Anda di halaman 1dari 2

Aku mengeluarkan koper merah dari bagasi mobil.

Adikku Tama membantu mengeluarkan barangbarang dari bagasi dan menyeretnya kedalam rumah. Mobil pindahan yang disewa bilang mereka
terlambat sekitar 3 jam karena ban mereka pecah ditengah jalan.
"Eeh, cucu eyang udah sampai, berapa lama dijalan neng?" Kata eyang uti sambil memelukku dan Tama.
"Enam jam eyang, macet." kataku sedikit merengut kesal. Aku diajaknya masuk ke dalam rumah.
"Dimeja eyang sudah buat untuk kamu sama Tama es teh biar seger. Terus kalau mau langsung makan, ke
dapur aja, ada sop iga masih anget. Eyang mau kerumah bu endang dulu, ada pengajian." Katanya
berpamitan lalu pergi.
Aroma perabotan kayu menyeruak lembut ke hidung, seberapa lama pun aku tidak kesini, aku tidak
pernah lupa bau khas rumah eyang yang membuat siapapun nyama untuk tinggal. Aku duduk disofa
kulit, merebahkan persendian yang kaku karena duduk berjam jam di mobil sambil mendongakkan kepala
dengan mata terpejam. Lelah.
"Dan, liat ruang atasnya udah jadi." Kata Tama sambil menunjuk kamar lantai atas yang ia maksud. Aku
terlalu lelah untuk keatas apa lagi membayangkan belasan anak tangga yang akan menggerogoti tenagaku
yang belum pulih benar. Tama sih enak dari tadi cuma tidur bangun tidur bangun, nggak ikut menikmati
sengsaranya tol yang macet disesaki ratusan mobil yang masuk ke kota Bandung untuk sekedar rekreasi
dan wisata. Salah juga sih berangkat akhir pekan begini.
Aku mulai merasa lelahku mencapai tingkat akut.jadi mau tidak mau aku mengeluarkan banyak tenaga
dan pengorbanan untuk mencapai lantai atas demi kasur empuk pemeras rasa lelah. Diseretnya kaki
belasan ton ini (lebay) untuk sampai keatas. Kaki kiri emang paling sengsara terutama menginjak pedal
kopling berkali-kali. "Tamaaaa, kamar lo yang mana kamar gue yang mana?" Aku berteriak susah payah.
"gue yang ada nomor satu dipintunya lo yang kirinya Dan." katanya bersuara dari arah ruang makan. ya,
aku lihat kamar dengan angka satu besar berwarna tosca di pintu. Disebelah kirinya pintu putih ditempel
kertas dengan tulisan tangan berhuruf kapital "KAMAR BUAT DANI'
Aku masuk dan menemukan ruangan kosong yang sudah disiapkan eyang untuk tinggalku nanti, Tama
memilih kamar sebelah yang tidak begitu luas, dan terlihat simple untuk bocah berantakan macam dia.
Sedangkan untukku bagian atap/loteng sedikit miring jadi seperti mengerucut kearah jendela besar atau
bisa juga disebut pintu kaca setinggi 1,8 meter dengan balkon kecil menghadap perkampungan warga
yang paday kalau dilihat dari sini. Mungkin akan sangat indah bila malam nanti menjelang. Aku menyisir
keseluruh ruangan, ruangan ini masih sangat kosng dan baru, jadi belum ada apa-apanya. Tunggu dulu..
berarti hal yang aku cari dari tadi, tujuan aku kesini untuk menikmati kasur empuk sirna sudah. Aku lupa
bahwa jasa antar pindahan belum datang. Jadi kupasrahkan dri dan memutuskan untuk turun lagi. Aku
melihat ke kanan dan kiri . Tapi langsung disambut dengan dua kamar sejauh enam langkah. Ada empat
kamar dilantai dua ini ternyata, aku baru sadar. satu kamar untuk Tama, satu kamar buatku dan dua lagi
sepertinya masih kosong. Susunan kamar kamar yang saling berhadapan ini jadi seperti kosan mahasiswa.
Mungkin kalau sudah tidak digunakan lagi rumah ini, bisa jadi jendela bisnis apa lagi sangat dekat dengan
universitas parahyangan. Pasti laku. Aku bisa jamin itu.
Pandanganku saat keluar dari kamar yaitu langsung ke kamar bercat hitam di pintunya.
aku mengintip dan membuka pintu pelan-pelan. Takut-takut ada Aslan (singa di Narnia) keluar dari pintu
lemari terlarang. Aku masuk pelan pelan untuk meminimalisir suara decit sepatu dengan lantai kayu yang
bergesekkan. Tidak ada siapapun ternyata. Tapi lihat! Apa yang aku temukan disini : kasur besar
berukuran king dengan penataan ruang serba hitam putih yang rapi dan berkelas. Lemari putih besar tiga
pintu dengan kaca full body, meja belajar hitam kosong berpelitur, sofa hitam putih, dan permadani putih
emas ditengah-tengah. Aku membuka-buka lacinya, salah satu lacinya terkunci rapat. Tidak ada tandatanda foto, buku atau apapun ciri-ciri seseorang menempati kamar ini. Lemari baju juga masih kosong,
bagian daun pintunya masih terbungkus rapi dan tampak baru. Mungkin sengaja dibiarkan kosong untuk
kamar tamu atau apa. Aku mungkin bisa pinjam kamar ini barang satu jam dua jam sampai jasa angkut
datang yang membawa barangku dari Bogor. Aku menyalakan alarm pukul 18.00 WIB. Lalu aku terlelap.

"Set yourself free and the light through, Set yourself free from what will blind you..." lagu Tisto seperti
meledak ditelingaku. Aku bangkit pelan-pelan, Mataku masih ingin terpejam tapi tetap berusaha bangkit
agar urusan kamarku cepat selesai. kakiku perlahan-lahan turun, sambil menyipitkan mata memyisir
sekeliling pandangan... Dan seketika itu pula aku kaget disatu titik.
Seseorang berkemul di sofa dengan selimut, Seluruh tubuhnya tidak terlihat kecuali kaki. Kakinya
menyembul keatas tangan sofa tanpa selimut. Berbadan setinggi itu dengan tulang besar sangat tidak
mungkin dia perempuan. Aku menghampirinya pelan-pelan. mungkinkan itu Tama? Aku memastikan.
Pelan-pelan aku buka selimut yang menutupi kepalanya, tidak sengaja memegang wajah orang itu...
Sebentar, sebentaaar...
Tama berwajah penuh dengan jerawat karena dia baru-baru pubertas, sedangkan yang ini... Mulus bahkan
tanpa minyak seujung jari pun. Aku menarik pelan-pelan tanganku takut ia terganggu...
"AAAAA" ...
"AAAAAA" Aku ikut berteriak juga karena kaget. Orang itu sontak bangkit karena kaget sambil
memegangi mata kanannya. "Dani lo gila nyolok mata gue pake kuku?!" Katanya marah. Aku hendak
meminta maaf, tapi aku lebih terpana dengan wajahnya. Dia..."Gio?"
BAB 2
"Ya ampun Mas Gio, kangen banget gue sama lo. udah berapa lama disini mas?" Tama memeluk mas
Gionya sambil menepuk-nepuk punggung. "baru 4 hari gue disini. Nih, barang-barang gue masih
dikoper." Gio menunjuk kopernya yang ditinggal ditangga. Ternyata kamarnya baru saja selesai
direnovasi tadi siang. Gio sebelumnya tinggal di rumah Nenek dari Mamanya yang ada di Awiligar
selama dua tahun, lalu pindah ke rumah eyang karena rumah disana dijadikan sekolah di jadikan sekolah.
"matanya merah kenapa mas? Habis ngintipin cewek ya mas?" Gio hanya menatap ku tajam. Aku
memberikan senyum damai. "Mas Gio ngintipin si Dani? Wah mas, pantesan sakit mata."katanya asal
mengartikan. Aku melempar barang seadanya disekitarku. Kotak tisu. Gio tersenyum. "Dani nyolok mata
gue. Tapi nggak apa-apa kok Dan, santai kali."
"Kita udah nggak ketemu berapa lama sih? Udah berubah banget lo Tama." Kata Gio sambil menyuap
nasi ke mulut. "Kenapa mas? Gue tambah ganteng ya? Udah empat tahun kali ya mas." Kata Tama. Lalu
membawa piring kotornya ke sink di dapur. Dia berteriak dari sana "Kalo Mas Gio gimana? Di ITB
Banyak cewek cantik, kan." Si Tama emang ngomongnya asal ceplos. Mas Gionya hanya tersenyum
hambar. "Gio tuh udah punya cewek tau, Tama. Lo ketinggalan jaman banget deh."Tama hanya melotot
lalu menatap Gio malu.
ini kami bersiap-siap. Aku dan Tama melanjutkan semester dua di Bandung. Karena masalah keluarga,
kami akhirnya pindah dan diminta menetap dirumah eyang. Sebernarnya termasuk solusi jitu agar mudah
di jenjang perkuliahan natinya, terutama kalau mengincar Universitas negeri, karena pertimbangan
terbaik juga mendahulukan daerah asalnya. Jadi, disini aku sekarang. ditengah kemacetan kota besar
menuju sekolah baru.

Anda mungkin juga menyukai