Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Negara Indonesia adalah negara hukum (Recthstaat). Pancasila dan
Undang-undang Dasar digunakan sebagai landasan untuk menegakkan dan
menjamin kepastian hukum yang berlaku di Indonesia. Sebagai titik acuan
tentang keadilan yaitu Pancasila dalam sila kedua yang berbunyi Kemanusiaan
yang adil dan beradab, mengingatkan kita bahwa tujuan keadilan adalah warga
negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya sesuai pasal
27 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945.
Setiap warga negara Indonesia harus selalu sadar dan taat kepada hukum
dan mewajibkan negara untuk menegakkan dan menjamin kepastian hukum.
Penegakan hukum jika tidak mengikuti gerak maju yang ada, maka hukum akan
kehilangan dinamika dalam mewadahi secara tertib gerak maju dan perubahan
masyarakat itu sendiri.1
Pelanggaran lalu lintas merupakan hal yang biasa dilakukan masyarakat
dewasa ini baik pengguna kendaraan roda dua maupun pengguna kendaraan roda
empat. Dalam pelanggaran ini yang merupakan tindak pidana kategori ringan
yang dimana polisi dapat secara langsung menindak pelaku pelanggaran dengan

Ilham Gunawan, Peran Kejaksaan Dalam menegakkan Hukum Dan Stabilitas Politik, Sinar
grafika, Jakarta, 1994, hal.10

cara tilang (bukti pelanggaran). Surat tilang yang dikeluarkan oleh pihak
kepolisian dijadikan tuntutan dalam pengadilan.
Penuntutan di dalam sistem peradilan pidana Indonesia pada dasarnya
hanya dimiliki oleh Kejaksaan melalui para penegak hukumnya, yaitu jaksa
penuntut umum sebagai pemegang tunggal kuasa penuntutan. Kejaksaan sebagai
pengendali proses perkara (dominus litis) mempunyai kedudukan sentral dalam
penegakan hukum, karena hanya Kejaksaan yang dapat menentukan apakah suatu
kasus dapat atau tidak dilanjutkan ke pengadilan berdasarkan alat bukti yang sah
sebagaimana menurut hukum acara pidana. Disamping sebagai penyandang
dominus litis, Kejaksaan juga merupakan satu-satunya instansi pelaksana putusan
pidana (executive ambtenaar).
Berbeda dengan hal tersebut, khusus pada tindak pidana tertentu
dalam acara pemeriksaan cepat tidak menjadikan institusi Kejaksaan sebagai
institusi yang melakukan penuntutan. Jaksa penuntut umum harus merelakan
kewenangan tunggalnya di bidang penuntutan kepada penyidik dalam acara
pemeriksaan cepat tindak pidana ringan (sebagai tindak pidana tertentu yang
pertama) sebagaimana diperintahkan dalam Pasal 205 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang menyatakan
dalam perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), penyidik atas kuasa
penuntut umum, dalam waktu tiga hari sejak berita acara pemeriksaan selesai

dibuat, menghadapkan terdakwa beserta barang bukti, saksi, ahli dan atau juru
bahasa ke sidang pengadilan.
Penjelasan Pasal 205 ayat (2) KUHAP disebutkan bahwa maksud atas
kuasa dari penuntut umum kepada penyidik adalah demi hukum, yang berarti
sepenuhnya hukum telah menyerahkan kuasa penuntutan kepada penyidik,
sehingga jaksa penuntut umum tidak harus memberikan lagi surat penyerahan
kuasa kepada penyidik, dan diteruskan dalam penjelasan pasal tersebut bahwa
dalam hal penuntut umum hadir dalam sidang, tidak mengurangi nilai atas kuasa
tersebut. Ketentuan atas kuasa penuntut umum tersebut khusus pada acara
pemeriksaan cepat tindak pidana ringan (tipiring) saja. Dan untuk proses
pemeriksaan tindak pidana tertentu lainnya, yaitu pelanggaran lalu lintas jalan
tertentu yang juga merupakan bagian dalam acara pemeriksaan cepat.
Terdapat ketentuan dalam Alinea I Angka (2) Bab V Keputusan Menteri
Kehakiman Nomor : M.01.PW.07.03 Tahun 1982 tentang Pedoman Pelaksanaan
KUHAP mengatakan bahwa Acara yang dipakai berlaku ketentuan acara
pemeriksaan tindak pidana ringan, sepanjang ketentuan itu tidak bertentangan
dengan yang diatur dalam paragraf ini,
Isi dari angka 1 Surat Edaran Kejaksaan Agung RI Nomor : B299/E/7/1993 tanggal 16 Juli 1993 perihal Penyelesaian Perkara Pelanggaran
Lalu Lintas Jalan Tertentu menyatakan Dalam Acara Pemeriksaan Cepat
tersebut penyidik atas kuasa penuntut umum mengirimkan berkas Tilang ke
Pengadilan Negeri dan jaksa bertindak sebagai eksekutor, maka ketentuan

penyidik atas kuasa penuntut umum untuk menghadapkan terdakwa beserta


barang bukti ke sidang pengadilan juga berlaku dalam acara pemeriksaan cepat
perkara pelanggaran lalu lintas jalan tertentu.
Ketentuan yang harus tetap diingat dalam proses pemeriksaan ini adalah
bahwa kewenangan pelaksana putusan pengadilan tidaklah diserahkan kepada
penyidik. Hal ini sesuai dengan yang disebutkan dalam Angka 3 Huruf a Bab II
Lampiran Kesepakatan Bersama Ketua Mahkamah Agung, Menteri Kehakiman,
Jaksa Agung, dan Kepala Kepolisian RI (MAKEHJAPOL) tanggal 19 Juni 1993
tentang Petunjuk Pelaksanaan Tata Cara Penyelesaian Pelanggaran Lalu Lintas
Jalan Tertentu yang mengatakan bahwa pelaksana Kesepakatan Bersama
MAKEHJAPOL ini diantaranya adalah jaksa selaku eksekutor.
Kepolisian melalui penyelidik/penyidik pembantunya tidak menggunakan
surat dakwaan dan surat tuntutan (requisitoir) dalam proses pemeriksaan di
sidang pengadilan. Alat yang digunakan adalah surat Tilang (Bukti Pelanggaran).
Hal ini sesuai dengan Pasal 24 ayat (3) Peraturan Pemerintah RI Nomor 80
Tahun 2012 tentang Tata Cara Pemeriksaan Kendaraan Bermotor Di Jalan Dan
Penindakan Pelanggaran Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan, yang berbunyi Tata
acara pemeriksaan tindak pidana pelanggaran tertentu terhadap Undang-Undang
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dilaksanakan dengan menerbitkan surat Tilang.
Akan tetapi dewasa ini peranan sebagai kuasa jaksa penuntut umum yang
dilakukan oleh para pelaksananya dalam perkara pelanggaran lalu lintas
tertentu terlihat kurang profesional. Hal ini cukup beralasan, oleh karena kurang

terampilnya institusi Kepolisian dalam menjalankan tugasnya sebagai kuasa jaksa


penuntut umum. Kekurangterampilannya terlihat dalam mengisi tuntutannya di
surat tilang sebagai alat yang digunakan di dalam pemeriksaan terhadap perkara
ini.
Berdasarkan keadaan yang terjadi, maka penulis tertarik untuk mengkaji
hal tersebut dengan melakukan penelitian untuk penulisan skripsi dengan
judul Implementasi Tugas Polri Selaku Kuasa Penuntut Umum Dalam
Perkara Pelanggaran Lalu Lintas (Tilang) Di Wilayah Hukum Kepolisian
Resort Pematangsiantar.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut, rumusan masalah
penulis kemukakan sebagai acuan pembahasan dalam penelitian hukum yang
adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana Polri melakukan tindakan terhadap pelanggaran peraturan lalu
lintas di wilayah hukum Kepolisian Resort Pemtangsiantar?
2. Bagaimana proses penyidikan terhadap pelanggaran lalu lintas di wilayah
hukum Kepolisian Resort Pematangsiantar?
3. Bagaimana implementasi tugas Polri selaku kuasa penuntut umum di sidang
Pengadilan Negeri dalam perkara pelanggaran peraturan lalu lintas di wilayah
hukum Kepolisian Resort Pematangsiantar?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan di atas maka tujuan
yang hendak dicapai adalah :

1. Untuk mengetahui Polri melakukan tindakan terhadap pelanggaran peraturan


lalu lintas di wilayah hukum Kepolisian Resort Pemtangsiantar.
2. Untuk mengetahui proses penyidikan terhadap pelanggaran lalu lintas di
wilayah hukum Kepolisian Resort Pematangsiantar.
3. Untuk mengetahui implementasi tugas Polri selaku kuasa penuntut umum di
sidang Pengadilan Negeri dalam perkara pelanggaran peraturan lalu lintas di
wilayah hukum Kepolisian Resort Pematangsiantar.
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik secara
teoritis maupun secara praktis, yaitu :
1. Dari aspek teoritis, hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan
pemikiran bagi perkembangan hukum dan tugas Polri.
2. Dari aspek praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan
bagi para praktisi maupun bagi para pihak mengenai tilang.
E. Kerangka Teori dan Kerangka Konsepsi
1. Kerangka Teori
Teori merupakan tujuan akhir dari ilmu pengetahuan. Hal tersebut dapat
dimaklumi, karena batasan dan sifat hakikat suatu teori adalah : seperangkat
konstruk (konsep), batasan dan proporsi yang menyajikan suatu pandangan
sistematis tentang fenomena dengan merinci hubungan-hubungan antar
variabel, dengan tujuan menjelaskan dan memprediksi gejala itu.2

Amiruddin, H. Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT RajaGrafindo


Persada, Jakarta, 2010, hal. 42.

Kerangka pemikiran yang bersifat teoritis dan konseptual selalu ada dan
dipergunakan sebagai dasar dalam penulisan dan analisis terhadap masalah
yang dihadapi. Di dalam kerangka teoritis tidak diperlukan mengemukakan
semua teori dan asas yang berkaitan dengan bidang hukum, tetapi hanya
beberapa saja yang secara kebetulan dipergunakan sebagai contoh.3
Semua warga negara bersamaan kedudukan dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan dan tidak ada
kecualinya. Untuk mewujudkan negara hukum yang Pancasila harus ada alatalat penegak hukum yang mampu bertindak sebagai penegak hukum di negara
tercinta ini. Alat-alat penegak hukum yang bertindak objektif yang didukung
oleh seluruh warganegara akan mampu menciptakan ketertiban dan keadilan
bagi warganegaranya.
Untuk menilai bekerjanya hukum dalam suatu proses, menurut Lawrence
M. Friedman ada 3 komponen yang harus diperhatikan yaitu :
a. Struktur hukum;
b. Substansi hukum;
c. Budaya hukum.
Struktur hukum merupakan bagian yang memberi bentuk dan batasan
terhadap keseluruhan. Bagian yang memberi bentuk tersebut adalah institusiinstitusi penegakan hukum. Substansi hukum adalah aturan, norma dan
perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu. Substansi bukan hanya
3

Ibid, hal. 44

aturan yang ada dalan Undang-Undang, namun mencakup pula hukum yang
hidup (living law). Selanjutnya, budaya hukum merupakan suasana pikiran
sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan,
dihindari atau disalahgunakan.4
Agar dapat terlaksananya peraturan perundang-undangan secara efektif,
menurut Soerjono Soekanto ada faktor-faktor yang mempengaruhinya yaitu :
a. Faktor hukumnya sendiri;
b. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun
menerapkan hukum;
c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum;
d. Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau
diterapkan;
e. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang
didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.5
Kepolisian sebagai kuasa jaksa penuntut umum menjadikan instansi ini
mempunyai kedudukan dan peranan yang baru. Masalah peranan dianggap
penting, karena penggunaan perspektif peranan dianggap mempunyai
keuntungan tertentu. Hal ini disebabkan oleh karena :
1) Fokus utama perspektif peranan adalah dinamika masyarakat.
2) Lebih mudah untuk membuat suatu proyeksi karena pemusatan
perhatian pada segi prosesual.
4

Muhammad Erwin, Filsafat Hukum, Raja Grafindo Persada, Padang , 2011, hal. 107.
Soerjono Soekanto, Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali
Pers, Jakarta, 2010, hal. 8.
5

3) Dalam peranan lebih memperhatikan pelaksanaan hak dan kewajiban


serta tanggung jawabnya.6
Wewenang penuntutan di Indonesia dipegang oleh penuntut umum
sebagai monopoli, artinya tiada badan lain yang boleh melakukan itu. Ini
disebut dengan dominus litis di tangan penuntut umum atau jaksa. Dominus
litis berasal dari bahasa latin, yang artinya pemilik. Hakim tidak dapat
meminta supaya delik diajukan kepadanya, dan mengakibatkan hakim hanya
menunggu saja penuntutan dari penuntut umum.7
Kewenangan tersebut diatur secara prosesual dalam Pasal 137
KUHAP

yang

berbunyi

Penuntut

umum

berwenang

melakukan

penuntutan terhadap siapapun yang didakwanya melakukan suatu tindak


pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara ke pengadilan
yang berwenang mengadili. Secara struktural, kewenangan ini diatur dalam
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan
Republik Indonesia yang mengatakan bahwa Kejaksaan Republik Indonesia
yang selanjutnya dalam Undang-undang ini disebut dengan kejaksaan adalah
lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang
penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang.
Suatu keadaan yang bertentangan dengan wewenang tunggal penuntutan
terjadi manakala dalam perkara tindak pidana pelanggaran lalu lintas yang
6
7

Ibid, hal.22
Ibid, hal.16

10

diperiksa menurut acara pemeriksaan cepat. Penyidik dapat langsung


melimpahkan perkara tersebut ke pengadilan tanpa melalui penuntut umum.
Pelimpahan yang demikian merupakan penyimpangan dari ketentuan umum
yang mengharuskan

penyidik melimpahkan

hasil

penyidikan

kepada

penuntut umum, dan untuk seterusnya penuntut umum yang berwenang


melimpahkan ke pengadilan dalam kedudukannya sebagai aparat penuntut.
Akan tetapi sesuai dengan asas lex specialis derogat legi generale yang
berarti hukum yang bersifat khusus mengenyampingkan hukum yang bersifat
umum, maka ketentuan dalam Pasal 137 KUHAP sebagai lex generale
dapatlah dikesampingkan dalam proses peradilan perkara pelanggaran lalu
lintas jalan tertentu yang memakai acara pemeriksaan cepat (sebagai lex
specialis).
Suatu peranan dapat dijabarkan ke dalam unsur peranan yang ideal
(ideal role), peranan yang seharusnya (expected role), peranan yang dianggap
oleh diri sendiri (perceived role), dan peranan yang sebenarnya dilakukan
(actual role).8
Dalam pelaksanaan peran polisi untuk mencapai keadilan bagi
masyarakat, maka dalam menjalankan fungsinya sebagai aparat penegak
hukum, polisi wajib memahami asas-asas hukum kepolisian yang digunakan
sebagai bahan pertimbangan dalam pelaksanaan tugas. Asas-asas
kepolisian yang digunakan yaitu:
8

Ibid, hal.20

hukum

11

1) Asas Legalitas, yang berarti bahwa dalam melaksanakan tugasnya


sebagai penegak hukum, polisi wajib tunduk pada hukum.
2) Asas Kewajiban, yang berarti bahwa suatu kewajiban bagi polisi dalam
menangani permasalahan dalam masyarakat yang bersifat diskresi, karena
belum diatur dalam hukum.
3) Asas Partisipasi, yang berarti bahwa dalam rangka mengamankan
lingkungan masyarakat, polisi mengkoordinasikan pengamanan swakarsa
untuk mewujudkan ketaatan hukum dikalangan masyarakat Asas Preventif,
yang berarti bahwa polisi selalu mengedepankan tindakan pencegahan dari
pada penindakan langsung kepada masyarakat
4) Asas Subsidaritas, yang berarti bahwa polisi dapat melakukan tugas
instansi lain agar tidak menimbulkan permasalahan yang lebih besar
sebelum ditangani oleh instansi yang membidangi.
Berdasarkan asas diferensiasi, KUHAP telah menggariskan pembagian
tugas adan wewenang masing-masing instansi aparat penegak hukum: polisi
berkedudukan sebagai instansi penyidik dan kejaksaan berkedudukan pokok
sebagai aparat penuntut umum dan pejabat pelaksana eksekusi putusan
pengadilan. Hal ini juga mengarahkan agar terbina tim aparat penegak hukum
yang dibebani tanggungjawab saling mengawasi sesama mereka.9
2. Kerangka Konsepsi
Dalam kerangka konsepsi diungkapkan beberapa konsepsi atau
pengertian yang akan digunakan sebagai dasar penelitian hukum. 10 Untuk
9

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP


(Penyidikan dan Penuntutan), Sinar Grafika, Jakarta, 2014, hal. 49.
10
Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, PT RajaGrafindo
Persada, Jakarta , 2007, hal. 7.

12

menghindari terjadinya konsep yang dipakai dalam penelitian ini, maka


diperlukan penjelasan pengertian konsep yang dipakai sebagai berikut :
Implementasi yaitu pelaksanaan; penerapan yakni pertemuan kedua ini
bermaksud mencari bentuk--tentang hal yang disepakati dulu11
Tugas yaitu yang wajib dikerjakan atau yang ditentukan untuk dilakukan;
pekerjaan yang menjadi tanggung jawab seseorang; pekerjaan yang dibebankan
Selaku yaitu sebagai (tentang kedudukan)
Kuasa yaitu kemampuan atau kesanggupan (untuk berbuat sesuatu);
kekuatan; wewenang atas sesuatu atau untuk menentukan (memerintah,
mewakili, mengurus, dan sebagainya)
Penuntut yaitu orang yang menuntut (perkara, ilmu, dan sebagainya): Penuntut
Umum yaitu jaksa yang menuntut perkara yang disidangkan;
Perkara yaitu masalah; persoalan: ini hanya--kecil saja; urusan (yang perlu
diselesaikan atau dibereskan):
Pelanggaran yaitu perbuatan (perkara) melanggar; tindak pidana yang lebih
ringan daripada kejahatan
Lalu lintas yaitu keadaan hilir mudiknya kendaraan dan sebagainya di jalan;
Tilang yaitu bukti pelanggaran lalu lintas: dikenai bukti pelanggaran;
Wilayah yaitu daerah (kekuasaan, pemerintahan, pengawasan, dan sebagainya);
lingkungan daerah (provinsi, kabupaten, kecamatan);
Kepolisian adalah segala hal-ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga
polisi sesuai dengan perundang-undangan, ataupun badan Pemerintah yang
bertugas memelihara keamanan dan ketertiban umum (menangkap orang yang
melanggar undang-undang).12
F. Metode Penelitian
11

Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI), Cet. 1, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008
12

Dessi Anwar, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Karya Abditama, Surabaya,

2001.

13

1. Jenis Penelitian
Penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah menggabungkan 2
(dua) jenis penelitian yaitu :
a. Penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan (Library
Research) yang melakukan penelitian dengan cara meneliti dan membahas
buku-buku kepustakaan dan Undang-Undang.
b. Penelitian hukum sosiologis atau empiris (Field Research) yaitu melakukan
penelitian secara langsung di lapangan di samping itu juga meneliti data
sekunder dari perpustakaan.
2. Jenis Data, Sumber Data, dan Alat Pengumpulan Data Penelitian.
Sesuai dengan jenis penelitian maka dalam penelitian ini jenis data,
sumber data, dan alat pengumpulan data sebagai berikut :
a. Penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan ( Library
Research), maka data yang dikumpulkan adalah data sekunder yakni data
yang sumbernya diperoleh dari hasil penelahaan kepustakaan atau
penelaahan terhadap literatur atau bahan pustaka. Sumber data sekunder
sering disebut dengan bahan hukum. Bahan hukum terdiri atas:
1) Bahan hukum primer yaitu norma atau kaidah dasar seperti Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945, peraturan dasar seperti ketentuan-ketentuan
dalam batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945, Ketetapan Majelis
Permusyawaratan

Rakyat,

peraturan

perundang-undangan

seperti

Undang-Undang, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang,

14

Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden dan lain-lain, bahan hukum


yang tidak dikodifikasi seperti ketentuan hukum adat, yurisprudensi,
traktat, dan bahan hukum dari zaman penjajahan yang masih berlaku.
2) Bahan hukum sekunder yaitu hasil penelitian, hasil karya dari kalangan
hukum dan lain-lainnya uyang memberi penjelasan tentang badan hukum
primer.
3) Bahan hukum tersier yaitu kamus, ensiklopedia dan lain-lain bahan
hukum yang memberi penjelasan tentang bahan hukum primer.
b. Penelitian bahan hukum sosiologis atau empiris (Field Research) yang
dilakukan dengan cara terutama meneliti data primer adalah data yang
diperoleh langsung dari responden atau dari lapangan, bukan dari bahan
kepustakaan.

Instrument

(alat)

penelitian

yang

digunakan

adalah

wawancara.
c. Dalam penelitian normatif maupun empiris dalam mendapatkan data peneliti
dapat dilakukan melalui pihak-pihak yang dapat memberikan informasi.
Pihak-pihak tersebut adalah responden.
3. Lokasi Penelitian.
Lokasi penelitian hukum normatif dalam penelitian ini dilakukan di
berbagai perpustakaan, baik perpustakaan pribadi, perpustakaan STH YNI
Pematangsiantar. Sedangkan lokasi penelitian empiris dalam penelitian ini
dilakukan di wilayah hukum Kepolisian Resort Pematangsiantar. Lokasi ini
dipilih sesuai dengan judul penelitian.

15

4. Analisis Data Penelitian.


Analisis data penelitian yang diterapkan dalam penelitian hukum ini
adalah analisis kualitatif dan analisis hukum yang mengedepankan :
a. Kaidah hukum, yaitu sebagai pedoman hidup mengenai bagaimana
seharusnya orang berprilaku dalam kehidupan bermasyarakat agar
kepentingan orang lain terlindungi.
b. Asas hukum, yaitu prinsip hukum yang merupakan dasar dalam satu
kebijakan peraturan perundang-undangan yang konkrit.
c. Sinkronisasi peraturan perundang-undangan, sebagai kesesuaian antara satu
peraturan perundang-undangan dengan lainnya, apakah secara vertikal atau
horizontal.
d. Adagium hukum, atau biasa disebut semboyan hukum sebagai pendorong
semangat

peneliti

agar

menemukan

secara

lengkap

menjawab/memecahkan permasalahan hukum yang diteliti.

data

guna

16

Jadwal Penelitian
No.

Tahap-tahap Penelitian

1.

Persiapan

2.

Pelaksanaan

3.

Pengolahan data

4.

Penulisan Laporan Hasil


Penelitian/Skripsi

Rincian Kegiatan Penelitian


a. Membuat, mengajukan
dan seminar proposal.
b. Mengurus surat-surat
penelitian.
c. Meninjau lokasi, uji coba
wawancara.
a. Mengumpulkan data
sekunder melalui telaah
kepustakaan
b. Mengumpulkan data
melalui wawancara
a. Mengecek kecukupan dan
akurasi data.
b. Menganalisis data untuk
menjawab/memecahkan
permasalahan.
c. Menarik kesimpulan
penelitian.
a. Penulisan skripsi/hasil
penelitian.
b. Memeriksa hasil penelitian
skripsi

Waktu yang
Diperlukan
2 Minggu

4 Minggu

2 Minggu

4 Minggu

17

DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Amiruddin, Asikin, H. Zainal, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT
RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2010.
Erwin, Muhammad, Filsafat Hukum, Raja Grafindo Persada, Padang , 2011
Gunawan, Ilham, Peran Kejaksaan Dalam menegakkan Hukum Dan Stabilitas
Politik, Sinar Grafika, Jakarta, 1994
Harahap, M. Yahya, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP
(Penyidikan dan Penuntutan), Sinar Grafika, Jakarta, 2014
Soekanto, Soerjono, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, PT
RajaGrafindo Persada, Jakarta , 2007
________________, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum,
Rajawali Pers, Jakarta, 2011
B. Perundang-undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Politeia, Bogor, 1991.
Undang-Undang 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Undang-Undang dan Peraturan Kepolisian Republik Indonesia, Sinar Grafika,
Jakarta, 2011.
Peraturan Pemerintah RI Nomor 80 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pemeriksaan
Kendaraan Bermotor Di Jalan Dan Penindakan Pelanggaran Lalu Lintas
Dan Angkutan Jalan
C. Kamus
Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI), Cet. 1, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008
Dessi Anwar, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Karya Abditama, Surabaya,
2001.

Anda mungkin juga menyukai