Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

Email : oh.lala.sari@gmail.com

(ratusan judul makalah/laporan koass)

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...................................................................................... i

DAFTAR ISI ................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1

BAB II BELLS PALSY .................................................................................. 2

2.1. Definisi.................................................................................................... 2

2.2. Struktur Anatomi..................................................................................... 2

2.3. Epidemiologi........................................................................................... 4

2.4. Etiologi.................................................................................................... 4

2.5. Patofisiologi............................................................................................ 5

2.6. Gejala Klinis............................................................................................ 7

2.7. Blink Reflex............................................................................................ 8

2.8. Penegakan Diagnosis............................................................................... 8

2.9. Diagnosa Banding .................................................................................. 10

2.10. Penatalaksanaan...................................................................................... 10

2.11. Komplikasi.............................................................................................. 13

2.12. Prognosis................................................................................................. 14

BAB III KESIMPULAN ................................................................................. 16

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 17

ii
BAB I
PENDAHULUAN

Bells palsy merupakan salah satu gangguan neurologik yang paling sering
mempengaruhi nervus cranialis. Gangguan ini berupa paresis atau paralisis fasial
perifer yang terjadi tiba-tiba, bersifat unilateral tanpa penyebab yang jelas.
Sindroma paralisis fasial idiopatik ini pertama kali dijelaskan lebih dari satu abad
yang lalu oleh Sir Charles Bell, meskipun masih banyak kontroversi mengenai
etiologi dan penatalaksanaannya, Bells palsy merupakan penyebab paralisis fasial
yang paling sering di dunia.
Insidensi Bells palsy di Amerika Serikat adalah sekitar 23 kasus per
100.000 orang. Insiden Bells palsy tampak cukup tinggi pada orang-orang
keturunan Jepang, dan tidak ada perbedaan distribusi jenis kelamin pada pasien-
pasien dengan Bells palsy. Usia mempengaruhi probabilitas kontraksi Bells palsy.
Insiden paling tinggi pada orang dengan usia antara 15-45 tahun. Bells palsy lebih
jarang pada orang-orang yang berusia di bawah 15 tahun dan yang berusia di atas
60 tahun.(1)
Pada sebagian besar penderita Bells Palsy kelumpuhannya dapat
menyembuh, namun pada beberapa diantara mereka kelumpuhannya sembuh
dengan meninggalkan gejala sisa. Gejala sisa ini berupa kontraktur, dan spasme
spontan. Permasalahan yang ditimbulkan Bells palsy cukup kompleks,
diantaranya masalah fungsional, kosmetika dan psikologis sehingga dapat
merugikan tugas profesi penderita, permasalahan kapasitas fisik (impairment)
antara lain berupa asimetris wajah, rasa kaku dan tebal pada wajah sisi lesi,
penurunan kekuatan otot wajah pada sisi lesi, potensial terjadi kontraktur dan
perlengketan jaringan, potensial terjadi iritasi pada mata sisi lesi. Sedangkan
permasahan fungsional (fungsional limitation) berupa gangguan fungsi yang
melibatkan otot-otot wajah, seperti makan dan minum, berkumur, gangguan
menutup mata, gangguan bicara dan gangguan ekspresi wajah. Semua hal ini
dapat menyebabkan individu tersebut menjadi tidak percaya diri.

1
BAB II
BELLS PALSY

2.1. Definisi
Kelumpuhan wajah adalah suatu bentuk kecacatan yang memberikan
dampak yang kuat pada seseorang. Kelumpuhan nervus facialis dapat disebabkan
oleh bawaan lahir (kongenital), neoplasma, trauma, infeksi, paparan toksik
ataupun penyebab iatrogenik. Yang paling sering menyebabkan kelumpuhan
unilateral pada wajah adalah Bells palsy. Bells palsy ditemukan oleh dokter dari
inggris yang bernama Charles Bell. Bells palsy didefinisikan sebagai suatu
keadaan paresis atau kelumpuhan yang akut dan idiopatik akibat disfungsi nervus
facialis perifer.(1)
2.2. Struktur anatomi
Saraf otak ke VII mengandung 4 macam serabut, yaitu :
a. Serabut somato motorik, yang mensarafi otot-otot wajah kecuali m. levator
palpebrae (N.III), otot platisma, stilohioid, digastrikus bagian posterior dan
stapedius di telinga tengah
b. Serabut visero-motorik, (parasimpatis) yang datang dari nukleus salivatorius
superior. Serabut saraf ini mengurus glandula dan mukosa faring, palatum,
rongga hidung, sinus paranasal, dan glandula submaksilaris serta sublingual
dan lakrimalis.
c. Serabut visero-sensorik, yang menghantar impuls dari alat pengecap di dua
pertiga bagian depan lidah.
d. Serabut somato-sensorik, rasa nyeri dan mungkin juga rasa suhu dan rasa raba
dari sebagian daerah kulit dan mukosa yang dipersarafi oleh nervus
trigeminus.
Nervus VII terutama terdiri dari saraf motorik yang mempersarafi seluruh
otot mimik wajah. Komponen sensorisnya kecil, yaitu nervus intermedius
Wrisberg yang mengantarkan rasa pengecapan dari 2/3 bagian anterior lidah dan
sensasi kulit dari dinding anterior kanalis auditorius eksterna. Serabut-serabut rasa
pengecapan pertama-tama melintasi nervus lingual, yaitu cabang dari nervus
mandibularis lalu masuk ke korda timpani dimana ia membawa sensasi
pengecapan melalui nervus fasialis ke nukleus traktus solitarius. Serabut-serabut

2
sekretomotor menginervasi kelenjar lakrimal melalui nervus petrosus superfisial
major dan kelenjar sublingual serta kelenjar submaksilar melalui korda timpani.
Nukleus (inti) motorik nervus VII terletak di ventrolateral nukleus
abdusens, dan serabut nervus fasialis dalam pons sebagian melingkari dan
melewati bagian ventrolateral nukleus abdusens sebelum keluar dari pons di
bagian lateral traktus kortikospinal. Karena posisinya yang berdekatan
(jukstaposisi) pada dasar ventrikel IV, maka nervus VI dan VII dapat terkena
bersama-sama oleh lesi vaskuler atau lesi infiltratif. Nervus fasialis masuk ke
meatus akustikus internus bersama dengan nervus akustikus lalu membelok tajam
ke depan dan ke bawah di dekat batas anterior vestibulum telinga dalam. Pada
sudut ini (genu) terletak ganglion sensoris yang disebut genikulatum karena
sangat dekat dengan genu.

Nervus fasialis berjalan melalui kanalis fasialis tepat di bawah ganglion


genikulatum untuk memberikan percabangan ke ganglion pterygopalatina, yaitu
nervus petrosus superfisial major, dan di sebelah yang lebih distal memberi
persarafan ke m. stapedius yang dihubungkan oleh korda timpani. Lalu nervus
fasialis keluar dari kranium melalui foramen stylomastoideus kemudian melintasi

3
kelenjar parotis dan terbagi menjadi lima cabang yang melayani otot-otot wajah,
m. stilomastoideus, platisma dan m. digastrikus venter posterior.

2.3. Epidemiologi
Bells palsy menempati urutan ketiga penyebab terbanyak dari paralisis
fasial akut. Di dunia, insiden tertinggi ditemukan di Seckori, Jepang tahun 1986
dan insiden terendah ditemukan di Swedia tahun 1997. Di Amerika Serikat,
insiden Bells palsy setiap tahun sekitar 23 kasus per 100.000 orang, 63%
mengenai wajah sisi kanan. Insiden Bells palsy rata-rata 15-30 kasus per
100.000 populasi. Penderita diabetes mempunyai resiko 29% lebih tinggi,
dibanding non-diabetes. Bells palsy mengenai laki-laki dan wanita dengan
perbandingan yang sama. Akan tetapi, wanita muda yang berumur 10-19 tahun
lebih rentan terkena daripada laki-laki pada kelompok umur yang sama.
Penyakit ini dapat mengenai semua umur, namun lebih sering terjadi pada umur
15-50 tahun. Pada kehamilan trisemester ketiga dan 2 minggu pasca persalinan
kemungkinan timbulnya Bells palsy lebih tinggi daripada wanita tidak hamil,
bahkan bisa mencapai 10 kali lipat.

2.4. Etiologi
Diperkirakan, penyebab Bells palsy adalah edema dan iskemia akibat
penekanan (kompresi) pada nervus fasialis. Penyebab edema dan iskemia ini
sampai saat ini masih diperdebatkan. Dulu, paparan suasana/suhu dingin
(misalnya hawa dingin, AC, atau menyetir mobil dengan jendela yang terbuka)
dianggap sebagai satu-satunya pemicu Bells palsy. Akan tetapi, sekarang mulai
diyakini HSV sebagai penyebab Bells palsy, karena telah diidentifikasi HSV pada
ganglion geniculata pada beberapa penelitian otopsi. Murakami et all juga
melakukan tes PCR (Polymerase-Chain Reaction) pada cairan endoneural N.VII
penderita Bells palsy berat yang menjalani pembedahan dan menemukan HSV
dalam cairan endoneural. Virus ini diperkirakan dapat berpindah secara axonal
dari saraf sensori dan menempati sel ganglion, pada saat adanya stress, akan
terjadi reaktivasi virus yang akan menyebabkan kerusakan local pada myelin.(2)

2.5. Patofisiologi
Para ahli menyebutkan bahwa pada Bells palsy terjadi proses inflamasi
akut pada nervus fasialis di daerah tulang temporal, di sekitar foramen

4
stilomastoideus. Bells palsy hampir selalu terjadi secara unilateral.
Patofisiologinya belum jelas, tetapi salah satu teori menyebutkan terjadinya proses
inflamasi pada nervus fasialis yang menyebabkan peningkatan diameter nervus
fasialis sehingga terjadi kompresi dari saraf tersebut pada saat melalui tulang
temporal. Perjalanan nervus fasialis keluar dari tulang temporal melalui kanalis
fasialis yang mempunyai bentuk seperti corong yang menyempit pada pintu keluar
sebagai foramen mental. Dengan bentukan kanalis yang unik tersebut, adanya
inflamasi, demyelinisasi atau iskemik dapat menyebabkan gangguan dari
konduksi. Impuls motorik yang dihantarkan oleh nervus fasialis bisa mendapat
gangguan di lintasan supranuklear, nuklear dan infranuklear. Lesi supranuklear
bisa terletak di daerah wajah korteks motorik primer atau di jaras kortikobulbar
ataupun di lintasan asosiasi yang berhubungan dengan daerah somatotropik wajah
di korteks motorik primer.
Paparan udara dingin seperti angin kencang, AC, atau mengemudi dengan
kaca jendela yang terbuka diduga sebagai salah satu penyebab terjadinya Bells
palsy. Karena itu nervus fasialis bisa sembab, ia terjepit di dalam foramen
stilomastoideus dan menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN. Pada lesi LMN
biasa terletak di pons, di sudut serebelo-pontin, di os petrosum atau kavum
timpani, di foramen stilomastoideus dan pada cabang-cabang tepi nervus fasialis.
Lesi di pons yang terletak di daerah sekitar inti nervus abdusens dan fasikulus
longitudinalis medialis. Karena itu paralisis fasialis LMN tersebut akan disertai
kelumpuhan muskulus rektus lateralis atau gerakan melirik ke arah lesi. Selain itu,
paralisis nervus fasialis LMN akan timbul bersamaan dengan tuli perseptif
ipsilateral dan ageusia (tidak bisa mengecap dengan 2/3 bagian depan lidah).
Berdasarkan beberapa penelitian bahwa penyebab utama Bells palsy adalah
reaktivasi virus herpes (HSV tipe 1 dan virus herpes zoster) yang menyerang saraf
kranialis. Terutama virus herpes zoster karena virus ini menyebar ke saraf melalui
sel satelit. Pada radang herpes zoster di ganglion genikulatum, nervus fasialis bisa
ikut terlibat sehingga menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN.(1)

5
Kelumpuhan pada Bells palsy akan terjadi bagian atas dan bawah dari otot
wajah seluruhnya lumpuh. Dahi tidak dapat dikerutkan, fisura palpebra tidak
dapat ditutup dan pada usaha untuk memejam mata terlihatlah bola mata yang
berbalik ke atas. Sudut mulut tidak bisa diangkat. Bibir tidak bisa dicucurkan dan
platisma tidak bisa digerakkan. Karena lagoftalmos, maka air mata tidak bisa

6
disalurkan secara wajar sehingga tertimbun. Gejala-gejala pengiring seperti
ageusia dan hiperakusis tidak ada karena bagian nervus fasialis yang terjepit di
foramen stilomastoideum sudah tidak mengandung lagi serabut korda timpani dan
serabut yang mensyarafi muskulus stapedius.

2.6. Gejala Klinis


Kelumpuhan perifer N.VII memberikan ciri yang khas hingga dapat
didiagnosa dengan inspeksi. Otot muka pada sisi yang sakit tak dapat bergerak.
Lipatan-lipatan di dahi akan menghilang dan Nampak seluruh muka sisi yang
sakit akan mencong tertarik ke arah sisi yang sehat. Gejala kelumpuhan perifer ini
tergantung dari lokalisasi kerusakan.(3)
a. Kerusakan setinggi foramen stilomastoideus.
Gejala : kelumpuhan otot-otot wajah pada sebelah lesi.
Sudut mulut sisi lesi jatuh dan tidak dapat diangkat
Makanan berkumpul diantara pipi dan gusi pada sebelah lesi
Tidak dapat menutup mata dan mengerutkan kening pada sisi lesi
Kelumpuhan ini adalah berupa tipe flaksid, LMN. Pengecapan dan sekresi air
liur masih baik.

b. Lesi setinggi diantara khorda tympani dengan n.stapedeus (didalam kanalis


fasialis).
Gejala: seperti (a) ditambah dengan gangguan pengecapan 2/3 depan lidah dan
gangguan salivasi.
c. Lesi setinggi diantara n.stapedeus dengan ganglion genikulatum.
Gejala: seperti (b) ditambah dengan gangguan pendengaran yaitu hiperakusis.
d. Lesi setinggi ganglion genikulatum.
Gejala: seperti (c) ditambah dengan gangguan sekresi kelenjar hidung dan
gangguan kelenjar air mata (lakrimasi).
e. Lesi di porus akustikus internus.
Gangguan: seperti (d) ditambah dengan gangguan pada N.VIII.

Yang paling sering ditemui ialah kerusakan pada tempat setinggi foramen
stilomastoideus dan pada setinggi ganglion genikulatum. Adapun penyebab yang
sering pada kerusakan setinggi genikulatum adalah : Herpes Zoster, otitis media
perforata dan mastoiditis.

7
2.7. Penegakan Diagnosis
Diagnosis Bells palsy dapat ditegakkan dengan melakukan anamnesis dan
pemeriksaan fisis. Pada pemeriksaan nervus kranialis akan didapatkan adanya
parese dari nervus fasialis yang menyebabkan bibir mencong, tidak dapat
memejamkan mata dan adanya rasa nyeri pada telinga. Hiperakusis dan augesia
juga dapat ditemukan. Harus dibedakan antara lesi UMN dan LMN. Pada Bells
palsy lesinya bersifat LMN.(4)
a. Anamnesis.
Hampir semua pasien yang dibawa ke ruang gawat darurat merasa bahwa
mereka menderita stroke atau tumor intrakranial. Hampir semua keluhan yang
disampaikan adalah kelemahan pada salah satu sisi wajah.
Nyeri postauricular: Hampir 50% pasien menderita nyeri di regio mastoid.
Nyeri sering muncul secara simultan disertai dengan paresis, tetapi paresis
muncul dalam 2-3 hari pada sekitar 25% pasien.
Aliran air mata: Dua pertiga pasien mengeluh mengenai aliran air mata
mereka. Ini disebabkan akibat penurunan fungsi orbicularis oculi dalam

8
mengalirkan air mata. Hanya sedikit air mata yang dapat mengalir hingga
saccus lacrimalis dan terjadi kelebihan cairan. Produksi air mata tidak
dipercepat.
Perubahan rasa: Hanya sepertiga pasien mengeluh tentang gangguan rasa,
empat per lima pasien menunjukkan penurunan rasa. Hal ini terjadi akibat
hanya setengah bagian lidah yang terlibat.
Mata kering.
Hyperacusis: kerusakan toleransi pada tingkatan tertentu pada telinga
akibat peningkatan iritabilitas mekanisme neuron sensoris.
b. Pemeriksaan fisik.
Gambaran paralisis wajah mudah dikenali pada pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan yang lengkap dan tepat dapat menyingkirkan kemungkinan
penyebab lain paralisis wajah. Pikirkan etiologi lain jika semua cabang nervus
facialis tidak mengalami gangguan.
Definisi klasik Bell palsy menjelaskan tentang keterlibatan mononeuron
dari nervus facialis, meskipun nervus cranialis lain juga dapat terlibat.
Nervus facialis merupakan satu-satunya nervus cranialis yang
menunjukkan gambaran gangguan pada pemeriksaan fisik karena
perjalanan anatomisnya dari otak ke wajah bagian lateral.
Kelamahan dan/atau paralisis akibat gangguan pada nervus facialis tampak
sebagai kelemahan seluruh wajah (bagian atas dan bawah) pada sisi yang
diserang. Perhatikan gerakan volunter bagian atas wajah pada sisi yang
diserang.
Pada lesi supranuklear seperti stroke kortikal (neuron motorik atas; di atas
nucleus facialis di pons), dimana sepertiga atas wajah mengalami
kelemahan dan dua per tiga bagian bawahnya mengalami paralisis.
Musculus orbicularis, frontalis dan corrugator diinervasi secara bilateral,
sehingga dapat dimengerti mengenai pola paralisis wajah.
Lakukan pemeriksaan nervus cranialis lain: hasil pemeriksaan biasanya
normal.
Membran timpani tidak boleh mengalami inflamasi; infeksi yang tampak
meningkatkan kemungkinan adanya otitis media yang mengalami
komplikasi.
c. Pemeriksaan laboratorium.
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk menegakkan
diagnosis Bells palsy. Namun pemeriksaan kadar gula darah atau HbA1c

9
dapat dipertimbangkan untuk mengetahui apakah pasien tersebut menderita
diabetes atau tidak. Pemeriksaan kadar serum HSV juga bisa dilakukan namun
ini biasanya tidak dapat menentukan dari mana virus tersebut berasal.
d. Pemeriksaan radiologi.
Bila dari anamneses dan pemeriksaan fisik telah mengarahkan ke diagnose
Bells palsy maka pemeriksaan radiologi tidak diperlukan lagi, karena pasien-
pasien dengan Bells palsy umumnya akan mengalami perbaikan dalam 8-10
minggu. Bila tidak ada perbaikan ataupun mengalami perburukan, pencitraan
mungkin akan membantu. MRI mungkin dapat menunjukkan adanya tumor
(misalnya Schwannoma, hemangioma, meningioma). Bila pasien memiliki
riwayat trauma maka pemeriksaan CT-Scan harus dilakukan.

2.8. Diagnosa Banding


Kondisi lain yang dapat menyebabkan kelumpuhan nervus fasialis
diantaranya tumor, infeksi herpes zoster pada ganglion genikulatum (Ramsay
Hunt syndrom), penyakit Lyme, AIDS, infeksi Tuberculosa pada mastoid ataupun
telinga tengah, Guillen Barre syndrome.

2.9. Penatalaksanaan
a. Agen antiviral.
Meskipun pada penelitian yang pernah dilakukan masih kurang menunjukkan efektifitas obat-obat antivirus pada Bells palsy, hampir

semua ahli percaya pada etiologi virus. Penemuan genom virus disekitar nervus fasialis memungkinkan digunakannya agen-agen

antivirus pada penatalaksanaan Bells palsy. Oleh karena itu, zat antiviral merupakan pilihan yang logis sebagai penatalaksaan

farmakologis dan sering dianjurkan pemberiannya. Acyclovir 400 mg selama 10 hari dapat digunakan dalam penatalaksanaan Bells

palsy. Acyclovir akan berguna jika diberikan pada 3 hari pertama dari onset penyakit untuk mencegah replikasi virus.
(5)
Nama obat Acyclovir (Zovirax) menunjukkan aktivitas hambatan
langsung melawan HSV-1 dan HSV-2, dan sel yang terinfeksi
secara selektif.
Dosis dewasa 4000 mg/24 jam peroral selama 7-10 hari.
Dosis pediatrik < 2 tahun : tidak dianjurkan.
> 2 tahun : 1000 mg peroral dibagi 4 dosis selama 10 hari.
Kontraindikasi Pernah dilaporkan adanya hipersensitivitas.
Interaksi obat Penggunaan bersama dengan probenecid atau zidovudine dapat
memperpanjang waktu paruh dan meningkatkan toksisitas
acyclovir terhadap SSP.
Kehamilan C keamanan penggunaan selama kehamilan belum pernah

10
dilaporkan.
Perhatian Hati-hati pada gagal ginjal atau bila menggunakan obat yang
bersifat nefrotoksik.
b. Kortikosteroid.
Pengobatan Bells palsy dengan menggunakan steroid masih merpakan suatu
kontroversi. Berbagai artikel penelitian telah diterbitkan mengenai keuntungan
dan kerugian pemberian steroid pada Bells palsy. Para peneliti lebih
cenderung memilih menggunakan steroid untuk memperoleh hasil yang lebih
baik. Bila telah diputuskan untuk menggunakan steroid, maka harus segera
dilakukan konsensus. Prednison dengan dosis 40-60 mg/ hari per oral atau 1
mg/ kgBB/ hari selama 3 hari, diturunkan perlahan-lahan selama 7 hari
kemudian, dimana pemberiannya dimulai pada hari kelima setelah onset
penyakit, gunanya untuk meningkatkan peluang kesembuhan pasien.

Nama obat Prednisone (Deltasone, Orasone, Sterapred) efek


farmakologis yang berguna adalah efek antiinflamasinya, yang
menurunkan kompresi nervus facialis di canalis facialis.
Dosis dewasa 1 mg/kg/hari peroral selama 7 hari.
Dosis pediatrik Pemberian sama dengan dosis dewasa.
Kontraindikasi Pernah dilaporkan adanya hipersensitivitas; infeksi virus,
jamur, jaringan konektif, dan infeksi kulit tuberkuler; penyakit
tukak lambung; disfungsi hepatik; penyakit gastrointestinal.
Interaksi obat Pemberian bersamaan dengan estrogen dapat menurunkan
klirens prednisone; penggunaan dengan digoksin dapat
menyebabkan toksisitas digitalis akibat hipokalemia;
fenobarbital, fenitoin, dan rifampin dapat meningkatkan
metabolisme glukokortikoid (tingkatkan dosis pemeliharaan);
monitor hipokalemia bila pemberian bersama dengan obat
diuretik.
Kehamilan B biasanya aman tetapi keuntungan obat ini dapat
memperberat resiko.
Perhatian Penghentian pemberian glukokortikoid secara tiba-tiba dapat
menyebabkan krisis adrenal; hiperglikemia, edema,
osteonekrosis, miopati, penyakit tukak lambung, hipokalemia,
osteoporosis, euforia, psikosis, myasthenia gravis, penurunan

11
pertumbuhan, dan infeksi dapat muncul dengan penggunaan
bersama glukokortikoid.

c. Perawatan mata.
Mata sering tidak terlindungi pada pasien-psien dengan Bells palsy. Sehingga
pada mata beresiko terjadinya kekeringan kornea dan terpapar benda asing.
Atasi dengan pemberian air mata pengganti, lubrikan, dan pelindung mata.
Air mata pengganti: digunakan selama pasien terbangun untuk mengganti
air mata yang kurang atau tidak ada.
Lubrikan digunakan saat sedang tidur. Dapat juga digunakan saat
terbangun jika air mata pengganti tidak cukup melindungi mata. Salah satu
kerugiannya adalah pandangan kabur selama pasien terbangun.
Kaca mata atau pelindung yang dapat melindungi mata dari jejas dan
mengurangi kekeringan dengan menurunkan jumlah udara yang
mengalami kontak langsung dengan kornea.
d. Konsultasi.
Dokter yang menangani pasien ini harus melakukan pemeriksaan lanjutan
yang ketat. Dokumentasi yang dilakukan harus mencakup kemajuan
penyembuhan pasien. Berbagai pendapat muncul mengenai perlunya rujukan
ke dokter spesialis. Indikasi untuk merujuk adalah sebagai berikut:
Ahli neurologi: bila dijumpai tanda-tanda neurologik pada pemeriksaan
fisik dan tanda-tanda yang tidak khas dari Bell palsy, maka segera dirujuk.
Ahli penyakit mata: bila terjadi nyeri okuler yang tidak jelas atau
gambaran yang abnormal pada pemeriksaan fisik, pasien harus dirujuk
untuk pemeriksaan lanjutan.
Ahli otolaryngologi: pada pasien-pasien dengan paralisis persisten,
kelemahan otot wajah yang lama, atau kelemahan yang rekuren, sebaiknya
dirujuk.
Ahli bedah: pembedahan untuk membebaskan nervus facialis kadang
dianjurkan untuk pasien dengan Bell palsy. Pasien dengan prognosis yang
buruk setelah pemeriksaan nervus facialis atau paralisis persisten cukup
baik untuk dilakukan pembedahan.

2.10. Komplikasi

12
Hampir semua pasien dengan Bell palsy dapat sembuh tanpa mengalami
deformitas kosmetik, tetapi sekitar 5% mengalami gejala sisa cukup berat yang
tidak dapat diterima oleh pasien.
a.Regenerasi motorik yang tidak sempurna.
Bagian terbesar dari nervus facialis terdiri dari serabut saraf eferen
yang merangsang otot-otot ekspresi wajah. Bila bagian motorik
mengalami regenerasi yang tidak optimal, maka dapat terjadi paresis
semua atau beberapa otot wajah tersebut.
Gangguan tampak sebagai (1) inkompetensi oral, (2) epifora (produksi
air mata berlebihan), dan (3) obstruksi nasal.
b. Regenerasi sensoris yang tidak sempurna.
Dysgeusia (gangguan rasa).
Ageusia (hilang rasa).
Dysesthesia gangguan sensasi atau sensasi yang tidak sesuai dengan
stimulus normal).
c.Reinervasi aberan dari nervus facialis.
Setelah gangguan konduksi neuron pada nervus facialis dimulai
dengan regenerasi dan proses perbaikan, beberapa serabut saraf akan
mengambil jalan lain dan dapat berhubungan dengan serabut saraf di
dekatnya. Rekoneksi aberan ini dapat menyebabkan jalur neurologik
yang tidak normal.
Bila terjadi gerakan volunter, biasanya akan disertai dengan gerakan
involunter (seperti gerakan menutup mata yang satu diikuti dengan
gerakan menutup mata disebelahnya). Gerakan involunter yang
menyertai gerakan volunter ini disebut synkinesis.
2.11. Prognosis
Penderita Bells palsy dapat sembuh total atau meninggalkan gejala sisa.
Faktor resiko yang memperburuk prognosis Bells palsy adalah:
a. Usia di atas 60 tahun.
b. Paralisis komplit.
c. Menurunnya fungsi pengecapan atau aliran saliva pada sisi yang lumpuh.
d. Nyeri pada bagian belakang telinga.
e. Berkurangnya air mata.
Pada umumnya prognosis Bells palsy baik: sekitar 80-90 % penderita
sembuh dalam waktu 6 minggu sampai tiga bulan tanpa ada kecacatan. Penderita
yang berumur 60 tahun atau lebih, mempunyai peluang 40% sembuh total dan
beresiko tinggi meninggalkan gejala sisa. Penderita yang berusia 30 tahun atau

13
kurang, hanya memiliki perbedaan peluang 10-15 persen antara sembuh total
dengan meninggalkan gejala sisa. Jika tidak sembuh dalam waktu 4 bulan, maka
penderita cenderung meninggalkan gejala sisa, yaitu sinkinesis, crocodile tears
dan kadang spasme hemifasial.(6)
Penderita diabetes 30% lebih sering sembuh secara parsial dibanding
penderita nondiabetik dan penderita DM lebih sering kambuh dibanding yang non
DM. Hanya 23% kasus Bells palsy yang mengenai kedua sisi wajah. Bells palsy
kambuh pada 10-15 % penderita. Sekitar 30 % penderita yang kambuh ipsilateral
menderita tumor N. VII atau tumor kelenjar parotis.

14
BAB III
KESIMPULAN

Bells palsy didefinisikan sebagai suatu keadaan paresis atau kelumpuhan


yang akut dan idiopatik akibat disfungsi nervus facialis perifer. Penyebab Bells
palsy adalah edema dan iskemia akibat penekanan (kompresi) pada nervus
fasialis.
Kelumpuhan perifer N.VII memberikan ciri yang khas hingga dapat
didiagnosa dengan inspeksi. Otot muka pada sisi yang sakit tak dapat bergerak.
Lipatan-lipatan di dahi akan menghilang dan nampak seluruh muka sisi yang sakit
akan mencong tertarik ke arah sisi yang sehat. Gejala kelumpuhan perifer ini
tergantung dari lokalisasi kerusakan.
Pengobatan pasien dengan Bells palsy adalah dengan kombinasi obat-
obatan antiviral dan kortikosteroid serta perawatan mata yang berkesinambungan.
Prognosis pasien dengan Bells palsy relative baik meskipun pada beberapa
pasien, gejala sisa dan rekurensi dapat terjadi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Monnel, K., Zachariah, S., Khoromi, S. 2012. Bells Palsy. Available


from : Error: Reference source not found.
2. Holland, J. Bells Palsy. Brithis Medical Journal. 2008;01;1204.

15
3. Ropper AH, Brown RH. Bells Palsy Disease Of The Cranial Nerve.
Adams and Victors Principles of Neurology, 8th ed. New York : McGraw
Hill, 2010. 1181-1184.
4. Mardjono, M. Sidharta, P. Nervus Fasialis dan Patologinya. Neurologi
Klinis Dasar, 5th ed. Jakarta : PT Dian Rakyat, 2010. 159-163.
5. Sjahrir, Hasan. Nervus Fasialis. Medan ;Yandira Agung, 2013.
6. Rohkamm, Reinhard. Facial Nerve Lesions. Color Atlas of Neurology 2nd
ed. George Thieme Verlag: German, 2010. 98-99.
7. Nurdin, Moslem Hendra, 2010, Bell Palsy,
http://coolhendra.blogspot.com/2010.blogspot.com/2010/08/bell-
palsy.html
8. Djamil Y, A Basjiruddin. Paralisis Bell. Dalam: Harsono, ed. Kapita
selekta neurologi; Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.2011. hal
297-300
9. Lumbantobing. 2010.Neurologi Klinik.Jakarta: Universitas Indonesia.
10. Irga, 2012, Bells Palsy, http://www.irwanashari.com/260/bells-
palsy.html,

16

Anda mungkin juga menyukai