakukan adalah pada
waktu perintah untuk lembur diberikan segera sediakan formulir lembur untuk diisi dan
ditanda tangani oleh pekerja/buruh dengan pejabat berwenang atau yang memerintahkan
lembur disesuaikan dengan masing-masing perusahaan. Jelas diatur dalam Keputusan
Menteri tersebut bahwa untuk melakukan kerja lembur harus ada perintah tertulis dan
persetujuan tertulis dari kedua belah pihak antara pekerja/buruh dan pejabat yang
memerintahkan lembur. Dalam peraturan ketenagakerjaan waktu kerja lembur hanya
dapat dilakukan paling banyak 3 jam dalam 1 hari dan 14 jam dalam 1 minggu.
Sesuai ketentuan dalam Kepmenakertrans No. 102/MEN/VI/2004 Pasal 10 dalam hal
upah terdiri dari Upah Pokok dan Tunjangan Tetap maka dasar perhitungan upah lembur
adalah 100 % (seratus perseratus) dari upah. Dalam hal upah terdiri dari upah pokok,
tunjangan tetap dan tunjangan tidak tetap, apabila upah pokok tambah tunjangan tetap
6 http://cintyasherry.wordpress.com/2012/10/08/analisa-undang-undang-tenaga-kerja-no-13-tahun-2003/, diakses
pada tanggal 16 November 2015

lebih kecil dari 75 % (tujuh puluh lima perseratus) keseluruhan upah maka dasar
perhitungan upah lembur 75 %. (tujuh puluh lima perseratus) dari keseluruhan upah.
5. Pasal 88-98
Struktur dan skala upah.
Pada prakteknya, sering kali jumlah tunjangan menjadi lebih besar dari gaji pokok
yang diterima oleh seorang pekerja. Hal ini tentu saja dapat menimbulkan salah
pengertian di dalam hubungan kerja yang akhirnya akan dapat mengganggu hubungan
antara pengusaha dengan pekerja. Karena tunjangan yang diberikan besar maka jumlah
gaji keseluruhan (take home pay) dirasa telah melebihi upah minimum, padahal upah
minimum hanya terdiri dari Gaji pokok + tunjangan tetap saja. Setiap tahun terjadi demo
yang dilakukan buruh untuk meminta kenaikan Upah Minimum.
Pemerintah hendaknya mengkaji ulang struktur dan skala pengupahan yang adil, bagi
pengusahan maupun buruh. Perlu diperhatikan bahwa demo buruh dan mengganggu
produksi dan membuat investor enggan berinvestasi. Kepentingan buruh dan pengusaha
hendaknya diakomodir dengan baik agar tidak saling merugikan.
6. Pasal 108-115
Peraturan Perusahaan.
Peraturan perusahaan merupakan salah satu unsur penting bagi stabilitas usaha dan
pembinaan karyawan. Peraturan perusahaan merupakan sebuah kebutuhan dasar ketika
usaha mulai berkembang dan menggaji orang sebagai karyawan. Pada pasal 108-155
Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengatur mengenai hal ini.
Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) orang
wajib membuat peraturan perusahaan yang mulai berlaku setelah disahkan oleh Menteri
atau pejabat yang ditunjuk. Peraturan perusahaan disusun oleh dan menjadi tanggung
jawab dari pengusaha yang bersangkutan. Setelah dilihat bahwa maksud dan fungsinya
peraturan perusahaan adalah seharusnya perusahaan tidak menunda untuk membuat dan
mengesahkan peraturan perusahaannya. Akan tetapi masih banyak perusahaan yang tidak
memiliki, menunda untuk mengesahkannya dan bahkan membuatnya tapi tidak
mengesahkan dan tidak mensosialisasikannya ke karyawan.

Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tersebut belum mampu


menciptakan rasa kepastian, keadilan dan kemanfaatan hukum bagi pihak terkait.
Masalah lainnya pada penerapan Undang-Undang dan peraturan terkait adalah
lemahnnya perlindungan kerja terutama Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri,
diskriminasi terhadap gender dan penyandang cacat, pekerja anak, pelatihan kerja yang
buruk, jaminan sosial dan kesehatan, diskriminasi pekerja lokal dan asing, birokrasi
panjang yang menyulitkan pengusaha dan investor, demonstrasi, dan masih banyak lagi
permasalahan ketenagakerjaan di Indonesia.
B. Analisis Isu Aktual Ketenagakerjaan
Dua permasalahan ketenagakerjaan yang menimbulkan pro kontra di masyarakat,
yaitu PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) karena kesalahan berat dan Outsourcing. Berikut
analisis mengenai Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, terkait
berbagai permasalahan yang menjadi isu aktual dan menimbulkan berbagai pro dan Kontra
dalam penerapannya :7
1. PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) karena kesalahan berat
Selanjutnya, putusan Mahkamah Konstitusi pertama kali yang dibahas adalah putusan
No.012/PUU-I/2003 yang salah satunya membatalkan Pasal 158 tentang PHK karena
kesalahan berat. Prakteknya, masih banyak pekerja yang dipecat dengan alasan atau dasar
Pasal 158 Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pada awal
diundangkanya Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, salah satu
alasan Pemutusan Hubungan Kerja adalah, karena kesalahan berat, yang diatur dalam
ketentuan Pasal 158.
Alasan kesalahan berat pada pokoknya mengatur tentang perbuatan pidana yang telah
diatur dalam KUHP, sehingga untuk menyatakan pekerja telah melakukan kesalahan
berat harus atas dasar pekerja tertangkap tangan, ada pengakuan pekerja yang
bersangkutan atau bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh pihak berwenang,
di perusahaan yang bersangkutan, dengan didukung oleh dua orang saksi.
Apabila hal tersebut terpenuhi maka pengusaha diberi kewenangan oleh undangundang untuk melakukan pemutusan hubungan kerja secara sepihak tanpa wajib
7 Adrian Sutedi, Hukum Perburuhan, (Jakarta : Sinar Grafika, 2009), hlm. 200.

membayar uang penggantian hak, uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja.
Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sendiri tidak memberikan
pengertian kesalahan berat, sehingga dalam praktek kualifikasi kesalahan berat yang
diatur dalam Pasal 158 ayat (1) menjadi terbatas. Atau dengan perkataan lain, tidak boleh
ada kualifikasi perbuatan lain yang digolongkan menjadi kesalahan berat.
Sedangkan umumnya setiap sektor industri atau jasa memiliki kualifikasi kesalahan
berat di luar ketentuan Pasal 158 ayat (1). Contohnya kesalahan berat bagi pekerja yang
merokok di lokasi kerja berbahaya yang mudah terbakar seperti di perusahaan minyak
dan gas. Atau penjaga perlintasan kereta yang membiarkan kereta lewat tanpa menutup
pintu perlintasan.
a. Putusan Mahkamah Konstitusi dan Dampaknya
Ketentuan Pasal 158 Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
ini dinilai oleh pihak pekerja dan serikat pekerja telah bertentangan dengan Pasal 27
ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 , serta
melanggar asas praduga tidak bersalah/preassumption of innocence. Berdasarkan alas
hukum tersebut maka dilakukan permohonan hak uji materi Undang-Undang
Ketenagakerjaan.
Atas permohonan pekerja dan serikat pekerja, Mahkamah Konsitusi menjatuhkan
putusan No.012/PUU-I/2003, tertanggal 28 Oktober 2004, yang amar putusannya
pada pokoknya menyatakan ketentuan Pasal 158 Undang-Undang No. 13 tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang
mengikat. Pasca putusan Mahkamah Konstitusi, muncul banyak penafsiran dalam hal
terjadi perselisihan hubungan industrial mengenai pemutusan hubungan kerja karena
pekerja melakukan perbuatan yang dikualifikasikan dalam ketentuan Pasal 158
Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Menyikapi hal tersebut Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi pada 7
Januari 2005 menerbitkan Surat Edaran Nomor: SE.13/MEN/SJ-HK/I/2005. Isi pokok
dari surat edaran menteri itu adalah penyelesaian perkara pemutusan hubungan kerja
karena pekerja melakukan kesalahan berat harus memperhatikan dua hal. Yakni, PHK
dapat dilakukan setelah ada putusan pidana yang mempunyai kekuatan hukum tetap

atau apabila pekerja ditahan dan tidak dapat melaksanakan pekerjaan maka berlaku
ketentuan pasal 160 Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Selain itu, surat edaran menteri juga menyatakan, dalam hal terdapat alasan
mendesak yang berakibat hubungan kerja tidak dapat dilanjutkan, maka pengusaha
dapat menempuh upaya penyelesaian melalui lembaga penyelesaian perselisihan
hubungan industrial.
Belum tuntas perbedaan penafsiran mengenai kesalahan berat Kementerian
Tenaga Kerja dan Transmigrasi memunculkan istilah alasan mendesak tanpa
memberikan pengertian yang jelas. Berdasarkan penelusuran pustaka, alasan
mendesak ternyata ditemukan pada buku III Kitab Undang-undang Hukum
Perdata Pasal 1603 (o), yang isinya sebagian besar sama dengan ketentuan Pasal 158
ayat (1) Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
b. Berbeda Penafsiran
Perbedaan penafsiran dan pandangan mengenai pemutusan hubungan kerja karena
kesalahan berat pasca putusan Mahkamah Konstitusi dan SE Menteri Tenaga Kerja
dan Transmigrasi oleh pengusaha, mediator dan hakim ditafsirkan secara berbeda
dengan argumentasi hukum masing-masing.
Mendasarkan pada praktek penerapan pemutusan hubungan kerja yang ada,
diketahui bahwa pemutusan hubungan kerja karena kesalahan berat dapat
diselesaikan melalui proses hukum acara penyelesaian perselisihan hubungan
industrial yang diatur dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial. Melihat kenyataan tersebut kedepan diharapkan
mediator tidak lagi menolak untuk melakukan mediasi dan Hakim diharapkan
bersedia memeriksa dan mengadili gugatan pemutusan hubungan kerja karena
kesalahan berat.
2. Outsourcing
Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebenarnya turut
mengatur masalah para tenaga kerja outsourcing (alih daya), akan tetapi, pada
pelaksanaannya, sampai kini, masih banyak permasalahan yang berkaitan dengan para
tenaga kerja tersebut.

Kata outsourcing memang tidak ada di dalam istilah yang digunakan pada Undangundang ketenagakerjaan karena outsourcing adalah istilah dalam bahasa asing, namun
makna dari istilah outsourcing lebih kurang sama seperti yang tercantum dalam UndangUndang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pada pasal 64 yang berbunyi yaitu:
Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan
lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh
yang dibuat secara tertulis.
Dalam Undang-undang makna dari outsourcing adalah menyerahkan sebagian dari
pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui pemborongan pekerjaan atau
penyediaan jasa pekerja/buruh. Dalam kenyataan di lapangan, praktek outsourcing lebih
dikenal dengan istilah penggunaan yayasan sebagai penyalur tenaga kerja.
Penawaran tenaga kerja Perusahaan outsourcing amat beragam, mulai dari
perusahaan outsourcing yang spesialisasinya hanya sebagai penyedia outsourcing tenaga
security sampai perusahaan outsourcing yang menyediakan tenaga kerja dari bermacammacam bidang. Oleh karena itu bisa dikatakan bahwa perusahaan outsourcing memiliki
peran yang sangat besar dalam dunia usaha. Dilihat dari sudut pandang pengusaha,
menggunakan jasa outsourcing dapat mempermudah merekrut tenaga kerja sesuai dengan
kebutuhan perusahaan. Termasuk juga mudah ketika ingin memutuskan hubungan kerja.
Dengan adanya bentuk outsourcing tersebut, perusahaan juga tidak bingung memikirkan
nasib para pekerjanya, karena perusahaan berkontrak dengan perusahaan penyedia jasa
outsourcing tersebut, tidak dengan masing-masing karyawan yang bersangkutan.
Namun, sebagian besar karyawan merasa bahwa praktik outsourcing ini merugikan
hak-hak karyawan, sehingga diajukanlah permohonan pengujian Undang-Undang No. 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 ke Mahkamah Konstitusi. Yang menjadi masalah di lapangan
adalah terjadinya pelanggaran terhadap ketentuan yang ada dalam Undang-undang.
Untuk masalah outsourcing, yang sering terjadi adalah pengusaha melakukan praktek
outsourcing untuk jenis usaha yang masuk dalam kategori pekerjaan utama.
Alasan yang sering digunakan oleh para pengusaha adalah bahwa penafsiran tentang
definisi dari pekerjaan utama masih belum jelas padahal kalau merujuk pada penjelasan
Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pasal 66 ayat 1 (satu)

terlihat jelas bahwa yang boleh outsourcing hanyalah 5 jenis kegiatan saja. Jadi
penafsiran terkait dengan definisi pekerjaan utama harusnya merujuk pada penjelasan
tersebut.
Salah satu ketentuan dalam Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan yang menjadi sorotan banyak pihak adalah soal penyerahan sebagian
pekerjaan kepada perusahaan lain atau outsourcing. Seperti diketahui, Mahkamah
Konstitusi telah menjelaskan hal tersebut dalam putusan No.27/PUU-IX/2011. Selain
menjelaskan tentang dua sisi berbeda dalam putusan tersebut, buku ini menjabarkan
polemik dan fakta-fakta yang ada dalam praktik outsourcing di Indonesia. Putusan
Mahkamah Konstitusi

No.19/PUU-IX/2011 yang menyatakan pengusaha tidak

dibolehkan melakukan PHK jika perusahaan tidak tutup permanen. Pengusaha dapat
melakukan PHK dengan alasan efisiensi jika telah melewati delapan syarat yang
ditetapkan Mahkamah Konstitusi.
4.Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi
Putusan Mahkamah Konstitusi ini mengakibatkan pemahaman yang berbeda antara
pengusaha dan pekerja. Pengusaha menginginkan kepastian berusaha. Putusan
Mahkamah Konstitusi dinilai melindungi hak normatif pekerja. Kalangan pekerja dan
pengusaha masih berbeda pandang melihat putusan Mahkamah Konstitusi terkait
pengujian Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pada 17 Januari
lalu. Guna menghindari kesimpangsiuran lebih jauh, Kementerian Tenaga Kerja dan
Transmigrasi mencoba menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi No 27/PUUIX/2011 itu melalui surat edaran tentang outsourcing dan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
(PKWT).
C. Putusan Mahkamah Konstitusi Berkaitan Dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan
Pada dasarnya Mahkamah Konstitusi tidak dapat mengubah isi suatu pasal atau suatu ayat
dan undang-undang yang dimintakan pengujian terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, dalam hal ini adalah Undang-Undang No. 13 tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan. Mahkamah Konstitusi hanya memberikan tafsir atas isi ketentuan
pasal atau ayat Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang

dimohonkan pengujiannya.8 Sampai saat ini, telah ada sebanyak 7 (tujuh) putusan Mahkamah
Konstitusi yang berkaitan dengan Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan. Dari 7 putusan tersebut, 1 (satu) putusan menyatakan menolak permohonan
untuk seluruhnya, dan 6 (enam) putusan menyatakan menerima permohonan. Dari 6 putusan
tersebut, sebagian menyatakan pasal atau ayat Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan tertentu tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, dan sebagian lagi
menyatakan pasal atau ayat Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
tertentu tetap berlaku sepanjang memenuhi persyaratan yang ditentukan Mahkamah
Konstitusi.9
Di bawah ini informasi mengenai 6 putusan Mahkamah Konstitusi berkaitan dengan
pengujian Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terhadap UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menerima permohonan
pemohon.10

8 http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt5078c83ecf921/putusan-putusan-mk-yang-mengubahaturan-ketenagakerjaan, diakses pada tanggal 16 November 2015


9 http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt5078c83ecf921/putusan-putusan-mk-yang-mengubahaturan-ketenagakerjaan, diakses pada tanggal 16 November 2015
10 Ibid

No.

No. Putusan

Pasal

yang Amar Putusan

Dimohon untuk
1

Putusan

Diuji
Seluruh

Mahkamah

Undang-Undang

Konstitusi No. No.


012/PUU-

Pasal Menyatakan Undang-Undang No. 13 tahun

13

2003

2003 tentang Ketenagakerjaan :

tahun

Pasal 158;

tentang

Pasal 159;

I/2003 tanggal Ketenagakerjaan


28

Oktober

Pasal 160 ayat (1) sepanjang mengenai

anak kalimat . bukan atas pengaduan

2004

pengusaha ;

Pasal 170 sepanjang mengenai anak

kalimat . kecuali Pasal 158 ayat (1), ;

Pasal 171 sepanjang menyangkut anak

kalimat . Pasal 158 ayat (1);

Pasal 186 sepanjang mengenai anak

kalimat . Pasal 137 dan Pasal 138 ayat


(1); bertentangan

dengan

Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia


Tahun 1945;
Menyatakan Pasal 158; Pasal 159; Pasal 160
ayat

(1)

sepanjang

kalimat .
pengusaha

bukan
;

mengenai
atas

Pasal

170

anak

pengaduan
sepanjang

mengenai anak kalimat . kecuali Pasal


158 ayat (1) ; Pasal 171 sepanjang
menyangkut anak kalimat . Pasal 158
ayat (1) ; dan Pasal 186 sepanjang
mengenai anak kalimat . Pasal 137 dan
Pasal 138 ayat (1) UU tersebut tidak
2

Putusan

mempunyai kekuatan hukum mengikat


Pasal 120 ayat
Menyatakan Pasal 120 ayat (1) dan ayat

Mahkamah

(1)

Undang- (2)

Undang-Undang No. 13 tahun 2003

Konstitusi No. Undang No. 13 tentang


115/PUU-

tahun

VII/2009

tentang

tanggal

2003 dengan

10 Ketenagakerjaan

Ketenagakerjaan

bertentangan

Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945;

PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan pada Bab II, maka penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut :
1.

Pasal demi pasal Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pun

menimbulkan pro dan kontra dalam penerapannya sebagai berikut :


a.

Pasal 52-54 tentang Perjanjian Kerja/Kontrak Kerja.

b.

Pasal 64; 65; 66 tentang Outsourcing

c.

Pasal 35 dan 37 tentang perekrutan dan penempatan kerja

d. Pasal 78 tentang Lembur


e.

Pasal 88-98 tentang Struktur dan skala upah

f.

Pasal 108-115 tentang Peraturan Perusahaan

Selain keenam permasalahan tersebut, masalah lainnya pada penerapan UU dan peraturan terkait
dalah: lemahnnya perlindungan kerja terutama TKI di luar negeri, diskriminasi terhadap gender
dan penyandang cacat, pekerja anak, pelatihan kerja yang buruk, jaminan sosial dan kesehatan,
diskriminasi pekerja lokal dan asing, birokrasi panjang yang menyulitkan pengusaha dan
investor, demonstasi, dan masih banyak lagi permasalahan ketenagakerjaan di Indonesia.
2.

Penulis mengambil dua isu aktual mengenai Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan yang menimbulkan pro dan kontra, yaitu :


a.

PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) karena kesalahan berat

Putusan Mahkamah Konstitusi No.012/PUU-I/2003 yang salah satunya membatalkan Pasal 158
tentang PHK karena kesalahan berat. Praktiknya, masih banyak pekerja yang dipecat dengan
alasan atau dasar Pasal 158 Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. UU ini
sendiri tidak memberikan pengertian kesalahan berat, sehingga dalam praktik kualifikasi
kesalahan berat yang diatur dalam Pasal 158 ayat (1) menjadi terbatas. Atau dengan perkataan
lain, tidak boleh ada kualifikasi perbuatan lain yang digolongkan menjadi kesalahan
berat. Padahal umumnya setiap sektor industri atau jasa memiliki kualifikasi kesalahan berat di
luar ketentuan Pasal 158 ayat (1). Contohnya kesalahan berat bagi pekerja yang merokok di
lokasi kerja berbahaya yang mudah terbakar seperti di perusahaan minyak dan gas. Atau penjaga
perlintasan kereta yang membiarkan kereta lewat tanpa menutup pintu perlintasan.

b.

Outsourcing

Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebenarnya turut mengatur masalah
para tenaga kerja outsourcing (alih daya), akan tetapi, pada pelaksanaannya, sampai kini, masih
banyak permasalahan yang berkaitan dengan para tenaga kerja tersebut. Yang menjadi masalah di
lapangan adalah terjadinya pelanggaran terhadap ketentuan yang ada dalam Undang-undang.
Untuk masalah outsourcing, yang sering terjadi adalah pengusaha melakukan praktek out
sourcing untuk jenis usaha yang masuk dalam kategori pekerjaan utama. Alasan yang sering
digunakan oleh para pengusaha adalah bahwa penafsiran tentang definisi dari pekerjaan utama
masih belum jelas padahal kalau merujuk pada penjelasan Undang-Undang No. 13 tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan pasal 66 ayat 1 (satu) terlihat jelas bahwa yang boleh outsourcing
hanyalah 5 jenis kegiatan saja. Jadi penafsiran terkait dengan defenisi pekerjaan utama harusnya
merujuk pada penjelasan tersebut. Putusan Mahkamah Konstitusi No.19/PUU-IX/2011 yang
menyatakan pengusaha tidak dibolehkan melakukan PHK jika perusahaan tidak tutup permanen.
Pengusaha dapat melakukan PHK dengan alasan efisiensi jika telah melewati delapan syarat
yang ditetapkan Mahkamah Konstitusi.
3.

Judicial Review Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

Sampai saat ini, telah ada sebanyak 7 (tujuh) putusan Mahkamah Konstitusi yang berkaitan
dengan UU ini. Dari 7 putusan tersebut, 1 (satu) putusan menyatakan menolak permohonan
untuk seluruhnya, dan 6 (enam) putusan menyatakan menerima permohonan. Dari 6 putusan
tersebut, sebagian menyatakan pasal atau ayat Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan tertentu tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, dan sebagian lagi
menyatakan pasal atau ayat UU tertentu tetap berlaku sepanjang memenuhi persyaratan yang
ditentukan Mahkamah Konstitusi. Berikut 6 putusan Mahkamah Konstitusi berkaitan dengan
pengujian Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terhadap UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menerima permohonan pemohon :
a) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012/PUU-I/2003 tanggal 28 Oktober 2004 Putusan
b)
c)
d)
e)

Mahkamah Konstitusi Nomor 115/PUU-VII/2009 tanggal 10 November 2010


Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37/PUU-IX/2011 tanggal 19 September 2011
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011 tanggal 17 Januari 2012
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 19/PUU-IX/2011 tanggal 20 Juni 2012
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 58/PUU-IX/2011 tanggal 16 Juli 2012

B. SARAN
Penulis dapat memberikan saran bahwa, UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
hendaknya direvisi. Hal itu dikarenakan dalam pasal-pasalnya banyak merugikan kepentingan
buruh dan dalam judicial review di Mahkamah Konstitusi banyak pasal yang dibatalkan. Revisi
tersebut bertujuan untuk memberi keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum bagi pihak yang
terkait dalam hubungan industrial yaitu, pekerja, pengusaha dan pemerintah.
DAFTAR PUSTAKA
Husni, Lalu. 2010. Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia Edisi Revisi. Jakarta : PT Raja
Grafindo Persada.
Pangaribuan,

Juanda.

2012. Aneka

Putusan

Mahkamah

Konstitusi

Bidang

Hukum

Ketenagakerjaan.Jakarta: Muara Ilmu Sejahtera Indonesia.


Website :
Hukum Online, website; http://www.hukumonline.com
http://cintyasherry.wordpress.com/2012/10/08/analisa-undang-undang-tenaga-kerja-no-13-tahun2003/
Peraturan Perundang-undangan :
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012/PUU-I/2003 tanggal 28 Oktober 2004
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 115/PUU-VII/2009 tanggal 10 November 2010
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 19/PUU-IX/2011 tanggal 20 Juni 2012
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011 tanggal 17 Januari 2012
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37/PUU-IX/2011 tanggal 19 September 2011
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 58/PUU-IX/2011 tanggal 16 Juli 2012

Anda mungkin juga menyukai