Anda di halaman 1dari 27

PENERAPAN PRINSIP TRANSPARANSI

DALAM PENGADAAN BARANG DAN JASA PEMERINTAH


(Studi Kasus pada Pemerintah Kabupaten Soppeng)

THE IMPLEMENTATION OF TRANSPARENCY PRINCIPLE ON THE


GOVERNMENTS GOOD AND SERVICE PROCUREMENT
(Case Study at the Government of Soppeng District)

MUTTAQIN

Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi-Lembaga Administrasi Negara, Makassar.

e-mail: muttaqin_lan@yahoo.com

ABSTRAK
MUTTAQIN. Penerapan Prinsip Transparansi
dalam Pengadaan Barang dan Jasa
Pemerintah (Studi Kasus pada Pemerintah Kabupaten Soppeng) dibimbing oleh Muh.
Tahir Kasnawi selaku promotor, Rahmat dan A.Mansyur Hamid selaku Kopromotor.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang membahas 4 (empat)
rumusan masalah yaitu: 1) bagaimana penerapan prinsip transparansi dalam pra pengadaan
barang dan jasa; 2) bagaimana penerapan prinsip transparansi dalam proses pengadaan
barang dan jasa atau pelelangan umum (tender); 3) bagaimana penerapan prinsip transparansi
dalam pasca pengadaan barang dan jasa; dan 4) faktor-faktor apa saja yang mendukung dan
menghambat penerapan prinsip trasparansi dalam pengadaan barang dan jasa di Kabupaten
Soppeng. Penelitian ini mengambil lokus pada 8 (delapan) Satuan Kerja Perangkat Daerah
(SKPD) yaitu Sekretariat, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Dinas
Pekerjaan Umum (Dinas PU), Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah
(Dinas PPKAD), Dinas Kesehatan, Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olah Raga (Dinas
Dikmudora), Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air, Pertambangan dan Energi, dan Rumah
Sakit Umum Daerah (RSUD).
Tujuan penelitian yaitu: 1) untuk memperoleh informasi dan mengkaji secara
mendalam tentang penerapan prinsip tranparansi dalam pra pengadaan barang dan jasa; 2)
untuk memperoleh informasi dan mengkaji secara mendalam tentang penerapan prinsip
tranparansi dalam pelaksanaan pengadaan barang dan jasa atau pelelangan umum (tender); 3)
untuk memperoleh informasi dan mengkaji secara mendalam tentang penerapan prinsip
tranparansi dalam pasca pengadaan barang dan jasa; dan 4) untuk memperoleh informasi
dan mengkaji secara mendalam tentang faktor-faktor yang mendukung dan menghambat
penerapan prinsip trasparansi dalam pengadaan barang dan jasa di lingkungan Pemerintah
Kabupaten Soppeng.
Instrumen yang digunakan adalah pedoman wawancara dan focused Group
Discussion (FGD). Teknik pengumpulan data yaitu dengan cara peneliti melakukan
wawancara dan diskusi kelompok terbatas dengan informan. Para informan yaitu jajaran
pemerintah Kabupaten Soppeng yang terlibat dalam pengadaan barang dan jasa, pengusaha,
masyarakat/LSM, advokat, anggota DPR, auditor inspektorat, dan auditor BPK.
i

Teknik analisis data yaitu data yang peneliti peroleh melalui wawancara di lapangan
dicatat kemudian dikelompokkan berdasarkan kategori yang ditetapkan oleh peneliti. Data
tersebut disajikan dalam bentuk penyederhanaan dan transformasi data mentah menjadi
informasi yang bermakna dengan melakukan triangulasi untuk melakukan penarikan
kesimpulan. Tahap berikutnya adalah menarik kesimpulan dan verifikasi data yang telah
tersusun dengan baik.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1) penerapan prinsip transparansi dalam pra
pengadaan barang dan jasa terbukti dapat terwujud dengan baik. Semua identifikasi
kebutuhan pengadaan barang dan jasa dilakukan secara buttom up yaitu melalui pra
Musrenbang, Musrenbang Desa, Musrenbang Kecamatan, Forum SKPD, Musrenbang
Kabupaten, sidang paripurna pembahasan anggaran di DPR. Identifikasi kebutuhan tersebut
dituangkan dalam dokumen perencanaan dengan melibatkan semua pihak yang
berkepentingan antara lain pemerintah, masyarakat/LSM, pengusaha, anggota DPR dan
lain-lain yang disosialisasikan baik melalui pengumuman maupun melalui media massa; 2)
penerapan prinsip dalam proses pengadaan barang dan jasa khususnya pelelangan umum
(tender) terbukti cukup terwujud. Mulai dari penentuan paket-paket pekerjaan,
pengumuman pada media massa, masa pendaftaran dan pengambilan dokumen, Aanwijzing
(penjelasan lelang), pemasukan dan pembukaan penawaran, evaluasi penawaran, penetapan
pemenang, sanggahan, jawaban sanggahan, dan kontrak pada prinsipnya dapat dilakukan
dengan transparan secara umum. Namun, masih ada pengusaha yang meragukan hasil
evaluasi penawaran dan penetapan pemenang; 3) penerapan prinsip dalam pasca pengadaan
barang dan jasa terbukti belum terwujud secara optimal. Masih ada hasil pekerjaan strategis
yang tidak dipertanggungjawabkan secara transparan antara lain; kualitas pekerjaan rendah,
transaksi pembayaran menyalahi aturan, belum optimal pemberian sanksi seperti black list
yang dilakukan oleh pimpinan SKPD bagi pengusaha yang melanggar, pekerjaan yang
kualitasnya rendah tidak diperbaiki dengan baik, monitoring pelaksanaan pekerjaan sangat
rendah, dan lain-lain. Dengan demikian, etika administrasi publik dan administrasi
pembangunan belum dilaksanakan dengan optimal dalam pasca pengadaan barang dan
jasa; dan 4) Faktor-faktor yang mendukung dalam penerapan prinsip pengadaan barang
dan jasa antara lain: Bupati dan Wakil Bupati memberikan kewenangan penuh kepada
SKPD untuk mengelola pengadaan barang dan jasanya masing-masing, pembentukan Tim
Verifikasi kegiatan untuk menilai layak tidaknya suatu pekerjaan, pemberdayaan semua
pihak dalam mengembangkan kompetensi pengadaan barang dan jasa, dan lain-lain.
Sebaliknya, faktor penghambat adalah terutama pada kemampuan SDM yang terlibat
dalam pengadaan barang dan jasa secara umum masih terbatas, penegakan aturan belum
diterapkan secara optimal, kualitas beberapa pekerjaan strategis yang rendah tidak
dilakukan perbaikan secara optimal sehingga masyarakat tidak memanfaatkan secara
optimal pula.
ABSTRACT
MUTTAQIN. The Implementation of Transparency Principle on the Governments
Good and Service Procurement (Case Study at the Government of Soppeng District)
supervised by Muh. Tahir Kasnawi as a promotor and Rakhmat as well as A. Mansyur
Hamid as co-promotor.
This research is qualitative research dealing with 4 (four) research questions as
follows: 1) How is the implementation of transparency principle on pre good and service
procurement; 2) How is the implementation of transparency principle on the process of
good and service procurement (competitive tendering); 3) How is the implementation of
transparency principle on post good and service procurement; and 4) What is the supporting
and hindering factor in the implementation of tranparency principle on governments good
and service procurement. The locus of this research consists of 8 (eight) units as follows:
1) Sectretariat; 2) Local Development Planning Board; 3) Public Work Service; 4) Health
Service; 5) Revenue, Asset and Financial Management Service; 6) Education, Youth, and
ii

Sport Service; 7) Water Resources, Mining, and Energy Service; and 8) Local General
Hospital.
The objective of this research: 1) to get the information dan to study deeply the
implementation of transparency principle on pre good and service procurement; 2) to get
the information dan to study deeply the implementation of transparency principle on the
process of good and service procurement (competitive tendering); 3) to get the information
dan to study deeply the implementation of transparency principle on post good and
service procurement; and 4) to get the information dan to study deeply the supporting and
hindering factor in the implementation of tranparency principle on governments good and
service procurement on the government of Soppeng district.
The research instrument used is the interview and foused group discussion (FGD)
guide and the data collecting technique is conducting interview to the informant and
limited focused group discussion. The informants are the government official, private
entepreneur, local NGOs staf, lawyer, legislative member, and internal as well as external
auditor.
Technique of data analysis is carried out by making a note of the raw data
collected from the informant through the interview and FGD. Then, the data is grouped
based on the category set by the researcher. The data is presented in the form of
simplicity and trasformation of the raw data in order to make meaningful information
through triagulation. The next step is to make conclusion and data verification which is
already set orderly.
The result of this research shows: 1) the implementation of transparency principle
on pre good and service procurement can be realised in a good category. The need
identification of good and service which is set to a planning document involve all stakeholder
in the buttom up planning system through development meeting in the village, sub-district,
district level, and legislative meeting. The planning document approved is disseminated
through notice and mass media; 2) the implementation of transparency principle on the
process of good and service procurement (competitive tendering) can also be realised in a
fairly good category. Starting from setting the package of good and service, notice in mass
media, enrollment, document access, Aanwijzing, bid evaluation, setting the winner of bid
until the awarding contract can be conducted and processed transparently in general.
Eventhough, there are some impoertant aspects still questioned by the tendering
participant; 3) However, the implementation of transparency principle on post good and
service procurement is still in rather poor category. There are some strategic work in
troublesome such as the quality of work is poor, the payment to the contractor is not done
properly, monitoring system is also rather poor. Thus, the etiques of public and
development administration is rather poorly practiced; and 4) The supporting factor in the
implementation of transparency principle on governments good and service such as the
Chief of District (Bupati) and the Vice Chief of District (Wakil Bupati) give full authority to
the head ` of every unit on the procurement implementation without any intervention, the
election of verification team, and the empowerment of all staff involving on the
procurement is continuously done. The hindering factor in the implementation of
transparency principle on governments good and service procurement on the government
of Soppeng District such as the capacity of staff involved on the procurement at present is
still basically rather poor as a whole, the quality of some work done is still rather poor
and there is no sistematic rehabilitation, and some payment system is not carried out
properly.

iii

A. PENDAHULUAN
Dewasa ini dalam era globalisasi yang terutama ditandai dengan semakin
modernnya pengelolaan sistem informasi dan ketatnya persaingan dalam segala bidang,
tuntutan
good governance (tata kepemerintahan yang baik) dalam seluruh kegiatan
pemerintahan dan pembangunan menjadi kebutuhan mutlak. Tata kepemerintahan yang
baik sebenarnya tidak hanya berlaku saat ini saja tetapi sejak organisasi pemerintahan dan
negara dibentuk. Konsep dan penerapan tata kepemerintahan yang baik khususnya di
Indonesia menjadi wacana publik sangat penting sejak reformasi bergulir yang dimulai
pada tahun 1997.
Semangat reformasi yang bergulir di Indonesia sejak tahun 1997 telah mewarnai
seluruh aspek berbangsa dan bernegara. Administrasi publik dituntut untuk mampu
memberikan dukungan
yang optimal dalam memperlancar dan mengintegrasikan
pelaksanaan tugas dan fungsi penyelenggaraan pemerintahan negara dan pembangunan
dengan
mempraktekkan prinsip-prinsip tata kepemerintahan yang baik. Selain itu,
masyarakat semakin menuntut agar pemerintah memberikan perhatian yang sungguhsungguh dalam menanggulangi korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Dengan demikian,
pemerintahan yang bersih yang mampu menyediakan barang dan jasa publik sebagaimana
yang diharapkan oleh masyarakat dapat terwujud.
Tata kepemerintahan yang baik merupakan isu yang sangat penting dalam
pengelolaan administrasi publik dewasa ini. Tuntutan gencar yang dilakukan oleh
masyarakat kepada pemerintah untuk melaksanakan penyelenggaraan negara yang baik
sejalan dengan meningkatnya pengetahuan masyarakat, dan tuntutan pengaruh globalisasi
yang sangat besar. Pola-pola lama penyelenggaraan pemerintahan tidak sesuai lagi tatanan
masyarakat yang telah berubah. Oleh karena itu, tuntutan itu merupakan hal yang wajar
dan sudah seharusnya direspon oleh pemerintah dengan melakukan perubahan-perubahan
yang terarah pada terwujudnya penyelenggaraan tata kepemerintahan yang baik (LAN dan
BPKP, 2000:5).
Salah satu praktek kepemerintahan yang menjadi sorotan publik saat ini adalah
pengadaan barang dan jasa di lingkungan pemerintah. Pengadaan barang dan jasa adalah isu
publik yang sama pentingnya dengan isu-isu publik yang lainnya seperti pembalakan
hutan secara illegal, penangkapan ikan secara illegal, perusakan lingkungan yang menjadi
salah satu pemicu pemanasan global, dan lain-lain. Pengadaan barang dan jasa sangat
rentan dengan permasalahan-permasalahan besar yang sangat memungkinkan semua pihak
terlibat dalam praktek-praktek yang bertentangan dengan tata kepemerintahan yang baik
yaitu korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Hal ini dapat dilihat dalam berita media
massa bahwa hampir setiap hari selalu ada masalah yang berkaitan dengan pengadaan
barang dan jasa.
Pengadaan barang dan jasa adalah salah satu kebijakan pemerintah yang telah
diatur berdasarkan Keppres 80 tahun 2003 yang merupakan pengganti Keppres 18 tahun
2000. Keppres 80 tahun 2003 ini memberikan ruang yang sangat luas untuk penerapan
prinsip-prinsip tata kepemerintahan yang baik dengan melibatkan tiga pemangku
kepentingan yaitu pemerintah, swasta dan masyarakat. Interaksi antara ketiga pemangku
kepentingan ini diatur dalam aturan dan prosedur sedemikian rupa sehingga tuntutan
penerapan prinsip-prinsip tata kepemerintahan yang baik dalam pengadaan barang dan jasa
tersebut wajib untuk dipenuhi.
Prinsip pengadaan barang dan jasa yang sejalan dengan prinsip-prinsip tata
kepemerintahan yang baik yang harus dijadikan dasar utama sebagai kode etik oleh semua
pihak yang terlibat dalam pengadaan barang dan jasa yaitu pemerintah, swasta dan
masyarakat adalah efektif , terbuka dan bersaing, transparan, adil/tidak diskriminatif, dan
akuntabel. Prinsip ini harus dijunjung tinggi dalam melakukan seluruh proses
pengadaan barang dan jasa agar pelanggaran terhadap tata kepemerintahan yang baik dapat
dihindari.
1

Salah satu prinsip tata kepemerintahan yang baik yang sangat menentukan
terwujudnya prinsip lain adalah prinsip transparansi (Dwiyanto: 2008). Prinsip ini sangat
menentukan prinsip akuntabilitas, partisipasi, penegakan hukum, efektifitas, efisiensi dan
lain-lain. Hal inilah yang mendasari besarnya perhatian pemerintah pada
prinsip
trasparansi dalam pengadaan barang dan jasa baik pada tataran nasional maupun tataran
global dan bahkan organisasi dunia misalnya World Trade Organisation (WTO) atau
Organisasi Perdagangan Dunia dan Asia Pacific Economic Cooperation (APEC) atau
Kerjasama Ekonomi Asia Pasifik.
Untuk menjunjung tinggi prinsip transparansi pengadaan barang dan jasa
pemerintah
menetapkan media massa yang dijadikan tempat pengumuman pengadaan
barang dan jasa baik media nasional maupun lokal. Menteri Perencanaan Pembangunan
Nasional/Kepala BAPPENAS sejak tahun 2006 mengeluarkan Surat Keputusan tentang
Penetapan Surat Kabar Media Indonesia sebagai tempat pengumuman pengadaan barang
dan jasa pemerintah di seluruh wilayah Indonesia yang nilai Pagu Anggarannnya 1 milyar
ke atas. Di Sulawesi Selatan khususnya, Pemerintah telah menetapkan Surat Kabar
Ujungpandang Express sebagai tempat pengumuman pengadaan barang dan jasa yang
nilainya Rp. 100 juta sampai dengan Rp. 1 milyar yang berlaku di wilayah Sulawesi
Selatan. Dengan demikian, seluruh penyedia barang dan jasa dan masyarakat memiliki
akses informasi yang luas dan transparan dalam proses pengadaan barang dan jasa.
Sebagaimana dengan daerah otonom dan institusi pemerintah lainnya pemerintah
Kabupaten Soppeng adalah salah satu kabupaten di Sulawesi Selatan dalam melakukan
proses pengadaan barang dan jasa telah berpedoman
pada Keppres 80 tahun 2003.
Namun demikian, selama proses pengadaan barang dan jasa berdasarkan Keppres 80 tahun
2003 pada Pemerintah Kabupaten Soppeng masih mengalami beberapa permasalahan bila
dikaitkan dengan penerapan prinsip-prinsip tata kepemerintahan yang baik khususnya
penerapan prinsip transparansi dalam pra, proses dan pasca pengadaan barang dan jasa.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai
berikut:
1. Bagaimana penerapan prinsip tranparansi dalam pra pengadaan barang dan
jasa pada Pemerintah Kabupaten Soppeng?
2. Bagaimana penerapan prinsip tranparansi dalam proses pengadaan barang dan
jasa (pelelangan umum) pada Pemerintah Kabupaten Soppeng?
3. Bagaimana penerapan prinsip tranparansi dalam pasca pengadaan barang dan
jasa (pasca pelelangan umum) pada Pemerintah Kabupaten Soppeng?
4. Faktor-faktor apa saja yang mendukung dan menghambat penerapan prinsip
trasparansi dalam pengadaan barang dan jasa pada Pemerintah Kabupaten
Soppeng?
B. TINJAUAN PUSTAKA
I.

Konsep Administrasi Publik

a.

Administrasi Negara Klasik

Semenjak ada dua orang di muka bumi ini, usaha untuk hidup bersama dilakukan.
Usaha hidup bersama sudah sejak dahulu kala diakui sebagai suatu keharusan karena
manusia sebagai makhluk sosial, dalam mencapai tujuannya pasti memerlukan bantuan
orang lain. Dengan perkataan lain, sejak adanya dua orang manusia yang bekerja sama
untuk mencapai tujuan tertentu, sejak itulah administrasi ada, karena seperti dimaklumi,
administrasi pada umumnya didefinisikan sebagai proses penyelenggaraan kegiatan
tertentu oleh dua orang atau lebih yang bekerja sama dalam rangka pencapaian tujuan yang
telah ditentukan sebelumnya (Siagian, 2001:131).
Ada beberapa prinsip-prinsip lama administrasi negara yang sangat fundamental
sebagaimana dikekmukakan oleh Hughes (1994:1) yang perlu mengalami perubahan
2

paradigma. Pertama, pemerintah seharusnya mengorganisasi dirinya berdasarkan prinsip


birokratis dan hirarkis sebagaimana prinsip birokrasi yang dikemukakan oleh Max Weber.
Berpedoman secara ketat pada prinsip ini akan menyediakan suatu cara yang terbaik dalam
menjalankan organisasi. Kedua, ketika pemerintah terlibat dalam kegiatan administrasi
maka ia menjadi penyedia barang dan jasa secara langsung melalui birokrasi. Penyediaan
langsung adalah prosedur operasi standar. Ketiga, pemisahan antara politik dengan
administrasi harus dilakukan. Administrasi harus dijadikan instrumen untuk melakukan
instruksi, sementara kebijakan dan strategi adalah bagian dari kepemimpinan politik. Hal
ini dilakukan untuk menjamin akuntabilitas. Keempat, administrasi negara dianggap
sebagai sebuah bentuk administrasi yang khusus sehingga perlu birokrasi yang profesional,
pegawai permanen, dan kemampuan untuk melayani
kepemimpinan politik tanpa
diskriminasi.
Salah satu ciri dari perkembangan sistem administrasi negara klasik tersebut
adalah penerapan konsep-konsep birokrasi menurut Max Weber. Weber dalam Mardiasmo
(2002: 14-15) mengamati bahwa birokrasi membentuk proses administrasi yang rutin sama
persis dengan mesin pada proses produksi. Birokrasi adalah salah satu rasionalitas tertentu
yang memiliki karakteristik yaitu: spesialisasi, organisasi yang hierarkis, sistem aturan,
impersonality, struktur karir, dan efisien.

b.

Peralihan dari Administrasi Negara ke Administrasi Publik

Sebagaimana dijelaskan oleh Toha (2008: 66) bahwa administrasi publik yang
diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia Administrasi Negara saat ini dipertanyakan
oleh beberapa kalangan akademisi berkaitan dengan gejolak perubahan masyarakat yang
semakin dinamis. Di Indonesia istilah administrasi negara dikenal berbarengan dengan
pendekatan yang digunakan dalam mengelola negara yang menekankan pada orientasi
kekuasaan. Orientasi kekuasaan yang berasal dari negara ini membuat segala upaya
penyelenggaraan pemerintahan bercorak sarwa negara. Publik lebih ditekankan pada
pemahaman negara. Oleh karena itu, corak sarwa negara itu lebih menonjol ketimbang
corak yang bersarwa masyarakat atau rakyat.
Bovair dan Loffler (2003:6) mengemukakan bahwa pada pertengahan abad
keduapuluh kajian tentang tugas-tugas pegawai negeri dan pejabat publik lainnya (tugastugas politisi sebagai legislator dalam menetapkan kebijakan publik) biasanya dimaknai
dengan administrasi negara. Dengan demikian administrasi negara dicirikan dengan
kesan yang kental dengan birokrasi, pekerjaan yang permanen, kurangnya semangat
wirausaha, dan lain-lain.
Pada akhir tahun 1980an dan awal tahun 1990an telah terjadi transformasi dalam
sektor publik di negara-negara maju. Bentuk-bentuk administrasi negara yang birokratis,
hirarkis, dan kaku yang dominan pada abad duapuluan berubah dalam bentuk publik
manajemen yang berbasis pasar dan fleksibel. Perubahan-perubahan tersebut tidak hanya
pada hal-hal kecil dalam gaya manajemen, tetapi juga peran pemerintah dalam masyarakat
dan hubungan antara pemerintah dan masyarakat. Banyak kalangan baik akademisi
maupun praktisi serta pihak-pihak lain telah mendeskreditkan atau menganggap tidak
relevan lagi administrasi publik tradisional secara teoritis dan praktek. Dengan demikian,
munculnya manajemen publik baru berarti munculnya paradigma baru dalam sektor publik
(Hughes: 1994: 1).
Sebagaimana yang dijelaskan oleh Toha (2008:67) bahwa di Indonesia telah
terjadi perubahan dalam ilmu administrasi negara dan manajemen pemerintahan yang
sebelumnya sarwa negara berubah menjadi sarwa masyarakat. Oleh karena itu, istilah
publik seperti yang dilekatkan sebagai predikat pada istilah administrasi hendaknya
dipahami sebagai predikat terhadap proses kepemerintahan yang selaras dengan perubahan
paradigma tersebut. Dengan demikian, istilah administrasi publik dapat diartikan sebagai
3

administrasi pemerintahan yang dilakukan oleh aparat pemerintah untuk kepentingan


masyarakat.
Dengan demikian, kata publik dalam administrasi publik yang disamakan
dengan makna negara memang dapat diartikan sebagai masyarakat luas sebagai lawan
dari individu tetapi publik juga menunjuk pada mereka
yang bekerja untuk
kepentingan masyarakat luas atau dikenal dengan lembaga pemerintah. Dengan demikian,
variasi makna administrasi publik dapat juga dilihat dari persepsi orang tentang kata
administrasi publik itu sendiri. Ada yang menerjemahkan administrasi publik sebagai
administration of public (administrasi publik) menunjukkan bahwa pemerintah berperan
sebagai agen tunggal yang berkuasa atau sebagai regulator. Terjemahan yang lain yaitu
administration by public (administrasi oleh publik) adalah konsep yang sangat
berorientasi kepada pemberdayaan masyarakat, lebih mengutamakan kemandirian dan
kemampuan masyarakat karena pemerintah memberi kesempatan untuk itu. Selanjutnya,
istilah yang lain adalah administrasi untuk publik adalah suatu yang menunjukkan bahwa
pemerintah lebih berperan dalam mengemban misi pemberian pelayanan publik (Keban,
2008: 4).

c.

Paradigma Baru Administrasi Publik

Ilmu Administrasi Negara tidaklah statis. Ia selalu ditantang oleh perubahanperubahan zaman. Dasawarsa 1970an merupakan momentum yang menunjukkan
kedewasaan di dalam menghadapi perubahan-perubahan dan tantangan-tantangan untuk
maju. Di Indonesia di saat yang sama, sehabis pergantian orde pemerintahan maka
pembaharuan sistem administrasi negara mengalami kemajuan yang pesat pula.
Pembaharuan ini sejalan dengan program pemerintah untuk melaksanakan pembangunan
berencana lima tahunan. Betapa pentingnya ilmu administrasi negara bagi kehidupan
bernegara tidak bisa disangkal lagi. Banyak masyarakat negara di dunia ini telah
mendemontrasikan kemampuan-kemampuan administrasinya. Mulai dari masyarakat yang
kompleks seperti zaman sekarang ini, administrasi selalu ikut berbicara dalam segala
aspek kehidupan (Toha, 2008: 38-39).
Khusus konsep New Public Management (Manajemen Publik Baru), konsep ingin
mengenalkan konsep-konsep yang biasanya diperlakukan untuk kegiatan bisnis dan di sektor
privat. Inti dari konsep ini ialah untuk mentransformasikan kinerja yang selama ini
dipergunakan dalam sektor privat dan bisnis ke sektor publik. Slogan yang terkenal dalam
perspektif konsep Manajemen Publik baru ini ialah mengatur dan mengendalikan
pemerintahan tidak jauh bedanya mengatur dan megendalikan bisnis (Toha, 2008: 71). Salah
satu model pemerintahan di era Manajemen Publik Baru adalah Reinventing Government
yang dikembangkan oleh Osborne dan Gaebler (1992).
Bovair dan Loffler (2003:6) menguraikan tentang ciri khas Manajemen Publik Baru
yaitu berkaitan dengan manajemen keuangan bukan saja pemegang anggaran, budaya
kontrak, termasuk juga kontrak dengan penyedia jasa sektor swasta, kontrak kerja
pegawai dalam kurung waktu yang tertentu dan bisa saja tidak diperbaharui lagi,
kewirausahaan, pengambilan resiko, dan akuntablitas kinerja.
Selanjutnya, Manajemen Publik Baru berfokus pada manajemen sektor publik
yang berorientasi pada kinerja, bukan berorientasi pada kebijakan. Penggunaan pradigma
Manajemen Publik Baru tersebut menimbulkan beberapa konsekuensi bagi pemerintah
diantaranya adalah perubahan pendekatan dalam penganggaran dari penganggaran
tradisional menjadi penganggaran berbasis kinerja, tuntutan untuk melakukan efisiensi,
pemangkasan biaya, dan kompetisi tender (Mardiasmo, 2002: 26).

II.

Tata Kepemerintahan Yang Baik

Tata kepemerintahan yang baik merupakan terjemahan dari Good Governance


yang merupakan rangkaian dua kata yang memiliki makna universal yang sangat
mendalam dan dapat dikaitkan dengan berbagai aspek kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Good sebagai sebuah kata yang mandiri berdasarkan kamus
Bahasa Inggris-Indonesia yang dikarang oleh Echols dan Shadily (1995:275) memiliki arti
baik. Baik itu sendiri menurut pengertian dalam kamus Besar Bahasa Indonesia yang
diterbitkan oleh Balai Pustaka Departemen Pendidikan Nasional (2003: 90) memiliki arti
elok, patut, teratur (apik, rapi, tidak ada celanya).
Sedangkan governance (kepemerintahan) dapat diartikan sebagai cara mengelola
urusan-urusan publik (Mardiasmo, 2002:22). Kepemerintahan juga secara harfiah dapat
diartikan sebagai suatu kegiatan pengarahan atau pembinaan (Rahmat, 2009:29). Definisi
kepemerintahan yang lain yaitu merupakan seluruh
rangkaian proses pembuatan
keputusan/kebijakan dan seluruh rangkaian proses dimana keputusan itu diimplementasikan
atau tidak dimplementasikan (Bappenas, 2007: 13)
Sementara itu, Bank Dunia memberikan defenisi tentang kepemerintahan sebagai
cara kekuasaan negara digunakan dalam mengelola sumber-sumber ekonomi dan sosial
untuk pembangunan masyarakat. Selanjutnya, United Nation Development Program (UNDP)
mendefinisikan kepemerintahan sebagai pelaksanaan kewenangan administratif, ekonomi
dan politik untuk mengelola urusan-urusan negara pada semua level.
Mustopadidjaja (2003) mengungkapkan bahwa governance memiliki arti yaitu:
1) kepemerintahan, 2) pengelolaan pemerintahan, 3) penyelenggaraan pemerintahan, 4)
penyelenggaraan negara, dan 5) administrasi negara. Selanjutnya, Tjokroamidjojo (2002: 75)
mengartikan kepemerintahan sebagai memerintah, menguasai, mengurus, dan mengelola.
Apapun terjemahannya,
kepemerintahan menunjuk pada pengertian bahwa
kekuasaan
tidak lagi semata-mata dimiliki
atau menjadi
urusan pemerintah.
Kepemerintahan menekankan pada pelaksanaan fungsi memerintah secara bersama-sama
oleh pemerintah dan institusi-institusi lain, yaitu LSM, perusahaan swasta maupun warga
negara. Bahkan institusi non pemerintah ini dapat saja memegang peran dominan dalam
kepemerintahan tersebut, atau bahkan lebih dari itu pemerintah tidak mengambil peran
apapun kepemerintahan tanpa pemerintah (Wibawa, 2008: 77).
Gambaran tentang tiga domain tata kepemerintahan yang baik yaitu pemerintah,
swasta dan masyarakat dan keterkaitannya antara satu dengan yang lainnya dapat dilihat
pada gambar berikut ini.

Pemerintah

Masyarakat

Dunia Usaha
Swasta

Gambar 1. Tiga Pelaku Tata Kepemerintahan yang Baik


(Sumber: Modul Penerapan Prinsip-Prinsip Tata Kepemerintahan Yang Baik:
Bappenas, tahun 2007)

III.

Penerapan Prinsip Transparansi Tata Kepemerintahan yang Baik

Transparansi berasal dari kata Bahasa Inggris yaitu transparency dengan


pengertian about which there can be no doubt atau sesuatu yang tidak ada keraguan
di dalamnya (Oxford Advanced Learners Dictionary, 1992: 1364). Dalam Kamus Bahasa
Indonesia transparansi dapat diartikan sebagai sesuatu yang nyata dan jelas (Kamus
Besar Bahasa Bahasa Indonesia, 2005: 1208). Selanjutnya, Oliver menjelaskan tentang
defenisi transparansi yaitu a clear declaration what its about (2004:viii).
Dari beberapa prinsip tata kepemerintahan yang baik yang dikemukakan oleh
Badan/Lembaga Nasional maupun Internasional serta perorangan di atas prinsip
transparansi memiliki implikasi yang sangat besar terhadap kemampuan pemerintah untuk
mewujudkan berbagai indikator tata kepemerintahan yang baik yang lain (Dwiyanto, 2008:
227). Dalam sistem yang ditata secara demokratis, sistem dapat dijalankan secara
transparan. Hanya melalui proses yang transparanlah berbagai pihak bisa memberikan
masukan dan mengusulkan berbagai perbaikan agar kualitas keputusan serta kinerja
birokrasi bisa terus menerus diperbaiki (Kristiadi dalam Prasetyantoko, 2008:xvii).
Transparansi harus terjadi karena dengan demikian masyarakat akan mengetahui
berbagai hal seperti: a) tidak adanya tindakan pemerintah yang merugikan rakyat banyak;
b) oknum-oknum dalam birokrasi yang menyalahgunakan kekuasaan dan wewenangnya; c)
prosedur perolehan haknya; dan d) penegakan hukum yang tidak pandang bulu, dan segisegi kehidupan bernegara lainnya yang benar-benar menjurus pada peningkatan mutu
hidup (Siagian, 2001: 165).
Tranparansi dalam pengadaan barang dan jasa di Indonesia menjadi prioritas utama
agar persaingan usaha secara sehat dapat terwujud dan untuk menghindari penyalahgunaan
wewenang yang mengarah kepada pelaksanaan KKN oleh semua pihak yang terlibat.
Penekanan prinsip transparansi tersebut yaitu semua ketentuan dan informasi mengenai
pengadaan barang/jasa, antara lain pengumuman, syarat teknis administrasi pengadaan, tata
cara evaluasi, hasil evaluasi, penetapan calon penyedia barang dan jasa, pelaksanaan
pekerjaan, dan transaksi pembayaran sifatnya terbuka.
Negara-negara yang bergabung dalam APEC (2004:4) juga telah menjadikan
trasparansi sebagai prinsip yang sangat penting dalam pengadaan barang dan jasa meskipun
hal tersebut tidak mengikat secara mutlak. Adapun prinsip tersebut yaitu :
Prinsip umun pengadaan barang dan jasa yaitu informasi yang cukup dan
relevan harus disiapkan kepada semua pihak yang berkepentingan secara
konsisten berdasarkan waktu yang telah ditentukan dan siap untuk diakses, dengan
menggunakan media yang tersedia secara luas dengan biaya sedikit mungkin
atau tanpa biaya sama sekali. Prinsip umum ini dapat diberlakukan kepada
semua aspek pengadaan barang dan jasa pemerintah, lingkungan operasional
secara umum, peluang untuk mengikuti pengadaan, syarat-syarat pembayaran,
kriteria evaluasi penawaran dan penetapan pemenang melalui ikatan kontrak.

IV.
a.

Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa


Konsep Kebijakan

Kebijakan dengan kebijaksanaan adalah dua kata yang sering membingunkan


dalam penggunaannya dalam kehidupan sehari-hari karena pemahaman yang berbeda
terhadap kedua kata tersebut bagi yang menggunakannya. Keban ( 2008: 58) menjelaskan
istilah kebijakan menunjukkan adanya serangkaian alternatif yang siap dipilih
berdasarkan prinsip-prinsip tertentu, sedangkan kebijaksanaan berkenaan dengan suatu
keputusan yang memperbolehkan sesuatu yang sebenarnya dilarang, atau sebaliknya,
berdasarkan alasan-alasan tertentu seperti pertimbangan kemanusiaan, keadaan gawat, dan
sebagainya. Di sini dapat dilihat bahwa kebijaksanaan selalu mengandung makna
melanggar segala sesuatu yang pernah ditetapkan karena alasan tertentu, sedang kebijakan
6

merupakan suatu analisis yang mendalam terhadap berbagai alternatif yang bermuara
kepada keputusan tentang alternatif terbaik. Dengan melihat perbedaan pengertian tersebut
maka diharapkan kedua istilah tersebut digunakan secara tepat sesuai dengan konteksnya.
Hogwood dan Gunn (dalam Turner dan Hulme, 1997:59) menguraikan serangkaian
definisi tentang kebijakan (policy) yang menunjukkan makna yang berbeda-beda.
Kebijakan dapat diartikan sebagai: a) label dari suatu bidang kegiatan seperti kebijakan
ekonomi, kebijakan industri, kebijakan ketertiban dan hukum; b) ekspresi tentang tujuan
umum atau kondisi yang diinginkan seperti menciptakan pekerjaan sebanyak mungkin,
mempromosi demokratisasi melalui desentralisasi, atau membasmi akar kemiskinan; c)
proposal khusus seperti melakukan devaluasi 10%, atau memberikan pendidikan gratis;
d) keputusan pemerintah
seperti keputusan presiden; e) otorisasi formal seperti
ketetapan parlemen; f) program seperti program kesehatan wanita; g) output jumlah
lahan yang didistribusikan dalam program land reform; h) ourcome seperti income petani
yang meningkat sebagai akibat dari program land reform; i) teori atau model misalnya
apabila insentif ditingkatkan maka output akan bertambah; dan j) proses seperti penetapan
tujuan, pembuatan keputusan untuk implementasi dan evaluasi.
Keban (2008:57) menjelaskan bahwa dimensi kebijakan memang sangat penting
mengingat kedudukannya sangat penting sebagai penentu tentang apa yang hendak
dikerjakan. Disini perlu dicatat bahwa apa yang hendak dikerjakan harus responsif
terhadap masalah, kebutuhan aspirasi. Jadi tidak benar kalau suatu kebijakan diputuskan
atau dikeluarkan tanpa ada masalah, kebutuhan, dan aspirasi yang riil, dan tentu tidak bisa
juga didasarkan pada masalah atau kebutuhan yang dikarang oleh pihak tertentu untuk
memenuhi kepentingannya. Dan karena kebijakan ini adalah kebijakan publik maka yang
ditekankan di sini adalah masalah, kebutuhan dan aspirasi dari masyarakat yang seharusnya
dilayani.
Wilson (2006:12) mendefinisikan kebijakan publik yaitu pernyataan authoritatif atau
tindakan pemerintah yang merefleksikan keputusan, nilai, atau tujuan pembuat kebijakan
(the authoritative statements or actions of government which reflect the decisons, values,
or goals of policy makers). Dye (1998:2) mendefinisikannya sebagai segala sesuatu yang
dikerjakan oleh pemerintah, mengapa melakukannya, dan perbedaan apa yang
dihasilkannya (what governments do, why they do it, and what difference it makes).

b.

Pengadaan Barang dan Jasa

Pengadaan barang dan jasa atau procurement menurut defenisi Transparency


International yaitu acquisition of consumption and investment of goods and services
(2006: 13). Sedangkan pengertian pengadaan barang dan jasa pemerintah berdasarkan
Keppres 80 tahun 2003 yaitu kegiatan pengadaan barang dan jasa yang dibiayai dengan
APBN/APBD, baik yang dilaksanakan secara swakelola maupun oleh penyedia barang
dan jasa.
Secara umum anggaran pengadaan barang dan jasa di seluruh dunia yang
dilaksanakan oleh institusi pemerintah berkisar antara 15% sampai 30% dari GDP bahkan
lebih dari itu pada negara-negara tertentu. Namun demikian, 10% sampai dengan 25 %
dari anggaran pengadaan barang dan jasa tersebut bermasalah karena korupsi, dan
bahkan dalam kasus tertentu antara 40% sampai dengan 50% (Transparency
International, 2006: 13).
Pengadaan barang dan jasa ternyata tidak saja menjadi isu yang sangat penting di
Indonesia tetapi juga menjadi sorotan secara internasional karena sangat rentannya terhadap
praktek-praktek yang melanggar tata kepemerintahan yang baik tersebut. Hal ini tidak
saja terjadi pada negara-negara yang sedang berkembang tetapi praktek ini juga masih
sering pula terjadi di negara-negara maju. Stapenhurst dan Kpubdeh (dalam Oshahi, 2007: 1)
menyatakan pengadaan barang dan jasa publik terkenal dengan tingkat korupsi yang
dilakukan oleh pegawai publik yang tidak jujur. Banyak sekali fakta dilaporkan di seluruh
7

dunia yang menunjukkan bahwa prosedur pengadaan yang semrawut sering menimbulkan
terjalinnya hubungan antara pegawai pemerintah dengan kontraktor yang tidak wajar
sehingga
menyebabkan terjadinya kolusi diantara berbagai pihak yaitu antara
kontraktor dengan kontraktor atau antara pegawai pemerintah dengan kontraktor.
Dalam implementasi kebijakan pengadaan barang dan jasa di instansi pemerintah
di Indonesia, antara tahun 2003 dan tahun 2008 cukup banyak masalah besar yang terjadi.
Masalah tersebut antara lain skandal pengadaan logistik Pemilu oleh KPU, pengadaan
kendaraan pemadan kebakaran di beberapa provinsi dan kota se Indonesia, dan lain-lain.
Berdasarkan masalah yang terjadi tersebut pemerintah secara terus menerus
memperbaiki sistem pengadaan barang dan jasa. Sampai tahun 2007 Keppres 80 tahun
2003 telah diubah sebanyak tujuh kali dengan tujuan agar prinsip-prinsip pengadaan
barang dan jasa dapat terwujud. Sistem dan metoda pengadaan barang dan jasa pada saat
itu sudah semakin baik yang ditandai dengan penerapan prinsip transparansi dalam
pengadaan barang dan jasa yang semakin sempurna sehingga semakin tertutup cela bagi
pengguna dan penyedia barang dan jasa untuk melakukan penyelewengan. Hal ini ditandai
dengan terbitnya Perpres 95 tahun 2007 yang intinya adalah pengumuman pengadaan
barang dan jasa melalui website pengadaan. Pengumuman melalui website ini merupakan
tindak lanjut perbaikan prinsip transparansi secara terus menerus yang sebelumnya hanya
melalui Surat Kabar saja sebagai tempat pengumuman pengadaan. Sebagaimana dijelaskan
sebelumnya bahwa pada tahun 2006, untuk menjunjung tinggi penerapan prinsip
transparansi maka dilakukan penetapan Surat kabar Media Indonesia sebagai tempat
pengumuman untuk pengadaan yang jumlah anggarannya Rp. 1 milyar ke atas semakin
membuka transparansi yang lebih baik. Demikian pula, penetapan Surat Kabar Ujung
Pandang Ekspres sebagai tempat pengumuman pengadaan di Sulawesi Selatan khususnya
pengadaan yang anggarannya Rp. 100 juta sampai Rp. 1 milyar juga cukup signifikan
membatasi para pihak dalam melakukan penyelewengan. Dengan demikian transparansi
pegumuman pengadaan ini memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada penyedia
barang dan jasa untuk melakukan kompetisi yang sehat.

C. METODE PENELITIAN
I.

Jenis dan Lokasi Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan lokasi penelitian yaitu
lingkup Pemerintah Kabupaten Soppeng khususnya pada 8 (delapan) unit yaitu: Sekretariat,
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA), Dinas Pendapatan, Pengelolaan
Keuangan dan Aset Daerah (Dinas PPKAD), Dinas Pekerjaan Umum (Dinas PU), Dinas
Kesehatan, Dinas
Pendidikan, Pemuda dan Olah Raga (Dinas Dikmudora), Dinas
Pengelolaan Sumber Daya Air, Pertambangan dan Energi, dan Rumah Sakit Umum
Daerah (RSUD). Kedelapan unit tersebut lebih banyak melaksanakan pengadaan barang
dan jasa dibandingkan dengan unit lain yang berlangsung secara rutin dengan jenis
pengadaan yang sama atau berbeda dari tahun ke tahun.
II.

Pendekatan dan Desain Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus tentang
Penerapan Prinsip Transparansi dalam Pengadaan Barang dan Jasa di Pemerintah Kabupaten
Soppeng. Pertimbangan utama yang diambil peneliti dalam memilih studi kasus ini karena
saat ini pengadaan barang dan jasa menjadi isu publik yang sangat penting yang ditandai
dengan banyaknya permasalahan yang menimpa
pemerintah, swasta dan masyarakat
dalam pengadaan barang dan jasa tersebut. Peneliti melakukan penelusuran dan studi
secara mendalam tentang objek yang diteliti dalam rangka menarik kesimpulan yang lebih
akurat tentang penerapan Prinsip Transparansi dalam Pengadaan Barang dan Jasa pada
Pemerintah Kabupaten Soppeng.
8

III.

Sumber Data

Sumber data dalam penelitian akan diperoleh melalui pihak-pihak yang terkait
dalam pengadaan barang dan jasa selama periode tahun 2007 sampai dengan tahun 2008
sebagai berikut:
a. Bupati, Wakil Bupati, Sekretaris Daerah, anggota DPRD, dalah para pengambil
kebijakan yang ada di Kabupaten Soppeng. Mereka dapat menentukan kebijakan
dalam pengadaan barang dan jasa berdasarkan Keppres 80 tahun 2003.
b. Pengguna Anggaran/Barang dan Kuasa Pengguna Anggaran/Barang adalah seseorang
yang diangkat oleh Bupati sebagai atasan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan
Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK). Mereka bertugas untuk mengontrol pejabat
pembuat komitmen dan panitia pengadaan barang dan jasa dalam melaksanakan tugastugasnya. Pengguna Anggaran/Barang dan Kuasa Pengguna Anggaran/Barang
memiliki tanggungjawab keuangan fisik kegiatan sehingga memiliki tanggungjawab
utama dalam mematuhi prinsip-prinsip tata kepemerintahan yang baik. Pengguna
Anggaran/Barang dan Kuasa Pengguna Anggaran/Barang pada umumnya dijabat
oleh Pimpinan SKPD.
c. Panitia Pengadaan Barang dan Jasa adalah tim yang diangkat oleh kuasa pengguna
anggaran atau Kepala Kantor yang bertugas untuk melaksanakan proses pengadaan
barang dan jasa sehingga keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan pengadaan sangat
tergantung pada panitia tersebut. Mereka memiliki tanggungjawab yang sangat besar
untuk menjunjung tinggi prinsip-prinsip tata kepemerintahan yang baik khususnya
perinsip transparansi.
d. Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) berdasarkan Keppres 80 tahun 2003 adalah
pegawai yang diangkat oleh pimpinan tertinggi lembaga dalam mengelolah anggaran
dan kegiatan kantor. Ia memiliki tanggungjawab dalam mengelola kegiatan dan
keuangan kantor secara penuh sehingga keberhasilan dan kegagalan seluruh kegiatan
dan pemanfaatan anggaran adalah merupakan tanggungjawabnya. Tanggungjawab
yang dimiliki oleh Pejabat Komitmen dalam pengadaan barang dan jasa adalah ia
harus menetapkan pemenang tender yang diajukan oleh panitia pengadaan. Selain itu,
ia harus menandatangani kontrak dengan pihak perusahaan selaku penyedia barang
dan jasa sehingga tenggungjawab panitia pengadaan beralih kepada pejabat pembuat
komitmen. Dengan tanggungjawab yang besar tersebut pejabat pembuat komitmen
diwajibkan untuk menjunjung tinggi prinsip-prinsip tata kepemerintahan yang baik.
Jabatan PPK ini khususnya berlaku dalam pengadaan barang dan jasa yang
anggarannya bersumber dari APBN.
e. Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) adalah pegawai yang diangkat oleh
Pengguna Anggaran/Barang yang memiliki tugas utama sebagai penanggungjawab
kegiatan secara operasional. Tugas dan fungsi PPTK ini berdasarkan Permendagri
Nomor 13 tahun 2006 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Dengan demikian,
beberapa SKPD telah menugaskan PPTK tersebut sebagai penanggungjawab
kegiatan sejak tahun 2007.
f. Pengawas fungsional baik pengawas internal yaitu Inspektorat Kabupaten Soppeng
maupun pengawas eksternal yaitu Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang bertugas
untuk melalukan pemeriksaan seluruh kegiatan pembangunan yang ada di
Kabupaten Soppeng. Mereka mengetahui dengan baik sejauh mana seluruh kegiatan
pembangunan dapat menjunjung
tinggi prinsip transparansi dalam pengadaan
barang dan jasa.
g. Pengusaha adalah penyedia barang dan jasa yang merupakan mitra instansi
pemerintah dalam penyediaan barang dan jasa setelah memenuhi segala ketentuan
yang berlaku
terutama setelah memenangkan proses tender secara kompetitif.
Pengusaha memiliki tanggungjawab untuk memenuhi segala ketentuan yang telah
tercantum dalam kontrak sehingga hasil pekerjaan yang dicapai benar-benar dapat
dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dengan demikian,
9

h.

i.

pengusahapun diwajibkan untuk menjunjung tinggi prinsip-prinsip tata kepemerintahan


yang baik.
Masyarakat/LSM adalah mereka yang memiliki hak untuk memantau pelaksanaan
pengadaan barang dan jasa sehingga seluruh prosesnya dapat berjalan dengan baik.
Mereka dapat memantau pihak pemerintah dan pihak pengusaha dalam menjalankan
tugas dan tanggungawab masing-masing dalam pengadaan barang dan jasa. Dalam
kapasistasnya sebagai pemantau mereka harus menjunjung tinggi prinsip-prinsip tata
kepemerintahan yang baik.
Selain sumber data tersebut peneliti juga melakukan penelahaan dokumen yang
berkaitan dengan pengadaan barang dan jasa di Pemerintah Kabupaten Soppeng
khususnya pada unit Sekretariat, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Dinas
Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (Dinas PPKAD), Dinas Pekerjaan
Umum (Dinas PU), Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air, Pertambangan dan Energi,
Dinas Kesehatan, Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olah Raga (Dinas Dikmudora), dan
Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) mulai dari tahun 2007 sampai dengan tahun
2008. Jenis-jenis dokumen yang dibutuhkan yaitu mulai dari tahun 2007 sampai
dengan tahun 2008 antara lain Dokumen Perencanaan Kegiatan, Dokumen Lelang,
Surat Perjanjian (Kontrak) antara Pejabat Pembuat Komitmen dengan pengusaha,
Laporan Pelaksanaan Kegiatan (bulanan, triwulan, semester, tahunan), Laporan tentang
Serah Terima Pekerjaan, Surat Keputusan (SK) tentang pengangkatan pegawai dalam
Kegiatan Pengadaan Barang dan Jasa, dan lain-lain.
IV.

Fokus Masalah Penelitian dan Deskripsi Fokus

Fokus masalah penelitian dan deskripsi fokus yang akan dibahas dalam penelitian
ini adalah sebagai berikut:
a. Prinsip Transparansi adalah prinsip yang harus dijunjung tinggi oleh semua pihak
yang terlibat dalam pengadaan barang dan jasa yaitu berkaitan dengan semua
ketentuan dan informasi mengenai pengadaan barang dan jasa, yang dimulai dari pra
pengadaan barang dan jasa, proses pengadaan barang dan jasa (proses pelelangan),
sampai kepada pasca pengadaan barang dan jasa sifatnya terbuka atau tidak ada aspek
yang disembunyikan bagi peserta dan penyedia barang dan jasa khususnya dan bagi
masyarakat luas umumnya. Selain itu, semua pihak yang berkepentingan dalam
pengadaan barang dan jasa mendapat akses informasi yang lengkap dan jelas.
b. Pengadaan barang dan jasa adalah pengadaan barang dan jasa yang dibiayai dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN) yang tertuang dalam Daftar Isian Penyelenggaraan Anggaran
(DIPA) pemerintah kabupaten Soppeng. Pengadaan barang dan jasa yang menjadi
fokus penelitian di sini adalah pengadaan yang berlangsung pada tahun 2007 sampai
dengan tahun 2008 yang terdiri dari pra pengadaan, proses pengadaan, pasca
pengadaan, dan faktor-faktor yang mendukung dan menghambat penerapan prinsip
transparansi dalam pengadaan barang dan jasa.
c. Transparansi pra pengadaan barang dan jasa adalah terbuka dan tersedianya akses
informasi tentang identifikasi kebutuhan pengadaan barang dan jasa yang dimulai
dengan Musrenbang sampai dengan penetapan rencana pengadaan barang dan jasa
oleh DPRD yang dilakukan secara partisipatif berdasarkan sistem perencanaan
buttom up.
d. Transparansi proses pengadaan barang dan jasa adalah terbuka dan tersedianya akses
informasi yang dimulai dari penetapan paket pengadaan dan pengumuman lelang,
pendaftaran, pejelasan lelang, pemasukan/pembukaan penawaran, evaluasi penawaran,
penetapan pemenang, masa sanggah, dan penandatanganan kontrak.
e. Transparansi pasca pengadaan barang dan jasa adalah terbuka dan tersedianya akses
informasi yang dimulai dari awal pelaksanaan pekerjaan, proses pelaksanaan
pekerjaan, distribusi barang, masa pemeliharaan, dan serah terima pekerjaan termasuk
10

f.

g.

V.

dengan pelaksanaan pembayaran dari pihak pengguna barang/anggaran kepada


penyedia barang.
Faktor-faktor yang mendukung dan menghambat penerapan prinsip transparansi dalam
pengadaan barang dan jasa. Faktor pendukung adalah faktor yang selama ini
membantu dalam memperlancar pelaksanaan pengadaan barang dan jasa mulai dari
pra pengadaan sampai kepada pasca pengadaan barang dan jasa. Sebaliknya, faktor
penghambat adalah faktor yang menghambat pelaksanaan pengadaan barang dan
jasa mulai dari pra pengadaan sampai kepada pasca pengadaan barang dan jasa
dalam perspektif implementor kebijakan pengadaan barang dan jasa..
Pelelangan umum (compulsory competitive tendering) adalah metode pengadaan
barang dan jasa yang anggarannya Rp. 100 juta atau lebih yang harus diumumkan
pada Surat Kabar yang telah ditentukan baik oleh Pemerintah Pusat maupun
Pemerintah Provinsi. Pengadaan yang anggarannya dari Rp. 100 juta sampai dengan
Rp. 1 milyar harus diumumkan sekurang-kurangnya di Surat Kabar Ujung Pandang
Ekspress khusus untuk pengadaan di wilayah Provinsi Sulawesi Selatan. Pengadaan
yang anggarannya Rp. 1 milyar ke atas wajib diumumkan pada Surat Kabar Media
Indonesia. Metode pengadaan tersebut diupayakan agar diumumkan pada website
pengadaan.

Instrumen Penelitian

Dalam rangka pengumpulan data dalam penelitian ini peneliti menggunakan


instrumen penelitian yaitu:
a. Pedoman wawancara adalah daftar pertanyaan terbuka
yang digunakan untuk
mendapatkan data dan informasi mengenai penerapan prinsip transparansi dalam
pengadaan barang dan jasa pada Pemerintah Kabupaten Soppeng.
b. Pengembangan instrumen dilakukan dengan berpedoman pada
matriks
pengembangan instrumen yang terdiri dari 4 (empat) bagian utama yaitu Judul
Penelitian, Rumusan Masalah, Fokus masalah penelitian dan deskripsi fokus, dan
Tabel Matriks. Matriks tersebut digunakan untuk memperjelas sinkronisasi keempat
aspek tersebut di atas untuk menghasilkan data yang valid.
c. Pedoman wawancara tersebut dibagi ke dalam empat bagian yaitu:
1)
Daftar pertanyaan sebanyak 17 buah digunakan untuk menjaring data tentang
transparansi pra pengadaan barang dan jasa yaitu identifikasi kebutuhan
pengadaan barang dan jasa
melalui
Musrebang Desa, Kecamatan, dan
Kabupaten. Selain itu, daftar pertanyaan tersebut juga digunakan untuk
menjaring data tentang Pra Musrenbang, Forum SKPD, dan pembahasan dan
penetapan anggaran di DPRD Kabupaten Soppeng;
2)
Daftar pertanyaan sebanyak 39 buah digunakan untuk menjaring data tentang
transparansi proses pengadaan barang dan jasa (pelelangan umum) yaitu;
penentuan paket pengadaan, pengumuman, pendaftaran, penjelasan pelelangan,
penentuan kualifikasi, pemasukan penawaran, pembukaan penawaran, kriteria
evaluasi penawaran, hasil evaluasi penawaran, penetapan pemenang
pelelangan, jawaban sanggahan, dan ikatan kontrak;
3)
Daftar pertanyaan sebanyak 20 buah digunakan untuk menjaring data tentang
transparansi pasca pengadaan barang dan jasa (pasca pelelangan umum) yang
terdiri dari waktu pelaksanaan pekerjan, biaya, kualitas, distribusi barang, serah
terima pekerjaan, waktu penyelesaian pekerjaan, efisiensi anggaran, dan
efektifitas pekerjaan;
4)
Daftar pertanyaan sebanyak 37 buah digunakan untuk menjaring data tentang
faktor pendukung dan penghambat penerapan prinsip transparansi dalam
pengadaan barang dan jasa. Dari 37 daftar pertanyaan tersebut 16 pertanyaan
digunakan untuk menjaring data tentang faktor pendukung dan 21 pertanyaan
11

d.

e.

VI.

untuk menjaring data tentang faktor penghambat penerapan prinsip


transparansi dalam pengadaan barang dan jasa.
5)
Selain itu, 3 pertanyaan tambahan digunakan untuk menjaring data tentang
esensi penerapan prinsip transparansi dalam pengadaan barang dan jasa.
Validasi konstrak daftar pertanyaan wawancara tersebut dilakukan melalui expert
jugdment (penilaian ahli) yang terdiri dari 5 (lima) orang yaitu promotor (1 orang),
kopromotor (2 orang), Direktur Pascasarjana UNM, dan Ketua Program Studi
Administrasi Publik. Daftar pertanyaan tersebut diseminarkan di hadapan tim ahli
tersebut kemudian dilakukan validasi seluruh pertanyaan secara bersama-sama baik
yang berkaitan dengan substansi penerapan prinsip transparansi dalam pengadaan
barang dan jasa maupun penggunaan bahasa yang mudah dipahami oleh informan.
Pedoman FGD daftar pertanyaan terbuka yang digunakan untuk mendapatkan data dan
informasi mengenai penerapan prinsip transparansi dalam pengadaan barang dan jasa di
Pemerintah Kabupaten Soppeng dari formal (primary) key person dan informal
(secondary) key person.
Teknik Pengumpulan Data dan Pengabsahan Data

Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data dilakukan dengan wawancara dan
FGD terbatas sebagai berikut:
a. Wawancara dilakukan untuk mendapatkan data dari berbagai informan antara lain
dari pihak Pemerintah Kabupaten Soppeng yang berwewenang mengambil kebijakan
dalam pengadaan barang dan jasa, para PPTK dan panitia pengadaan barang dan jasa
yang paling banyak terlibat dalam pengadaan barang dan jasa. Peneliti juga melalukan
wawancara dengan pimpinan asosiasi perusahaan dan pimpinan perusahaan yang
selama ini terlibat dalam pelelangan dan melakukan kontrak kerja dengan Pemerintah
Kabupaten Soppeng, serta tokoh masyarakat dan pimpinan LSM yang selama ini aktif
memantau pelaksanaan pengadaan barang dan jasa di Pemerintah Kabupaten Soppeng.
Selain itu, peneliti juga melakukan wawancara dengan
auditor baik dari BPK
maupun Inspektorat Pemerintah Kabupaten Soppeng serta ahli pengadaan barang dan
jasa. Data yang diperoleh melalui berbagai informan tersebut dilakukan
pengabsahannya dengan cara triangulasi. Data dari informan yang satu dengan
informan lainnya dicocokkan untuk mencari keragaman jawaban sah sehingga data
yang disajikan dalam uraian hasil penelitian menjadi informasi yang benar-benar
valid.
b. Diskusi kelompok terfokus (Focused group discussion) terbatas dilakukan dengan
mengundang para informan dalam suatu pertemuan secara bersama-sama dalam
rangka mendapatkan data tentang penerapan prinsip transparansi dalam pengadaan
barang dan jasa pada Pemerintah Kabupaten Soppeng. FGD khusus dilakukan di
lingkungan Sekretariat dan Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air, Pertambangan dan
Energi. Data yang diperoleh melalui FGD ini digunakan untuk mendukung data
yang diperoleh melalui wawancara secara perorangan dari setiap informan.
c. Penelahaan dokumen yang berkaitan dengan pengadaan barang dan jasa pada
Pemerintah Kabupaten Soppeng khususnya pada unit Sekretariat, Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah (BAPPEDA), Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset
Daerah (Dinas PPKAD), Dinas Pekerjaan Umum (Dinas PU), Dinas Pengelolaan
Sumber Daya Air, Pertambangan dan Energi, Dinas Kesehatan, Dinas Pendidikan,
Pemuda dan Olah Raga (Dinas Dikmodora), dan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD)
mulai dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2008. Jenis-jenis
dokumen yang
dibutuhkan antara lain Dokumen Perencanaan Kegiatan, Dokumen Lelang, Surat
Perjanjian (Kontrak) antara Pejabat Pembuat Komitmen dengan pengusaha, Laporan
Pelaksanaan Kegiatan (bulanan, triwulan, semester, tahunan), Laporan tentang Serah
Terima Pekerjaan, Surat Keputusan (SK) tentang pengangkatan pegawai dalam
Kegiatan Pengadaan Barang dan Jasa, dan lain-lain. Dokumen penting lainnya adalah
Laporan Hasil Pemeriksaan BPK untuk kegiatan tahun 2007 dan tahun 2008 pada
12

Pemerintah Kabupaten Soppeng. Data dari dokumen tersebut berasal dari dokumen
asli yang benar-benar dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.

VII. Teknik Analisis Data


Menurut Bungin (2008: 153) bahwa dilihat tujuan analisis maka ada dua hal yang
ingin dicapai dalam analisis data kualitatif yaitu: (1) menganalisis proses berlangsungnya
suatu fenomena sosial dan memperoleh gambaran yang tuntas terhadap proses tersebut; dan
(2) menganalisis makna yang ada dibalik informasi, data, dan proses suatu fenomena sosial
itu.
Obyek penelitian ini adalah gejala sosial tentang administrasi publik dengan fokus
pada penerapan prinsip transparansi dalam pengadaan barang dan jasa. Jenis penelitian ini
adalah penelitian yang bersifat deskriptif yakni prosedur penelitian yang menghasilkan data
kualitatif. Pendekatan ini dimaksudkan karena berkaitan erat dengan sifat unik dari suatu
realitas sosial dalam sistem pengadaan barang dan jasa yang berkaitan dengan prinsip
transparansi, serta berkaitan dengan tingkah laku manusia sebagai pejabat dan pegawai
birokrasi. Analisis data dilakukan seiring dengan kegiatan penelitian tanpa memisahkan
waktu. Keseluruhan data yang dikumpulkan dianalisis para tingkat reduksi data dengan
analisis deskriptif dengan melakukan triangulasi antara berbagai sumber data antara lain
pejabat dari lingkungan Pemerintah Kabupaten Soppeng, pengusaha, tokoh masyarakat dan
LSM, auditor, dan ahli pengadaan. Selain itu, sumber data penting lainnya adalah data
sekunder yaitu peraturan-peraturan dan dokumen laporan.
Data yang peneliti peroleh melalui wawancara lapangan kemudian direduksi
melalui proses pemilihan, penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data mentah
menjadi kategori-kategori berdasarkan pengelompokan yang ditetapkan oleh peneliti. Ada
empat kategori data ditetapkan oleh peneliti yaitu : 1) kelompok data yang berkaitan
dengan penerapan prinsip transparansi dalam pra pengadaan barang dan jasa; 2)
kelompok data yang berkaitan dengan penerapan prinsip transparansi dalam proses
pengadaan barang dan jasa (pelelangan umum); 3) kelompok data yang berkaitan dengan
penerapan prinsip transparansi dalam pasca pengadaan barang dan jasa; dan 4) kelompok
data yang berkaitan dengan faktor pendukung dan penghambat penerapan prinsip
transparansi dalam pengadaan barang dan jasa.
Selanjutnya, data sekunder yang diperoleh dari berbagai dokumen penting
dipilih secara teliti dan selektif yang benar-benar berkaitan dengan substansi masalah
yang dibahas. Data sekunder tersebut adalah sebagai data pendukung terhadap data
primer yang diperoleh melalui wawancara. Dengan demikian, baik data primer maupun
data sekunder disajikan sebagai sekumpulan informasi yang tersusun rapi untuk
memudahkan penarikan kesimpulan. Tahap berikutnya adalah menarik kesimpulan dan
verifikasi data yang telah tersusun dengan baik sehingga keempat rumusan masalah
dalam penelitian ini benar-benar dapat terjawab.
D. HASIL PENELITIAN
I.

Penerapan Prinsip Transparansi dalam Pra Pengadaan Barang dan Jasa di


Kabupaten Soppeng

Berdasarkan laporan pada Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset


Daerah (DPPKAD) bahwa pada tahun anggaran 2007 Pemerintah Kabupaten Soppeng
telah
mengelola
Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD) sebesar
Rp.377.384.107.916,-. Adapun perincian APBD tersebut adalah sebagai berikut:
1.
Pendapatan asli daerah sebesar Rp. 14.810.965.660,-;
2.
Dana perimbangan daerah sebesar Rp. 351.758.649.451,-; dan
3.
Lain-lain pendapatan daerah yang sah sebesar Rp. 10.814.492.805,-.
13

Dari keseluruhan anggaran tersebut sebanyak Rp. 117.776.645.104 yang telah


dialokasikan untuk belanja modal atau anggaran yang terkait langsung pengadaan barang
dan jasa. Anggaran tersebut paling banyak terserap untuk Belanja Pegawai dengan jumlah
sebesar Rp. 176.168.023.389,-. Dari belanja modal Rp. 117.776.645.104,- sebanyak Rp.
115.557.711.848,- yang dapat direalisasikan pada tahun 2007.
Selanjutnya pada tahun anggaran 2008 Pemerintah Kabupaten Soppeng telah
mengalami peningkatan alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yaitu
menjadi sebesar Rp. 440.019.773.837,-. APBD tersebut juga terbagi dalam 3 (tiga) bagian
sebagai berikut:
1. Pendapatan asli daerah sebesar Rp.13.419.773.837,-;
2. Dana perimbangan daerah sebesar Rp. 393.399.964.826,-; dan
3. Pendapatan lain-lain daerah yang sah sebesar Rp. 33.200.715.605,-.
Dari keseluruhan anggaran tahun 2008 tersebut sebanyak Rp. 138.339.489.978,yang telah dialokasikan untuk belanja modal atau anggaran pengadaan barang dan jasa.
Anggaran ini sedikit lebih tinggi daripada anggaran tahun 2007. Anggaran yang terserap
untuk Belanja Pegawai adalah sebesar Rp. 218.089.019.546,-. Dari belanja modal sebesar
Rp. 138.339.489.978,- sebanyak Rp. 135.954.041.254,- yang terealisasi pada tahun 2008.
Dalam melakukan identifikasi kebutuhan pengadaan barang dan jasa dengan
menggunakan metode pelelangan umum (tender) di Kabupaten Soppeng sama
saja
dengan identifikasi kebutuhan pengadaan barang dan jasa dengan menggunakan metode
yang lain yaitu metode penunjukan langsung, pemilihan langsung, dan swakelola. Proses
yang dilakukan dalam rangka identifikasi kebutuhan tersebut secara buttom up planning
(perencanaan dari bawah) yang diawali dengan Musyawarah Perencanaan Pembangunan
(Musrenbang). Hal tersebut sebagaimana dijelaskan oleh informan sebagai berikut:
Dalam melakukan identifikasi kebutuhan
atau perencanaan kebutuhan
pengadaan barang dan jasa sama saja semua jenis pengadaan yaitu pengadaan
barang dan jasa yang harus dilakukan desngan pelelangan umum (tender),
pemilihan langsung, dan penunjukan langsung, serta swakelola. Semua proses
perencanaan tersebut dilakukan secara buttom up melalui Musrenbang untuk
kebutuhan Desa/Kelurahan dan Kecamatan. Sebaliknya, untuk kebutuhan SKPD
melalui usulan SKPD secara langsung (A. Maningo Rachmat: 11 Mei 2009).
Semua perencanaan pembangunan termasuk pengadaan barang dan jasa dan
program atau kegiatan non pembangunan
dilakukan secara buttom up.
Metode
perencanaan ini sangat strategis karena kebutuhan itu digali dari bawah baik kebutuhan
masyarakat secara keseluruhan maupun kebutuhan SKPD dalam mendukung tupoksinya
masing-masing khususnya dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Pertama-tama, saya sampaikan bahwa mekanisme yang kita ikuti di Kabupaten
Soppeng yaitu segala sesuatu yang akan kita programkan dalam melakukan
pembangunan di Kabupaten Soppeng yaitu melalui proses buttom up planning.
Metode perencanaan ini sangat strategis karena kebutuhan digali dari bawah
baik kebutuhan masyarakat secara umum maupun kebutuhan SKPD masingmasing kemudian dibahas sampai ke tingkat DPR (A. Sutomo: 10 Juni 2009).
Penerapan prinsip transparansi dalam pra pengadaan barang dan jasa khususnya
dalam proses perencanaan dapat terwujud karena melibatkan semua pihak dari berbagai
kalangan yaitu masyarakat, aparatur pemerintah, anggota dewan, dan lain-lain. Proses
perencanaan tersebut dilakukan secara berjenjang yang dikenal dengan Musyawarah
Perencanaan Pembangunan yang disingkat dengan Musrembang. Tahapan Musrenbang
tersebut yaitu Musrenbang Desa, Kecamatan, dan Kabupaten. Selain itu, dilakukan Forum
SKPD sebelum dilakukan Musrenbang Kabupaten, yang dilanjutkan dengan sidang
paripurna di DPR. Tahapan proses perencanaan pembangunan atau pengadaan barang
dan jasa ini memberikan ruang partisipasi yang sangat luas kepada seluruh kalangan
(pemerintah, swasta, dan masyarakat). Hal ini merupakan pembelajaran yang sangat
penting bagi seluruh masyarakat dalam menyampaikan aspirasinya.
Pada dasarnya prinsip transparansi yang dimaksud adalah sesungguhnya
aspirasi itu berasal dari bawah. Perencanaan diawali dari Musrenbang Desa,
14

Kecamatan dan Kabupaten, dihadiri oleh anggota Dewan yang berasal dari
daerah pemilihan masing-masing, dan dihadiri oleh Satuan Kerja Perangkat
Daerah (SKPD) pada Musrenbang itu. Itulah yang diolah kemudian disampaikan
ke masing-masing SKPD. Namun, tidak semua aspirasi bisa tercover di
Musrenbang Desa, Kecamatan sampai Musrenbang Kabupaten dan masuk kepada
Rancangan APBD. Tentu saja kita melihat prioritas-prioritas pada Desa yang
bersangkutan dan saya melihat dengan adanya prinsip transparansi, betul-betul
keterlibatan masyarakat dalam mengajukan aspirasi dalam sektor kebutuhan
masyarakat betul-betul sangat bermanfaat dengan pola seperti ini (Saharuddin: 9
Mei 2009).
Informasi dari informan di atas menunjukkan bahwa transparansi perencanaan
pembangunan yang ada di Kabupaten Soppeng khususnya pengadaan barang dan jasa
benar-benar dapat terwujud karena melibatkan partisipasi dari masyarakat mulai dari
tingkat desa sampai tingkat kabupaten sehingga seluruh rencana pembangunan dapat
diketahui secara luas. Masalah yang kadang-kadang muncul hanya pada saat terjadi
anggaran perubahan pada pertengahan tahun anggaran. Usulan pengadaan barang dan jasa
kadang-kadang tidak berdasarkan kebutuhan terutama usulan kebutuhan SKPD sebagaimana
yang dijelaskan oleh informan dari BPK sebagai berikut:
Pesoalan perencanaan pengadaan barang dan jasa sering muncul pada saat
terjadi anggaran perubahan. SKPD kadang-kadang melakukan usulan pengadaan
barang dan jasa tidak berdasarkan kebutuhan terutama perencanaan pengadaan
pada saat terjadi perubahan anggaran (Firdaus: 9 Juni 2009).
Puncak prestasi dari seluruh proses perencanaan pembangunan khususnya
identifikasi pengadaan barang dan jasa yang melibatkan seluruh komponen masyarakat di
Kabupaten Soppeng adalah penerimaan Otonomi Award dari the Fajar Institute of ProOtonomi (FIPO) pada tanggal 29 Mei 2009 yang diserahkan oleh Bapak Wakil Presiden
Republik Indonesia Bapak H. M. Yusuf Kalla. Kabupaten Soppeng memiliki nilai yang
paling tinggi dari 23 Kabupaten/Kota se Sulawesi Selatan dalam melakukan proses
perencanaan pembangunan dengan melibatkan masyarakat yang dimulai dari pra
Musrenbang, Musrenbang Desa/Kelurahan, Musrenbang Kecamatan, Forum SKPD, dan
Musrenbang Kabupaten (Kadir, 2009: 52-53).

II.

Penerapan Prinsip Transparansi dalam Proses Pengadaan Barang dan Jasa


(Pelelangan Umum) di Kabupaten Soppeng

Sejak diterbitkannya Keppres 80 tahun 2003 tentang pengadaan barang dan jasa
maka terjadi perubahan yang sangat signifikan dalam pengadaan barang dan jasa di
Indonesia, baik dalam tataran kebijakan maupun dalam tataran implementasinya. Sebelum
Keppres 80 tahun 2003 ini terbit peraturan yang mengatur tentang pengadaan barang dan
jasa yaitu Keppres 18 tahun 2000. Cikal bakal munculnya Keppres 80 tahun 2003 ini
yaitu; Pertama adalah diawali dengan koreksi terhadap peraturan itu sendiri. Kedua
adalah berbagai penelitian yang dilakukan oleh negara-negara atau lembaga-lembaga
donor (pemberi bantuan) terhadap pembangunan di Indonesia bahwa pengadaan barang
dan jasa di Indonesia diwarnai dengan praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Hal
tersebut disampaikan oleh ahli pengadaan sebagai berikut:
Negara-negara atau lembaga-lembaga donor melakukan kajian-kajian terhadap
pengadaan barang dan jasa di Indonesia ini dan mereka membuat kesimpulan
bahwa bahwa pengadaan barang dan jasa itu di Indonesia penuh dengan KKN. Kita
sebagai negara berdaulat tidak mau didikte begitu saja, oleh karena itu kita juga
membuat kajian-kajian yang kebetulan memang singkron dengan yang mereka
sarankan. Oleh karena itu, pada tahun 2003 kita bertekad bulat untuk mengakhiri
KKN itu (Soepadyo: 22 Juli 2009).
15

Koreksi utama terhadap peraturan


tentang pengadaan barang dan jasa
sebelumnya diatur secara terpisah dengan petunjuk pelaksanaan (Juklak) dan petunjuk
teknis (Juknis) pengadaan barang dan jasa. Juklak dan Juknis tersebut ditandatangani oleh
setingkat eselon I saja. Dengan demikian, peraturan-peraturan lain yang mengikuti
Keppres tersebut termasuk Peraturan Daerah (Perda) tentang pengadaan barang dan jasa
sering tidak sinkron. Akhirnya, pelaksanaan pengadaan barang dan jasa tidak berjalan
sebagaimana mestinya.
Saya akan mencoba menjawab secara singkat bahwa sebelum Keppres 80 itu lahir
kita sudah memiliki Keppres 18 tahun 2000 tentang pengadaan barang dan jasa.
Dalam Keppres-Keppres sebelumnya, antara batang tubuh dan petunjuk
pelaksanaannya serta pengimplementasiannya itu diatur secara terpisah. Setelah
Keppres itu ditetapkan maka kemudian ditindaklanjuti dengan petunjuk teknis dan
petunjuk teknis itu ditandatangani oleh jajaran Eselon I (Direktorat Jenderal). Kita
ketahui bahwa hirarki perundang-undangan yang paling rendah adalah Perda.
Hirarkinya dari Undang-Undang Dasar sampai ke Perda. Sedangkan petunjuk teknis
umumnya di tandatangani oleh Eselon 1 dan akibatnya bahwa sering terjadi produk
Perda yang tidak singkron dengan petunjuk teknik dan kemudian masing-masing
Pemda itu menyusun Perda yang kadang-kadang tidak singkron dengan Keppres itu
sendiri (Soepadyo: 22 Juli 2009).
Koreksi
yang kedua adalah
usaha yang sistematis yang dilakukan oleh
pemerintah agar proses pengadaan barang dan jasa yang diwarnai dengan KKN tersebut
dapat dihentikan secara berangsur-angsur. Semua pihak (stakeholder) yaitu pihak
pemerintah, pihak pengusaha, dan pihak masyarakat harus memiliki komitmen bersama
dalam mendukung kebijakan ini dan secara bersama-sama dapat menghindari KKN
tersebut apabila terlibat dalam pengadaan barang dan jasa. Salah satu komitmen tersebut
adalah penandatangan Pakta Integritas oleh semua pihak yang terlibat dalam pengadan
barang dan jasa. Hal tersebut disampaikan oleh informan sebagai berikut:
Hal yang dituangkan dalam Keppres 80 tahun 2003 yang cukup menonjol adalah
bahwa sebelum proses pengadaan itu dimulai terlebih dahulu ditandatangani Pakta
Integritas. Pakta Integritas tersebut harus ditandatangani oleh para pihak yang
berisi tentang ikrar antara para pihak sebelum proses pengadaan barang dan jasa itu
dimulai. Dengan demikian, bahwa para pihak selama pelaksanaan pengadaan
barang dan jasa itu membuat ikrar secara bersama-sama untuk tidak melakukan
KKN (Soepadyo: 22 Juli 2009).
Secara umum Pemerintah Kabupaten Soppeng menyampaikan secara transparan
seluruh paket pengadaan barang dan jasa yang menggunakan metode pelelangan umum
(tender) sekurang-kurangnya melalui Website pengadaan barang dan jasa. Tugas utama
yang dilaksanakan lebih awal oleh pengguna barang dan jasa setelah ditetapkannya APBD
Kabupaten Soppeng adalah menentukan paket-paket pekerjaan pengadaan barang dan jasa
untuk dipublikasikan, minimal setiap SKPD sudah siap untuk menyampaikan kepada
publik tentang paket-paket pengadaan barang dan jasa yang ada di SKPD masing-masing
yaitu metode pelelangan umum (tender) yang mempunyai anggaran Rp. 100 juta ke atas,
pemilihan langsung untuk anggaran Rp.50 juta sampai dengan Rp. 100 juta, dan
penunjukan langsung untuk anggaran di bawah Rp. 50 juta.
Pelaksanaan pelelangan yang dilaksanakan di Kabupaten Soppeng ini dengan
tiga jenis yaitu Rp. 50 juta ke bawah adalah Penunjukan Langsung, Rp. 50. Juta
sampai dengan Rp. 100 juta adalah Pemilihan Langsung, Rp. 100 juta ke atas
dilakukan Pelelangan Umum. Selanjutnya, dalam Penunjukan Langsung memang
tidak diumumkan di koran tetapi Pemilihan Langsung yang anggarannya Rp. 50
juta sampai kepada Rp. 100 juta tidak diumumkan di koran tetapi diumumkan di
SKPD masing-masing sehingga semua rekanan dapat melihat langsung.
Pengadaan barang dan jasa yang dananya Rp. 100 juta sampai Rp. 1 milyar
diumumkan melalui media massa yaitu melalui koran, dalam hal ini kalau di
Sulawesi Selatan melalui UPEKS, kemudian yang Rp. 1 milyar ke atas melalui
Media Indonesia (A. Sarimin Saransi: 15 Mei 2009).
16

Penentuan paket-paket pengadaan barang dan jasa tersebut sangat jelas metode
yang akan dilakukan berdasarkan anggaran
yang telah dialokasikan untuk setiap
pengadaan barang dan jasa. Pada prinsipnya semua pengadaan barang dan jasa adalah
pelelangan umum tetapi dimungkinkan untuk dilakukan dengan metode penunjukan
langsung, pemilihan langsung dan swakelola. Namun demikian, setiap penentuan paketpaket tersebut tidak selamanya dilakukan dengan benar karena ada kecenderungan untuk
melakukan paket tersebut dengan metode penunjukan langsung karena dianggap jauh
lebih mudah karena tidak melibatkan terlalu banyak pengusaha.
Dalam rangka peningkatan pengelolaan keuangan, pemerintah Kabupaten
Soppeng menganggarkan pengadaan Software Sistem Informasi Akuntansi
Keuangan daerah pada SKPKD dan 31 SKPD di Kabupaten Soppeng dengan
anggaran seluruhnya sebesar Rp. 1.320.950.000,- dan realisasi sebesar Rp.
1.319.550.000,-. Untuk merealisasikan kegiatan tersebut masing-masing SKPD
melakukan kerjasama dengan CV. Birusoft Cipta Informatika dengan nilai kontrak
bervariasi antara Rp. 35.000.000,- sampai dengan Rp. 49.000.000,- yang dilakukan
dengan penunjukan langsung. Khusus untuk Sekretariat Daerah sebagai SKPKD
yang menyusun Laporan Keuangan Daerah Kabupaten Soppeng, nilai kontrak
yang disepakati sebesar Rp. 97.950.000,- (LHP BPK, Buku III, 2008:1-4).
Dengan ditetapkannya kedua media tersebut maka akses informasi pengadaan
terbuka lebar kepada semua pengusaha tidak hanya di wilayah Soppeng tetapi juga di
seluruh wilayah Sulawesi Selatan bahkan di seluruh Indonesia melalui Media Indonesia.
Masing-masing media cetak memiliki website sehingga bisa diakses melalui internet.
Transparansi pengumuman barang dan jasa saat ini sangat luarbiasa luasnya sehingga
tidak memungkinkan lagi untuk ditutupi seluruh pengadaan barang dan jasa yang wajib
dilelangkan. Hal ini terbukti bahwa pengadaan barang dan jasa yang dilakukan di
Kabupaten Soppeng telah diikuti oleh pengusaha dari Kabupaten lain misalnya Kota
Makassar, Kabupaten Wajo, Kabupaten Sidrap, Kabupaten Mamuju, dan lain-lain. Namun
demikian, sejak tahun 2007 sampai dengan tahun 2008, belum ada penyedia barang dan
jasa yang mengikuti pelelangan di Kabupaten Soppeng yang berasal dari luar Propinsi
Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat.
Saya lihat dalam 2 tahun terkahir ini cukup aktif partisipasi pengusaha dari
kabupaten lain misalnya Kabupaten Wajo, Kabupaten Sidrap, Kabupaten Luwu,
dan Kabupaten Mamuju khsusnya pada waktu pengadaan genset untuk
penerangan di rumah jabatan Bupati dan di Sekretariat (Asad: 2 Mei 2009)
Dalam melakukan evaluasi seluruh proses evaluasi tersebut masih bersifat rahasia
sehingga rekanan tidak diperkenankan untuk mengetahui hasil evaluasi tersebut sampai
penandatanganan kontrak. Setelah peserta lelang dapat melakukan sanggahan apabila ada
hal-hal yang dianggap tidak mengikuti prosedur sesuai dengan Keppres 80 tahun 2003.
Namun demikian, kadang-kadang pengusaha masih meragukan hasil evaluasi yang
dilaksanakan oleh panitia tersebut sebagaimana yang dikemukan oleh salah seorang
informan dari pihak pengusaha sebagai berikut:
Hal-hal yang biasa menjadi kendala adalah pada saat evaluasi karena proses
evaluasi itu sifatnya rahasia artinya cuma panitia yang bisa lihat. Jadi untuk
mengantisipasi hasil evaluasi saya menyimpan arsip penawaran dan ketika saya
digugurkan tentu saya mempertanyakan kenapa saya
digugurkan dalam
penawaran itu. Kita kadang kalah dalam penawaran. Kadang orang menang
karena dia menang secara angka. Masalahnya dia benar secara keseluruhan atau
tidak kita jangan berprasangka buruk. Saya melihat bahwasanya, seharusnya hal
itu bisa diakses oleh siapapun agar kerahasiaan itu tidak diterjemahkan tidak bisa
diketahui siapapun (Syahril: 11 Juli 2009).

17

III.

Penerapan Prinsip Transparansi dalam Pasca Pengadaan Barang dan Jasa (Pasca
Pelelangan Umum) di Kabupaten Soppeng

Berdasarkan LHP BPK tahun 2008 bahwa pengadaan barang dan jasa pada tahun
2007 dan realisasi anggarannya sebesar Rp. 115.557.711.848,-. Jenis pengadaan utama
yaitu pengadaan tanah, pengadaan peralatan mesin, pengadaam gedung dan bangunan,
pengadaan jalan, irigasi, dan jaringan, serta pengadaan aset lainnya. Dari anggaran tersebut
anggaran pengadaan gedung dan bangunan yang paling besar yaitu sebesar Rp.
47.044.736.616, dan anggaran yang paling kecil adalah untuk pengadaan aset lainnya yaitu
hanya sebesar 1.341.118.000,-. Anggaran tersebut
tersebar di seluruh SKPD se
Kabupaten Soppeng.
Pengadaan barang dan jasa pada tahun 2008 dan realisasi anggarannya mengalami
peningkatan dibandingkan dengan tahun 2007. Jumlah anggaran pengadaan barang dan
jasa pada tahun 2008 sebesar Rp. 135.954.041.254,-. Jenis pengadaan utama yaitu
pengadaan tanah, pengadaan peralatan mesin, pengadaan gedung dan bangunan, pengadaan
jalan, irigasi, dan jaringan, serta pengadaan aset lainnya. Ternyata, pada tahun anggaran
2008 Dari anggaran tersebut anggaran pengadaan pengadaan jalan, irigasi, dan jaringan
yang paling besar yaitu sebesar Rp. 68.895.368.589,- dan anggaran yang paling kecil adalah
untuk pengadaan aset lainnya yaitu hanya sebesar Rp. 683.982.000,-. Anggaran tersebut
tersebar di seluruh SKPD se Kabupaten Soppeng.
Berikut ini diuraikan tentang jumlah kekayaan Pemerintah Daerah Kabupaten
Soppeng yang berkaitan dengan barang dan jasa (aset) berdasarkan dengan hasil neraca
sampai dengan
31 Desember
2008
berdasarkan yaitu; 1) tanah sebesar
Rp.205.698.120.900; 2) Peralatan dan mesin sebesar Rp. 200.582.655.879,-; 3) Gedung dan
bangunan sebesar Rp. 244.003.976.959,-; 4) Jalan, jaringan dan instalasi sebesar
Rp.334.131.811.534,-; 5) Aset tetap lainnya Rp. 1.994.025.725,-; dan 6) Konstruksi dalam
pengerjaan sebesar Rp. 22.830.003.963,-.
Berdasarkan data di atas bahwa Kabupaten Soppeng memiliki kekayaan khusus
untuk bidang aset berdasarkan neraca pada tanggal
31 Desember 2008 sebesar
Rp.1.009.240.594.860,- namun yang dapat tercatat pada masing-masing SKPD hanya
sebesar Rp.581.283.545.100,- sehingga selisih sebesar Rp. 427.957.049.760,-.
Hasil temuan BPK juga menunjukkan bahwa pekerjaan jalan beton dan drainase
ruas Lapajung-Mangkuttu (Poros Malaka Raya) yang dikerjakan oleh CV. Cipta Agar
Utama dengan nilai kontrak sebesar Rp. 758.711.000,- ternyata hanya dapat dilaksanakan
sampai 50% sampai batas waktu yang ditentukan yaitu pada tanggal 13 Desember 2008.
Berdasarkan hasil pengamatan fisik oleh auditor BPK pada tanggal 18 Pebruari 2008
menunjukkan bahwa pekerjaan terbengkalai dan tidak dikerjakan sesuai
dengan
perjanjian kerjasama yang disepakati baik dari segi volume pekerjaan maupun waktu
pelaksanaan.
Ada 3 (tiga) jenis pekerjaan yang sama dengan lokasi yang berbeda dan
pengusaha yang berbeda pula telah mengalami permasalahan yang sama yaitu kualitas
dan waktu pelaksanaan tidak sesuai dengan perjanjian dalam kontrak. Adapun pekerjaan
yang dimaksud yaitu: 1) Pekerjaan jalan beton, drainase dan talud ruas Pajalesang dan
Allimbangen (Jl. Cabenge); 2) Pekerjaan jalan beton, drainase dan talud ruas Pajalesang dan
Allimbangen (Jl. Ranjau); dan 3) Pekerjaan jalan beton ruas Malaka dan Mari-Mari (BeloGanra). Hasil ini menunjukkan bahwa para pengusaha tersebut memiliki kemampuan
yang sangat terbatas dalam melaksanakan pekerjaan tertentu misalnya pekerjaan beton
seperti yang disebutkan di atas (LHP BPK: Buku III, 2009).
Berdasarkan laporan BPK tahun 2007 dan tahun 2008 dalam Buku III disebutkan
juga bahwa ternyata ada beberapa pekerjaan yang dilaporkan oleh Pengguna Anggaran
dan PPTK telah selesai dikerjakan secara fisik tetapi ternyata belum selesai. Hal ini
terbukti dengan penandatanganan Serah Terima Pekerjaan yang dilakukan oleh
Pengguna Anggaran dan PPTK seperti yang telah terjadi pada Dinas Pengelolaan Sumber
Daya Air, Pertambangan dan Energi dan Dinas PU. Akhirnya anggaran tersebut dicairkan
18

secara tidak akuntabel oleh Pengguna Anggaran. Dengan permintaan dari Pengguna
Anggaran maka Dana yang telah dicairkan tersebut akhirnya diblokir untuk tidak
dibayarkan kepada pengusaha sebelum pekerjaannya selesai.
Disamping pekerjaan yang telah diselesaikan dengan baik oleh para pengusaha
tetapi ternyata masih ada pekerjaan yang anggarannya cukup besar khususnya pada tahun
2007 tetapi hasilnya kurang memuaskan. Pekerjaan yang dimaksud adalah software Sistem
Informasi Akuntansi Keuangan Daerah untuk Satuan Kerja Perangkat Daerah di
Kabupaten Soppeng. Software tersebut tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Selain itu,
Dinas Pendapatan Daerah telah melakukan pengadaan Komputerisasi Sistem dan Prosedur
Pendapatan Daerah Aplikasi Windows pada tahun 2007 tetapi juga tidak berfungsi
dengan baik. Selain itu, ada juga pekerjaan yang tidak dapat diselesaikan oleh pengusaha
sesuai dengan waktu yang ditentukan tetapi tidak dilakukan pemutusan kontrak.
Ternyata pada tahun 2008 masih ada beberapa pekerjaan yang dikerjakan oleh
para pengusaha yang memiliki permasalahan akuntabilitas yang sama yaitu pekerjaan tidak
diselesaikan tepat waktu antara lain: 1) Pembuatan jaringan irigasi saluran Lokajawae; 2)
Pembuatan tebing sungai Limpomajang; 3) Pemasangan Bronjong Tebing Sungai Leworeng
Belakang SD Kessing; dan 4) Rehabilitasi saluran Banga. Pekerjaan lain yang memiliki
permasalahan jangka waktu pelaksanaan yang tidak dilaksanakan tepat waktu oleh
pengusaha adalah Pembangunan Rumah Jabatan Wakil Ketua I dan II DPRD Kabupaten
Soppeng. Alokasi waktu yang telah disediakan adalah 150 kalender mulai dari tanggal
05 Desember 2008 sampai dengan 07 Mei 2009. Pekerjaan tersebut ternyata baru
mencapai 91.192 % pada saat dilakukan cek fisik pada tanggal 4 Mei 2009.
IV.

a.

Faktor Pendukung dan Penghambat Penerapan Prinsip Transparansi dalam


Pengadaan Barang dan Jasa di Kabupaten Soppeng
Faktor Pendukung Penerapan Prinsip Transparansi dalam Pengadaan Barang
dan Jasa di Kabupaten Soppeng

Dalam pengadaan barang dan jasa hal yang sangat penting harus dimiliki oleh
semua pihak yang terlibat dalam pengadaan barang dan jasa adalah pengetahuan yang
memadai tentang aturan-aturan pengadaan barang dan jasa itu sendiri khususnya Keppres
80 tahun 2003 dan seluruh perubahan-perubahannya. Disamping pengetahuan yang
memadai tersebut mereka juga harus memiliki pengalaman dalam pengadaan barang dan
jasa terutama dalam menjadi panitia pengadaan barang dan jasa. Dengan demikian,
pemerintah melalui BAPPENAS sejak tahun 2005 melakukan ujian Sertifikasi
pengadaan barang dan jasa yang didahului dengan pelatihan pengadaan barang dan jasa
yang dilaksanakan oleh berbagai lembaga pelatihan resmi.
Menurut Soepadyo bahwa disamping keahlian yang dibuktikan dengan Sertifikat
keahlian pengadaan barang dan jasa panitia juga perlu memiliki pengalaman
dalam memproses pengadaan barang dan jasa. Semakin banyak pengalaman
menjadi panitia akan semakin terungkap segala permasalahan yang berkaitan
dengan pengadaan barang dan jasa (22 Juli 2009).
Selain itu, hal yang sangat mendukung pelaksanaan pengadaan barang dan jasa di
Kabupaten Soppeng yaitu pada tahun 2008 telah dibentuk Tim Verifikasi Administrasi
dan Fisik Kegiatan Pembangunan di Kabupaten Soppeng sejak tahun 2008. Pertimbangan
utama dibentuknya Tim tersebut adalah untuk mewujudkan pelaksanaan kegiatan
pembangunan yang berkualitas, transparan dan akuntabel serta dalam mengelola
pengaduan masyarakat sehubungan dengan pelaksanaan proyek/kegiatan pembangunan di
Kabupaten Soppeng. Dengan adanya Tim tersebut maka para pengusaha sangat berhatihati untuk menyelesaikan pekerjaan yang menjadi tanggunjawabnya. Pekerjaan yang belum
dinyatakan selesai secara sempurna oleh Tim belum dapat dilakukan Serah Terima
Pekerjaan Pengguna barang dan penyedia barang sehingga pembayarannyapun belum bisa
dicairkan 100%.
19

Sekarang ini kita bentuk namanya Tim Sembilan, dalam hal ini kita bentuk Tim
Verifikasi. Tugas Tim Verifikasi ada dua, yang pertama adalah SKPD tidak
diperkenankan membayar 100% tanpa ada surat rekomendasi dari Tim Sembilan.
Jadi kalau ada misalnya laporan dari SKPD yang mengatakan bahwa pekerjaan
jalanan misalnya di tempat ini sudah 100%, dia menyurat ke Tim verifikasi untuk
turun lapangan apa betul sudah selesai atau tidak. Kalau Tim verifikasi turun
melihat dan menemukan betul-betul bahwa pekerjaan di lapangan selesai 100%
baru Tim Verifikai membuat Surat
Rekomendasi untuk dibayarkan 100%.
Kemudian disamping itu kita sebenarnya tidak bayarkan 100%, tetapi masih ada
namanya retensi (pemeliharaan) misalnya sampai enam bulan. Selama enam
bulan ada kerusakan di lapangan maka inilah dana yang digunakan untuk
memperbaiki. Tetapi dalam pelaksanaan pekerjaan di lapangan kita minta kepada
semua aparatur dari bawah, mulai dari Camat, Lurah, Kepala Dusun, Ketua
RT/RW dan semua stakeholder di tempat itu turut mengawasi. Ada namanya
pengawasan masyarakat. Kalau ada masalah silahkan lapor misalnya tidak sesuai
dengan besteknya dan sebagainya. Semua ini adalah untuk menjamin kualitas
pekerjaan di lapangan (A. Sarimin Saransi: 15 Mei 2009).
b.

Faktor Penghambat Penerapan Prinsip Transparansi dalam Pengadaan Barang


dan Jasa di Kabupaten Soppeng

Pengadaan barang dan jasa bukan tanpa hambatan tetapi sesungguhnya masih
banyak hambatan yang dihadapi semua pihak dalam pengadaan barang dan jasa. Salah satu
hambatan internal yang dimiliki oleh Pemerintah Kabupaten Soppeng dalam pegadaan
barang dan jasa adalah belum meratanya distribusi pegawai yang sudah memiliki
sertifikasi yang merupakan syarat untuk menjadi Pengguna Anggaran, Kuasa Pengguna
Anggaran, dan Panitia Pengadaan Barang dan Jasa di seluruh SKPD. Selain itu,
kompetensi seluruh pegawai yang berkait dalam pengadaan barang dan jasa masih juga
sangat bervariasi sehingga tidak semua SKPD memiliki SDM yang mampu secara
mandiri dalam memproses pengadaan barang dan jasanya sendiri. Hal ini juga sejalan
yang disampaikan oleh ahli pengadaan barang dan jasa bahwa jumlah Pegawai Negeri
Sipil yang lulus Sertifikasi pengadaan barang masih sangat terbatas dibandingkan dengan
kebutuhan yang diperlukan di instansi pemerintah.
Sebelumnya, apabila panitia pengadaan barang dan jasa sebanyak 7 orang maka
yang betul-betul sebagai panitia hanya 2 orang. Atau kalau panitianya 9 orang
maka yang memahami betul proses tentang pengadaan barang dan jasa tersebut
hanya 2 orang. Dalam Keppres 80 tahun 2003 para penyelenggara barang dan jasa
harus bersertifikat keahlian. Pada saat itu Keppres 80 tahun 2003 menetapkan
bahwa selambat-lambatnya akhir 2005 semua penyelenggara harus bersertifikat.
Keppres 80 tahun 2003 ditandatangani oleh Presiden November 2003 (Soepadyo:
22 Juli 2009).
Hambatan dalam penerapan prinsip transparansi dalam pengadaan barang dan jasa
ternyata cukup banyak. Salah satunya adalah hambatan secara psikologis terutama terjadi
pada pengguna barang atau panitia pengadaan barang dan jasa. Tekanan dapat muncul
dari berbagai pihak seperti LSM dan pengusaha serta penegak hukum. Mereka dapat
melakukan pengaduan dengan mudah kepada penegak hukum. Tindak lanjut tentang
pengaduan yang dilakukan oleh penegak hukum seperti Kepolisian dapat pula menjadi
pemicu tekanan psikologis bagi pegawai maupun keluarga pegawai. Surat panggilan saja
dari penegak hukum yang disampaikan kepada pegawai yang terkait menimbulkan beban
yang luar biasa.
Beban psikologis memang sangat berat karena keterlibatan berbagai pihak
dalam pengadaan barang dan jasa. Kadang-kadang pengusaha yang tidak menang
20

melakukan teror kepada panitia dengan ancaman laporan kepada penegak


hukum. Beban psikologis juga sangat berat apabila ada panggilan dari Kejaksaan,
Kepolisian, dan lain-lain (Umar: 12 Mei 2009).
E. PENUTUP
I.

Kesimpulan

Berdasarkan uraian pada


pembahasan hasil penelitian maka
dapat ditarik
kesimpulan tentang penerapan prinsip transparansi dalam pengadaan barang dan jasa pada
Pemerintah Kabupaten Soppeng sebagai berikut:
1. Penerapan prinsip transparansi dalam pra pengadaan barang dan jasa pada Pemerintah
Kabupaten Soppeng secara khusus berfokus pada identifikasi kebutuhan pengadaan
barang dan jasa yang melibatkan semua pihak secara partisipatif. Semua kebutuhan
pengadaan barang dan jasa se Kabupaten dibahas secara transparan melalui
mekanisme Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) secara buttom up
dengan melibatkan semua pihak secara partisipatif yaitu aparatur pemerintah, tokoh
masyarakat, tokoh agama, pengusaha, media massa, anggota DPRD, dan lain-lain.
Selain itu, dilakukan pula Forum Satuan Kerja Perangkat Daerah (Forum SKPD)
untuk mencocokkan antara usulan dari masing-masing kecamatan dengan alokasi
anggaran pada masing-masing SKPD yang selanjutnya dibahas di DPRD Kabupaten
Soppeng yang disiarkan langsung melalui media elektronik. Dengan demikian, metode
partisipatif perencanaan pembangunan dapat terwujud di Kabupaten Soppeng. Dengan
demikian, penerapan prinsip transparansi benar-benar dapat terwujud.
2. Penerapan prinsip transparansi dalam proses pengadaan barang dan jasa (pelelangan
umum) pada Pemerintah Kabupaten Soppeng berkaitan dengan pelaksanaan
pelelangan. Secara umum seluruh proses pelelangan dapat dilakukan secara
transparan mulai dari
penentuan paket pengadaan, pengumuman pelelangan,
pendaftaran, penjelasan pelelangan, pemasukan dan pembukaan penawaran, evaluasi
penawaran, usulan dan penetapan pemenang pelalangan, pengumuman pemenang
pelelangan, sampai penandatanganan kontrak dilakukan secara transparan. Hanya
saja, masih ditemukan adanya penentuan paket pengadaan yang seharusnya
dilakukan dengan pelelangan umum tetapi dilakukan dengan penunjukan langsung.
Evaluasi penawaran juga kadang-kadang masih belum diyakini oleh pengusaha
tentang transparansinya yang berujung pada sanggahan dan laporan kepada penegak
hukum. Untuk itu, penerapan prinsip transparansi cukup terwujud.
3. Penerapan prinsip transparansi dalam pasca pengadaan barang dan jasa di Kabupaten
Soppeng berfokus pada pelaksanaan pekerjaan. Masih ditemukan beberapa pekerjaan
yang bertentangan dengan prinsip transparansi yaitu penyelesaian pekerjaan tidak
tepat waktu, kualitas pekerjaan terabaikan, terjadi kolusi pengguna barang/anggaran
dengan pengusaha, pelanggaran aturan transaksi keuangan, dan pemeliharaan pekerjaan
yang tidak berjalan dengan baik. Untuk itu, penerapan prinsip transparansi belum
terwujud secara optimal.
4. Faktor pendukung penerapan prinsip transparansi dalam pengadaan barang dan jasa
pada Pemerintah Kabupaten Soppeng antara lain identifikasi kebutuhan pengadaan
barang dan jasa dilakukan secara partisipatif, pembentukan Tim Verifikasi
pelaksanaan pekerjaan, penerbitan Surat Keterangan Bebas Temuan bagi pengusaha
yang akan mengikuti pelelangan, jumlah pegawai yang lulus sertifikasi pengadaan
sudah memadai. Faktor penghambat antara lain terutama terjadi pada pasca
pengadaan yaitu pelanggaran aturan masih ditemukan pada beberapa pekerjaan yang
stategis.
II. SARAN

21

1.

2.

3.

4.

5.

6.

Dalam pra pengadaan barang dan jasa khususnya dalam identifikasi kebutuhan
melalui Musrenbang sudah berjalan sebagaimana mestinya. Semua proses dilalui
secara berjenjang sesuai dengan prosedur yang berlaku. Namun demikian,
identifikasi kebutuhan tersebut kadang-kadang tidak berdasarkan kebutuhan yang
nyata hanya daftar keinginan saja. Untuk itu disarankan kepada Pemerintah
Kabupaten Soppeng agar melakukan bimbingan khusus kepada masyarakat dan
aparat desa dan kelurahan tentang tata cara melakukan identifikasi kebutuhan
pembangunan umumnya dan pengadaan barang dan jasa khususnya.
Prinsip transparansi proses pelelangan masih menimbulkan beberapa polemik pada
hal-hal tertentu khususnya tahapan-tahapan yang sangat krusial dalam proses
pelelangan terutama evaluasi penawaran dan penetapan pemenang. Dengan demikian,
panitia harus melakukan evaluasi penawaran secermat mungkin dan memberikan
akses seluas-luasnya kepada para pengusaha untuk mengkonfirmasi kelemahankelemahannya sendiri, termasuk juga segala kelebihan-kelebihan penawaran
pemenang pelelangan. Pemerintah Kabupaten Soppeng juga perlu membentuk forum
komunikasi antara pengusaha dengan SKPD.
Prinsip transparansi dalam pasca pelelangan masih ditemukan permasalahan yang
serius terutama realisasi fisik dan keuangan. Untuk itu, Pemerintah Kabupaten
Soppeng harus memperketat pengawasan dan benar-benar menerapkan sanksi kepada
semua pihak yang melanggar karena selama ini penegakan aturan dan sanksi hukum
masih agak kurang.
Aparatur pemerintah yang terlibat dalam pengadaan barang dan jasa agar terlibat
secara penuh bukan sebagai pekerjaan sambilan. Mereka harus mencurahkan seluruh
perhatiannya pada pengadaan barang dan jasa tersebut sehingga seluruh kualitas yang
diharapkan dapat terwujud demi kesejateraan masyarakat pada umumnya dan
masyarakat Kabupaten Soppeng khususnya. Insentif yang relatif rendah yang diterima
oleh aparatur pemerintah dalam pengadaan barang dan jasa selama ini agar dapat
ditingkatkan untuk menyeimbangkan dengan tanggungjawab pekerjaan yang berat
dan resiko yang berat pula terutama resiko hukum agar keseriusan dalam pengadaan
barang dan jasa dapat terwujud.
Sertifikasi seharusnya tidak hanya diwajibkan kepada aparatur pemerintah yang akan
terlibat pada pengadaan barang dan jasa, tetapi sertifikasi perlu juga diwajibkan
kepada pengusaha agar memiliki kemapuan dan integritas yang memadai dalam
menjalankan usahanya.
Sertifikasi perlu diikuti dengan tunjangan yang memadai kepada aparatur pemerintah
yang terlibat dalam pengadaan barang dan jasa karena
tanggungjawab dan
kompensasi yang diterima tidak seimbang.

DAFTAR PUSTAKA
APEC Government Procurement Experts Group, 1998. Transparancy.
Non Binding Principles on Government
Procurement.
http://www.osec.doc.gov/ogc/occic/apec. html. 12 Februari 2009.
BAPPENAS, 2007. Modul Penerapan Prinsip-Prinsip Tata
Kepemerintahan Yang Baik. Jakarta: Sekretariat Tim Pengembangan
Kebijakan Nasional Tata
Kepemerintahan
Yang Baik
BAPPENAS.
Bovaird, Tony and Elke Loffler, 2003.
Understanding Public
Management and Governance dalam Bovair dan Loffler (Ed).
Public Management and Governance. London: Routledge Taylor &
Francis Group.
22

Dwiyanto, Agus, 2008. Transparansi Pelayanan Publik dalam


Dwiyanto (Ed). Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan
Publik. Yokyakarta: Gadjah Mada University Press. Cetakan
ketiga.
Echols, John M., Hassan Shadily, 1995. Kamus Inggris- Indonesia. An
English-Indonesian Dictionary. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.
Hughes, Owen E, 1994. Public Management and Administration. USA:
St. Martins Press.
Keban, Yeremias T, 2008. Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik.
Konsep, Teori dan Isu. Yokyakarta: Gava Media.
LAN dan BPKP, 2001. Akuntabilitas dan Good Governance. Jakarta:
Lembaga Administrasi Negara.
Mardiasmo, 2002. Otonomi & Manajemen Keuangan Daerah.
Yokyakarta: ANDI Yokyakarta.
Mustopadidjaja AR, 2003. Penyelenggaraan Negara Abad 21. Makalah
yang dibawakan
pada Seminar Nasional Meluruskan Jalan
Reformasi: di UGM pada tanggal 25-27 September 2003.
Osborne, David and Ted Gaebler, 1992. Reinventing Government. How
the Enterpreneural Spirit is Transforming the Public Sector. New
York: Penguins Book
Oshahi, Hiroshi, 2007. Effects of Transparency in Procuerement
Practices on Government Expenditures: A Case Study of Municipal
Public
Works.
http://www.e.utokyo.ac.jp/cirje/research/03research02dp.html.
Diakses
pada
tanggal 12 Pebruari 2009.
A P Cowie, 1992. Oxford Advanced Learners Dictionary. Oxford:
Oxford University Press.
Patriastomo, Ikak G., 2008. 14 Mei. Forum Pengadaan. Media
Indonesia, hlm 25.
Prasetyantoko, A. 2008.
Corporate Governance. Pendekatan
Institusional. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Rahkmat, 2009. Teori Administrasi dan Manajemen Publik. Jakarta:
Pustaka Arif.
Siagian, Sondang P, 2000. Administrasi Pembangunan. Konsep, Dimensi,
dan Strategi. Cetakan kedua. Jakarta: Bumi Aksara
Thoha, Miftah, 2008. Birokrasi & Politik di Indonesia. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada.
Tjokroamijodjo, Bintoro, 2003. Reformasi Nasional Penyelenggaraan
Good Governance dan Perwujudan Masyarakat Madani. Jakarta:
Lembaga Administrasi Negara.
23

Turner, Mark, dan David Hulme, 1997. Governance, Administration and


Development: Making the State Work. London: Macmillan Press
Ltd.
UNDP, World Bank, ADB, 2000. Partnership to Support Governance
Reform in Indonesia.
Wibawa, Samodra, 2008. Good Governance dan Otonomi Daerah
dalam Dwiyanto (Ed), Mewujudkan Good Governance Melalui
Pelayanan Publik. Yokyakarta: Gadjah Mada University Press.
Wilson, Carter A, 2002. Public Policy, Continuity Change. USA: The
McGraw-Hill Compnaies.
1.
2.

PERATURAN
Keputusan Presiden RI Nomor 80 tahun 2003 tentang Pedoman
Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Peraturan Presiden RI Nomor 95 tahun 2007 tentang Perubahan
Ketujuh Keputusan Presiden Nomor 80 tahun 2003 tentang
Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

24

Anda mungkin juga menyukai