“Suuur… Surtiiii..!!” Teriak Marto dari dalam kamar.
“Ada apa, Mas?” jawab Surti sambil tergopoh-gopoh masuk ke dalam kamar. Dilihatnya Marto suaminya sedang sibuk mencari-cari sesuatu di kolong ranjang. “Mas sedang mencari apa?” “Dimana bantalku?” “Bantal yang mana? Di atas kasur kan ada bantal?!” Marto masih terus mencari-cari. Seluruh tubuhnya sudah kotor oleh debu di bawah ranjang. “Bukan yang itu. Yang biasanya kupakai tidur, dimana dia?” “Oooh, yang itu? Sudah kubuang tadi pagi. Waktu bersih-bersih kamar tadi, aku lihat bantal itu, sudah kusam sekali, lagipula kapuknya sudah mati dan kainnya sudah lapuk, sudah tidak bisa diperbaiki lagi. Itu tadi aku beli 2 bantal yang baru, kebetulan ada tukang bantal lewat. Murah lho, Mas, cuma lima ribu rupiah perbantal.” “APA?? Kamu buang?” Sahut Marto. Dia buru-buru keluar dari bawah kolong ranjang. “Kamu buang dimana? Kenapa tidak beritahu aku?” Marto mengguncang-guncangkan tubuh istrinya itu. “Ada apa, Mas? Ada apa memangnya dengan bantal itu?” Tanya Surti, setengah ketakutan, setengah keheranan. “Kamu kan tahu kalau aku tidak bisa tidur tanpa bantal itu. Mengapa sekarang malah membuangnya?” Jawab Marto. Dia segera pergi ke luar, ke bak sampah di depan rumah. Kosong. Tukang sampah pasti telah mengambilnya tadi siang. Marto buru-buru masuk ke dalam rumah. Dia mengambil jaket kulitnya, kunci motor, dan senter. “Surti, aku pergi dulu!” “Mau kemana, Mas, malam-malam begini?” Tanya Surti. “Ke TPA. Mencari bantal itu!” “Mbok besok saja, Mas...” pinta Surti. Tapi Marto keburu pergi dengan motornya. Surti termangu sendiri. ** 30 menit kemudian, sampailah Marto di tempat pembuangan akhir. Dia memarkir motornya, lalu mengambil senter dari balik bajunya. Dia mulai menyusuri tempat itu, mulai dari pintu gerbang. Bau menyengat dari sampah yang menggunung tidak dihiraukannya. Yang dia pedulikan saat ini adalah satu: bantalnya! Nah, itu dia! Marto melihat sebuah bantal perca tergeletak persis di depannya. Segera diambilnya bantal itu, diamat-amatinya sebentar, untuk memastikan bahwa itu adalah bantalnya. Setelah yakin benar, barulah dia beranjak dari tempat itu. Tinggal dicuci sedikit dan disemprot dengan pewangi, lalu kamu akan kembali seperti semula, dan aku pun akan bisa tidur lelap malam ini, pikir Marto. Marto bergegas menuju ke tempat dia memarkir motornya. Ketika hendak menyalakan mesin motornya, 2 orang laki-laki mendatangi Marto dari belakang. “Bang,” Sapa salah seorang dari mereka sambil menepuk pundaknya. “kami mau pinjam motor, sebentar saja.” Lanjutnya. Melihat gelagat yang kurang baik, Marto mulai bersiap-siap. “Mau dipinjam kemana?” Tanyanya, berbasa-basi. “Ke warung, membeli rokok.” Jawab yang satunya lagi “Wah, maaf Mas, tapi saya sedang buru-buru mau pulang. Istri saya sudah lama menunggu.” Jawab Marto. Setelah berkata demikian, dia segera menyalakan mesin motornya. Kaki kirinya mulai menginjak persneling. “Bang, ada yang jatuh tuh,” Kata laki-laki yang tadi menepuk pundaknya. Yang satunya lagi berada di belakang Marto. Marto spontan melihat ke bawah. Begitu kepalanya agak menunduk, laki-laki yang ada di belakang Marto segera mengeluarkan sebilah pisau dari balik jaketnya, lalu menghujamkannya ke punggung Marto, berkali-kali. Marto terjatuh ke tanah. Bantal percanya berlumuran darah….. *** “Mas Martooo….!!!” Surti berteriak memanggil nama suaminya dan menangis sejadi- jadinya. “Sur, Surti, bangun! Ini aku, sadar…sadar, Sur!” Marto menguncang-guncang tubuh Surti. Surti pun segera tersadar. Kepalanya terasa agak pusing. Dia bermimpi buruk rupanya. “Kamu mimpi apa sih, Sur? Kok sampai seperti itu?” tanya Marto kepada istri tercintanya itu. “Ah, tidak apa-apa kok, Mas,” jawab Surti. “Benar nih, tidak apa-apa? Tadi kamu seperti habis melihat hantu.” Surti mengangguk. “Bantal saya dimana, Mas?” “Sebentar,” Marto beranjak dan mengambil sebuah bantal dari dalam lemari. Sebuah bantal perca kecil yang sudah sangat kumal. Tadi siang Surti hampir saja membuangnya karena sudah membeli bantal yang baru, tetapi Marto berinisiatif menyimpan bantal itu. “Ini bantalmu. Aku kan sudah bilang, kalau kamu tidak usah beli yang macam-macam. Semua yang ada di televisi ingin kamu beli, termasuk bantal yang kau pakai tidur itu. Tapi sekarang bagaimana? Akhirnya kamu malah tidak bisa tidur dengan nyenyak, kan? Sejak kecil kamu kan tidak bisa tidur tanpa bantal percamu itu. Sudahlah, sekarang lebih baik kita tidur lagi. Nih diminum dulu,” Kata Marto sambil menyodorkan segelas air kepada istrinya itu. Surti hanya terdiam. Diminumnya air yang ditawarkan suaminya. Setelah itu Dia mengambil bantal percanya itu dan segera tidur. Dia harus menyimpan tenaganya untuk besok. Besok dia berencana membeli kasur udara, seperti yang diiklankan di televisi setiap malam selama seminggu ini, dan yang baru saja dibeli oleh Bu Broto, tetangga sebelah rumah, siang tadi.