Dalam perjalanan sejarah umat ISlam, kedua pola pikir itu, yaitu pola pikir
fikih dan tasawuf itu, pernah mengalami kejayaannya masing-masing,
sehingga pada periode tertentu muncul kitab-kitab fikih yang hebat-hebat
seperti Al-Umm karya Imam Syafi'i, Mazahibul Arba'ah karya Ibnu Rusyd
dan sebagainya. Para periode lainnya, muncul kitab-kitab tasawuf hebat
seperti madariju salikin dan sebagainya.
Memasuki era globalisasi saat ini, perseteruan antara tasawuf dan fikih itu,
pada dasarnya masih belum usai. Setiap ada permasalahan baru muncul,
pikiran-pikiran ala tasawuf selalu berhadapan dengan pikiran-pikiran ala
fikih. Munculnya isu-isu kontemporer, seperti multikulturalisme,
kerukunan antar umat beragama, doa bersama antar agama, dan
sebagainya, selalu memunculkan polemik yang panjang antara kelompok
yang membolehkan dan tidak membolehkan. Adanya kegiatan-kegiatan
bersama, seperti doa bersama antar agama misalnya, akan memunculkan
polemik apakah kegiatan seperti itu boleh atau tidak boleh. Mereka yang
berpikir ala fikih akan cenderung mengatakan “tidak boleh” karena Allah
mengatakan “lakum dinukum wa liya din”. Bagi mereka yang berfikir ala
fikih akan mengatakan bahwa dalam urusan agama sendiri-sendiri dan
kalau dalam urusan dunia boleh bersama-sama. Sedangkan mereka yang
berpikir ala sufi akan membolehkan kegiatan seperti itu, karena bagi
mereka, doa bersama itu diibaratkan seperti sungai-sungai yang
bermacam-macam bentuk dan airnya, toh semuanya akan bermuara ke
dalam lautan.
Disadari atau tidak, sebenarnya cara berpikir ala fikih justru berkembang
di zaman modern, terutama pada masa-masa industrialisasi dan
modernisasi hingga sekarang. Tampaknya manajemen dunia industri dan
perusahaan-perusahaan modern pada saat ini, justru cocok dengan gaya
berpikir ala fikih, bukan gaya berpikir ala tasawuf. Mengapa demikian?
Karena manajemen perusahaan memerlukan ketertiban, akuntabilitas,
penghargaan dan hukuman. Karena itu, setiap perusahaan maju, memiliki
standar mutu pelayanan yang jelas, target yang jelas, dan aturan-aturan
yang jelas. Barangsiapa yang melanggar peraturan-peraturan tersebut,
atau tidak memenuhi standard yang ditetapkan, maka dia akan terkenai
sangsi-sangsi administratif dan tidak bisa bergabung dengan sistem yang
diperlakukan di dalalm organisasi perusahaan tersebut. Karena itu
muncullah konsep-konsep manajemen ala fikih seperti Total Quality
Manajemen (TQM), Manajemen Mutu Terpadu (MMT), sistem ISO
9000:2001 dan sebagainya, yang menetapkan standard dan aturan-aturan
tertentu yang harus dipatuhi secara ketat oleh semua anggota dan warga
perusahaan (organisasi).
Sementara itu, cara berpikir tasawuf tidak bisa berkembang dalam dunia
perusahaan, tetapi justru berkembang pada dunia sosial dan politik. Ketika
menyangkut masalah sosial dan kehidupan sosial, masalah fikih banyak
dikesampingkan, karena dinamika kehidupan sosial berkembang jauh
lebih cepat daripada dunia-dunia lain, sehingga gaya berpkir tasawuf
cenderung lebih pas digunakan daripada berpikir ala fikih. Karena itu,
banyak para aktivis sosial yang berpikir jauh melampaui fikih dan fikih
selalu datang belakangan dengan cara membahas apakah ini boleh
ataukah tidak boleh, sehingga tidak heran jika para aktivis sosial enggan
berpikir ala fikih.
Kapan sebenarnya gaya berpikir ala fikih diperlukan dan kapan gaya
berpikir ala tasawuf diperlukan?
Bila anda menginginkan suatu keadaan yang tertib dan aman, maka fikih
perlu ditegakkan, bila keadaan di sekitar anda carut marut, banyak
pelanggaran HAM, dan banyak kejahatan maka fikih perlu ditegakkan.
Tetapi jika masyarakat anda statis, tidak ada perkembangan, tidak ada
dinamika, maka anda perlu menerapkan ala berpikir tasawuf dengan
sedikit mengabaikan fikih agar muncul gejolak, muncul isu-isu, muncul
dinamika dan seterusnya.
Bila anda ingin menjadi seorang pemimpin yang dinamis dan berwawasan
ke depan, maka melompatlah di atas fikih, tanpa melanggar fikih, yaitu
dengan cara berpikir ala tasawuf tetapi tindak meninggalkan fikih. Bila
anda ingin menjadi pegawai yang baik, maka patuhilah fikih dan jangan
banyak bertasawuf. Wallahu a’lam bishawab.