Anda di halaman 1dari 36

Sejak diundangkan atau ditandatanganinya Undang-undang No.

24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial


(BPJS1) oleh Presiden maka Kementerian Kesehatan sebagai kementerian teknis dibidang kesehatan memiliki tangggung jawab yang strategis di dalam menyempurnakan agar Undang-Undang BPJS dan Undang Undang No. 40 tahun 2004 tentang
Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dapat segera dilaksanakan.
DPR, Pemerintah dan Undang-undang telah mengamanatkan bahwa pada bulan Januari 2014 sistem jaminan sosial di bidang
kesehatan ini sudah harus diimplementasikan. Oleh karena itu Kementerian Kesehatan sudah harus mempersiapkan rancangan
peraturan perundangan seperti Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden atau Peraturan Menteri yang terkait yang diperlukan
untuk penerapan sistem jaminan tersebut. Untuk dapat menyusun peraturan perundangan serta roadmap (peta jalan) pelaksanaan sistem jaminan kesehatan tersebut diperlukan informasi yang komprehensif dan detail tentang segala sesuatu yang terkait
dengan pelaksanaan jaminan kesehatan. Informasi tersebut meliputi:
1.
2.
3.

4.

5.

Data-data tentang manfaat layanan (benefit package) yang sudah ada dan yang akan dikembangkan.
Data-data tentang biaya yang sudah dan yang akan dibutuhkan baik untuk menjamin bagi yang miskin atau yang
hampir miskin atau yang harus dipikul oleh yang tidak miskin.
Diperlukan data-data tentang kelembagaan, aset, sumber daya terutama sumber daya manusia (SDM) yang sudah
ada diberbagai sistem jaminan yang sudah berjalan selama ini seperti PT. Askes, Jamkesmas, Jamkesda, Jamsostek dan lain-lain, yang diperlukan dalam transformasi dari lembaga yang ada menjadi Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial Kesehatan yang baru.
Diperlukan informasi atau data yang terkait dengan utilisasi atau pemanfaatan oleh penerima manfaat atau beneficiaries untuk bisa memperkirakan seberapa akses dan sumber daya yang akan dibutuhkan guna menjamin seluruh
masyarakat Indonesia. Data-data utilisasi yang mengagetkan seperti pemanfaatan RS terutama rawat inap sebelum
dan sesudah adanya Jamkesmas yg meningkat 395% dari tahun 2005 ke 2007 merupakan informasi yang luar biasa, ini menunjukkan pencapaian kinerja Kementerian Kesehatan yang belum banyak diketahui.
Informasi dan data tentang kepersertaan baik oleh sistem jaminan yang sudah ada, atau yang belum mendapatkan
jaminan sangat diperlukan sebagai target yang akan dicakup dalam sistem jaminan ke depan.

Informasi-informasi tersebut sangat penting dan ini sebagian bisa diambil dari analisis data laporan Jamkesmas. Dengan
demikian Buletin Jendela Data dan Informasi kesehatan sangat dibutuhkan keberadaannya dalam mengakselerasi pemahaman
dan sebagai wahana komunikasi antar para pemangku kepentingan. Tentunya data-data dari sumber lain juga sangat dibutuhkan.
Data-data dan informasi kesehatan seluruh Indonesia seharusnya dapat diakses oleh Pusdatin untuk kemudian dapat

digunakan untuk menyusun sebuah kebijakan yang tepat. Ke depan diharapkan proses transformasi kelembagaan, aset, orang,
sistem prosedur diharapkan berjalan sedemikian rupa sehingga semua pihak merasa diuntungkan terutama masyarakat luas
tanpa menimbulkan gejolak-gejolak yang tidak perlu. Dengan demikian peran strategis Pusdatin dengan Buletin Jendela Data
dan Informasi Kesehatan dapat ditingkatkan untuk mendukung percepatan implementasi sistem jaminan kesehatan di Indonesia. Paling tidak buletin ini bermanfaat dalam membangun kesamaan persepsi, opini dan strategi dalam pencapaian universal
coverage. Dengan data dan informasi kesehatan ini banyak hal yang dapat diketahui, sebagai contoh kita dapat membaca dari
buletin ini bahwa Indonesia sudah melakukan lompatan-lompatan jauh untuk mencapai universal coverage dimana jaminan
kesehatan telah mencakup lebih 60% penduduk Indonesia. Ini berarti bahwa Indonesia telah berhasil dan sukses menjamin
pendududuk/orang yang 6 kali lebih banyak dari penduduk Malaysia, 2 kali dari penduduk Thailand, dan 30 kali penduduk Singapura. Ini sesuatu hal yang luar biasa sekali didapat dari data dan informasi kesehatan. Tentu akan lebih bagus lagi harapannya dengan dua tahun ke depan setelah format baru sistem jaminan kesehatan terbentuk.
Demikian pula kita bisa dapat memberi apresiasi kepada Pemerintah Pusat, PT. Askes, Jamkesmas, PT. Jamsostek dan
Pemerintah Daerah, yang telah berusaha keras untuk dapat menjamin masyarakat Indonesia hingga 60% lebih penduduk Indonesia telah tercakup dalam sistem jaminan kesehatan. Pemerintah daerah melalui Jamkesda telah melengkapi dan menjamin
masyarakatnya yang belum terjamin baik melalui sistem jaminan Askes, Jamsostek atau Jamkesmas. Jamkesda ini telah menjamin lebih dari 31 juta orang atau sekitar 22.6 % penduduk Indonesia. Ke depan menjadi pekerjaan rumah (PR) bersama agar
proses transformasi ke arah sistem jaminan kesehatan baru sukses.
Informasi-informasi ini dapat dibaca di Buletin Jendela Data dan Informasi Kesehatan. Selamat pada buletin yang baru terbit ini.

A.

PENDAHULUAN
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada pasal 28 H, menetapkan bahwa kesehatan adalah
hak dasar hidup setiap individu dan semua warga negara berhak mendapatkan pelayanan kesehatan. Amandemen UUD
1945 pasal 34 ayat 2, menyebutkan bahwa negara mengembangkan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) bagi
seluruh rakyat Indonesia. Dengan dimasukkannya SJSN ke dalam amandemen UUD 1945 dan terbitnya Undang-Undang
No. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), hal ini menunjukkan bahwa pemerintah dan
pemangku kepentingan terkait memiliki komitmen yang kuat untuk mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia. Atas dasar konstitusi dan Undang-Undang tersebut Kementerian Kesehatan sejak tahun 2005 telah
melaksanakan program jaminan kesehatan sosial, dimulai dengan program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan bagi
Masyarakat Miskin/JPKMM atau dikenal dengan Askeskin (2005-2007) dan kemudian pada tahun 2008 berubah menjadi
program Jamkesmas yang kita kenal sampai sekarang. Semua program ini memiliki tujuan yang sama yaitu
melaksanakan penjaminan pelayanan terhadap masyarakat dengan prinsip asuransi kesehatan sosial.
Tujuan pelaksanaan program Jamkesmas yaitu :
1. Terselenggaranya akses dan mutu pelayanan kesehatan terhadap seluruh masyarakat miskin dan tidak mampu
agar tercapai derajat kesehatan yang optimal secara efektif dan efisien.
2. Meningkatkan cakupan masyarakat tidak mampu yang mendapatkan pelayanan kesehatan di Puskesmas serta
jaringannya dan Rumah Sakit, serta meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin.
Setiap peserta Jamkesmas berhak mendapat pelayanan kesehatan dasar meliputi pelayanan kesehatan rawat jalan (RJ)
dan rawat inap (RI), serta pelayanan kesehatan rujukan rawat jalan tingkat lanjutan (RJTL), rawat inap tingkat lanjutan
(RITL) dan pelayanan gawat darurat.
Pelayanan kesehatan dalam program Jamkesmas menerapkan pola pelayanan berjenjang berdasarkan rujukan dengan
ketentuan sebagai berikut :
1. Pelayanan rawat jalan tingkat pertama diberikan di Puskesmas dan jaringannya.
2. Pelayanan rawat inap diberikan di Puskesmas Perawatan dan ruang rawat inap kelas III (tiga) di RS Pemerintah
termasuk RS Khusus, RS TNI/POLRI dan RS Swasta yang bekerjasama dengan Kementerian Kesehatan.
3. Pada keadaan gawat darurat (emergency) seluruh Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK) wajib memberikan
pelayanan kepada peserta walaupun tidak memiliki perjanjian kerjasama.
4. RS/BKMM/BBKPM melaksanakan pelayanan rujukan lintas wilayah dan biayanya dapat diklaimkan oleh Pemberi
Pelayanan Kesehatan (PPK) yang bersangkutan ke Kementerian Kesehatan.
Pelayanan kesehatan RJTL di BKMM/BBKPM/BKPM/ BP4/BKIM dan di Rumah Sakit, serta pelayanan Rawat Inap di
Rumah Sakit yang mencakup tindakan, pelayanan obat, penunjang diagnostik, pelayanan darah serta pelayanan lainnya
(kecuali pelayanan haemodialisa) dilakukan secara terpadu sehingga biaya pelayanan kesehatan diklaimkan dan
diperhitungkan menjadi satu kesatuan menurut jenis paket dan tarif pelayanan kesehatan peserta Jamkesmas, atau
penggunaan sistem INA-DRG, sehingga dokter berkewajiban melakukan penegakan diagnosa sebagai dasar pengajuan
klaim.

B.

TUJUAN
Tujuan dilakukan analisis data laporan Jamkesmas tahun 2010 adalah untuk :
1. Mengetahui gambaran kepesertaan Jamkesmas tahun 2010.
2. Mengetahui tingkat kelengkapan laporan data Jamkesmas tahun 2010
3. Mengetahui gambaran penyakit pada peserta Jamkesmas tahun 2010.
4. Mengetahui tingkat pemanfaatan Jamkesmas untuk kegiatan-kegiatan yang berdampak terhadap pencapaian
target MDGs pada ibu dan anak tahun 2010.

C.

METODOLOGI
1. Sumber Data
Data analisis diperoleh dari laporan penyelenggaraan Jamkesmas 2010 yang bersumber dari Sistem Informasi
Jamkesmas-P2JK dan website pelaporan Jamkesmas.
Untuk data laporan pemanfaatan pelayanan dasar, Rawat Jalan Tingkat Pertama (RJTP) dan Rawat Inap Tingkat
Pertama (RITP) merupakan laporan kegiatan tahun 2010 yang diterima hingga bulan Maret 2011. Laporan
puskesmas ini dilaporkan oleh Tim Pengelola Jamkesmas Dinas Kesehatan/Kota melalui halaman website dan
laporan paperbase.
Sedangkan data laporan pemanfaatan pelayanan kesehatan lanjut, diperoleh dari data klaim RS data laporan
pelaksanaan Jamkesmas tahun 2010 yang diterima hingga bulan Juli 2011.
2. Metode Analisis
Analisis data Jamkesmas merupakan analisis deskriptif dengan menggunakan data sekunder dari laporan
Jamkesmas yang ada pada Pusat Pembiayaan Jaminan Kesehatan (P2JK), dan data pendukung dari sumber lain.

D.

HASIL ANALISIS
1. Kepesertaan Jaminan Kesehatan
a. Situasi Kepesertaan Jaminan Kesehatan
Penduduk Indonesia berdasarkan sensus penduduk tahun 2010 sebanyak 237.556.363 jiwa, data Kementerian
Kesehatan tahun 2010 menunjukkan bahwa penduduk Indonesia yang telah memiliki Jaminan Kesehatan adalah
60,24% atau sejumlah 142.179.507 jiwa, dan 39,76% atau 95.376.856 penduduk yang belum memiliki jaminan
Kesehatan.
Grafik 1. Distribusi Penduduk Dengan Kepemilikan Jamkes Tahun 2010

Sumber : P2JK

Dari porsi penduduk yang telah memiliki jaminan kesehatan tersebut 53,7% merupakan peserta jaminan
kesehatan yang dilindungi oleh program Jamkesmas, 12,4% dilindungi oleh jaminan kesehatan Askes PNS, TNI,
dan Polri, 4,6% dilindungi oleh jaminan kesehatan perusahaan, 2% dilindungi oleh jaminan kesehatan swasta
lainnya, dan sebesar 22,6% dilindungi oleh jaminan kesehatan daerah (Jamkesda). Seperti tampak pada gambar
di bawah :

Grafik 2. Proporsi Peserta Menurut Jenis Jaminan Kesehatan Tahun 2010

Sumber : P2JK

Dalam rangka memperluas cakupan kepesertaan diluar kuota yang tercakup dalam program Jamkesmas dan
sebagai bentuk tanggung jawab dan kepedulian pemerintah daerah pada masyarakat miskin, pemerintah daerah
provinsi/kabupaten/kota yang memiliki kemampuan sumber daya yang memadai telah mengembangkan program
Jamkesda. Terdapat 335 Kab/Kota atau 67,4% dari 497 Kabupaten/Kota di Indonesia, yang telah memberikan
jaminan kesehatan bagi penduduknya melalui program Jamkesda2.
b. Kepesertaan Jamkesmas
Berdasarkan Pendataan Sosial Ekonomi tahun 2005 (PSE 2005) diperoleh rumah tangga miskin (RTM) di
Indonesia sebanyak 19,1 juta atau sekitar 76,4 juta jiwa, jumlah ini digunakan sebagai dasar penentuan sasaran
peserta Jamkesmas. Proporsi terhadap jumlah penduduk hasil sensus penduduk tahun 2010 adalah 32,16%.
Hingga tahun 2010 sebanyak 72.049.380 (98%) kartu telah distribusikan oleh PT. ASKES dari total target sebesar
73.726.290 jiwa kepesertaan berdasarkan surat keputusan bupati/walikota. Sedangkan sisanya sebanyak
2.673.710 diperuntukan untuk gelandangan, pengemis, anak terlantar, panti sosial, penghuni rutan/lapas, korban
bencana pasca tanggap darurat, pasien Program Keluarga Harapan (PKH) yang tidak diberi kartu Jamkesmas.

100.00
2.90
1.64
6.70
8.08
5.28
51.84
23.55

Sumatera Jawa-Bali Kalimantan Sulawesi

Nusa
Tenggara

Maluku

Papua

Total

Grafik 3. Proporsi Peserta Jamkesmas Menurut Wilayah Pembangunan dan Jenis Kelamin Tahun 2010
Perempuan

49.84

Laki-laki

50.16

Perempuan 45.57
Laki-laki

54.43

Perempuan

48.58

Laki-laki

51.42

Perempuan

49.73

Laki-laki

50.27

Perempuan

47.81

Laki-laki

52.19

Perempuan

48.23

Laki-laki

51.77

Perempuan

50.79

Laki-laki

49.21

Perempuan

49.45

Laki-laki

45.00

50.55
46.00

47.00

48.00

49.00

50.00

51.00

52.00

53.00

54.00

55.00

Sumber : Laporan PT. Askes 2010

Dari grafik di atas tampak porsi paling tinggi peserta jamkesmas berada di wilayah Jawa-Bali (51,8%) dan diikuti
dengan wilayah Sumatera (23,5%). Secara total tidak tampak kesenjangan yang bermakna kepesertaan
Jamkesmas menurut jenis kelamin. Namun bila dilihat berdasarkan wilayah kerja pembangunan tampak
kesenjangan kepesertaan perempuan terhadap laki-laki, pada wilayah Papua sebanyak 8,8%, wilayah Sulawesi
kesenjangan sebanyak 4,38%, wilayah Kalimantan 3,55% dan wilayah Maluku 2,84%.
Bila dilihat lebih jauh, proporsi peserta menurut jenis kelamin terhadap jumlah penduduk berdasarkan wilayah
pembangunan tahun 2010 seperti tampak pada tabel 1 di bawah, masih terlihat ada kesenjangan kepesertaan
perempuan terhadap laki-laki. Kesenjangan tertinggi terjadi pada wilayah Papua (3,1%) dan Sulawesi (3,1%)
kemudian diikuti wilayah Nusa Tenggara (2,4%).
Tabel 1. Proporsi Peserta Jamkesmas Terhadap Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin dan Wilayah
Pembangunan Tahun 2010

Wilayah
Pembangunan

Jumlah Penduduk 2010

Laki-laki
Perempuan
Kalimantan
7,108,546
6,679,285
Sulawesi
8,660,444
8,711,338
Maluku
1,306,870
1,264,723
Papua
1,908,281
1,685,522
Nusa Tenggara
4,510,133
4,673,906
Sumatera
25,654,627 24,976,304
Jawa-Bali
70,482,012 70,019,335
Total
119,630,913 118,010,413

Kesenjangan
Proporsi
Peserta
Perempuan
Terhadap
Laki-laki
Laki-laki Perempuan
%
27.7
27.5
0.2
35.1
32.0
3.1
46.5
45.4
1.1
59.7
56.6
3.1
53.8
51.4
2.4
33.4
33.6
-0.2
26.1
27.1
-1.0
30.2
30.4
-0.2

Kesenjangan
Proporsi (%)
Peserta
Peserta Jamkesmas
Jumlah Peserta Jamkesmas Perempuan
Terhadap Jumlah
Terhadap
Penduduk
Laki-laki
Laki-laki Perempuan
1,969,178
1,834,341
3,040,021
2,785,130
607,407
573,906
1,138,933
953,367
2,427,941
2,402,210
8,575,835
8,388,572
18,382,149 18,970,390
36,141,464 35,907,916

Jumlah
134,837
254,891
33,501
185,566
25,731
187,263
-588241
233,548

Sumber : BPS, sensus penduduk 2010 dan Laporan PT. Askes 2010

Kesenjangan ini perlu dikaji lebih lanjut apakah hal ini dapat berdampak terhadap pencapaian target program
kesehatan pada maternal.
Grafik 4. Proporsi Peserta Jamkesmas Menurut Kelompok Umur
3%

21%

20%

56%

0-5 tahun
Sumber : P2JK

6-14 tahun

15-49 tahun

> 50 tahun

Dari grafik 4 di atas tampak proporsi kelompok umur terbesar peserta Jamkesmas adalah kelompok umur 15-49
tahun (56%), diikuti oleh kelompok umur > 50 tahun (21%). Proporsi kelompok umur 0-14 tahun sebanyak 23%,
jumlah ini sedikit lebih rendah dari proporsi kelompok umur penduduk 0-14 tahun (28,8%) hasil sensus penduduk
2010 oleh BPS.
2. Kelengkapan Laporan Rawat Jalan Tingkat Pertama dan Rawat Inap Tingkat Pertama
Untuk mengetahui pemanfaatan Jamkesmas berdasarkan laporan data, perlu diketahui tingkat kelengkapan
laporannya.
Berdasarkan hasil laporan yang ada pada rawat jalan tingkat pertama (RJTP) terlihat bahwa tidak seluruh kabupaten/
kota dan puskesmas yang ada pada setiap provinsi melaporkan jumlah kunjungan peserta jamkesmas, dari 33
Provinsi sebanyak 23 Provinsi (69,7%) yang melapor, dari 497 Kabupaten/Kota sebanyak 216 Kabupaten/Kota
(43,4%) yang melaporkan jumlah kunjungan RJTP dan dari total 8.799 Puskesmas sebanyak 2.967 Puskesmas
(33,7%) yang melapor, adapun kelengkapan laporan dari masing-masing Provinsi dapat terlihat sebagai berikut :
Tabel 2. Kelengkapan Laporan RJTP Dari Provinsi Yang Melapor Tahun 2010

Sumber : P2JK

Dari tabel di atas terlihat bahwa kisaran kelengkapan laporan RJTP kabupaten/kota dari provinsi yang melapor berada
antara 100% - 5,26% rata-rata 62,83%, sedangkan laporan RJTP puskesmas antara 93,42% - 1,65% dengan ratarata 50,27%. Sebanyak 7 Provinsi persentase pelaporan RJTP Kabupaten Kota di bawah 50%, dan laporan
Puskesmas sebanyak 11 Provinsi dibawah 50%. Kelengkapan laporan Kabupaten/Kota terendah adalah Provinsi
Sumatera Barat (5,26%), sedangkan laporan Puskesmas terendah adalah Provinsi Sumatera Selatan (1,65%).
Adapun distribusi kelengkapan laporan RJTP Kabupaten/Kota dan kelengkapan Puskesmas yang melaporkan RJTP
dapat terlihat dalam grafik berikut :
Grafik 5. Persentase Kabupaten/Kota Yang Melapor RJTP Menurut Provinsi Tahun 2010

Sumber : P2JK

Pada grafik 5 di atas tampak bila dibandingkan terhadap 33 provinsi, maka kelengkapan laporan RJTP Kabupaten/
kota secara nasional hanya 44,96%.
Grafik 6. Persentase Puskesmas yang melapor RJTP Menurut Provinsi Tahun 2010

Sumber : P2JK

Pada grafik 6 di atas tampak kelengkapan laporan RJTP puskesmas bila dibandingkan terhadap 33 provinsi, maka
secara nasional hanya 48,09%.
Seperti halnya pada rawat jalan tingkat pertama, pada pelaporan rawat inap tingkat pertama (RITP) juga tidak seluruh
Provinsi melapor, dari 33 Provinsi sebanyak 20 Provinsi (60,6%) yang melapor, dari 497 Kabupaten/Kota sebanyak
164 Kabupaten/Kota (32,9%) yang melaporkan jumlah kunjungan rawat inap tingkat pertama dan dari 2920
Puskesmas Perawatan, yang melaporkan jumlah kunjungan rawat inap tingkat pertama adalah sebanyak 953
Puskesmas (32,6%), hal ini dapat dilihat pada tabel 3 berikut :
Tabel 3. Kelengkapan Laporan RITP Jamkesmas Puskesmas Tahun 2010

Sumber : P2JK

Dari tabel 3 di atas terlihat bahwa kisaran kelengkapan laporan RITP kabupaten/kota dari provinsi yang melapor
berada antara 100% - 6,67% rata-rata 52,13%, sedangkan laporan RITP puskesmas antara 82,61% - 1,22% dengan
rata-rata 42,03%. Sebanyak 8 Provinsi persentase pelaporan RITP Kabupaten Kota di bawah 50%, dan laporan
Puskesmas sebanyak 11 Provinsi di bawah 50%. Kelengkapan laporan Kabupaten/Kota terendah adalah Provinsi
Sumatera Selatan (6,67%), demikian pula untuk laporan Puskesmas yang terendah adalah Provinsi Sumatera Selatan
(1,22%).
9

10
50

40

20

10

0
31.51

19.09

80

64.20

9.09

25

64.29

55.56

46.15
42.86

34.21

29.17

80

78.95
71.43

64.29

71.43
63.64

57.14

73.91

100

100

23.66
37.63

82.61

82.14

30

31.25

90

51.26

38.46

40

30.38

50

32.14
28.37

30

39.66

100

81.13

10

55.56
57.69

54.55

60

6.67

70

5.88

60

1.22

70

50.85

10

20

12.86

0
Aceh
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Jambi
Sumatera Selatan
Bangka Belitung
Kepulauan Riau
Riau
Bengkulu
Lampung
Banten
Jawa Barat
DKI Jakarta
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Jawa Timur
Jawa Tengah
Bali
Sulawesi Selatan
Sulawesi Barat
Sulawesi Tengah
Gorontalo
Sulawesi Utara
Kalimantan Selatan
kalimantan Tengah
Kalimantan Barat
Kalimantan Timur
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timur
Maluku
Maluku Utara
Papua
Papua Barat
Nasional

80

53.45

90

Aceh
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Jambi
Sumatera Selatan
Bangka Belitung
Kepulauan Riau
Riau
Bengkulu
Lampung
Banten
Jawa Barat
DKI Jakarta
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Jawa Timur
Jawa Tengah
Bali
Sulawesi Selatan
Sulawesi Barat
Sulawesi Tengah
Gorontalo
Sulawesi Utara
Kalimantan Selatan
kalimantan Tengah
Kalimantan Barat
Kalimantan Timur
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timur
Maluku
Maluku Utara
Papua
Papua Barat
Nasional

Grafik 7 :Persentase Kabupaten/Kota Yang Melapor RITP Menurut Provinsi Tahun 2010

Sumber : P2JK

Pada grafik 7 di atas tampak kelengkapan laporan RITP puskesmas bila dibandingkan terhadap 33 provinsi, maka
secara nasional hanya 34,21%.
Grafik 8 : Persentase Puskesmas yang melapor RITP Menurut Provinsi Tahun 2010

Sumber: P2JK

Terlihat pada grafik 8 di atas kelengkapan laporan RITP puskesmas bila dibandingkan terhadap 33 provinsi, maka
secara nasional hanya 31,51%.

3. Distribusi Anggaran Jamkesmas Untuk Pelayanan Dasar


Tingkat pendistribusi anggaran Jamkesmas pelayanan dasar (puskesmas) secara nasional mencapai 98,91%, pada
21 Provinsi (63,6%) sangat baik (100%), sedangkan 12 Provinsi lainnya masih terdapat sisa anggaran namun
demikian pendistribusian anggaran rata-rata sudah diatas 50%, hanya 1 Provinsi yaitu Provinsi Papua Barat yang
pendistribusinya di bawah 50%, hal ini dapat dilihat pada tabel 4 berikut :
Tabel 4. Distribusi Penyaluran Dana Jamkesmas Tingkat Pelayanan Dasar Tahun 2010

Sumber : Ditjen Bina GIZI/KIA

Bila dibandingkan tingkat distribusi anggaran Jamkesmas dengan kelengkapan laporan data puskesmas di tingkat
Kabupaten/Kota, tampak kesenjangan yang mencolok. Persentase laporan data puskesmas baik rawat inap maupun
rawat jalan tampak sangat rendah dibandingkan dengan persentase distribusi anggaran, seperti tampak pada grafik 8
dan 9. Persentase laporan rawat jalan tampak relatif lebih baik daripada laporan rawat inap.

11

Aceh
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Jambi
Sumatera Selatan
Bangka Belitung
Kepulauan Riau
Riau
Bengkulu
Lampung
Banten
Jawa Barat
DKI Jakarta
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Jawa Timur
Jawa Tengah
Bali
Sulawesi Selatan
Sulawesi Barat
Sulawesi Tengah
Gorontalo
Sulawesi Utara
Kalimantan Selatan
kalimantan Tengah
Kalimantan Barat
Kalimantan Timur
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timur
Maluku
Maluku Utara
Papua
Papua Barat

20

10

12
9
5.9

50

40

Sumber : P2JK dan Ditjen Bina GIZI/KIA

% Distribusi anggaran

% Kab/Kota lapor

% PKM Perawatan lapor


25
19.1

46

37.6

43

64.2 80

64

100

100
100
100

100

100

100

100

99.9

100

99.6

99

98.9

100

98.2

100

97.9

% Kab/Kota lapor

91.7

82.6

71 82.1

79

100

99.9

100

100

100

% Distribusi Anggaran

56

51.3

64

100

Nusa Tenggara Barat


Nusa Tenggara Timur
Maluku
Maluku Utara
Papua
Papua Barat

Bali
Kalimantan Selatan
Kalimantan Tengah
Kalimantan Barat
Kalimantan Timur
Sulawesi Selatan
Sulawesi Barat
Sulawesi Tengah
Gorontalo
Sulawesi Tenggara
Sulawesi Utara

Kepulauan Riau
Bangka Belitung
Bengkulu
Lampung
Banten
DKI Jakarta
Jawa Barat
D.I Yogyakarta
Jawa Tengah
Jawa Timur

Riau

9.1
7.2

26.1

46

63.8

61.5

55.2

71.4

100

99.9

100

100

100

100

100
100.0
100

82.7

99

98.9

100

100
100.0
98.2

100

100
89.4 100.0
100

100

100

97.9
100.0
100

99.6

88.9 100
100
93.4100.0
91.7

85.7
79.0

73.9

100

100

100

100

99.9

96

85.793.3100
100

81.8

74.4

78.3

64.3 73.6

51.557.1

45.3

45.4

41.6

42.9

53.1

52.1 63.6

45.1

40.0

25.0 33.3

12.220.0

1.76.7

40

23.7

100

Sumatera Selatan

Jambi

30

31.3 46

90

57.7 71
97.9
64
81.1
100

57
55.6

100

100

5.3
7.6

10

100

Sumatera Barat

13.3

50

32.1
29
28.4

30
100

Aceh

70

30.438

60

39.7

70

1.27

80

Sumatera Utara

20

55
50.8

100
99.5

60

10
12.9

80

96

90

74

100

53.4

Grafik 9. Perbandingan Persentase Distribusi Anggaran Dengan Persentase Laporan RJTP Kabupaten/Kota dan Puskesmas
Tahun 2010

% PKM lapor

Sumber : P2JK dan Ditjen Bina GIZI/KIA

Dari grafik 9 di atas tampak ada ada 10 provinsi yang telah didistribusikan anggaran Jamkesmas namun tidak ada
laporan data RJTP dari Kabupaten/Kota maupun dari puskesmas yaitu provinsi Banten, DKI Jakarta, Kalimantan
Tengah, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara, Maluku, Maluku Utara, Papua dan Papua Barat.
Penyebab kesenjangan % distribusi anggaran dan % kelengkapan laporan pada RJTP dan RITP adalah kemungkinan
karena anggaran yang didistribusikan oleh Kementerian Kesehatan, tidak dapat dimanfaatkan/ diserap oleh
Puskesmas. Hal ini kemungkinan karena mekanisme pertanggungjawaban anggaran Jamkesmas yang tidak mudah,
sehingga puskesmas enggan memanfaatkannya.
Grafik 10. Perbandingan Persentase Distribusi Anggaran Dengan Persentase Laporan RITP Kabupaten/Kota dan
Puskesmas Tahun 2010

Dari grafik 10 di atas tampak ada ada 13 provinsi yang telah didistribusikan anggaran Jamkesmas namun tidak ada
laporan data RITP dari Kabupaten/Kota maupun dari puskesmas yaitu provinsi Sumatera Barat, Bengkulu, Banten,
DKI Jakarta, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Kalimantan Tengah, Sulawesi Barat, Sulawesi Utara, Maluku, Maluku
Utara, Papua dan Papua Barat. Rendahnya dan tidak adanya laporan RITP, kemungkinan disebabkan rendahnya
minat peserta Jamkesmas untuk dirawat di puskesmas perawatan, kemungkinan lain karena kemampuan puskesmas
perawatan untuk merawat inap pasien masih rendah. Sehingga kemungkinan kasus-kasus yang seharusnya dapat
dirawat di tingkat pelayanan dasar (Puskesmas Perawatan) akan ditemukan dirawat di tingkat pelayanan rujukan
(RS).
4. Sepuluh (10) Besar Penyakit Rawat Jalan Tingkat Pertama di Puskesmas Tahun 2010
Berikut adalah gambaran distribusi 10 besar penyakit berdasarkan laporan data RJTP di puskesmas dari 23 provinsi
yang melapor.
Grafik 11 . Sepuluh Besar Penyakit RJTP Tahun 2010

Sumber : P2JK

Dari seluruh laporan yang ada terlihat bahwa jumlah kasus terbanyak adalah infeksi akut lain pada saluran pernapasan bagian atas dengan jumlah kasus sebanyak 2.522.113 kasus dan jumlah kasus terendah adalah penyakit kulit
infeksi dengan jumlah kasus sebanyak 359.454 kasus. Tampak penyakit menular masih mendominasi pola penyakit
pada peserta Jamkesmas.
5. Sepuluh (10) Besar Penyakit Rawat Inap Tingkat Pertama di Puskesmas Tahun 2010
Gambaran 10 besar penyakit RITP di puskesmas tahun 2010 bersumber dari laporan 20 provinsi sebagai berikut.
Grafik 12. Distribusi 10 Besar Penyakit RITP Tahun 2010

Sumber : P2JK

13

6. Pemanfaatan Jamkesmas Untuk Kesehatan Ibu dan Bayi di Pelayanan Kesehatan Dasar (Puskesmas) Tahun
2010
a. Kelengkapan Laporan Kunjungan Ibu Hamil, Ibu Hamil Dirujuk, Persalinan Ditolong Tenaga Kesehatan
dan Kunjungan Bayi Baru Lahir (KN) Peserta Jamkesmas di Puskesmas Tahun 2010
Dari 33 Provinsi yang ada terdapat 25 Provinsi (75,7%) yang melaporkan pelayanan kesehatan ibu dan bayi
secara on line, sedangkan yang melaporkan secara manual sebanyak 7 Provinsi sehingga total 96,9% (32 dari
33 provinsi), dan 1 Provinsi laporannya tidak masuk ke P2JK yaitu DKI Jakarta. Adapun kelengkapan laporan
yang masuk adalah sebagai berikut :
Tabel 5. Distribusi Kelengkapan Laporan Pelayanan Kesehatan Ibu dan Bayi Tahun 2010.

Sumber : P2JK

14

Laporan di atas bila dibandingkan persentase kelengkapannya menurut kabupaten/kota yang lapor dan
puskesmas yang lapor, tampak kelengkapan puskesmas yang lapor lebih rendah. Hal ini kemungkinan karena
tidak ada peserta Jamkesmas yang mendapat pelayanan kesehatan ibu dan bayi tersebut, atau puskesmas
tidak / belum melapor. Terdapat tujuh provinsi yang laporan puskesmasnya tidak ada namun laporan kabupaten/
kota ada, hal ini karena laporan dilakukan secara manual (paperbase). Secara nasional Kelengkapan laporan
masih rendah untuk kabupaten/kota 63% dan laporan puskesmas 54,3%.

100

Nasional

Papua Barat

3
0.63
9.1

Papua

Maluku

Maluku Utara

54.3

63

75
64.08
9.1

82.68

Nusa Tenggara Barat

Gorontalo

Sulawesi Utara

Sulawesi Tengah

Sulawesi Tenggara

9.1
7.91
8.3
2.78

Sulawesi Barat

Nusa Tenggara Timur

98.82
46.67

73.93
33.3
32.67

Sulawesi Selatan

Kalimantan Barat

Kalimantan Tengah

51.47

93.42

Kalimantan Selatan

% Kab/ Kota lapor

Kalimantan Timur

98.28

Bali

57.1
97.92

Jawa Timur

89.66

68.03

Jawa Tengah

71.32

Jawa Barat

D.I Yogyakarta

DKI Jakarta

Banten

100

100

100

100

100

100

100

100

100
80

73.1

100

100
73.62

Lampung

93.33

Riau

74.7

Bangka Belitung

Bengkulu

71.88

Sumatera Selatan

64.3

85.7

100

66.07

Jambi

Kepulauan Riau

66.05
13.3
11.93

Sumatera Barat

23.3
15.7

10.27 21.1

Sumatera Utara

100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0

81.8

100

Grafik 13. Persentase Kelengkapan Laporan Kesehatan Ibu dan bayi Tahun 2010

% Pkm lapor

Sumber : P2JK

Grafik 14. Cakupan Pelayanan K4 Ibu Hamil, Persalinan oleh Tenaga Kesehatan dan KN Bayi Melalui
Jamkesmas Terhadap Populasi Penduduk Sasaran dan Terhadap Populasi Sasaran Masyarakat Miskin Tahun
2010

Sumber : P2JK

Dari grafik di atas tampak secara nasional pemanfaatan Jamkesmas untuk pelayanan persalinan oleh tenaga
kesehatan dan kunjungan bayi (KN) masih sangat rendah (1%), sedangkan untuk kunjungan ibu hamil K4 sedikit
lebih baik (4,8%). Bila dibandingkan dengan populasi kelompok sasaran pada penduduk miskin, tampak lebih
baik tetapi masih rendah. Hal ini mungkin karena kelengkapan laporan secara nasional masih rendah, untuk
15

laporan kabupaten/kota 63% sedangkan laporan puskesmas 54,3%. Kemungkinan lain karena pemanfaatan
Jamkesmas untuk persalinan di tingkat pelayanan dasar (puskesmas) masih rendah, karena banyak persalinan
normal dilayani di tingkat pelayanan rujukan, demikian pula untuk kunjungan ibu hamil, perlu ada penelitian lebih
lanjut untuk mengetahuinya. Berdasarkan data ini perlu lebih ditingkatkan pemanfaatan Jamkesmas untuk
pelayanan kesehatan ibu dan bayi.
7. Sepuluh (10) Besar Penyakit di Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK) Lanjutan
Dari beberapa laporan yang ada terdapat beberapa provinsi diagnosa kasus bukan penyakit melainkan suatu tindakan. Bila tindakan dimasukkan kedalam diagnosa penyakit maka dapat menempati daftar 10 besar penyakit, contoh :
tindakan partus lama, persalinan normal, dan perawatan bayi lahir sehat di Puskesmas.
Berdasarkan laporan RS yang dilaporkan ke Pusat Pembiayaan Jaminan Kesehatan (P2JK), terdapat laporan dari 28
Provinsi baik. Berdasarkan laporan yang masuk ke P2JK sampai dengan bulan Juli persentase RS yang melapor
secara nasional adalah 69,75%. Lengkapnya dapat dilihat pada grafik di bawah.
Grafik 15. Persentase Kelengkapan Laporan Jamkesmas Pelayanan Rujukan (RS) Tahun 2010

Sumber : P2JK laporan RS s/d Juli 2011

a. Sepuluh (10) Besar Penyakit Rawat Inap Pada PPK Lanjutan Khusus
Pola penyakit rawat inap pada PPK lanjutan khusus berdasarkan laporan yang ada terlihat bahwa jumlah kasus
terbanyak adalah Paranoid schizophrenia dengan jumlah kasus sebanyak 4.659 kasus. Sedangkan jumlah kasus terendah yaitu acute schizophrenia like psycosic disorder dengan jumlah kasus sebanyak 145 kasus. Adapun pola 10 besar penyakit dapat dilihat pada grafik berikut :
Grafik 16. Pola Penyakit Rawat Inap Pada PPK Lanjutan Khusus Tahun 2010

16

Sumber : P2JK

b. Sepuluh (10) Besar Pola Penyakit Rawat Inap Pada PPK Lanjutan Umum
Pola penyakit rawat inap pada PPK lanjutan umum berdasarkan laporan yang ada terlihat bahwa jumlah kasus
terbanyak adalah Diarrhoea and gastroenteritis of presumed infectious origin dengan jumlah kasus sebanyak
4.659 kasus, sedangkan jumlah kasus terendah yaitu Thalassaemia unpecified jumlah kasus sebanyak 6.391
kasus. Adapun pola tersebut dapat dilihat pada grafik berikut :
Grafik 17. Pola Penyakit Rawat Inap Pada PPK Lanjutan Umum Tahun 2010

Sumber : P2JK

Tampak pada grafik di atas penyakit menular masih mendominasi kasus rawat inap penyakit pada pengguna
Jamkesmas. Terdapat kasus-kasus yang seharusnya dapat ditangani di tingkat pelayanan dasar, seperti diare,
dan partus tunggal spontan.
c. Sepuluh (10) Besar Pola Penyakit Rawat Jalan Pada PPK Lanjutan Khusus
Pola penyakit rawat jalan pada PPK lanjutan khusus berdasarkan laporan yang ada terlihat bahwa jumlah kasus
terbanyak adalah personal history of other mental and behavioural disorders dengan jumlah kasus sebanyak
26.691 kasus, sedangkan jumlah kasus terendah yaitu personal history of diseases of the nervous system and
sense organs dengan jumlah kasus sebanyak 587 kasus. Adapun distribusi penyakit dapat dilihat pada grafik
berikut :
Grafik 18. Pola Penyakit Rawat Jalan Pada PPK Lanjutan Khusus Tahun 2010

Sumber : P2JK

17

d. Sepuluh (10) Besar Pola Penyakit Rawat Jalan Pada PPK Lanjutan Umum
Pola penyakit rawat jalan pada PPK lanjutan umum berdasarkan laporan yang ada terlihat bahwa jumlah kasus
terbanyak adalah extracorporeal dialysis dengan jumlah kasus sebanyak 52.645 kasus, sedangkan jumlah kasus terendah yaitu personal history of diseases of the nervous system and sense organs dengan jumlah kasus
sebanyak 17.432 kasus. Tampak penyakit yang mendominasi kasus rawat jalan di PPK lanjutan umum adalah
penyakit tidak menular. Pola penyakit dapat dilihat pada grafik berikut :
Grafik 19. Pola Penyakit Rawat Jalan Pada PPK Lanjutan Umum Tahun 2010

Sumber : P2JK

e. Sepuluh (10) Besar Penyakit Rawat Jalan Pada Kelompok Umur 0 5 Tahun di PPK Lanjutan Umum
Pola penyakit rawat jalan kelompok umur 0 5 tahun pada PPK lanjutan umum dari laporan yang ada terlihat
bahwa jumlah kasus terbanyak adalah Acute upper respiratory infection unspecified dengan jumlah kasus
sebanyak 1.243 kasus, sedangkan jumlah kasus terendah yaitu personal historyof diseases of the respiratory
system dengan jumlah kasus sebanyak 405 kasus. Penyakit pada kelompok umur ini didominasi oleh penyakit
menular. Pola penyakit dapat dilihat pada grafik berikut :
Grafik 20. Penyakit Rawat Jalan Kelompok Umur 0 5 Tahun Pada PPK Lanjutan Umum Tahun 2010

Sumber : P2JK

18

f. Sepuluh (10) Besar Pola Penyakit Rawat Jalan Pada Kelompok Umur 6 -14 Tahun di PPK Lanjutan Umum
Pola penyakit rawat jalan kelompok umur 6 14 tahun pada PPK lanjutan umum berdasarkan laporan terlihat
bahwa jumlah kasus terbanyak adalah TB of lung without mention of bacteriological or hitologikal confirmation
dengan jumlah kasus sebanyak 1.727 kasus, sedangkan jumlah kasus terendah yaitu Typoid fever dengan
jumlah kasus sebanyak 558 kasus. Penyakit menular mendominasi kasus penyakit pada kelompok umur ini.
Pola penyakit dapat dilihat pada grafik berikut :
Grafik 21. Penyakit Rawat Jalan Kelompok Umur 6 -14 Tahun Pada PPK Lanjutan Umum Tahun 2010

Sumber : P2JK

g. Sepuluh (10) Besar Pola Penyakit Rawat Jalan Pada Kelompok Umur 15 49 Tahun di PPK Lanjutan Umum
Pola penyakit rawat jalan kelompok umur 15 49 tahun pada PPK lanjutan umum berdasarkan laporan terlihat
bahwa jumlah kasus terbanyak adalah Extracorporeal dialysis dengan jumlah kasus sebanyak 10.977 kasus,
sedangkan jumlah kasus terendah yaitu Asthma unspecified dengan jumlah kasus sebanyak 3.106 kasus. Pada
kelompok umur ini, penyakit tidak menular mendominasi. Adapun pola penyakit dapat dilihat pada grafik berikut :
Grafik 22. Penyakit Rawat Jalan Kelompok Umur 15 -49 Tahun di PPK Lanjutan Umum Tahun 2010

Sumber : P2JK

19

h. Sepuluh (10) Besar Pola Penyakit Rawat Jalan Pada Kelompok Umur > 50 Tahun di PPK Lanjutan Umum
Pola penyakit rawat jalan kelompok umur > 50 tahun pada PPK lanjutan umum berdasarkan laporan terlihat
bahwa jumlah kasus terbanyak adalah Essential (primary) hypertension dengan jumlah kasus sebanyak 4.683
kasus, sedangkan jumlah kasus terendah yaitu Congestive heart failure dengan jumlah kasus sebanyak 1.443
kasus. Pada kelompok umur ini penyakit tidak menular mendominasi kasus rawat jalan. Pola penyakit dapat
dilihat pada grafik berikut :
Grafik 23. Pola Penyakit Rawat Jalan Kelompok Umur > 50 Tahun di PPK Lanjutan Umum Tahun 2010

Sumber : P2JK

i.

Sepuluh (10) Besar Pola Penyakit Rawat Inap Kelompok Umur 0 - 5 Tahun di PPK Lanjutan Umum
Pola penyakit rawat inap kelompok umur 0 - 5 tahun pada PPK lanjutan umum berdasarkan laporan terlihat bahwa jumlah kasus terbanyak adalah Diarrhoea and gastroenteritis of presumed infectious origin dengan jumlah
kasus sebanyak 9.008 kasus. Sedangkan jumlah kasus terendah yaitu Thalassaemia, unspecified dengan
jumlah kasus sebanyak 1.724 kasus. Pola penyakit dapat dilihat pada grafik berikut :
Grafik 24. Pola Penyakit Rawat Inap Kelompok Umur 0 - 5 Tahun di PPK Lanjutan Umum Tahun 2010

Sumber : P2JK

20

j.

Sepuluh (10) Besar Pola Penyakit Rawat Inap Pada Kelompok Umur 6 - 14 Tahun di PPK Lanjutan Umum
Pola penyakit rawat inap kelompok umur 6 - 14 tahun pada PPK lanjutan umum berdasarkan laporan terlihat
bahwa jumlah kasus terbanyak adalah Dengue haemorrhagic fever dengan jumlah kasus sebanyak 7.146 kasus, sedangkan jumlah kasus terendah yaitu Asthma, unspecified dengan jumlah kasus sebanyak 760 kasus.
Pada kelompok umur ini penyakit menular mendominasi kasus rawat inap. Pola penyakit dapat dilihat pada
grafik berikut :
Grafik 25. Penyakit Rawat Inap Kelompok Umur 6 - 14 tahun di PPK Lanjutan Umum Tahun 2010

Sumber : P2JK

k. Sepuluh (10) Besar Pola Penyakit Rawat Inap Kelompok Umur 15 - 49 tahun di PPK Lanjutan Umum
Pola penyakit rawat inap kelompok umur 15 - 49 tahun pada PPK lanjutan umum terlihat bahwa jumlah kasus
terbanyak adalah Single spontaneous delivery, unspecified dengan jumlah kasus sebanyak 14.705 kasus, sedangkan jumlah kasus terendah yaitu Chemotherapy session for neoplasm dengan jumlah kasus sebanyak
4.247 kasus. Pola penyakit dapat dilihat pada grafik berikut :
Grafik 26. Pola Penyakit Rawat Inap Kelompok Umur 15 - 49 tahun di PPK Lanjutan Umum Tahun 2010

Sumber : P2JK

21

l.

Sepuluh (10) Besar Pola Penyakit Rawat Inap Kelompok Umur > 50 tahun di PPK Lanjutan Umum
Pola penyakit rawat inap kelompok umur > 50 tahun pada PPK lanjutan umum terlihat bahwa jumlah kasus
terbanyak adalah Essential (primary) hypertension dengan jumlah kasus sebanyak 5.788 kasus, sedangkan
jumlah kasus terendah yaitu Cerebral infarction, unspecified dengan jumlah kasus sebanyak 2.062 kasus. Penyakit tidak menular mendominasi pada kelompok umur ini. Pola penyakit dapat dilihat pada grafik berikut :
Grafik 27. Pola Penyakit Rawat Inap Kelompok Umur > 50 tahun di PPK Lanjutan Umum Tahun 2010

Sumber : P2JK

8. Kasus HIV-AIDS
Berdasarkan laporan RS yang ada di Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan terdapat pemanfaatan Jamkesmas
untuk kasus HIV/AIDS. Jumlah kasus HIV/AIDS pada pelayanan Rawat Inap tahun 2010 sebanyak 361 kasus.
Dengan jumlah kasus tertinggi adalah unspecified human immunodeficiency Virus (HIV) disease sebanyak 181 kasus.
Pola penyakit tampak pada grafik berikut.
Grafik 28. Distribusi Kasus HIV/AIDS Rawat Inap Tahun 2010

Sumber : P2JK

22

Sedangkan laporan kasus HIV/AIDS pada pelayanan Rawat Jalan tahun 2010 sebanyak 880 kasus. Kasus terbanyak
adalah HIV disease resulting in mycobacterial infection sebanyak 628 kasus, seperti terlihat pada grafik berikut :
Grafik 29. Distribusi Kasus HIV/AIDS Rawat jalan Tahun 2010

Sumber : P2JK

E.

KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan :
1. Kepesertaan Jaminan Kesehatan Tahun 2010.
a. Penduduk Indonesia yang telah memiliki jaminan kesehatan sebanyak 60,24% (142.179.507 jiwa), dan 39,76%
(95.376.856 jiwa) belum memiliki.
b. 53,7% jaminan kesehatan penduduk bersumber dari Jamkesmas. 67,4% Kabupaten/kota telah memberi jaminan
kesehatan penduduknya melalui Jamkesda.
c. Porsi tertinggi (51,8%) peserta Jamkesmas ada di wilayah pembangunan Jawa-Bali.
d. Terdapat kesenjangan proporsi peserta Jamkesmas perempuan terhadap laki-laki di wilayah pembangunan
Papua 8,8%, wilayah Sulawesi 4,4% wilayah Kalimantan 3,55% dan wilayah Maluku 2,84%.
e. Kesenjangan Proporsi peserta menurut jenis kelamin terhadap jumlah penduduk tertinggi terjadi pada wilayah
Papua (3,1%) dan Sulawesi (3,1%), diikuti wilayah Nusa Tenggara (2,4%).
f. Proporsi kelompok umur terbesar peserta Jamkesmas adalah kelompok umur 15-49 tahun (56%), diikuti oleh
kelompok umur > 50 tahun (21%).
2. Kelengkapan laporan Puskesmas Tahun 2010.
a. Rawat jalan Tingkat Pertama (RJTP)
Persentase provinsi yang melapor 69,7% (23 dari 33 provinsi).
Presentase kabupaten/kota yang melapor 43,46% (216 dari 497 kabupaten/kota). Dari 23 provinsi yang
lapor kisaran kelengkapan laporan antara 100% - 5,26%, rata-rata 62,83%.
Persentase puskesmas yang melapor 33,7% (2.967 dari 8.799 Puskesmas). Dari 23 provinsi yang lapor
kisaran kelengkapan laporan antara 93,42% - 1,65%, rata-rata 50,27%.
b. Rawat inap Tingkat Pertama (RITP) Tahun 2010.
Persentase provinsi yang melapor 60,6% (20 dari 33 provinsi).
Presentase kabupaten/kota yang melapor 32,9% (164 dari 497 kabupaten/kota). Dari 20 provinsi yang lapor
kisaran kelengkapan laporan antara 100% - 6,67% rata-rata 52,13%.
Persentase puskesmas perawatan yang melapor 32,6% (953 dari 2920 Puskesmas Perawatan). Dari 20
provinsi yang lapor kisaran kelengkapan laporan antara 82,61% - 1,22% dengan rata-rata 42,03%.
23

3. Tingkat distribusi anggaran Jamkesmas tahun 2010 secara nasional mencapai 98,91%, kisaran distribusi anggaran
tiap provinsi antara 100% - 46,02%.
4. Terdapat kesenjangan kelengkapan laporan data dengan distribusi anggaran tahun 2010, laporan data jauh lebih
rendah dari distribusi anggaran yang didistribusiikan.
5. Penyakit terbanyak RJTP tahun 2010 adalah infeksi akut lain pada saluran pernapasan bagian atas. Secara nasional
penyakit menular masih mendominasi RJTP.
6. Penyakit terbanyak RITP tahun 2010 adalah infeksi akut lain pada saluran pernapasan bagian atas. Secara nasional
penyakit menular masih mendominasi RITP.
7. Pemanfaatan Jamkesmas untuk kunjungan ibu hamil, ibu hamil dirujuk, persalinan ditolong tenaga kesehatan dan
kunjungan bayi baru lahir (KN) di puskesmas tahun 2010 secara nasional masih rendah. Dari laporan didapat :
a. Kelengkapan laporan provinsi 96,9% ( 32 dari 33 provinsi). Secara nasional Kelengkapan laporan kabupaten/kota
63% dan laporan puskesmas 54,3%.
b. Pemanfaatan kartu Jamkesmas oleh Ibu hamil untuk ANC (K4) sebanyak 554.034 kunjungan atau 4,8% dari total
populasi ibu hamil. Terhadap ibu hamil miskin dan hampir miskin persentase kunjungan ibu hamil (K4) memanfaatkan jamkesmas sebesar 34,53%.
c. Pemanfaatan kartu Jamkesmas untuk rujukan Ibu hamil sebanyak 184.008 kunjungan atau 9,6% dari total populasi ibu hamil.
d. Pemanfaatan kartu Jamkesmas untuk persalinan oleh tenaga kesehatan sebanyak 368.088 kunjungan atau 1%
dari total sasaran ibu bersalin, namun terhadap ibu bersalin miskin dan hampir miskin persentase terlayani pelayanan jamkesmas sebesar 23,97%.
e. Pemanfaatan kartu Jamkesmas untuk KN sebanyak 430.796 kunjungan atau 1% dari total populasi bayi, namun
terhadap bayi miskin dan potensial miskin persentase terlayani pelayanan jamkesmas sebesar 29,44%.
8. Penyakit terbanyak pada rawat inap di PPK lanjutan khusus tahun 2010 adalah Paranoid schizophrenia.
9. Penyakit terbanyak pada rawat inap di PPK lanjutan umum tahun 2010 adalah Diarrhoea and gastroenteritis of presumed infectious origin. Penyakit menular masih mendominasi kasus rawat inap di PPK lanjutan umum.
10. Penyakit terbanyak pada rawat jalan di PPK lanjutan khusus tahun 2010 adalah personal history of other mental and
behavioural disorders.
11. Penyakit terbanyak rawat jalan di PPK lanjutan umum tahun 2010 adalah extracorporeal dialysis. Penyakit tidak menular mendominasi kasus rawat jalan di PPK lanjutan umum.
12. Penyakit terbanyak pada rawat jalan kelompok umur 0 5 tahun di PPK lanjutan umum tahun 2010 adalah Acute
upper respiratory infection unspecified.
13. Penyakit terbanyak pada rawat jalan kelompok umur 6 14 tahun di PPK lanjutan umum tahun 2010 adalah TB of
lung without mention of bacteriological or histological confirmation.
14. Kasus terbanyak rawat jalan kelompok umur 15 49 tahun di PPK lanjutan umum tahun 2010 adalah Extracorporeal
dialysis.
15. Penyakit terbanyak pada rawat jalan kelompok umur > 50 tahun di PPK lanjutan umum tahun 2010 adalah Essential
(primary) hypertension.
16. Penyakit terbanyak pada rawat inap kelompok umur 0 - 5 tahun di PPK lanjutan umum tahun 2010 adalah Diarrhoea
and gastroenteritis of presumed infectious origin.
17. Penyakit terbanyak rawat inap kelompok umur 6 - 14 tahun di PPK lanjutan umum tahun 2010 adalah Dengue haemorrhagic fever.
18. Penyakit / kasus terbanyak rawat inap kelompok umur 15 - 49 tahun di PPK lanjutan umum tahun 2010 adalah Single
spontaneous delivery, unspecified.
19. Penyakit terbanyak rawat inap kelompok umur > 50 tahun di PPK lanjutan umum tahun 2010 adalah Essential
(primary) hypertension.
20. Pemanfaatan Jamkesmas juga dipergunakan untuk rawat inap dan rawat jalan penderita HIV/AIDS.
SARAN
1. Kelengkapan laporan data perlu ditingkatkan, dan dipantau bersama dengan laporan keuangan (penyerapan
anggaran).
2. Kebijakan pertanggung-jawaban keuangan agar lebih sederhana dan tidak membebani petugas lapangan.
3. Perlu ada kebijakan untuk melaporkan data walaupun tidak ada kasus/peserta yang dilayani (Zerro report).
4. Laporan kasus hendaknya dapat dibedakan antara kasus baru dan kasus lama.
5. Perlu dilakukan kajian lebih lanjut tentang kesenjangan peserta perempuan terhadap laki-laki di wilayah pembangunan
24

timur terhadap kemungkinan pencapaian target-target MDG pada ibu dan bayi.
6. Perlu ditingkatkan upaya pemanfaatan pelayanan jamkesmas untuk mendorong pencapaian target MDG pada ibu dan
bayi. Program Jaminan Persalinan (Jampersal) yang dimulai tahun 2011 sebaiknya dipantau lebih ketat, agar
pemanfaatannya bisa lebih optimal.
7. Perlu lebih ditekankan tentang kebijakan kasus-kasus yang dapat dilayani di tingkat pelayanan dasar dan di tingkat
pelayanan lanjut.
F.

DAFTAR PUSTAKA
1. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 125/Menkes/SK/II/2008 tentang
Pedoman Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan Masyarakat; 2008.
2. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan; Laporan Program
Jamkesmas Tahun 2010.
3. Badan Pusat statistik; sensus penduduk 2010.
4. Thabrany Hasbullah; Asuransi Kesehatan Nasional; Perhimpunan Ahli Manajemen Jaminan dan Asuransi Kesehatan
Indonesia; Jakarta.

25

Jaminan kesehatan bagi seluruh penduduk telah dipikirkan


Pemerintah Orde Baru melalui pembangunan puskesmas
dan rumah sakit dengan tarif murah. Setelah krisis, di tahun 1998 Pemerintah menyediakan jaminan kesehatan
bagi penduduk miskin dengan Program Jaring Pengaman
Sosial Bidang Kesehatan (JPS-BK) tahun 19982001 yang
didanai dari pinjaman Bank Pembangunan Asia. Penggantian pemerintahan mengubah nama program dan sumber dana dari pengurangan subsidi BBM menjadi program
Dampak Pengurangan Subsidi Energi (PDPSE) di tahun
2001. Kemudian program berubah lagi menjadi Program
Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak
(PKPSBBM) tahun 20022004. Di Tahun 2005, program
serupa diberi nama Asuransi Kesehatan untuk Masyarakat
Miskin (Askeskin) karena untuk pertama kalinya dikelola
secara Nasional oleh PT Askes. Tahun 2008, program ini
diubah lagi menjadi Program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) dan pengelolaannya ditangani oleh Kementerian Kesehatan, sampai sekarang.
Di jaman Orde Baru, tarif layanan Puskesmas ditetapkan
sama secara Nasional, yaitu sebesar Rp 100 per kunjungan termasuk obat, agar terjangkau oleh seluruh rakyat.
Begitu juga tarif RS Publik ditetapkan sangat rendah agar
semua rakyat dapat menjangkau layanan kesehatan. Namun demikian, tarif RS tidak sama dengan tarif Puskesmas
yang sudah termasuk biaya obat. Tarif RS masih
dibedakan antara biaya karcis, biaya pemeriksaan dokter,
biaya laboratorium, biaya pemeriksaan radiologi, biaya
obat dll. Hal ini merupakan konsep dagang layanan
kesehatan. Alhasil, rakyat tidak pernah tahu biaya berobat
yang harus dibayarnya sampai ia selesai berobat. Tidak
jarang mereka harus meminjam uang, membayar obat
sebagian, atau meminta keringanan dari pihak RS. Tentu
saja, model pentarifan RS Publik semacam ini tidak akan
menjamin tarif yang terjangkau. Tarif terjangkau hanya
terjadi jika sebelum berobat rakyat sudah tahu pasti berapa
yang harus dibayar seperti di Malaysia.
Di Malaysia, semua layanan Puskesmas tetap gratis sampai sekarang, termasuk bersalin oleh dokter atau bidan.
Tarif layanan rawat jalan oleh dokter spesialis di RS Publik,

26

termasuk pemeriksaan laboratorium dan obat hanya RM 1


(setara hampir Rp 3.000) sekali berobat. Sementara jika
penduduk Malaysia memerlukan rawat inap, ia hanya
membayar RM 3 (sekitar Rp 8.000-9.000 per hari rawat).
All in!!. Meskipun ia mendapat operasi atau harus dirawat
di ruang perawatan intensif, tarif yang harus dibayar
penduduk Malaysia tetap RM 3. Dengan tarif seperti itu,
yang diketahui oleh seluruh penduduk, karena sudah berlangsung puluhan tahun. Sejak Malaysia merdeka di tahun
1957, belum pernah terjadi pentarifan model di RS Publik
di Indonesia. Maka tarif layanan kesehatan di Malaysia
sudah pasti terjangkau semua rakyat. Pemerintah Malaysia
menyadari bahwa kesehatan adalah hak dasar penduduk
dan Pemerintah berkewajiban melayani rakyatnya. Di Indonesia, pola pikir Pemerintah dan Pemda bukan melayani
rakyat, tetapi berjualan kepada rakyat.

Liberalisasi Layanan Kesehatan


Tarif Puskesmas dan tarif RS Publik di Indonesia bertambah mahal sejak tahun 1990-an atas desakan lembaga
keuangan internasional dan donor asing yang menganjurkan liberalisasi layanan kesehatan. Konsep pemulihan
biaya (cost recovery) diperkenalkan di tahun 1990an untuk
mengurangi subsidi RS. Rumah Sakit Publik juga diberikan kewenangan untuk membangun fasilitas privat dengan
layanan swasta di sore hari dan membangun kamar
perawatan berkelas-kelas sampai ruang VVIP yang sangat
mahal. Konsep tarif dan layanan berkelas ini memang
konsep pasar, konsep jualan yang tidak terjadi di Malaysia,
Sri Lanka, Hong Kong, Inggris, dan negara-negara kesejahteraan lain. Pemerintah Indonesia tidak menghitung
dengan cermat akibat jangka panjang dari kebijakan liberalisasi yang pada akhirnya menyulitkan rakyat banyak di
masa sekarang. Untuk melindungi penduduk miskin,
pemerintah menyediakan layanan kelas III yang murah.
Namun, dalam praktiknya ketika itu, pernah terjadi dan
mungkin masih terjadi banyak dokter spesialis tidak mau
melayani pasien kelas III karena mereka tidak mendapat
jasa medik. Padahal mereka sudah mendapat gaji dan
fasilitas yang memungkinkan mereka menjadi spesialis
yang laku dalam praktik swastanya. Dokter pun diberi
kewenangan untuk menambah penghasilannya dengan

praktik sore, yang sering dilakukan di RS yang sama. Memang sebagian kecil rakyat Indonesia mampu membeli
layanan rumah sakit publik yang mahal. Tetapi, semakin
banyak rakyat yang tidak miskin tidak mampu menjangkau
layanan kesehatan. Maka program jaminan kesehatan bagi
penduduk miskin dan hampir miskin dikembangkan.
Program Jaminan Kesehatan bagi penduduk miskin, baik
Jamkesmas, Askeskin, Jamkesda, maupun Medicaid di
Amerika, tidak pernah menyelesaikan masalah. Berbagai
masalah kepesertaan, paket manfaat dan pendanaan,
pelayanan dan fasilitas kesehatan maupun masalah kelembagaan selalu muncul. Banyak kritik dan keluhan disampaikan masyarakat, pemerintah, bahkan pejabat
pemerintah sendiri. Setelah ribut-ribut soal Askeskin,
Jamkesmas dilaksanakan dengan tekad mencukupi dana
yang tersedia. Sebagian peserta dialihkan kepada Pemda
yang kemudian berkembang dengan nama Jamkesda.
Masalah tidak selesai karena kita salah memahami kebutuhan dasar layanan kesehatan.

Jaminan Kesehatan Bukan Hanya Bagi Penduduk


Miskin

memahami pasal 34 UUD 45 yang lama, yaitu fakir miskin


dipelihara negara. Padahal UUD 45 sudah diamandemen
dengan pasal 34 ayat 2, 3, dan 4. Pasal 34 ayat 1 memang
masih dipertahankan dengan fakir miskin dan anak telantar dipelihara negara. Tetapi, pasal itu tidak berlaku untuk
jaminan kesehatan/jaminan sosial dan layanan kesehatan.
Pasal itu hanya berlaku untuk kebutuhan hidup yang bersifat pasti, yang bisa dianggarkan, seperti pangan, sandang
dan papan. Untuk kesehatan tidak bisa digunakan rujukan
pasal 34 ayat 1. Pasal 34 ayat 2 UUD 45 mengharuskan
Negara mengembangkan jaminan sosial untuk seluruh
rakyat. Bunyi pasal itu jelas, untuk seluruh rakyat. Praktik
umum di dunia, jaminan sosial paling tidak mencakup jaminan kesehatan dan jaminan hari tua. Atas perintah pasal
34 ayat 2 itulah kemudian UU tentang Sistem Jaminan
Sosial Nasional (SJSN) No. 40 tahun 2004 dikeluarkan.
Sayangnya, sampai sekarang UU tersebut belum dilaksanakan oleh Pemerintah. Masalah utamanya, keliru
faham tentang tanggung-jawab Pemerintah.

Kriteria Miskin Tidak Relevan untuk Layanan


Kesehatan

Di Indonesia, Amandemen UUD 45 yang pertama di tahun


1999 telah mengamanatkan negara menyediakan, baik
langsung ataupun melalui sistem asuransi, layanan
kesehatan untuk seluruh penduduk. Hal ini tertuang dalam
amandemen pasal 28H ayat 1 yang berbunyi setiap
penduduk berhak atas layanan kesehatan. Namun implementasi perubahan UUD 45 tersebut sampai saat awal
tahun 2011 masih belum tampak. Konsep yang diterapkan
hanya menyediakan jaminan kesehatan bagi penduduk
miskin sebagaimana dijalankan dalam program
Jamkesmas.

Program untuk segmentasi penduduk berdasarkan kategori


miskin dan tidak miskin selalu bermasalah. Di seluruh
dunia, program jaminan kesehatan bagi penduduk miskin
saja tidak pernah bebas dari masalah. Sebab, kriteria
miskin sangat relatif. Batas antara yang miskin dan yang
tidak miskin sangat tipis sehingga di lapangan selalu timbul
berbagai masalah elijibilitas (berhak tidaknya suatu keluarga mendapatkan kartu Jamkesmas atau mendapat pembebasan biaya berobat). Sebagai contoh, atas dasar kriteria rumah tangga miskin (RTM) yang kini digunakan Badan
Pusat Statistik (BPS) tahun 2011, misalnya, sebesar Rp
234.000 (dibulatkan) per orang per bulan. Bagaimana
dengan RT yang memiliki penghasilan sebesar Rp 250.000
per orang per bulan? Jelas menurut kriteria itu, keluarga ini
tidak tergolong miskin. Maka keluarga ini tidak berhak
mendapat kartu Jamkesmas atau Jamkesda. Akan tetapi,
perbedaan penghasilan yang hanya berbeda Rp 10.000
tidak ada artinya. Ketika satu anggota keluarga ini terkena
musibah sakit dan perlu biaya berobat sebesar Rp 100.000
saja, maka tidak ada beda kemampuan membayar keluarga miskin dan keluarga tidak miskin tersebut. Bagaimana
jika biaya berobat mencapai jutaan rupiah? Semantara
Tuhan sudah mengatur jenis penyakit dan karenanya biaya
berobat yang dibutuhkan tidak pernah terjadi dengan pilihan yang miskin hanya dikenai penyakit ringan yang murah
biaya berobatnya dan yang kaya ter-kena penyakit berat.
Inilah kekeliruan mendasar bangsa kita.

Hal tersebut terjadi karena kesalahan faham pimpinan


negeri ini yang menganggap bahwa tanggung-jawab
Pemerintah hanyalah bagi penduduk miskin. Mereka hanya

Kajian yang dilakukan oleh Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) menunjukkan bahwa
kesalahan memasukan (inclusion, yang memiliki kartu

Pola pikir (mind set) yang berkembang di kalangan


pemerintah, baik di pusat maupun di daerah adalah, bahwa
tanggung-jawab pemerintah hanyalah pada penduduk
miskin. Hal ini memang diterapkan di masa lalu di Amerika.
Diantara negara maju, hanya di Amerika konsep ini diterapkan. Padahal, di Amerika sendiri terjadi gejolak reformasi kesehatan yang menuntut jaminan kesehatan seluruh
penduduknya sejak setelah Perang Dunia II. Puncak
keberhasilannya adalah tahun 2010 ketika Obama menjadi
Presiden Amerika. Obama menunda kunjungan ke Indonesia di bulan Maret 2010 hanya untuk meyakinkan Kongres
(DPR) Amerika untuk menyetujui rencana Obama menyediakan jaminan kesehatan bagi semua penduduk, atau
yang dikenal dengan Cakupan Universal.

27

Jamkesmas tetapi seharusnya tidak) seseorang menjadi


peserta Jamkesmas di lima provinsi mencapai 13% 59,8%. Sementara kesalahan mengeluarkan (exclusion,
yang seharusnya mendapat kartu Jamkesmas tetapi tidak
mendapat kartu) bervariasi dari 31% - 93%. Hal ini bisa
difahami sebab, dipihak lain, survei pasien pulang rawat
(exit poll) di lima provinsi tersebut menunjukkan variasi
biaya perawatan yang harus dibayar pasien dari nol sampai Rp 32.500.000 sekali perawatan. Biaya perawatan nol
adalah biaya perawatan yang sudah dijamin oleh asuransi
atau Jamkesmas. Selebihnya adalah biaya yang harus
dibayar oleh suatu keluarga. Rata-rata biaya yang harus
dibayar per kali dirawat di kelas III mencapai Rp 88.300 di
Mataram sampai Rp 810.000 di Bolaan Mongondow.
Tetapi, kebutuhan biaya berobat adalah kebutuhan mutlak,
yang tidak bisa diukur dengan rata-rata. Jadi, harus
digunakan ukuran biaya maksimum. Survei tersebut
menunjukkan biaya maksimum yang menjadi beban sebuah keluarga di Pasuruan sebesar Rp 1.995.000 dan di
Bolan Mongondow Rp 32.500.000. Apakah biaya tersebut
terjangkau oleh rumah tangga yang tidak miskin? Kebutuhan rutin lain, yang memang relevan dan dapat
digunakan untuk mengukur kemiskinan seperti kebutuhan
makan, pakaian, dan rumah tinggal dapat diukur. Tidak
pernah terjadi kebutuhan makan seseorang tiba-tiba melonjak menjadi Rp 1.000.000 per bulan. Begitu juga kebutuhan pakaian atau sewa rumah. Bisa diprediksi. Namun
tidak demikian dengan kebutuhan kesehatan.
Karena kuota peserta program Jamkesmas untuk tiap-tiap
kota/kabupaten sudah ditetapkan Pemerintah, maka rumah
tangga yang berada di garis batas tersebut, rumah tangga
hampir miskin atau rumah tangga marjinal, diserahkan
kepada Pemda masing-masing. Sesungguhnya program
Jamkesmas diatas kertas telah menjamin (berdasarkan
alokasi anggaran 76,4 juta jiwa atau 19,1 juta rumah tangga) bukan hanya penduduk miskin karena jumlah
penduduk miskin tidak sebanyak itu. Namun, jaminan
kesehatan untuk penduduk di luar kuota diserahkan kepada pemerintah daerah, sehingga berkembanglah program
Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda), yang pada kenyataannya tetap tidak menyelesaikan masalah. Sebab,
pada umumnya Pemda juga menetapkan batas penghasilan atau kriteria elijibilitas yang mendapat jaminan
kesehatan oleh Pemda. Kembali, masalah garis batas
tetap saja timbul.
Hal ini sesungguhnya bukan barang baru, karena di seluruh dunia hal itu sudah terjadi sejak puluhan tahun lalu.
Hanya saja, kita tidak belajar dari bangsa lain. Itulah
sebabnya, seluruh negara di dunia mengupayakan jaminan
kesehatan untuk semua penduduk atau cakupan universal.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dalam laporan

28

tahunan 2010 telah menghimpun berbagai aspek cakupan


universal, termasuk pedoman bagi negara-negara yang
belum mencapai cakupan universal seperti Indonesia, agar
semua negara di dunia menyediakan jaminan kesehatan
universal, Jaminan Kesehatan Publik yang tidak hanya
berlaku bagi penduduk miskin seperti yang kini kita kenal.

Penantian Panjang Untuk Bebas Beban Biaya Berobat


Kembali kepada amanat Pasal 34 ayat 2 UUD 45, yang
sudah dirumuskan secara operasional dengan UU No 40
Tahun 2004 tentang SJSN, sesungguhnya telah diatur
Pendanaan Jaminan Kesehatan Publik untuk seluruh
rakyat bersumber dari iuran peserta yang bekerja dan
menerima upah serta bantuan iuran oleh Pemerintah.
Pengelolanya juga sudah diatur yaitu oleh sebuah Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Pasal 17 ayat 4
UU tersebut menyatakan bahwa iuran program jaminan
sosial bagi fakir miskin dan orang yang tidak mampu
dibayar oleh Pemerintah kepada BPJS. Dengan demikian
maka pemerintah wajib membayar iuran, bukan mengelola
dana APBN sendiri. Iuran wajib tersebut, baik oleh pekerja,
pemberi kerja dan pemerintah dibayarkan kepada BPJS.
Tetapi, karena yang diperebutkan kekuasaan mengelola
uang, bukan penjaminan seluruh rakyat, maka pembahasan RUU BPJS dan diperkirakan hasil akhir UU BPJS tidak
sejalan dengan amanat UUD 45 Pasal 34 ayat 2 yang
menyatakan Negara mengembangkan sistem jaminan
sosial untuk seluruh rakyat..
Entah kapan Indonesia akan memiliki satu sistem yang
adil, yang sama untuk seluruh rakyat, sebagaimana diamanatkan UUD 45. Satu sistem jaminan kesehatan seluruh
penduduk sudah terwujud sejak lebih dari setengah abad
yang lalu di Malaysia dan bahkan di Sri Lanka yang lebih
miskin dari Indonesia. Kita sudah merdeka 66 tahun, tetapi
masih belum mampu memerdekakan rakyat dari biaya
berobat yang mematikan dan menghilangkan produktifitas.
Kita lebih suka menempatkan uang untuk subsidi BBM
sampai Rp 120 Triliun, sementara menganggarkan untuk
kesehatan sampai Rp 60 Triliun, sesuai UU 36/2009 tentang Kesehatan, masih impian. Persoalannya bukan pada
kemampuan keuangan negara, tetapi pada kemauan politik
pimpinan bangsa. Indonesia tampaknya lebih suka membagi-bagi uang publik untuk yang relatif kaya, yang bisa
menikmati kemacetan kota-kota besar dalam mobil berpendingin udara, mendengar musik atau menonton video,
dengan separuh biaya bensin dibayar negara. Sebuah
perusahaan angkutan atau taksi bisa mendapat subsidi
BBM sampai dengan Rp 1 milyar sehari. Tetapi, seorang
penduduk yang berpenghasilan Rp 5 juta per bulan dan
perlu perawatan intensif berharga Rp 25 juta serta
mengancam jiwa orang tersebut, harus meminjam uang

atau menjual harta benda, bahkan harga dirinya, agar bisa membayar biaya berobat.
Di Sri Lanka, Malaysia, dan Thailand harga solar dan bensin premium sudah di atas Rp 10.000 per liter. Rakyat di negeri itu
tidak pernah protes sebab biaya berobat untuk semua penduduk sudah dijamin. Harga-harga barang banyak yang lebih murah
dari harga barang yang sama di Indonesia. Tidak ada bukti di negara-negara lain bahwa harga BBM yang mahal akan menyulitkan ekonomi. Tetapi, telah banyak bukti bahwa BBM bersubsidi dinikmati orang yang kaya, baik langsung seperti pengusaha
taksi, angkutan, mobil karyawan, dan lain-lain maupun tidak langsung melalui penyelundupan, pengoplosan, dan lain-lain. Jangan-jangan kita tidak dapat informasi yang sebenarnya dari politik subsidi BBM. Hanya Tuhan dan pelaku yang tahu.

Menuju cakupan universal

29

Kebijakan pemeliharaan kesehatan bagi penduduk miskin sudah lama diterapkan di Indonesia. Pelayanan gratis bagi penduduk
yang membawa surat miskin dari Rukun Tetangga (RT), Rukun Warga (RW), desa dan pembagian kartu sehat, adalah contoh
kebijakan pelayanan kesehatan bagi penduduk miskin dengan strategi Individual Targeting. Berbagai program Instruksi
Presiden (Inpres), secara tidak langsung juga mempunyai aspek kebijakan membantu penduduk miskin, misalnya Inpres Obat
dan Inpres Samijaga, merupakan contoh kebijakan dengan strategi Geographic Targeting.
Sebetulnya, kebijakan subsidi tarif pelayanan kesehatan pemerintah, juga merupakan program melayani kesehatan penduduk
miskin. Tarif Rp 500 Rp 1.000 untuk rawat jalan Puskesmas dan Rp. 2.000 Rp. 5.000 untuk rawat inap kelas III di Rumah
Sakit Umum (RSU), membantu penduduk yang kemampuannya terbatas. Sejak 1998 muncul kebijakan lebih sistematis dan
berskala nasional untuk melayani kebutuhan kesehatan penduduk miskin, yakni program Jaringan Pengamanan Sosial Bidang
Kesehatan (JPS-BK).
Pada tahun 2003, pemerintah menyediakan biaya untuk rujukan ke Rumah Sakit (RS) bagi penduduk miskin. Dana ini berasal
dari pemotongan subsidi bahan bakar minyak (BBM), yang disebut dana Penanggulangan Dampak Pemotongan Subsidi Energi
(PDPSE), kemudian diubah namanya menjadi Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak (PKPS-BBM).
Dana PDPSE langsung diberikan kepada RSU. Baik JPSBK dan PDPSE adalah contoh Supply Side Approach dalam
memberikan subsidi bagi penduduk miskin.
Program teranyar pemerintah pusat untuk melayani kebutuhan masyarakat miskin dan hampir miskin akan kesehatannya
digulirkan di tahun 2008 ini adalah Jamkesmas (Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat). Anggaran untuk program
Jamkesmas di tahun 2008 disiapkan sebesar Rp. 4,6 triliun untuk 76,4 juta jiwa masyarakat miskin dan hampir miskin.
Seluruh pendanaan program-program di atas bersumber dari pemerintah pusat dan bersifat proyek, sementara itu sumber dana
dari pemerintah daerah belum dipadukan untuk program pengentasan kemiskinan umumnya dan pembiayaan kesehatan
khususnya sehingga sulit bagi penduduk miskin jika tidak lagi mendapat jaminan seperti yang pernah diperolehnya.
Pemerintah provinsi Sulawesi Selatan melalui program unggulan Bapak gubernur secara cermat menangkap kondisi ini dengan
memunculkan Program Pelayanan Kesehatan Gratis sebagai jawaban dari berbagai sinyalemen yang meragukan
Sustainabilitas program Jamkesmas karena didasari pogram-program yang sifatnya proyek dan bahwa program pelayanan
kesehatan gratis ini merupakan perpaduan sumber dana pemerintah dengan daerah untuk program pengentasan kemiskinan
pada umumnya dan pembiayaan kesehatan khususnya yang tidak pernah dilakukan dan itu merupakan kekurangan kita selama
ini. Oleh karena itu tanpa suatu program berkelanjutan, akan sulit mengangkat penduduk miskin dari lingkaran kemiskinan
termasuk di Sulawesi Selatan ini.
Ketika pemerintah pusat memunculkan program Jamkesmas untuk masyarakat miskin di Republik ini, seakan skenario
Tuhan yang hinggap kepada hambanya yang di kehendaki. Pemerintah Sulawesi Selatan melihatnya sebagai anugerah
yang diwujudkan dalam pemaknaan rasa syukur dengan membuat program pelayanan gratis agar program Jamkesmas
semakin kokoh berakar di masyarakat, hal ini dapat dilihat dari beberapa data sebagai berikut : Jumlah penduduk Sulawesi Selatan tahun 2008 sebesar 7,5 juta jiwa, jumlah penduduk yang memiliki jaminan kesehatan, baik Askes, Jamsostek maupun Jamkesmas sebanyak 3,1 juta jiwa, sementara sisanya yakni sebanyak 4,4 juta jiwa, inilah yang kemudian ditanggung oleh pemerintah daerah melalui jaminan pemeliharaan kesehatan daerah yang merupakan wujud dari pelayanan kesehatan gratis yang dilakukan di Sulawesi Selatan. Selanjutnya dari indikator Indonesia Sehat tentang jaminan

30

pemeliharaan kesehatan masyarakat dalam Prabayar ditargetkan Pemerintah Pusat sebesar 60 % di tahun 2008, dengan
adanya program pelayanan gratis ini, target tersebut justru telah terlewati yakni sebesar 67,77% atau mengalami peningkatan sebesar 7,8%. Data inilah kemudian semakin menguatkan bahwa pelayanan kesehatan gratis menunjang program Jamkesmas.
Pemerintah provinsi Sulawesi Selatan tentunya berharap agar pembiayaan kesehatan pada masa desentralisasi ini dapat
mewujudkan komitmen daerah terhadap kesehatan, yang tercermin dalam APBDnya, besaran alokasi anggaran mendekati
nilai normatif misalnya sesuai dengan standar WHO, cukup untuk membiayai pelayanan kesehatan prioritas, penduduk miskin
terlindungi, biaya operasional dan pemeliharaan tercukupi, besarnya biaya kesehatan dari APBD lebih besar dari APBN, dan
biaya untuk program/pelayanan langsung tercukupi. Olehnya itu Pelayanan Kesehatan Gratis menjadi efisien, karena Pelayanan kesehatan yang diberikan itu dilakukan oleh pemerintah daerah sendiri dengan keuntungan sebagai berikut :
Lebih dekat dengan rakyat
Lebih responsif
Lebih sesuai permintaan
Komitmen pemerintah Sulawesi Selatan untuk mensukseskan pelayanan kesehatan gratis ini dapat dilihat dari besarnya
anggaran yang di alokasikan, dimana pada tahun 2008 anggaran yang disiapkan untuk itu sebesar Rp. 81,8 Milyar. Pada tahun
2009 alokasi anggaran untuk kabupaten/kota sebesar Rp. 30,4 Milyar dengan asumsi 40% bersumber dari provinsi dan 60%
bersumber dari kabupaten/kota masing-masing, sementara itu besaran anggaran untuk rumah sakit provinsi, rumah sakit
regional dan balai kesehatan mencapai angka Rp. 85,9 Milyar.
Dalam pembiayaan dan pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin dan hampir miskin, ada dua pernyataan penting yang
sebenarnya pemerintah provinsi Sulawesi Selatan telah memilih secara tegas salah satu dari 2 pernyataan tersebut. Pernyataan
itu adalah apakah kita akan menggunakan pernyataan normatif, seperti ini:
Pelayanan untuk orang miskin harus bermutu tinggi dan pasien miskin tersebut tidak perlu membayar. atau ....
pernyataan positif yang ada adalah:
Pelayanan kesehatan di semua lembaga pelayanan milik pemerintah akan bermutu rendah jika orang miskin tidak
membayar dan tidak ada subsidi cukup dari pemerintah
Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan memilih penyataan yang normatif itu dan menepis kekurangan yang ada pada
pernyataan positif tersebut.......EWAKO SUL-SEL !

31

Anda mungkin juga menyukai