Anda di halaman 1dari 90
LAPORAN HASIL PENELITIAN Efektivitas Konsultasi Publik dalam Penyusunan Undang-Undang Aparatur Sipil Negara di Pemerintah Daerah Indonesia Oieh: TIM PENELITI SEKOLAH TINGGI ILMU ADMINISTRASI LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA (STIA LAN) MAKASSAR 2013 EFEKTIVITAS KONSULTAS! PUBLIK DALAM PENYUSUNAN UNDANG-UNDANG APARATUR SIPIL NEGARAPADA PEMERINTAH DAERAH DI INDONESIA ISBN 978-602-17411-5-3 ‘Tim Peneliti: Dr. Halim, S.H., M.H. (Koordinator/Peneliti) Prof. Dr. Makmur, M.Si. (Peneliti) Prof. Drs. Amir Imbaruddin, MDA. Ph.D. (Peneliti) Nuraeni Sayuti, S.E.,M.Si. (Peneliti) Dra. Frida Chairunisa, M. Drs. Wahidin, M.Si. (Peneliti) Dr. Muttaqin, MBA. (Peneliti) Dr. Najmi Kamariah, S.E.,M.Si. (Peneliti) Dr. Muh. Syarif Ahmad, S.Sos., M.Pd. (Peneliti) Dr. Lukman Samboteng, M.Si. (Peneliti) Dr. Alam Tauhid Syukur, S.Sos., M.Si. (Peneliti) Mariati, S.Kom. (Pembantu Peneliti) Irawaty Amir, S.E.,M.M, (Pembantu Peneliti Deasy Mauliana, S.H.,M.H. (Pembantu Peneliti) Zulchaidir, S.Sos., MPA. (Pembantu Peneliti) Ramli, S.Sos., M.Si, (Pembantu Peneliti) ‘Arnold Federick John Jonas, S.Sos. (Pembantu Peneliti) Bachtiar Rezkiawan, S.. (Pembantu Peneliti) Insyirah, S.Psi, (Pembantu Peneliti) Nur fntang, S.E. (Pembantu Peneliti) ‘Tim Reviewer: Prof. Dr. Syamsul Bachri, S.H., M.S. (Universitas Hasanuddin) Prof. Dr. Muh, Basri, M.Si. (STIA-LAN Makassar) Drs. Muh. Firdaus, MBA., Ph.D. (PKP2A Il LAN Makassar) Dr. Suleman Fatah, M.Si. (PKP2A II LAN Makassar) Sekretariat: Andi Marlina, A.Md. Fakhrullah Pawakkari,A.Md. Andi Taufik, S.A.P. Diterbitkan Oleh: Sekolah Tinggi llmuAdministrasi-LembagaAdministrasi Negara (STIA-LAN) Makassar 4JLAP Pettarani No. 61, Makassar Telp. 0411-455949, Fax. 0411-453438 www.stialanmakassar.ac.id KATA SAMBUTAN Alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Kuasa karena atas rahmat dan karunia-Nya STIA LAN Makassar dalam Tahun Anggaran 2013 dapat menghasilkan laporan penelitian yang dapat dijadikan sebagai referensi baik untuk pengembangan ilmu maupun untuk pengembangan kapasitas aparatur. Sebagai pimpinan STIA LAN Makassar, saya menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada anggota Tim Peneliti yang telah bekerja seoptimal mungkin. Penelitian yang berjudul Efektifitas Konsultasi Publik dalam Penyusunan UU ASN di Pemerintah Daerah Indonesia ini, dipandang relevan khususnya di pemerintah Kabupaten/Kota di Indonesia untuk mengetahui sejauhmana PNS mampu menyampaikan aspirasi kepada pihak legislator dalam rangka penyempurnaan kebijakan RUUASN saatini. Hasil penelitian ini menyadarkan bahwa walaupun sebagian besar PNS cenderung memiliki kesadaran untuk beraspirasi dengan memandang penting untuk menyampaikan aspirasi dalam penyusunan Undang-Undang ASN, tetapi sebagian besar PNS tersebut cenderung belum menyampaikan aspirasi dalam penyusunan Undang-Undang ASN karena tidak tahu dimana mereka dapat menyampaikan aspirasinya. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi pengembangan analisis kebijakan. Makassar, Desember 2013 Ketua STIALAN Makassar Prof. Dr. Makmur, M.Si NIP. 19551209 198103 1004 KATA PENGANTAR . Puji syukur dihaturkan Kehadirat Allah SWT, karena atas limpahan rahmatNya jualah sehingga penulisan Laporan Penelitian STIALAN Makassar Tahun 2013 dengan Judul “Efektifitas Konsultasi Publik dalam Penyusunan UU ASN di Pemerintah Daerah Indonesia dapat: diselesaikan sesuai harapan. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui efektifitas konsultasi publik dalam Penyusunan UU ASN yang dilihat dari penerimaan informasi oleh PNS dan kemampuan PNS untuk menyalurkan aspirasi. Terima kasih yang fiada terkira disampaikan kepada semua pihak yang berkontribusi pada penelitian ini, mulai dari Narasumber, Tim Peneliti dan Pihak Pemerintah Kabupaten/Kota yang dikunjungi. Tim peneliti menyadari bahwa dalam laporan penelitian ini terdapat beberapa kelemahan dan kekurangan, baik yang sifatnya “konsekuensi metodologis” maupun kemampuan dan keterampilan peneliti. untuk itu Tim Peneliti menyampaikan permohonan maaf. Makassar, Desember 2013 Kepala Unit P3M, Dra. Frida Chairunisa. N.Si NIP. 19680702 199303 2 004 KATA PENGANTAR Puji dan syukur tim peneliti panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa dengan selesainya penelitian ini. Tim peneliti menyadari bahwa penelitian ini mustahil dapat diselesaikan sekiranya tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai pihak yang berjasa bagi penulis dalam penelitian ini, baik secara langsung maupun tidak langsung. Untuk itu, dalam kesempatan ini tim peneliti menyampaikan terima kasih yang tak terhingga dan penghargaan yang setinggi-tingginya, diiringi doa semoga Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang memberikan pahala yang berlipat ganda kepada yang terhormat bapak/ibu yang telah bersedia menjadi responden dan informan dalam penelitian ini, bapak/ibu yang tergabung dalam tim peneliti dan sekretariat, bapak-bapak yang sudah bersedia merevieuw naskah penelitian ini, serta mahasiswa/i yang telah menghadiri ekspose hasil penelitian ini. Kendati pun telah diupayakan sedemikian baik, namun sekiranya dalam penelitian ini maupun naskah penelitian ini terdapat kelemahan, hal tersebut semata-mata merupakan hal yang tidak disengaja, dan untuk itu kami mohon dimaafkan. Akhir kata, semoga penelitian ini bermanfaat bagi para legislator, birokrat, ilmuwan, pendidik, peneliti, maupun mahasiswa dalam menjelajahi lautan ilmu pengetahuan dan praktiknya, khususnya di bidang administrasi dan hukum administrasi. Amin. Makassar, Desember 2013 Koordinator Tim Peneliti, Dr. Halim, S.H., M.H. DAFTAR Ist Kata Sembutan Ketua Kata Pengantar KAta Pengantar Kordinator Daftar isi Daftar Tabol Abstrak BAB IPENDAHULUAN Latar Belakang Rumusan Mat Tujuan Peneitian Manfaat Poneltian Keterbatasan Penelitan rh 2 moom> AB II TINJAUAN PUSTAKA Fungel Negara Hukum dalam Negara Kesejahtoraon Birokras! sebagai Mesin Negara Konsep Kebijakan Publik Formulasi Kebljakan Publik Aspek Sosiologis Proses Legisiasi Konsultasi Publik Kerangka Pemikiran Definisi O perasional Variabel ZO™MOOBP BAB I METODE PENELITIAN Jenis dan Tipe Peneiitian Lokasi Ponelitian Populasi, Teknik Sampling, dan Sampo! Teknik dan instrumen Pengumpulan Da Teknik Analisis Data Ban HAS PENELITIAN Karaktoristik Responden 1. Karakteristik Responden Ditinjau dari Golongan PNS 2. Karakteristik Responden Ditinjau dari Jabatan 3. Karaktoristik Responden Ditinjau dari Masa Karja 4, Karakteristik Responden Ditinjau deri Usia 5. Karaktoristik Responden Ditinjau dari Jenis Kelamin 6 Pe Karaktristik Responden Ditinjau dari Tingkat Pendidikan “enerimaan Informasi Olsh PNS Pengetahuan tentang Keberadaan Perancangan Undang- Undang ASN 2. Kemudahan Memperoioh informasi tentang Penyusunan Undang-Undang ASN 3. Media yang Menjadi Sumber Informasi tentang Keberadaan Perancangan Undang-Undang ASN Efektiitas Penyampsian Informasi melatui Media tentang Penyusunan Undang-undang ASN 5. Intensitas Informasi 8. Kejolasan tnformasi 7. Atensi terhadap informasi C. Kemampuan PNS Menyampaikan Aspirasi 1. Kesadaran Beraspirasi 2. Saluran Aspiras! a BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 8. Saran-Seran ' Daftar Pustaka 84 87 64 87 70 84 90 90 92 99 100 102 BEE BOeVouaune a a ——- 2 Bs RRKBRESBRYRAE DAFTAR TABEL Karakteristik Responden Ditinjau dari Golongan PNS Karakteristik Responden 6 lokus Ditinjau dar! Golongan PNS Karakteristik Responden Ditinjau dar Jabatan Karakteristik Responden 6 kus Ditinjau dari Jabatan Karakteristik Responden Ditijau dari Masa Kerja Karakteristik Responden 6 lokus Ditinjau dari Masa Kerja Korakterstik Responden Ditinjau dari Usia Karakteristik Responden 6 lokus Ditinjau dari Usia Korakteristik Responden Ditinjau dar Jens Kelamin Karakteristik Responden 6 lokus Ditinjau dar Jenis Kelamin Karakteristlk Responden Ditinjau dari Tingkat Pendidikan Karakcterstik Respondien 6 lokus Ditinjau dari Tingkat Pendidikan ‘Tanggapan Responden mengenal Pengetahuan tentang Keberadaan Perancangan Undang-Undang ASN ‘Tanggapan Responden 6 lokus mergenal Pengetahuan tentang Keberadaan Perancangan Undang-Undarig ASN ‘Tanggapan Responden Kemudshan Memperoleh Informasi tentang Penyusunan Undang-Undang ASN ‘Tanggapan Responden 6 fokus Kemudahan Memperoleh informasi tentang Penyusunan Undang-Undang ASN ‘Tanggapan Responden mengenal Media yang Menjadi Sumber informasi ‘tentang Keberadaan Perancangan Undang-Undang ASN ‘Tanggapan Responden rengenal Media yarg Menjadi Sumber informasi tentang Keberadaan Perancangan Undang-Undang ASN Tanggapan Responden 6 lokus mengenal Media yang Menjadi Sumber Informasi tentang Keberadaan Perancangan Undarg-Undang ASN ‘Tanggapan Responden mengenal Efektifitas Penyampaian Informasi melalui (Media tentang Penyusunian Undarg-undang ASN ‘Tanggapan Responden 6 lokus mengenai Efektfitas Penyampaian informas| ‘melalui Media tentang Peryusunan Undang-undang ASN ‘Tanggapan Responden mengenal frekuensi perolehan informasi dari media ‘Tanggapan Respordien 6 lokus mengenal freluens! perclehan informasi dari meda ‘Tanggapan Responden mengenai Kejelasan tnformas! ‘Tanggapan Responden 6 lokus mengenal Kejelasan Informasi “Tanggapan Responden 6 lokus mengenai plhak yang bernisiatif ‘Tanggapan Responden mengenai Persetuluan terhadap mater “Tanggapan Responden 6 lolus mengenal Persetujuan teshadap materi “Tanggapan Responden 6 lokus mengenal motivas! memperoleh informast “Tanggapan Resporden 6 lokus mengenal motivas| memperoleh informasi ‘Tanggapan Responden mengenai urgersi Informast ‘Tanggapan Responden 6 lokus mengenai urgensi informasi “Tanggapan Responden mengenal Urgensi Penyampalan Aspirast ‘Tanggapan Responden 6 lokus mengenai Urgens! Penyampaian Aspirasi “Tanggapan Responden mengenai Pergalaman menyarrpatian Aspirasi “Tanggapan Responden 6 lokus mengenal Pengalaman menyampaikan Aspirasi vii RB BF 2 FRRKRHABSRER Q RBSSSLRERIARDA 39 F& FB vill ABSTRAK Tim Peneliti STIA-LAN Makassar, Efoktivitas Konsultasi Publik dalam Penyusunan Undang-Undang Aparatur Sipil Negara pada Pemerintah Daerah di Indonesia, 2013. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menjelaskan: (1) ‘sejauhmana informasi mengenai rancangan kebijakan Aparatur Sipil Negara yang disampaikan oleh pihak legislator mampu diterima oleh Pegawai Negeri Sipil; dan (2) sejauh mana Pegawai Negeri Sipil mampu menyampaikan aspirasinya dalam rancangan kebijakan Aparatur Sipil Negara pihak legislator. Metode penelitian yang digunakan adalah survai dengan desain penelitian bersifat deskriptif, Penelitian ini dilakukan pada kota-kota perah dikunjungi oleh pihak legislator untuk melakukan penyerapan aspirasi dalam penyusunan: Undang-Undang Aparatur Sipil Negara, sebagai berikut: Palembang, Bandung, Manado, Gorontalo, Surabaya, dan Ambon. Data yang diperoleh melalui kuesioner dianalisis secara kuantitatif dengan menggunakan tabel distribusi frekuensi yang kemudian dideskripsikan dan diinterpretasikan dengan didukung data hasil wawancara yang felah dianalisis secara kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Terdapat kecenderungan sebagian besar Pegawai Negeri Sipil belum mampu menerima secara efektif informasi mengenai rancangan kebijakan Aparatur Sipil Negara yang disampaikan oleh pihak tegislator pusat/pemerintah sehingga belum mampu sepenuhnya mewujudkan penyusunan Undang-Undang Aparatur Sipil Negara yang responsif. Walaupun sebagian besar Pegawai Negeri Sipil cenderung mengetahui keberadaan penyusunan Undang-Undang Aparatur Sipil Negara, akan tetapi sebagian besar ternyata menganggap informasi yang diterimanya belumjelas. Hal ini disebabkan informasi yang disampaikan cenderung searah sehingga sebagian besar Pegawai Negeri Sipil menilai penyampaian informasi tersebut kurang efektif. Selain itu, walaupun sebagian besar Pegawai Negeri Sipil mudah dalam memperoleh informasi tersebut, namun sebagian besar Pegawai Negeri Sipil mengakses informasi tersebut kurang dari 5 kali. Sebagian besar mengakses informasi tersebut melalui media surat kabar, situs internet, televisi, dan rapat. (2) Terdapat kecenderungan sebagian besar Pegawai Negeri Sipil belum mampu menyampaikan aspirasinya secara efektif dalam rancangan kebijakan Aparatur Sipil Negara sehingga belum mampu sepenuhnya mewujudkan penyusunan Undang-Undang Aparatur Sipil Negara yang responsif. Walaupun sebagian besar Pegawai Negeri Sipil cenderung memiliki kesadaran untuk beraspirasi dengan memandang “penting” untuk menyampaikan aspirasi dalam penyusunan Undang-Undang Aparatur Sipil Negara, tetapi sebagian besar Pegawai Negeri Sipil tersebut cenderung “belum” menyampaikan aspirasi dalam penyusunan Undang-Undang Aparatur Sipil Negara karena tidak tahu dimana mereka dapat menyampaikan aspirasinya. BABI PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyelenggaraan kepemerintahan yang baik merupakan hal esensial dalam mewujudkan cita-cita menuju masyarakat adil dan makmur sebagaimana diamanatkan dalam Konstitusi Negara Republik Indonesia. Dalam |penyelenggaraan kepemerintahan yang baik senantiasa dibutuhkan peraturan perundang-undangan yang layak untuk mengatur pemerintahan dan kehidupan warga masyarakat. Secara yuridis Undang-Undang RI Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan merupakan landasan utama dalam melaksanakan pembentukan peraturan perundang-undangan dan bagi pembentukan Peraturan Daerah terdapat pula Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai landasannya. Keduanya mengamanatkan keterlibatan masyarakat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Dengan melibatkan masyarakat dalam perancangan peraturan perundang-undangan, akan membantu pemerintah dalam menyelaraskan sumber iinformasi antara masyarakat dengan pemerintah selama penyusunan peraturan. Suatu peraturan dikeluarkan setelah terlebih dahulu dikomunikasikan (‘dikonsultasikan”) dengan masyarakat, bidsanya lebih mudah dan lebih cepat diterima oleh masyarakat pada saat diberlakukan. Partisipasi publik dalam proses perancangan peraturan perundang-undangan berfungsi sebagai sosialisasi awal atas RUU, dan pada saat diberlakukan akan lebih mudah ditegakkan. Keterlibatan publik juga merupakan suatu tanda pengakuan pemerintah terhadap kepentingan publik. Dalam hal partisipasi masyarakat, Soeprapto' memandang bahwa yang dimaksudkan sebagai masyarakat meliputi setiap orang pada umumnya yang rentan terhadap suatu peraturan tersebut. Kemampuan legislatif dan pemerintah terbatas. Menganggap mereka mengetahui segalanya adalah sikap yang tidak realistis. Ibaratnya menyerahkan nasib kepada institusi yang tidak memiliki kapasitas absolut untuk menuntaskan tugasnya sendiri. Idealnya, untuk melakukan tugasnya mereka membutuhkan dukungan dan bantuan publik. Salah satu Rancangan Undang-Undang (Selanjutnya disebut RUU) yang telah mengalami pengkomunikasian (konsultasi publik) adalah mengenai Aparatur Sipil Negara (Selanjutnya disebut ASN). "Sr M207 a Podge: sek Pekka, Buku 2, Yogyakrta: Kans. : RUU ASN merupakan upaya memperbaharui sistem kepegawaian negerisipil dilndonesia secara fundamental. Dalam Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Aparatur Sipil Negara pada Bab II, dijelaskan bahwa: “Dalam dua dekade ini pengelolaan pegawai dalam organisasi telah bergeser dari pendekatan administrasi kepegawaian menjadi manajemen sumber daya manusia. Secara ringkas Manajemen Sumber Daya Manusia adalah proses pengadaan sumber daya paling penting bagi suatu organisasi, yaitu sumber daya manusia, yang mencakup pengadaan sumber daya manusia yang diperlukan organisasi untuk mencapai tujuannya, mengembangkan kapasitasnya, memanfaatkan kapasitas dumber daya manusia yang dimiliki untuk mencapai tujuan organisasi, mempertahankan sumber daya terbaik dengan menerapkan sistem kompensasi yang sesuai dengan tanggungjawab dan kinerjanya dalam organisasi, serta menjamin loyalitas kepada organisasi melalui penyediaan jaminan kesejahteraan yang memadai baik pada saat aktif maupun setelah pensiun. Sejak menyatakan kemerdekaannya sampai saat ini Indonesia masih menerapkan pendekatan administrasi personalia atau administrasi kepegawaian dalam pengelolaan pegawai yang menjalanakan tugas-tugas pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan Negara. Dalam sistem pemerintahan yang relatif stabil dan pengelolaan sistem ekonomi nasional yang masih tertutup dan belum banyak persaingan, sistem administrasi kepegawaian seperti yang ditetapkan oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 juncto Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 relatif masih cukup memadai. Namun pada sistem pemerintahan Negara yang semakin demokratis, semakin desentralistis, dan ekonomi yang semakin terbuka, personalia yang dikelola dengan pendekatan administrasi pegawai terasa tidak lagi mampu mendukung sistem politik, sistem sosial, dan ‘sistem ekonomi yang telah mengalami perubahan fundamental sejak gelombang Reformasi melanda Indonesia pada Tahun 1998. Secara teoritis pendekatan Manajemen Sumber Daya Manusia (Human Resource Management) yang dipraktekkan secara luas pada organisasi bisnis di Indonesia dan di negara maju digunakan sebagai landasan teoritis Manajemen Sumber Daya Aparatur Sipil Negara yang hendak ditetapkan dengan RUUAparatur Sipil Negara”. Hal tersebutlah argumen inisiatif DPR untuk memunculkan Draft RUU ASN. Namun demikian, kesungguhan pihak legislatif dan pemerintah pada saat’ melakukan konsultasi publik tentunya akan memberikan manfaat dalam penyempumaan RUU ASN tersebut. Namun demikian, jika konsultasi publik tersebut hanya dilakukan sekadar formalitas, maka esensi konsultasi publik tersebut tidak akan tercapai. Hingga ‘saat ini pengesahannya terkatung-katung, ada penolakan dari pemerintah daerah terutama dari Forum Sekretaris Daerah Seluruh Indonesia (Forsesdasi) dan Dewan Korpri Nasionaf’, kecurigaan dikalangan pemerintah daerah terhadap rencana keberadaan Komisi ASN yang dianggap “super body’, pengkerdilan jabatan struktural, dan seterusnya. Kesemuanya tersebut mengindikasikan konsultasi publik dalam penyusunan Undang- UndangASN tersebut belum mampu berhasil menyampaikan pokok- pokok kebijakan eksekutif dan legislatif maupun belum berhasil menampung aspirasi PNS. Berdasarkan uraian-uraian tersebut, perlu dilakukan pengkajian terhadap efektivitas konsultasi publik: dalam penyusunan UUASN. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, dirumuskan permasalahan yang perlu dikaji sebagai berikut: 4. Sejauhmana informasi mengenai rancangan kebijakan ASN yang disampaikan oleh pihak legislator pusat/pemerintah mampu diterima oleh PNS? 2. Sejauhmana PNS mampu menyampaikan aspirasinya dalam rancangan kebijakanASN pihak legislator? C. Tujuan Penelitian Konsisten dengan rumusan masalah tersebut, penelitian ini bertujuan untuk: : 4. Mengetahui dan menjelaskan sejauhmana informasi mengenai rancangan kebijakan ASN yang disampaikan oleh pihak legislator mampu diterima oleh PNS. 2. Mengetahui dan menjelaskan sejauhmana PNS mampu menyampaikan aspirasinya dalam rancangan kebijakan ASN pihak legislator. D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan bermanfaat secara teoritis dan praktis, sebagai berikut: 1. Manfaat Teoritis Hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan teori-teori administrasi publik dan hukum administrasi, terutama model konsultasi publik dalam formulasi kebijakan publik yang ideal maupun dalam perancangan perundang-undangan. 2. Manfaat Praktis Hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat bagi pihak legislatif dan eksekutif dalam penyempurnaan proses konsultasi publik dalam formulasi kebijakan ASN dan formulasi kebijakan publik lainnya dikemudian hari. E. Keterbatasan Penelitian Penelitian ini memfokuskan perolehan data dari responden dan informan yang merupakan pihak komunikan yang menerima informasi dari komunikator. Hal tersebut didasarkan pada asumsi bahwa penyampaian informasi tersebut efektif jika komunikan memahani informasi yang disampaikan, sehingga tim peneliti tidak melakukan pengkajian terhadap data dari komunikator, yakni pihak DPR RI maupun pihak-pihak dari pemerintah pusat. Namun demikian, keterbatasan penelitian ini tidak dipungkiri bisa jadi merupakan kelemahan dalam penelitian ini. BABII TINJAUAN PUSTAKA A. Fungsi Negara Hukum dalam Negara Kesejahteraan Gagasan negara hukum telah dikemukakan oleh Plato, ketika ia mengintroduksi konsep Nomoi, sebagai karya tulis ketiga yang dibuat di usia tuanya. Dalam Nomoi, Plato mengemukakan bahwa penyelenggaraan negara yang baik ialah didasarkan pada pengaturan (hukum) yang baik. Gagasan tersebut kemudian didukung oleh Aristoteles yang menuliskannya dalam buku Politica’, walaupun konsep negara dalam perumusannya masih terikat pada bentuk “Polis” yang berupa kota dengan penduduk sedikit. Menurut Aristoteles, yang dimaksud sebagai negara hukum adalah negara yang berdiri atas dasar hukum yang menjamin keadilan bagi warga negaranya. Keadilan merupakan syarat bagi tercapainya kebahagiaan hidup warga negaranya, dan sebagai dasar dari keadilan itu perlu diajarkan rasa susila kepada setiap manusia agar ia menjadi warga negara yang baik. Demikian pula peraturan hukum yang sebenamya hanya ada jika peraturan hukum itu mencerminkan keadilan bagi pergaulan hidup antarwarganegaranya. Yang memerintah dalam negara bukanlah 2Azhary, M.T.. 1992, Negara Hukum, Jakarta: Bulan Bintang, him.66. manusia sebenamya, melainkan pikiran yang adil, sedangkan penguasa hanya pemegang hukum dan keseimbangan saja. Kesusilaan yang akan menentukan baik dan tidaknya suatu ketentuan Undang-Undang dan membuat Undang-Undang merupakan sebagian dari kecakapan menjalankan pemerintahan negara. Oleh karena itu, yang penting adalah mendidik manusia menjadi warga negara yang baik, karena dari sikapnya yang adil akan menjamin kebahagiaan hidup warga negaranya’. Gagasan negara hukum tersebut masih bersifat samar-samar dan tenggelam dalam waktu yang sangat panjang, kemudian muncul kembali secara lebih eksplisit pada abad ke-19, dengan munculnya konsep rechtsstaat. Konsep Rechtstaat diawali oleh pemikiran Immanuel Kant tentang negara hukum dalam arti sempit (formal) yang menempatkan fungsi “recht’ pada “staaf’ hanya sebagai alat bagi perlindungan negara secara pasif, yakni hanya bertugas sebagai pemeliharaan keteriban dan keamanan masyarakat. Konsep Kant ini terkenal dengan sebutan “Nachtwakerstaaf” atau “Nachtwachterstaaf’. Immanuel Kant menguraikan unsur-unsur negara hukum formal tersebut ke dalam 2 unsur pokok, yakni: (1) Adanya perlindungan terhadap hak asasi manusia dan (2) Adanya pemisahan kekuasaan dalam negara. Freidrich Julius Stahl + sad Md ly bin, 98 Penge Nyaa foes Ct. atc Past Sta kn Tea Negara PUL a8, Rida, HR. 2006, Hak Adonis Neen. Cathe? et Rand Pema tin.” Aohary MT. 9. Opi i. 10 kemudian melengkapi 2 unsur pokok tersebut dengan menambahkan 2 unsur pokok berikutnya, yakni: (1) Setiap tindakan pemerintah harus berdasarkan undang-undang yang dibuat terlebih dahulu dan (2)-Terdapat peradilan administrasi untuk menyelesaikan perselisihan antara penguasa dengan rakyat, dengan persyaratan, peradilan tersebut:.tidak memihak dan pelaksanaannya dilaksanakan oleh ahli hukum dalam bidang tersebut.’ Pada saat yang hampir bersamaan, muncul pula konsep negara hukum (rule of law) oleh A.V.Dicey. Dicey mengemukakan unsur- unsur rule of law, sebagai berikut’ 41. Supremasi aturan-aturan hukum (supremacy of the law), yaitu tidak adanya kekuasaan sewenang-wenang (absence of arbitrary power), dalam arti bahwa seseorang hanya boleh dihukum kalau melanggar hukum. 2. Kedudukan yang sama dalam menghadapi hukum (equality before the law). Dalil ini berlaku baik untuk orang biasa maupun untuk pejabat. 3. Terjaminnya hak-hak manusia oleh undang-undang (di negara lain oleh undang-undang dasar) serta keputusan-keputusan pengadilan. Konsep rule of law tersebut bertumpu pada sistem hukum 7 Mat SF, Lal (es), 2001, Dineen Penikran Hum Adina gua. Cetke-1. Yogyakarta UI rs. H.62-43, * Burj, M, 192. Dade lina Pot, lnk: Graeda Hn 78. “common law’ dan berkembang secara evolusioner, sedangkan konsep rechtsstaat bertumpu pada sistem hukum “civil law’ dan lahir dari suatu perjuangan menentang absolutisme sehingga bersifat revolusioner. Walaupun terdapat perbedaan antara konsep rule of law dengan konsep rechtsstaat, namun dalam perkembangannya tidak dipermasalahkan lagi perbedaannya karena kedua konsep tersebut mengarahkan dirinya pada satu sasaran utama yaitu pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia, dengan tetap berjalan sesuai tumpuan sistem hukum masing-masing.” Konstruksi pemikiran negara sebagai penjaga ketertiban kemudian bergeser ke arah negara hukum yang hendak mewujudkan kesejahteraan rakyat! Perkembangan pemahaman mengenai negara hukum tersebut terjadi pada abad ke-20. Menurut de Haan," bahwa: “De modeme staats it niet alleen rechtsstaat in de negentiende eeuwse zin, maar ook verzorgingsstaat — of zomen wil— sociale rechtsstaaf’ (negara modern bukan saja negara hukum penjaga malam, tetapi juga negara hukum kesejahteraan atau negara hukum sosial). Konsep negara kesejahteraan yang disebut oleh de Haan, sebagai verzorgingsstaat atau sociale rechtsstaat merupakan perkembangan dari konsep negara hukum sebagai “penjaga malam” Hj PL, Pode Hn ay ahr Sh Sf ap ip Peg old Pain a Lane Pan Un a Pettit ein Mrs, i Ole Se Pn bs) yp bbs Tp Gnd Gee Pa Eg in Nea etn are sa ia. "fading Pll ies ea a eo Ce Bang Aan, 12 (nachtwakerstaaf) yang tindakannya sebatas menjaga ketertiban dan keamanan, di mana negara tidak dapat lagi bersikap netral dan membiarkan individu-individu atau masyarakat menyelesaikan sendiri permasalahan-permasalahan sosial yang besar, melainkan harus turut campur tangan sehingga aktivitasnya meluas. Perubahan tersebut sangat mengubah pekerjaan-pekerjaan yang biasa dilakukan oleh negara sebagaimana yang diatur dalam hukum_ administrasitradisional.” Menurut Attamimi,” dalam Rechtsstaat Material/Rechtstaat Sosial yang sering juga disebut Negara Kesejahteraan (Welfare State) atau Verzorgingsstaat atau negara berdasar atas hukum moderen, negara berkewajiban menyelenggarakan kesejahteraan takyat sehingga campur tangan pemerintah dalam mengurusi kepentingan ekonomi rakyat, kepentingan politik dan sosial, kepentingan budaya dan lingkungan hidupnya, serta masalah- masalah lainnya tidak dapat dielakkan karena negara bertugas mengurusi rakyat. Dalam perkembangannya, pasca amanden, Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 telah menganut konsepsi negara fhukum kesejahteraan dengan menyerap sekaligus konsep rechtsstaat dan rule of law. Raha, 82009, Negara Hokum yang Merbahaiakan Rakyya, Cetke-2. Yogyakarta: Genta Publishing, bm 26-27. *Soeprapa, MF. 1998. imu Perundangundangan Yogyakarta: Karisishim.12-126. B. Birokrasi sebagai Mesin Negara Dalam rangka penyelenggaraan fungsi-fungsi negara (kekuasaan negara) dan mewujudkan tujuan-tujuan negara, dibutuhkan birokrasi yang mengoperasikannya secara iil. Oleh karena itu, birokrasi seringkali dikenali sebagai mesin negara. Hegel memandang administrasi negara (birokrasi) sebagai suatu jembatan yang menghubungkan antara negara dengan masyarakatnya. Adapun masyarakat itu terdiri dari kelompok- kelompok profesional, usahawan, dan lain kelompok yang mewakili bermacam-macam kepentingan partikular (khusus). Diantara keduanya itu, birokrasi merupakan medium yang bisa dipergunakan untuk menghubungkan kepentingan partikular dengan kepentingan general (umum):“ Sejalan dengan pandangan tersebut, Weber memandang birokrasi sebagai sebuah mesin (the bureau as a machine) yang disiapkan untuk menjalankan seperangkat prosedur dan proses. Dengan demikian, setiap individu pegawai negeri sipil merupakan penggerak dari sebuah mesin, tanpa kepentingan pribadi. Setiap pegawai negeri hanya mempunyai tanggung jawab sesuai sesuai proses dan prosedur organisasi. Menurut Weber: “The model Weber has in mind is a machine, set up andready to go: when given a task the machine mindlessly pursues the goals following set procedures and processes. Thus each individual civil Ft Hee tetang Near, ala Th, M2003, Brora dn Pl densa Cthe7 tart Rj rind Persad H.2-23, *8DaningK. 1995, The i Sere Firt Public London ad New Yor: Roto hin 1-12. servant is a cog in the machine, with no personality or interests. No civil servant need have any creative input to tne process and hence no individual has accountability except to the degree that they carry out their proper function according to the rules and processes of the organization". Pemikiran seperti itu menjadikan birokrasi bertindak sebagai kekuatan netral dari pengaruh kepentingan atas kelas atau kelompok tertentu. Negara dapat mewujudkan tujuan-tujuannya melalui mesin birokrasi yang dijalankan oleh para pejabat birokrasi. Netralitas birokrasi dimaknai bukan sebagai dalam hal lebih condong menjalankan kebijakan atau perintah dari pejabat politik yang sedang memerintah sebagai “master’nya, akan tetapi lebih mengutamakan kepada kepentingan negara dan rakyat secara keseluruhan, sehingga kekuatan politik apapun yang memerintah, birokrasi memberikan pelayanan yang terbaik kepadanya.* C. Konsep Kebijakan Publik. Kebijakan publik menitikberatkan pada apa yang oleh Dewey (1972) katakan sebagai “publik dan problem-problemnya’. Kebijakan publik membahas soal bagaimana isu-isu dan persoalan- persoalan tersebut disusun (constructed) dan didefinisikan, serta bagaimana kesemuanya itu diletakkan dalam agenda kebijakan dan agenda politik. Selain itu, kebijakan publik juga merupakan studi *° Tha M2008, BackrasiPenwrioah adoesi i Ea Reforras. sik Cethe-I. arta: Kencra Peas Moi Gro, him 2122. tentang “bagaimana, mengapa, dan apa efek tindakan aktif (action) dan pasif (inaction) pemerintah (Heidenheimer, et.all, 1990). Atau, seperti dinyatakan oleh Dye, kebijakan publik adalah studi tentang “apa yang dilakukan oleh pemerintah, mengapa pemerintah mengambil tindakan tersebut, dan apa akibat dari tindakan tersebut” (Dye, 1976).” Sejalan dengan hal tersebut, Mustopadidjaja memandang bahwa, kebijakan publik pada dasarnya adalah suatu keputusan yang dimaksudkan untuk mengatasi permasalahan tertentu, untuk melakukan kegiatan tertentu, atau untuk mencapai tujuan tertentu, yang dilakukan oleh instansi yang berkewenangan dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan negara dan pembangunan. Dalam kehidupan administrasi negara, secara formal, keputusan tersebut lazimnya dituangkan dalam berbagai bentuk perundang- undangan.” D. Formulasi Kebijakan Publik. Proses kebijakan publik merupakan rangkaian kegiatan yang meliputi paling tidak tiga kelompok kegiatan utama, yaitu: (1) formulasi kebijakan; (2) pelaksanaan kebijakan; dan (3) evaluasi kinerja kebijakan, yang perlu dilakukan dalam rangka pemantauan, 7 Paso, W208 Plc Poly Cathe 3, Teach: Ti Wb Bios kata Koc Prada Moda Croup. xi, * Msp, AR 2003. Mansenen Pros Kean PI kt Lone Adie Neg R an Dt Perv oxo tS 16 pengawasan, dan pertanggungjawaban yang dikenal sebagai “policy cycle’.” Secara teoritik, formulasi kebijakan publik tidak dipahami secara ‘sempit yaitu pada proses konversi saja, melainkan merupakan suatu seri aktivitas yang meliputi rangkaian aktivitas sebagai berikut”” bid, him. 3. *Lyankali, B. 2007. Analisis Kebijaken Publik dlm Proses Pengambilan Keputusan. Jakasta: Amelia. him. 5 7 E. Aspelt Sosiologis Proses Legistasi. Anderson, memandang Kebijakan Publik sebagai hubungan timbal balik antara suatu unit pemerintahan dengan lingkungannya. Lingkungan yang di maksud dalam hal ini dapat ditafsirkan sebagai lingkungan sosial budaya dan lingkungan fisik geografis. Anderson menekankan pentingnya harmonisasi antara pemerintah dan kedua jenis lingkungannya dalam pencapaian tujuannya.” Sejalan dengan hal tersebut, menurut Mahfud MD” secara sosiologis, setiap RUU haruslah sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat“dengan segala tingkat kemampuannya untuk memahami dan melaksanakan jika RUU tersebut nantinya menjadi UU. Hal ini penting karena kenyataan-kenyataan di dalam masyarakat haruslah selalu menjadi sumber hukum materiil mengingat bahwa hukum tidak berada dalam vacuum melainkan haruslah menjadi pelayan masyarakatnya dengan segala kekhasannya. Oleh sebab itu, setiap rencana pembuatan suatu UU perlu menyerap aspirasi dan menyinkronkan rencana itu dengan kenyataan-kenyataan masyarakat di mana UU itu nantinya diberlakukan. Demikian pula Gundling mengungkapkan bahwa suatu partisipasi publik diperlukan dengan maksud untuk (a) memberikan * Ibid. him. 2. 18 masukan kepada pemerintah (informing the administration), (by meningkatkan kesiapan masyarakat untuk menerima suatu keputusan (increasing the readiness of the public to accept decisions), (c) membantu perlindungan hukum (supplementing judicial protection), dan (d) mendemokratisasikan proses pengambilan keputusan (democratizing decision-making).” Urgensi partisipasi masyarakat dapat dikaji menggunakan teori demokrasi partisipatif (participatory democracy). Keberadaan peran serta masyarakat, menurut Gibson, bukanlah semata-mata subjek kepuasan. Mereka membutuhkan kesempatan dan dorongan untuk pengungkapan dan pengembangan diri. Para penganut teori ini menolak asumsi bahwa warga satu sama lain selalu dalam keadaan. konflik kepentingan sebagaimana diyakini penganut teori demokrasi elite. Malah sebaliknya, bahwa hakikat dari kepribadian manusia adalah saling melengkapi dalam kehidupan bersama sehingga manusia mampu menyelaraskar antara kepentingan pribadi dan kepentingan bersama melalui cara-cara yang dapat diterima. Menurut penganut teori partisipatori, hakikat demokrasi adalah untuk menjamin bahwa keputusan-keputusan yang dibuat oleh pemerintah menyertakan warga yang mungkin terkena dampak dari keputusan tersebut. Demokrasi dalam teori ini memberi dorongan untuk 2 0 seed in em edn ag i ape ing ac ein ot i Pea 19 berperan serta dalam pembuatan keputusan-keputusan yang mempengaruhi kehidupan warga. Teori tidak hanya ingin mewujudkan pemerintahan yang demokratis (democratic govemments), melainkan juga masyarakat yang demokratis (democratic societies).* F. Efektivitas Konsuitasi Publik. Konsultasi publik merupakan upaya yang dilakukan pemerintah untuk melibatkan warga negara dalam merumuskan sebuah kebijakan dalam suatu peraturan.” Akan tetapi sebelum dilakukan konsultasi publik, perlu dilakukan keterbukaan informasi oleh pemerintah. Menurut Hadjon, et.all”, keterbukaan informasi oleh pemerintah memiliki fungsi penting, yakni fungsi partisipasi, fungsi pertanggungjawaban, fungsi kepastian hukum, dan fungsi hak dasar. Keterbukaan informasi oleh pemerintah memiliki fungsi partisipasi, yakni keterbukaan sebagai alat bagi warga untuk ikut serta dalam proses pemerintahan secara mandiri. Keterbukaan informasi oleh pemerintah memiliki fungsi pertanggungjawaban umum dan pengawasan, yakni keterbukaan pada satu sisi sebagai alat bagi penguasa untuk memberi 25H 2 fl Hest ci pete etait at i Een ge hin frac Ba FL 7 ia ed ME op inti age bo aD pertanggungjawaban di muka umum, pada sisi lain sebagai alat bagi warga untuk mengawasi penguasa. Keterbukaan informasi oleh pemerintah memiliki fungsi kepastian hukum, yakni keputusan-keputusan penguasa tertentu, yang menyangkut kedudukan hukum para warga, demi kepastian hukum harus dapat diketahui, jadi harus terbuka. Keterbukaan informasi oleh pemerintah memiliki fungsi hak dasar, yakni keterbukaan dapat memajukan penggunaan hak-hak dasar, seperti hak pilih, kebebasan mengeluarkan pendapat, dan hak untuk berkumpul dan berbicara. Selanjutnya menurut Hadjon, et.all (2002:285) bahwa terhadap data-data yang masih dikerjakan atau yang tidak lengkap sehingga dapat memberikan gambaran keliru, seharusnya data-data tersebut tidak dipublikasikan ke publik. Konsultasi publik merupakan cara baru dalam perumusan dan penentuan kebijakan. Dengan adanya konsultasi publik ini berarti telah dikembangkan demokrasi deliberative, ketika komunikasi dua arah dengan mengutamakan musyawarah dijalankan. Pemerintah bersedia dan bersifat terbuka dan partisipatif mengajak berbagai pihak untuk duduk bersama dan memberikan masukan dalam merancang kebijakannya. 24 Dengan demikian, suatu konsultasi publik menjadi efektif jika terjadi komunikasi dua arah antara pihak pemerintah dengan pihak yang rentan terhadap suatukebijakan.” Apabila dikaitkan dengan pandangan Nonet dan Selznick, maka tampak bahwa konsultasi publik yang efektif akan mampu menghasilkan hukum yang responsif. Nonet dan Selznick memandang bahwa terdapat 3 bentuk perkembangan hukum, yakni hukum represif di satu sisi dan hukum otonom di sisi lain, selain itu terdapat hukum responsif yang berada ditengah. Nonet dan Selznick menjelaskan hukum responsi sebagai berikut:” “We call it responsive law, rather than open or adaptive, to suggest a capacity for responsible and hence discriminate and selective, adaption. A responsive law institutions retains a grasp on what is essential to its integrity while taking account of new force in its environment. To do so, it builds upon the ways integrity and openness sustain each other even as they conflict. It perceives social pressures as source of knowlegde and opportunities for self correction. To ensure that posture, an institution requires the guidance of purpose. Purpose set ‘standars for critizing established practice, thereby opening ways tochange.” Soekanto menggunakan istilah komunikasi hukum dalam menjelaskan pengkomunikasian dalam bidang perundang- undangan. Menurutnya, komunikasi hukum lebih banyak tertuju pada sikap, karena sikap merupakan suatu kesiapan mental (predisposition), sehingga seseorang mempunyai kecenderungan Herman, D. rss kon plik dem peryesenn ebiatn arch Juma ly Sse Alera, 102) De, 209 133-17. im. 137 Nonet, P dan Pilp Selick. 197, Law and Soci in Transom: Toward Responsive Law, New Yor: Harper and Row hm, 7-72 untuk memberikan pandangan yang baik atau buruk, yang kemudian terwujud didalam perilaku nyata. Sikap mempunyai komponen kognitif, afektif, maupun konatif. Komponen kognitif menyangkut persepsi terhadap keadaan sekitamya, antara lain mencakup pengetahuan. Komponen afektif menyangkut penerimaan atau penolakan. Komponen konatif berkaitan dengan kecenderungan untuk bertindak atau untuk berbuat terhadap sesuatu. Tiga komponen ini berkaitan erat dengan komunikasi hukum.” Penyaluran aspirasi masyarakat kepada eksekutif biasanya dilakukan dengan konsuttasi publik. Konsultasi publik biasa diartikan sebagai semua kegiatan mekanisme dan alat menghimpun atau mengakomodasi masukan/aspirasi masyarakat yang diperoleh melalui pertemuan/forum tatap muka, pemyataan tertulis, media (elektronik dan cetak), dan media on-line (internet, email, web- forum). Konsultasi publik juga secara sempit biasanya dimaknai sebagai sebuah alat dengan teknik/cara tertentu yang disusun berdasarkan panduan tertentu.” Madani mengatakan bahwa pada hakikatnya media massa menjadi faktor penentu di dalam mendorong diresponnya masalah kebijakan yang diperbincangkan dalam fase perbincangan masalah kebijakan yang dihadapi oleh komunitas tertentu. Ripley (1985) *' Farhan, Y, dkk. Op.cit. 23 mengatakan bahwa media massa seperti ini seringkali memberikan tekanan secara lebih berarti kepada pemerintah agar segera ditanggapi lewat kebijakan (policy). Dalam teori komunikasi politik, Nimmo mehgemukakan bahwa terdapat tiga model tentang bagaimana komunikasi kebijakan dapat diorganisasikan dan kebijakan dibuat. Ketiga model itu adalah model plebisit, model rasional komprehensif, dan model adjustif. Plesbisit adalah pemilihan yang didalamnya orang memberikan suara langsung kepada usul atau program yang diajukan kepada mereka oleh pemimpin Politik. Pemilihan ini lebih dari pada garis komunikasi di antara warga negara dan pejabat, yaitu merupakan keistimewaan pembuatan kebijakan itu sendiri. Jika dikemukakan pilihan menerima atau menolak suatu kebijakan setiap pemberi suara memilih, dengan cara mengonversikan pilihan individual, suara itu membentuk pilihan rakyat. Referendum adalah contoh komunikasi plesbisit dan pembuatan kebijakan. Referendum adalah pemilihan yang memungkinkan pemberi suara menolak kebijakan yang dikeluarkan oleh badan legislatif; ini berlawanan dengan melihan isiatif yang memberikan peluang kepada pemberi untuk meluluskan undang-undang mesekipun mendapat oposisi dari badan legislatif yang menentangnya. Jika ditafsirkan lebih luas, referendum adalah setiap pemilihan rakyat atas kebijakan yang diusulkan. Model plesbisit tidak merinci bagaimana pembuat kebijakan sampai pada usul yang diajukan oleh mereka kepada pemberi suara. Model rasional komprehensif bermaksud melukiskan suatu cara mengorganisasikan komunikasi kebijakan untuk memperoleh keputusan. Pertama, membuat kebijakan memperhitungkan masalah yang memerlukan tindakan, masalah yang terpisah dari masalah yang lain. Kedua, pembuat kebijakan menjelaskan tujuan, nilai, dan sasaran yang harus dicapai dalam menangani masalah itu. Ketiga, pembuat kebijakan mengidentifikasi alternatif dan meneliti masing-masing, dimana penelitian ini mempertimbangkan seluruh informasi mengenai keuntungan relatif dari setiap altematif, membandingkan pilihan, dan memilih alternatif yang memaksimalkan tujuan, nilai, sasaran yang disepakati. Prosedur ini “rasional” dalam memilih alat yang paling efektif dalam mencapai tujuan yang dinyatakan. la “komprehensif” dalam mempertimbangkan setiap faktor yang relevan dengan pilihan. Setelah pembuat kebijakan memilih suatu pilihan, mereka mengumpulkan dukungan dari lembaga-lembaga utama dan opini- opini publik melalui propaganda, pemimpin kelompok, prosedur pemaksaan, dan sebagainya. Jadi, prosedur rasional komprehensif dalam merumuskan kebijakan mengandung hubungan yang erat dengan pendekatan kontrol sosial untuk mencapai tatanan: “orang bersama’, untuk berbagi gagasan, dan untuk membuat konsensus kolektif. Tujuannya ialah mencapai konsensus yang sebagian besar disepakati oleh setiap orang. Mode! adjustif, memandang bagian terbesar dari hubungan sehari-hari antara pembuat kebijakan serta antara mereka dengan para pemilih mereka, melibatkan tawaran-tawaran dan kompromi. Ini tidak berarti bahwa membuat kebijakan menghindari tugas yang sulit dan memakan waktu berupa menentukan masalah, menjelaskan tujuan, nilai, dan sasaran, mengantisipasi konsekuensi, memilih pilihan, dan meyakinkan orang lain akan kebijaksanaan kerelaan. Akan tetapi, seluruh kegiatan itu melibatkan proses kolektif dari orang yang berkomunikasi dengan satu sama lain dan bukan kepada ‘satu sama lain dan bukan kepada satu sama lain, dari penyesuaian dengan pertimbangan subjektif bukan dengan tenang menaksir kriteria tujuan, membahas makna masalah, informasi tentang tujuan, pemecahan, dan menegosiasikan kerelaan bukan memaksakannya. Model adjustif menerima dunia sehari-hari yang mengandung ketidakpastian dan ketidakmungkinan yang tersingkap, dari kecenderungan dan kepastian yang dipersepsi. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa penyusunan UUASN pada dasarnya menggunakan model rasional komprehensif, dimana formulasi kebijakan telah menghasilkan draft kebijakan dan rencana alternatif-altematifnya, kemudian mengumpulkan opini, pendapat, pandangan PNS untuk mencapai konsensus dari sebagian besar PNS. G. Kerangka Pemikiran Berdasarkan konsepsi-konsepsi yang telah diuraikan sebelumnya, untuk mengkaji efektivitas konsultasi publik dalam penyusunan UU ASN, dikonstruksikan kerangka pemikiran, sebagai berikut: Penerimaan Informasi oleh PNS ~ Pengetahuan terhadap Informasi = Kemudahan Akses nformasi = Media informasi = Intensitas Informasi - Atensi terhadap Informasi + Kejetasan informasi efektivtas Konsultasi Publik dalam Penyusunan UU ASN Kemampuan PNS Menyampakan Aspirast + Kesadaran Beraspirasi + Saluran Aspirasi H. Definisi Operasional Variabel Definisi operasional variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Efektivitas konsultasi publik dalam penyusunan Undang-Undang ASN adalah upaya yang dilakukan pemerintah untuk melibatkan warga negara dalam merumuskan kebijakan dalam Undang-Undang 28 ASN, melalui kegiatan, mekanisme, dan alat menghimpun atau mengakomodasi masukan/aspirasi masyarakat melalui berbagai media. 2. Penerimaan Informasi oleh PNS adalah pandangan PNS terhadap Informasi mengenai rancangan kebijakan ASN yang diperoleh melalui media tertentu atas keterbukaan informasi oleh pemerintah, dengan indikatomya: pengetahuan terhadap informasi, kemudahan akses informasi, media informasi, intensitas informasi, atensi terhadap informasi, dan kejelasan informasi. 3. Kemampuan PNS menyampaikan aspirasi adalah kesiapan PNS untuk menyampaikan pandangannya terhadap rancangan kebijakan ASN melalui saluran yang disediakan oleh pemerintah, dengan indikatornya: kesadaran beraspirasi dan saluran aspirasi. 4. Penyusunan Undang-Undang |ASN yang responsif adalah wujud dari efektivitas penerimaan informasi oleh PNS dan kemampuan PNS: dalam menyampaikan aspirasinya secara efektif. BAB Ill METODE PENELITIAN A. Jenis dan Tipe Penelitian denis penelitian ini adalah survai, yakni dengan mengambil sampel dari populasi, dan menggunakan kuesioner sebagai instrumen utama dalam pengumpulan data penelitian. Adapun tipe penelitian ini adalah deskriptif, yang akan mendeskripsikan efektivitas konsultasi publik dalam penyusunan Undang-Undang Aparatur Sipil Negara pada pemerintah provinsi di Indonesia. B. LokasiPenelitian Penelitian ini dilakukan pada provinsi-provinsi yang diketahui pernah dikunjungi oleh pihak legislator untuk melakukan penyerapan aspirasi dalam penyusunan Undang-Undang ASN, sebagai berikut: Provinsi Sumatera Selatan (Palembang), Provinsi Jawa Barat (Bandung), Provinsi Sulawesi Utara (Manado), Provinsi Gorontalo (Gorontalo), Provinsi Jawa Timur (Surabaya), dan Provinsi Maluku (Ambon). C. Populasi, Teknik Sampling, dan Sampel 1. Populasi Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh PNS sebagai pihak yang rentang terhadap kebijakan dalam penyusunan UUASN. 2. Teknik sampling dan sampel Teknik sampling yang digunakan adalah purposive sampling, yakni dengan tujuan tertentu. Dengan demikian, sampeinya adalah PNS yang diasumsikan terkait langsung dengan konsultasi publik terhadap penyusunan Undang-Undang ASN. Oleh karena itu, sampelnya adalah PNS yang berkantor pada Sekretariat Daerah Provinsi, BKD Provinsi, dan Dinas/Badan Infokom Provinsi. Tiap kantor tersebut, ditetapkan masing- masing 25 orang PNS, sehingga berjumlah 75 orang PNS untuk tiap pemetintah provinsi. Namun demikian, dari 450 kuesioner yang disiapkan, yang digunakan berjumlah 317 kuesioner. D. Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data 1. Penyebaran Kuesioner Untuk mengumpulkan data dari responden digunakan kuesioner semi terbuka, guna menjaring informasi yang lebih mendalam terkait aspek-aspek dibalik respon yang diberikan. 3M 2. Wawancara Wawancara dilakukan menggunakan intervieuw guided terhadap informan kunci dalam penelitian ini adalah Sekda Provinsi, Kepala/Sekretaris BKD, dan Kepala/Sekretaris Badan Infokom atau .pihak lain yang ditunjuk oleh pemerintah daerah setempat. E. Teknik Analisis Data Analisis terhadap data yang diperoleh melalui kuesioner dilakukan secara kuantitatif dengan menggunakan tabel distribusi frekuensi yang kemudian dideskripsikan dan diinterpretasikan menggunakan landasan teori dengan didukung data hasil wawancara. BABIV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Responden Karakteristik responden dapat menunjukkan sejauhmana responden yang dijadikan sampel dapat merepresentasikan populasi. Selain itu, karakteristik responden dapat mempengaruhi pilihan jawaban responden terhadap kuesioner yang disebarkan. Untuk itu, perlu terlebih dahulu digambarkan karakteristik responden. Dalam penelitian ini, karakteristik responden ditinjau dari beberapa aspek, yaitu golongan PNS, jabatan, masa kerja, usia, jenis kelamin, dan tingkat pendidikan. 4. Karakteristik Responden ditinjau dari Golongan PNS Ditinjau dari golongan PNS, karakteristik responden dapat terdiri atas 4 golongan, yakni golongan I sampai dengan IV. Tabel karakteristik responden ditinjau dari golongan PNS adalah sebagai berikut: Tabel 1. Karakteristik Responden ditinjau dari Golongan PNS. SULAWESI | SUMATERA | JAWA —JAWA | 4444, | GORONTALO UTARA | SELATAN | TIMUR BARAT ‘Golongan % It [% % F [% % max ‘Abstain 405 [8 [ear o 2 [308 10s3| 0 ° L 0,00 [0 |o00 oo fo o 0 o 1316 11 {1692/4 [7.02 | to] 10.18 1] 71,93 | 28| 50.91 1053| 17] 3091 7 {100 [ss {100 v oo | 16 | 27,12 21,0514 | 21,54 Total 3 [100 [se [100 [38 100 65 | 100 ‘Sumber: Hasil Olahan Data Primer, 2013. t t 2 o o o " 6 |1395 [2 [330 |s Ww 35 [61.40 | 36 | 61,02 | 25 65,79 38 |se46 ° a 4 Et Karakteristik responden yang berasal dari Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara didominasi oleh PNS Golongan Ill yakni sebesar 81,40%. Selain itu, terdapat PNS Golongan II sebesar 13,95%. Tingkat abstain pada karakteristik ini cukup rendah, yakni sebesar 4,65%. Hal ini menunjukkan bahwa responden cenderung merupakan pegawai pada level menengah. Karakteristik responden yang berasal dari Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan didominasi oleh PNS Golongan Ill yakni sebesar 61,02%. Selain itu, terdapat PNS Golongan IV sebesar 27,12% dan PNS Golongan II sebesar 3,39%. Tingkat abstain pada karakteristik ini cukup tinggi, yakni sebesar 8,47%. Hal ini menunjukkan bahwa tesponden cenderung merupakan pegawai pada level menengah. Karakteristik responden yang berasal dari Pemerintah Provinsi Jawa Timur didominasi oleh PNS Golongan III yakni sebesar 65,79%. Selain itu,’ terdapat PNS Golongan IV sebesar 21,05% dan PNS Golongan II sebesar 13,16%. Tingkat abstain pada karakteristik ini tidak ada. Hal ini menunjukkan bahwa responden cenderung merupakan pegawai pada level menengah. Karakteristik responden yang berasal dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat didominasi oleh PNS Golongan Ill yakni sebesar 58,46%. Selain itu, terdapat PNS Golongan IV sebesar 10,53% dan PNS Golongan Il sebesar 7,02%. Tingkat abstain pada karakteristik ini cukup rendah, yakni 3,08%. Hal ini menunjukkan bahwa responden cenderung merupakan pegawai pada level menengah. Karakteristik responden yang berasal dari Pemerintah Provinsi Maluku didominasi oleh PNS Golongan Ill yakni sebesar 71,93%. Selain itu, terdapat PNS Golongan IV sebesar 10,53% dan PNS Golongan II sebesar 7,02%. Tingkat abstain pada karakteristik ini cukup tinggi, yakni 10,53%. Hal ini menunjukkan bahwa responden cenderung merupakan pegawai pada level menengah. Karakteristik responden yang berasal dari Pemerintah Provinsi Gorontalo didominasi oleh PNS Golongan III yakni sebesar 50,91%. Selain itu, terdapat PNS Golongan IV sebesar 30,91% dan PNS Golongan Il sebesar 18,18%. Tingkat abstain pada karakteristik ini tidak ada. Hal ini menunjukkan bahwa responden cenderung merupakan pegawai pada level menengah. Adapun karakteristik responden secara keseluruhan yakni pada 6 lokus dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 2. Karakteristik Responden 6 Lokus ditinjau dari Golongan PNS co Gaangan |? [% + [asain [as [ars L fo fo r 36 |) ut [203 [eane v. fos_[1928 teat [317 [100 ‘Sumber: Hasil Olahan Data Primer, 2013. Tabel 2 tersebut memperlihatkan karakteristik responden secara keseluruhan pada 6 lokus didominasi oleh PNS Golongan III yakni sebesar 64,04%. Adapun PNS Golongan IV sebesar 19,24%, PNS Golongan II sebesar 11,99%, dan tidak terdapat PNS Golongan |. Tingkat abstain pada karakteristik ini cukup rendah, yakni sebesar 4,73%. Hal ini menunjukkan bahwa responden cenderung merupakan pegawai pada level menengah pada instansi Pemerintah Provinsi. 2. Karakteristik Responden ditinjau dari Jabatan Ditinjau dari jabatan PNS, karakteristik responden dapat terdiri atas 3 jabatan, yakni jabatan struktural, jabatan fungsional tertentu, dan jabatan fungsional umum. Tabel karakteristik responden ditinjau dari jabatan PNS adalah sebagai berikut: Tabel 3. Karakteristik Responden ditinjau dari Jabatan Ettn SHAKES | SINATERA——JAAATIUR | JAA. WALD UTARA SBATAN BARAT coro. t [% [ft % T f % | [% faaleate Fan. 7s [7 1168 0 fo [2308 Te rss o o {sued |e [ais [see a ae Ts Oe fa es | 8 2Fuosrd fo [am (5 aa 2 (5% |7 107 |3 [sa S| 909 ‘tt arugind [18 | as | wes zie [a an lala | 2) a Unm She (so Tar tw S| 100 ce F Hasil Olahan Data Primer, 2013. Karakteristik responden yang berasal dari Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara didominasi oleh PNS berjabatan struktural dan fungsional umum secara berimbang, yakni masing-masing sebesar 41,85%. Tingkat abstain pada karakteristik ini cukup tinggi, yakni sebesar 16,28%. Hal ini menunjukkan bahwa responden cenderung merupakan pegawai pada posisi manajerial dan pelaksana Karakteristik responden yang berasal dari Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan didominasi oleh PNS berjabatan struktural, yakni sebesar 61,02%. Selain itu, terdapat PNS berjabatan fungsional umum sebesar 18,64% dan PNS berjabatan fungsional tertentu sebesar 8,47%. Tingkat abstain pada karakteristik ini cukup tinggi, yakni sebesar 11,86%.Hal ini menunjukkan bahwa responden cenderung merupakan pegawai pada posisi manajerial. Karakteristik responden yang berasal dari Pemerintah Provinsi Jawa Timur didominasi oleh PNS berjabatan fungsional umum, yakni sebesar 57,89%. Selain itu, terdapat PNS berjabatan struktural sebesar 36,84% dan PNS berjabatan fungsional tertentu sebesar 5,26%. Tingkat abstain pada karakteristik ini tidak ada. Hal ini menunjukkan bahwa responden cenderung merupakan pegawai pada posisi pelaksana. Karakteristik responden yang berasal dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat didominasi oleh PNS berjabatan struktural dan fungsional umum secara berimbang, yakni masing-masing sebesar 43,08%. Tingkat abstain pada karakteristik ini cukup rendah, yakni sebesar 3,08%. Hal ini menunjukkan bahwa responden cendening merupakan pegawai pada posisi manajerial dan pelaksana. 37 Karakteristik responden yang berasal dari Pemerintah Provinsi Maluku didominasi oleh PNS berjabatan fungsional umum, yakni sebesar 47,37%. Selain itu, terdapat PNS berjabatan struktural yang cukup besar yakni 36,84% dan PNS berjabatah fungsional tertentu sebesar 5,26%. Tingkat abstain pada karakteristik ini cukup tinggi sebesar 10,53%. Hal ini menunjukkan bahwa responden cenderung merupakan pegawai pada posisi pelaksana dan manajerial. Karakteristik responden yang berasal dari Pemerintah Provinsi Gorontalo didominasi oleh PNS berjabatan fungsional umum, yakni sebesar 52,73%. Selain itu, terdapat PNS berjabatan struktural sebesar 38,18% dan PNS berjabatan fungsional tertentu sebesar 9,09%. Tingkat abstain pada karakteristik tidak ada. Hal ini menunjukkan bahwa responden cenderung merupakan pegawai pada posisi pelaksana. Adapun karakteristik responden secara keseluruhan yakni pada 6 lokus dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 4. Karakteristik Responden 6 Lokus ditinjau dari Jabatan St ows, Jabatan F % ‘Abstain 2 [64 4, Struktural [138 | 43.59) 2. Fungsional tet 6.94 3. Fungsional Umum | 135__| 42,59 Total 317 | 100 ‘Sumber: Hasil Olahan Data Primer, 2013. Tabel 4 tersebut memperlihatkan karakteristik responden secara keseluruhan pada 6 lokus didominasi oleh PNS berjabatan struktural sebesar 43,53% dan hampir seimbang dengan PNS berjabatan fungsional umum yakni sebesar 42'59%. Adapun PNS berjabatan fungsional tertentu hanya sebesar 6,94%. Tingkat abstain pada karakteristik ini cukup rendah, yakni sebesar 6,94%. Hal ini menunjukkan bahwa responden cenderung merupakan pegawai pada posisi manajerial dan pelaksana pada instansi Pemerintah Provinsi. 3. Karakteristik Responden ditinjau dari Masa Kerja Ditinjau dari jabatan PNS, karakteristik responden dapat terdiri atas 5 kategori, yakni 5 tahun atau kurang, 5-10 tahun, 10-15 tahun, 15-20 tahun, dan lebih dari 20 tahun. Tabel karakteristik responden ditinjau dari masa kerja PNS adalah sebagai berikut: Tabel 5. Karakteristik Responden. n ditinjau dari Masa Kerja “SULAWESI | SUMATERA TAWA. UTARA | “seuavan’ [wun [Barat [wauurw | GoRONTALO Masakerja [f [% [tf [% t[% |t [% It [% ft] % ‘Abstain 7 [1628 [9 [1525 [o [o [2 |308 |7 [r228 | 3| 545 i.=<5tahun {9 [2093 |4 fo7e [2 [526 [4 [1s |7 [1228 | 16] 29,09 2.5 20tatwn |3 [698 [23[ 3098 [25 [65,79 | 27 [154 [19] 3333 | to] 18.18 Total 43 [100 [se {100 [ss {100 [es [100 [s7[100 | ss{ 100} ‘Sumber: Hasil Olahan Data Primer, 2013. 39 Karakteristik responden yang be:asal dari Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara didominasi oleh PNS dengan masa kerja 5-10 tahun sebesar 25,58%. Tingkat abstain pada karakteristik ini cukup tinggi, yakni sebesar 16,28%. Hal ini menunjukkan bahwa responden cenderung merupakan pegawai dengan masa kerja 5-10 tahun. Namun demikian apabila mencermati sebaran masa kerja PNS pada Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara, akan akan ferlihat kecenderung sebaran masa kerja PNS pada 0-10 tahun dan 15-20 tahun. Karakteristik responden yang berasal dari Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan didominasi oleh PNS dengan masa kerja lebih dari 20 tahun sebesar 38,98%. Selain itu patut diperhitungkan jumiah PNS dengan masa kerja 15-20 Tahun yang cukup besar yakni 20,34%. Tingkat abstain pada karakteristik ini cukup tinggi, yakni sebesar 15,25%. Hal ini menunjukkan bahwa responden cenderung merupakan pegawai dengan masa kerja 15 tahun ke atas. Karakteristik responden yang berasal dari Pemerintah Provinsi Jawa Timur didominasi oleh PNS dengan masa kerja lebih dari 20 tahun sebesar 65,79. Tingkat abstain pada karakteristik ini tidak ada. Hal ini menunjukkan bahwa responden cenderung merupakan pegawai dengan masa kerja lebih dari 20 tahun. Karakteristik responden yang berasal dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat didominasi oleh PNS dengan masa kerja lebih dari 20 tahun sebesar 41,54%. Selain itu patut diperhitungkan jumlah PNS dengan masa kerja 10-15 Tahun yang cukup besar yakni 30,77%. Tingkat abstain pada karakteristik ini cukup rendah, yakni sebesar 3,08%. Hal ini menunjukkan bahwa responden cenderung merupakan pegawai dengan masa kerja lebih dari 20 tahun dan 10-15 tahun. Karakteristik responden yang berasal dari Pemerintah Provinsi Maluku didominasi oleh PNS dengan masa kerja lebih dari 20 tahun sebesar 33,33%. Selain itu patut diperhitungkan jumlah PNS dengan masa kerja 10-15 Tahun yang cukup besar yakni 26,32%. Tingkat abstain pada karakteristik ini cukup tinggi, yakni sebesar 12,28%. Hal ini menunjukkan bahwa responden cenderung merupakan pegawai dengan masa kerja lebih dari 20 tahun dan 10-15 tahun. Karakteristik responden yang berasal dari Pemerintah Provinsi Maluku didominasi hampir secara berimbang oleh PNS dengan masa kerja 10-15 tahun sebesar 30,91% dan PNS dengan masa kerja 5-10 tahun sebesar 29,09%. Tingkat abstain pada karakteristik ini cukup rendah, yakni sebesar 5,45%. Hal ini menunjukkan bahwa responden cenderung merupakan pegawai dengan masa kerja lebih dari 20 tahun dan 10-15 tahun. 4 Adapun Karakteristik responden secara keseluruhan yakni pada 6 lokus dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 6. Karakteristik Responden 6 Lokus ditinjau dari Masa Kerja Stoke ' MasaKeda [F_T# ‘Abstain 25 [53 1. = 20tahun | 107 [39,76 Total 317 | 100 ‘Sumber: Hasil Ofahan Data Primer, 2013. Tabel 6 tersebut memperlihatkan karakteristik responden secara keseluruhan pada 6 lokus didominasi oleh PNS dengan masa kerja lebih dari 20 tahun sebesar 33,76%. Namun demikian, perlu diperhatikan bahwa sebaran masa kerja PNS hampir merata pada semua masa kerja, yakni untuk masa kerja 0-20 tahun secare total sebesar 66,24%. Hal ini menunjukkan bahwa per aktegori responden cenderung merupakan pegawai pada masa kerja lebih dari 20 tahun, tetapi jika diperhitungkan yang tidak termasuk masa kerja lebih dari 20 tahun, maka akan tampak bahwa responden cenderung memiliki masa kerja 0-20 tahun. 4. Karakteristik Responden ditinjau dari Usia Ditinjau dari usia, karakteristik responden dapat terdiri atas 5 42 kategori, yakni 0-20 tahun, 20-30 tahun, 30-40 tahun, dan lebih dari 50 tahun. Tabel karakteristik responden ditinjau dari usia adalah sebagai berikut: Tabel 7. Karakteristik Responden ditinjau dari Usia’ ‘SULAWESI | SUMATERA | JAWA | JANA’ UTARA | SELATAN | TIMUR | BARAT __| MALUKU _| GORONTALO Usia fe) oe | Cea ee te f 1% t [% t| % ‘Abstain 4 foa0 [5 [sa7_o |o |2 [308 |e |1053 | 0 0 1.=<20tatun|o [ooo [o [oo |o |o 1 |154 [o Jo ° 0 2.2050tahun |1 |233_ | 13] 2203 | 15] 39.47_| 20| 30.77 is7o |_2| 36 Total 43] 100 __[s9]100 [38] 100 | 65 100 oo | s5[ 100 ‘Sumber: Hasil Olahan Data Primer, 2013. Karakteristik responden yang berasal dari Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara didominasi oleh PNS berusia 20-50 tahun, yakni secara total sebesar 88,37%, dengan sebaran kategori yang hampir berimbang besaran persentasenya. Tingkat abstain pada karakteristik ini cukup tinggi, yakni sebesar 9,30%. Hal ini menunjukkan bahwa responden ccenderung merupakan pegawai berusia 20-50 tahun. Karakteristik responden yang berasal dari Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan didominasi oleh PNS berusia 40-50 tahun, yakni secara total sebesar 37,29%. Selain itu, pertu diperhatikan PNS berusi 30-40 tahun sebesar 23,73% dan PNS berusia lebih dari 50 tahun sebesar 22,03%. Tingkat abstain pada karakteristik ini cukup tinggi,

Anda mungkin juga menyukai