Anda di halaman 1dari 4

KOMUNIKASI POLITIK RESUME MATERI KONFERENSI NASIONAL

FENOMENA KOMUNIKASI POLITIK KONTEMPORER PEMILU 2014


OLEH KUSRIDHO AMBARDI

Disusun Oleh
SHOHRUN NADA

125120201111044

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK N
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
SEPTEMBER
2014

Survei Politik dan Politik Survei di Indonesia


Survei dan polling di Indonesia telah menuasi banyak kontroversi. Banyak yang memuji
kinerja lembaga survei, namun tak sedikit pula yang menganggap buruk. Kehadiran lembaga
survei dan data sistematik yang diproduksinya membuka peluang studi perbandingan tentang
pemilih di Indonesia dengan perilaku pemilih di Negara-negara demokrasi. Lembaga survei di
Indonesia telah banyak bekerjasama dengan berbagai institusi untuk tujuan akademik seperti
Asia Barometer, UC Berkley (Amerika Serikat), CNEP (Amerika Serikat), La Trobe University
(Australia), Nanyang Technology University (NTU) dan sebagainya.
Secara garis besar kritik-kritik yang dilontarkan kepada lembaga survei dapat
dikelompokkan menjadi tiga pertanyaan, yaitu:
1. Benarkah praktik survei bisa merusak demokrasi?
2. Sejauh mana kemampuan profesional para penyelenggara lembaga survei sehingga hasil
kerja mereka bisa dipertanggungjawabkan?
3. Sejauh mana kita bisa mempercayai hasil dan netralitas lembaga survei? Apakah lembaga
yang menjalankan status rangkap sebagai lembaga survei sekaligus lembaga konsultasi
politik layak dipercaya? Dimana batas etis untuk menilai sebuah pelanggaran?
Survei merusak demokrasi?
Kritik ini muncul dalam beberpa bentuk, yang pertama, survei dan rilis seringkali terhenti
pada isu perlombaan siapa yang sedang unggul dan siapa yang kalah dalam sebuah kompetisi
politik melalui pemilu. Media memusatkan pemberitaan pada siapa menang dan siapa kalah
sehingga mengabaikan informasi yang lebih dibutuhkan oleh pemilih untuk membuat keputusan
politik dalam pemilu.
Keadaan seperti ini jika dibiarkan akan memiskinkan demokrasi, sebab informasi
bermutu yang memuat debat tentang ide dan kebijakan umumnya absen dan tidak beredar
menjangkau public, singkatnya public tidak memounyai informasi yang cukup untuk membuat
keputusan politik.
Kedua, survei hanya menonjolkan popularitas kandidat, dan buka kualitas kandidat. Di
Indonesia misalnya, banyak kandidat presiden yang berkualitas tetapi tidak dikenal oleh public.
Lembaga survei hanya menjadi perekam opini public yang menunjukkan trend dukungan politik.

Ketiga, munculnya dorongan dari para pejabat public untuk sekedar menjadi follower public
sebagai efek ari survei atau polling.
A true Public Opinion
Pada sub bagian ini kita akan membahas sejauh mana inovasi metodologis ini bisa benarbenar menangkap keinginan public atau yang dalam bahasa aslinya dikenal dengan the general
will of the people? A true bisa didapatkan jika prosedur dan prasyarat saintifik dari sebuah survei
atau polling dipenuhi. Dan yang tak kalah penting,kita harus yakin bahwa responden dalam
sample kita adalah orang-orang yang menguasai isu, memiliki pengetahuan tentang isu itu, dan
secara genuine punya sikap.
Prinsip pokok yang menopang logika pencarian opini public adalah anggapan bahwa
setiap individu memiliki opininya masing-masing. Unit terpenting dalam formasi opini public
adalah individu.
Politik Survei
Politik survei berkaitan dengan proses penggunaan survei atau polling untuk mencapai
tujuan politik. Tujuan politik tidak selamanya buruk, tidak juga selamanya baik. Tujuan hars
dinilai dari rumusan tujuan actor politik yang menjadi sponsor survei tersebut atau actor politik
yang merasa menjadi korban dari rilis hasil survei.
Salah satu kritiknya ditujukan pada lembaga survei abal-abal yang sengaja digunakan
untuk mempromosikan partai atau kandidat tertentu atau sebaliknya, di Negara maju jenis
polling ini disebut sebagai push polling.
Jenis polling ini bukan bertujuan sepenuhnya untuk merekam trend opini public secara
objektif. Ini adalah bagian dari teknik marketing. Melalui polling, seorang kandidat atau partai
berusaha untuk mempengaruhi atau mengubah persepsi pemilih terhadap seorang kandidat atau
partai tersebut dan memenangkan dukungan public. Jika tujuan politik itu adalah melemahkan
posisi lawan, maka polling tersebut dikemas sedemikian rupa sehingga hasil polling itu bisa
memberikan kesan kelemahan lawan politik.

Survei atau polling digunakan untuk mencapai tujuan politik karena polling memberikan
kesan bahwa opini yang direkam oleh metode polling mewakili public secara keseluruhan.
Masalahnya push polling tidak memperhatikan metodologi ilmiah yang berkaitan dengan
penarikan sampel, perumusan pertanyaan, sampai dengan framing presentasi hasil suvei atau
polling. Push polling hanya mangambil sample berdasarkan kemampuan yang mereka miliki.
Kritik berikutnya adalah tentang adanya konflik kepentingan, kritik ini mempersoalkan
sumber dana survei. Intinya dana survei secara otomatis akan berujung pada rekayasa data. Dana
bisa mempengaruhi hasil survei, asumsinya adalah kepercayaan ahwa rilis survei bisa membawa
bandwagon effect, yakni kecenderungan pemilih untuk memilih partai atau kandidat yang sedang
unggul dalam survei atau polling. Namun dengan logika bandwagon ini mengabaikan tingkat
penetrasi media dan kecenderungan pemilih yang memiliki kemampuan menyeleksi informasi.
Kritik-kritik diatas bisa dijustifikasikan dan penting untuk menjaga netralitas lembaga
survei dan memelihara kepercayaan public. Namun pemisahan antara lembaga survei yang tetap
menjaga netralitasnya dengan lembaga survei abal-abal, dan pemisahan antara hasil survei yang
menerapkan standar akademik dengan lembaga survei yang mengabaikan perlu dilihat.
Terkait dengan lembaga survei yang sekaligus sebagai konsultan politik, lembaga tersebut
harus menjaga prinsip saitifik dan akademik dalam surveinya. Lembaga konsultan politik
memang mengidap problem etis, yakni menjaga kenetralannya tetapi pada saat yang sama juga
ingin memenangkan klien politiknya.

Anda mungkin juga menyukai