Anda di halaman 1dari 3

ZIARAH KUBUR VS ZIARAH INTELEKTUAL

Pada akhir-akhir bulan Ramadan seperti ini, biasanya ada satu


tradisi yang dilakukan oleh umat Islam di Indonesia dan mungkit
umat-umat beragama lainnya, yaitu melakukan ziarah kubur kepada
orang-orang yang telah meninggal dari keluarga mereka, seperti
kakek-nenek, ibu-bapak atau anak-anak dan saudara-saudara
mereka yang telah meninggal. Tradisi ini telah membudaya sejak
zaman dulu hingga sekarang. Karena itu tidak heran, jika pada akhir
Ramadan seperti ini, banyak bermunculan para penjual bunga di
pasar-pasar atau di dekat dengan kuburan.

Tujuan dari ziarah kubur itu biasanya adalah untuk mendoakan


orang-orang yang telah meninggal tersebut agar mereka
mendapatkan ampunan dari sisi Allah atau untuk mengenang arwah
orang-orang yang kita sayangi. Tradisi ziarah kubur biasanya
dilakukan pada hari-hari tertentu, paling tidak sekali dalam setahun
seperti yang dilaksanakan oleh masyarakat kita di akhir bulan
Ramadan menjelang hari raya Idul Fitri atau Idul Adha. Saya sendiri
biasanya juga melakukan ziarah kubur kepada kedua orang tua
saya setelah melaksanakan shalat Idul Fitri sambil mendoakan
mereka agar mendapatkan ampunan. Tetapi muncul pertanyaan
dalam diri saya, siapa orang-orang yang masih ingat kepada kedua
orang tua saya selain saya dan saudara-saudara saya? Bahkan
mungkin orang-orang sekampung saya pun ada yang sudah tidak
ingat lagi kepada mereka berdua, kecuali orang-orang yang
memiliki ikatan batin dengan mereka berdua.

Sementara nun jauh di sana, kita masih mengenal nama-nama


besar yang mungkin rupanya pun kita belum pernah tahu. Orang-
orang seperti Imam Al-Ghazali, Ibnu Rusyd, Ibnu Sina, para Wali
Songo dan sebagainya, yang secara fisik kita belum pernah
melihatnya, tetapi nama-nama mereka seakan-akan sangat dekat
dengan kita. Sepertinya kita lebih mengenal mereka daripada orang
tua kita sendiri, padahal mereka sangat jauh dari kita dan bahkan
kita belum pernah melihat wajah mereka baik secara langsung
maupun lewat media-media lainnya. Mengapa ini bisa terjadi?

Jawabannya adalah karena Imam Al-Ghazali, Ibnu Rusyd, Ibnu Sina


dan sebagainya itu memiliki jejak intlektual yang bisa kita ziarahi
intelektualitasnya sewaktu-waktu. Melalui karya-karya, pemikiran
dan gagasan-gagasan mereka, kita dapat mengarungi samudra ilmu
pengetahuan yang luas dan dalam, sehingga keberadaan mereka
seakan-akan hidup dalam sanubari kita. Jasad mereka telah mati
dan bahkan mungkin tubuh mereka sudah dimakan cacing-cacing
tanah atau telah melebur menyatu dengan tanah, tetapi pikiran-
pikiran mereka, gagasan-gagasan mereka, dan karya-karya mereka
masih tetap hidup dalam sanubari jutaan hati dan kepala manusia
yang tersebar di seantero dunia. Berbeda dengan orang tua kita di
desa, yang baru meninggal beberapa tahun saja, mereka telah
dilupakan oleh orang-orang di sekitarnya seiring dengan hilangnya
jasad mereka yang dimakan oleh cacing tanah.

Dari apa yang saya paparkan di atas, apa sebenarnya yang


semestinya kita lakukan ke depan jika kita ingin hidup lebih lama?

Hakikat hidup pada dasarnya adalah bukan ketika kita dapat


menghirup udara segar, memakan makanan yang enak-enak,
membuat keturunan yang banyak, atau mengumpulkan harta yang
banyak. Memang tidak dipungkiri bahwa menghirup udara segar,
makan makanan yang enak-enak, dan memiliki keturunan yang
banyak itu penting dan saya yakin semua orang ingin mendapatkan
semua itu, tetapi sesungguhnya ada sesuatu yang lebih penting dan
abadi dalam kehidupan kita kini dan di masa mendatang, yaitu
bagaimana setelah jasad kita tiada tetapi pada hakikatnya kita
masih tetap ada.

Umur panjang bukanlah tatkala kita mampu menikmati hidup di


dunia ini sampai seratus atau dua ratus tahun lamanya, karena
setelah seratus tahun berlalu toh kita tetap akan mati berkalang
tanah. Sesungguhnya hakikat umur panjang adalah seberapa lama
eksistensi kita mampu bertahan dalam menggerakkan pikiran-
pikiran manusia, sehingga mereka akan senantiasa mengingat,
mempelajari dan meneladani prilaku kita selama hidup di dunia.

Ada satu pengalaman menarik di desa saya tinggal, yaitu di dusun


Gasek Karangbesuki Malang. Mungkin karena pengaruh alam,
banyak di antara penduduk asli desa itu yang memiliki usia panjang.
Tidak sedikit di antara mereka yang mampu bertahan hidup hingga
90 hingga 100 tahun. Saya bertanya-tanya, mengapa mereka bisa
bertahan hidup selama itu? Mereka menjawab katanya mereka
hidup nerimo ing pandum dan tidak ngoyo dalam menghadapi
kehidupan. Memang kebanyakan mereka hidup sebagai petani dan
peternak sapi atau kambing, sehingga mereka jarang menghadapi
masalah-masalah perkotaan yang serba kompetitif dan saling
berebut. Akan tetapi yang menjadi pertanyaan, meskipun mereka
hidup panjang sampai seratus tahun, adakah di antara anda-anda
para pembaca face book ini yang mengenal mereka? Bahkan saya
yang satu desa dengan mereka, kadang tidak mengenal keberadaan
mereka kecuali setelah bertemu dalam acara tahlilan atau yasinan
di kampung. Mungkin itupun sekedar mengenal dari sisi fisik dan
wajah, bukan mengenal secara utuh tentang keberadaan orang
yang berumur panjang itu. Tetapi bandingkan dengan sosok-sosok
monumental di Indonesia seperti Sukarno dan Bung Hatta? Berapa
usia mereka? Sepengetahuan saya usia mereka tidak sampai 70
tahun, tetapi siapa di antara anda yang tidak mengenal Bung Karno
dan Bung Hatta? Mengapa anda mengenalnya?

Mungkin usia Bung Karno dan Bung Hatta masih terlalu lama dan
bisa dibilang normal. Coba kita lihat Imam Al-Ghazali dan Ibnu
Taimiyah. Menurut buku sejarah yang saya baca, Imam Al-Ghazali
dan Ibnu Taimiyah meninggal di usia 40-an tahun, tetapi saya
bertanya, siapa di antara kalian yang tidak mengenal Al-Ghazali dan
Ibnu Taimiyah, mengapa itu terjadi? Menurut anda, pada hakikatnya
lebih panjang mana usia tetangga saya yang hidup di dunia hingga
100 tahun dengan Ibnu Taimiyah yang hanya hidup di dunia hanya
45 tahunan?

Imam Al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah memang sudah meninggal


secara fisik pada usia yang singkat, tetapi pada hakikatnya mereka
masih hidup hingga sekarang. Mengapa demikian? Karena pikiran-
pikiran mereka dan gagasan-gagasan mereka masih tetap
bersemayam di hati dan pikiran jutaan orang manusia. Lewat
tulisan-tulisan dan karya-karya mereka yang monumental, mereka
telah menggali kuburan intelektual yang tidak pernah mati diziarahi
oleh umat manusia di seluruh antero dunia. Apalagi melalui
kecanggihan teknologi sekarang ini, kita lebih mudah menziarahi
karya-karya intelektual mereka, sehingga usia mereka akan
bertambah panjang dengan bertambahnya perkembangan ilmu dan
teknologi?

Pertanyaannya adalah akankah anda menjadi orang yang akan mati


dengan kematian fisik anda? Ataukah anda ingin tetap hidup
meskipun fisik dan jasad anda telah mati berkalang tanah? Silahkan
jawab sendiri pertanyaan ini karena jawabannya ada pada diri anda
sendiri… Selamat menggali kuburan intelektual anda, agar anda
hidup abadi..!! wallahu a’lam.

Anda mungkin juga menyukai