Anda di halaman 1dari 4

PENINGKATAN KINERJA PEGAWAI DAN DOSEN DI PT

Produktivitas kerja adalah tingkat kemampuan pegawai dalam mencapai hasil


yang diinginkan, terutama dilihat dari sisi kuantitasnya. Karena itu tingkat
produktivitas setiap pegawai bisa berbeda tinggi rendahnya sesuai dengan tingkat
kegigihan dalam melaksanakan tugas. Produktivitas kerja bisa juga diartikan sebagai
hasil kongkrit yang diperoleh individu atau kelompok dalam kurun waktu tertentu
dalam suatu proses kerja.
Muchdarsyah (2003:12) mendefinisikan produktivitas sebagai perbandingan
antara totalitas pengeluaran pada waktu tertentu dibagi totalitas masukan selama
periode tertentu. Jadi produktivitas merujuk pada efektivitas dan evisiensi dalam
memproduksi barang dan jasa. Sementara Nawawi (1998: 126) mendefinisikan bahwa
produktivitas adalah perbandingan antara hasil yang diperoleh dengan jumlah sumber
daya yang diperguanan sebagai masukan. Pendapat ini sejalan dengan pendapat Paul
Mali (1976:6) yang mengatakan bahwa produktivitas berkaitan dengan bagaimana
menghasilkan atau meningkatkan hasil barang dan jasa setinggi mungkin dengan
memanfaatkan segala sumber daya secara efisien. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa produktivitas dalam arti teknis mengacu pada derajat keefektifan
dan efisiensi dalam penggunaan berbagai sumber daya, sedangkan dalam pengertian
perilaku berarti sikap mental yang senantiasa berusaha untuk terus berkembang.
Menurut pengamatan penulis di tiga perguruan tinggi di kota Malang, banyak
upaya yang dilakukan oleh ketiga PT tersebut dalam meningkatkan kinerja dan
produktivitas para karyawan dan dosennya. Ada beberapa persamaan yang dilakukan
oleh ketiga PT terteliti dalam meningkatkan kinerja para dosen dan karyawannya. Di
antaranya adalah memberikan penyadaran kepada para dosen dan karyawan bahwa
hakikat kerja adalah ibadah. Para pimpinan perguruan tinggi terteliti sadar bahwa
mereka memimpin manusia yang memiliki dua aspek yang sama-sama penting, yaitu
jiwa dan raga. Aspek raga merupakan aspek yang mengikut kepada prilaku jiwa,
sehingga jika jiwanya sehat maka raganya juga ikut sehat. Sebaliknya, jika jiwanya
sakit, meskipun raganya sehat, maka tidak akan bisa berbuat secara wajar. Karena itu,
upaya pertama yang dilakukan para pimpinan di ketiga PT terteliti untuk
meningkatkan kinerja dosen dan karyawannya adalah membangun jiwa dengan
memberikan penyadaran kepada mereka bahwa bekerja adalah ibadah. Suatu
pekerjaan yang tidak didasari atas ibadah akan berakibat pada formalitas belaka yang
tidak disertai dengan nilai spiritualitas. Keseimbangan antara formalitas dan
spiritualitas dalam kerja sangat diperlukan untuk meningkatkan kinerja para dosen
dan karyawan, sehingga apa yang mereka lakukan memiliki dua nilai sekaligus, yaitu
dunia dan akhirat.
Seperti yang dikatakan oleh Rektor UIN Maliki bahwa membangun kampus
adalah membangun manusia, jika tidak dibangun jiwanya, maka hanya akan
membangun aktivitas yang bersifat formalitas belaka yang tidak memiliki nilai-nilai
perjuangan. Karena itu, sebelum membangun formalitas, harus dibangunkan dulu
kesadaran jiwanya, sehingga setiap aktivitas yang dilakukan oleh para dosen dan
karyawan memiliki keseimbangan antara dua aspek, yaitu formalitas dan spiritualitas.
Jika formalitas rendah dan spiritualitas rendah maka menyebabkan semangat
kerja rendah dan keadaan tidak tertib. Jika semangat formalitas rendah dan
spiritualitas tinggi, maka semangat kerja tinggi tetapi tidak tertib. Jika semangat
formalitas tinggi dan spiritualitas rendah, maka semangat kerja rendah tetapi tertib.
Jika semangat formalitas tinggi dan spiritualitas tinggi, maka akan menjadikan
semangat kerja tinggi dan tertib.
Menurut Sobandi ada empat kemungkinan kombinasi antara orientasi
ketuhanan dan kemanusiaan yang dapat melahirkan berbagai dampak kebijakan
publik:
1. Jika orientasi ketuhanan dan kemanusian tinggi dalam perumusan
kebijakan akan melahirkan kinerja yang mampu memacu pertumbuhan,
meningkatkan kreativitas masyarkaat, dan membentuk moralitas bangsa
yang tinggi pula.
2. Jika orientasi ketuhanan tinggi tetapi mengabaikan dimensi kemanusiaan
dalam pembangunan, maka akan melahirkan pertumbuhan lambat,
kemiskinan, kurang kreatif, namun moralitas tinggi.
3. Jika orientasi ketuhanan rendah dan kemanusiaan tinggi, maka akan
melahirkan pertumbuhan yang tinggi, kreativitas tinggi, tetapi tidak
dibarengi dengan moralitas yang tinggi sehingga akhirnya menemukan
kehancuran.
4. Jika orintasi ketuhanan rendah dan kemanusiaan juga rendah, maka akan
melahirkan pertumbuhan lambat, kreativitas rendah dan moralitas rendah
sehingga menyebabkan kehancuran bangsa.
Upaya lain yang dilakukan ketiga PT terteliti dalam meningkatkan kinerja
karyawannya adalah melakukan perubahan budaya kerja, yaitu dari budaya kerja yang
inkondusif kepada budaya kerja yang kondusif; dari budaya kerja PNS kepada
profesional; dari kerja individual kepada networking; dari bekerja seadanya kepada
bekerja optimal; dari formalitas kepada isi; dari kebiasaan meninggalkan kepada
mengikutkan; dan dari kebiasaan menunggu kepada mengejar.
Budaya kerja birokrasi pada umumnya, memiliki karakteristik yang sama,
dimana organisasi dikelola dengan cara hirarki yang berlapis-lapis dan disusun secara
birokratis serta memiliki monopoli. Kondisi seperti ini menurut Osborne dan Plastrik
(2000:43) akan menimbulkan budaya yang membuat pegawai sangat reaktif dalam
pengertian negatif, tidak mandiri dan takut mengambil inisiatif sehingga pada
gilirannya membentuk budaya saling menyalahkan, rasa takut kepada atasan dan
menimbulkan sikap defensif, sehingga sangat tidak kondusif terhadap harapan
masyarakat. Untuk mengatasi masalah itu perlu ada terobosan dalam budaya birokrasi
dengan melakukan perubahan budaya birokrasi menuju birokrasi yang berwirausaha.
Perubahan budaya kerja yang dilakukan oleh ketiga PT terteliti, sebagaimana
dijelaskan di atas, juga sejalan dengan budaya organisasi yang ditawarkan oleh
Barzeley (1992:117) dengan konsep “Post Birokrasi”nya. Menurutnya, budaya
organisasi birokrasi harus berfokus pada pelanggan dan menjadikan nilai, inovasi dan
fleksibilitas sebagai alternatif dalam rangka meningkatkan kinerja dan pelayanan
kepada masyarakat.
Menurut Sujak (1990:370), budaya (kultur) akan mewarnai cara bertindak para
pegawai dalam aktivitasnya sehari-hari. Karena itu, setiap pimpinan atau pengambil
keputusan harus bisa berperan sebagai pengembang budaya atau pembaharu budaya.
Menurutnya ada beberapa faktor yang menuntut terjadinya perubahan budaya kerja
organisasi yaitu:
a. Perubahan pada faktor internal organisasi sebagai konsekuensi
perkembangan faktor-faktor eksternal organisasi.
b. Organisasi menghadapi kompetisi yang berat dari luar organisasi.
c. Terjadi perubahan supra sistem dimana organisasi itu menjadi salah satu di
dalamnya dan perubahan itu datangnya tiba-tiba sehingga menuntut usaha
adaptasi demi reputasi kualitas hasil organisasi.
d. Terjadi penurunan produktivitas kerja pegawai.
e. Organisasi berada diambang perubahan menuju organisasi yang semakin
besar sehingga menuntut restrukturisasi prosedur kerja, sistem pelaporan,
reorganisasi pekerjaan dan lain-lain.
Karena itu, perubahan budaya merupakan faktor yang sangat urgen dalam
meningkatkan kinerja para pegawai dan dosen di perguruan tinggi. Perubahan budaya
akan berjalan dengan baik jika para pimpinan menerapkan keadilan dalam
memberikan perlakuan kepada para karyawan. Menurut Sujak (1990:372-3), untuk
mendorong perubahan budaya yang positif dalam organisasi, pekerjaan harus
didasarkan pada pola:
a. Prestasi kerja adalah segala-galanya
b. Tidak ada suatu pegawai pun yang berpredikat senior
c. Ketidakhadiran, kelambanan, dan sikap malas tidak akan ditolerir
d. Target nyata yang membanggakan harus mereka hasilkan dalam pekerjaan.
Upaya lain yang dilakukan ketiga PT terteliti dalam meningkatkan kinerja para
pegawai dan dosennya adalah membangun iklim kerja yang kompetitif dengan
menerapkan sistem reward and punishment. Para pimpinan di tiga PT terteliti telah
menjadikan kompetisi sebagai salah satu cara untuk meningkatkan kinerja para
pegawai dan dosen. Agar iklim kerja yang kompetitif bisa berjalan dengan baik, para
pimpinan memberikan kompensasi-kompensasi tertentu kepada para dosen dan
pegawai yang memiliki prestasi terbaik. Di Unibraw, iklim kompetitif dibangun lewat
prestasi kerja dan akademik. Bagi karyawan yang memiliki dedikasi tinggi, disiplin
dan produktif, pihak kampus akan memberinya penghargaan berupa studi lanjut dan
santunan keuangan. Di UMM, para pegawai yang berprestasi akan diberi kompensasi
berupa santunan haji dan studi banding ke beberapa perguruan tinggi maju di dalam
dan luar negeri. Bagi para dosen yang berprestasi juga akan diberi bantuan beasiswa
studi ke luar negeri dan bantuan finansial sesuai dengan peraturan yang telah
ditetapkan. Karena itu, setiap tahunnya diadakan pemilihan pegawai dan dosen
teladan yang penyelenggaraannya diserahkan kepada BPSDM. Di UIN Maliki, upaya
meningkatkan nilai kompetitif di kalangan dosen dilakukan para pimpinan dengan
memberikan sejumlah kompensasi berupa bantuan uang tunai kepada mereka yang
bisa menyelesaikan studi S-3 tepat waktu sampai akhir Desember 2008 dan berjanji
akan memberikan hadiah mobil bagi dosen yang memiliki tulisan terbanyak hingga
akhir tahun 2009. Sebaliknya, bagi dosen atau karyawan yang indisipliner atau tidak
produktif, akan diberi sangsi sesuai dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan, mulai
dari mutasi hingga pemecatan (pemutusan hubungan kerja).
Temuan ini menerima pendapat Osborne (1995) yang mengatakan bahwa
pemerintah sebagai institusi yang hidup di alam kompetisi haruslah menyuntikkan
semangat persaingan ke dalam tubuh aparat dan organisasi pelayanannya. Lingkungan
kerja yang kompetitif, merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi
produktivitas kerja para dosen dan karyawan di perguruan tinggi. Seperti yang
dikatakan oleh Anoraga (1992:34) bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi
produktivitas kerja adalah: (1) pekerjaan yang menarik, (2) upah yang baik, (3)
keamanan dan perlindungan dalam pekerjaan, (4) penghayatan atas maksud dan
makna pekerjaan, (5) lingkungan atau suasana kerja yang baik, (6) promosi dan
perkembangan diri merasa sejalan dengan perkembangan organisasi, (7) merasa
terlibat dalam kegiatan-kegiatan organisasi, (8) pengertian dan simpati atas persoalan-
persoalan pribadi, (9) kesetiaan pimpinan pada diri si pekerja, dan (10) disiplin kerja
yang keras.
Muchdarsyah (1992:56) juga mengatakan bahwa secara umum produktivitas
suatu organisasi dipengaruhioleh manusia, modal, metode, produksi, umpan balik,
serta lingkungan internal dan eksternal organisasi yang baik.
Lingkungan kerja yang baik, sebagaimana yang dimaksud oleh Anoraga dan
Muchdarsyah di atas, salah satunya adalah lingkungan kerja yang kondusif dan
kompetitif, sehingga setiap karyawan terpacu untuk berprestasi dalam bekerja.
Dengan adanya kompetisi, para karyawan dan dosen akan berusaha meningkatkan
prestasi kerjanya untuk menjadi yang terbaik. Hal ini selaras dengan apa yang
dikemukakan oleh Sutermeister (1976:7) bahwa “…the human contribution to
productivity or employee job performance are considerd to result from ability and
motivation, or more accuratly, ability times motivation.”
Upaya tiga PT terteliti dalam menerapkan sistem reward and punishment dalam
meningkatkan kinerja birokrasi di atas, juga menerima teori Porter-Lawler (1968)
yang mengatakan bahwa seorang karyawan termotivasi dalam melakukan sesuatu
karena adanya harapan penghargaan terhadap apa yang dilakukanya, bukan
pengalaman masa lampau.
Demikianlah upaya perguruan tinggi dalam meningkatkan kinerja para dosen dan
pegawainya dalam rangka menuju perguruan tinggi yang beriwarausaha. Wassalam.

Anda mungkin juga menyukai