Anda di halaman 1dari 3

Percakapan Secangkir Kopi

Oleh: Ayus!

Langit baru saja mencurahkan air matanya ke atas bumi, dan aroma wangi tanah yang basah

oleh air mata langit itu pun berkelana ke setiap indera penciuman yang ditemuinya malam itu.

Sebuah mobil keluaran terbaru berhenti di depan sebuah rumah. Seorang lelaki keluar dari

dalamnya dan berjalan menuju pintu rumah tersebut.

“Permisi…” Tidak ada jawaban. Lelaki itupun mengulangi lagi salamnya, “Permisi…,”

sambil mengetuk pintu di depannya. Beberapa saat kemudian terdengarlah suara langkah kaki dari

dalam rumah. Pintu yang terbuat dari kayu jati itupun mulai terbuka, dan dari dalam rumah

muncullah sesosok wajah yang manis, wajah oval yang putih bersih, dengan sebuah tahi lalat di

dekat hidung. Mata yang sejuk dan meneduhkan ditambah dengan hidung yang mancung

menambahkan nilai eksotis tersendiri pada wajah itu. Rani, sang pemilik wajah manis tersebut

segera mempersilakan lelaki itu untuk masuk ke dalam.

Tidak ada yang istimewa dengan ruang tamu rumah tersebut. Paling – paling hanya ada

beberapa foto Rani bersama dengan teman – temannya semasa SMU dulu. Foto keluarganya pun

hanya ada dua buah saja, yang satu foto dia bersama dengan adik – adiknya dengan mengenakan

pakaian adat daerah asalnya, sedangkan yang satunya lagi fotonya bersama dengan seluruh

keluarganya ketika sedang berpiknik di sebuah pantai di kota kelahirannya kira – kira 2 tahun yang

lalu.

Lelaki itu segera duduk setelah sekilas mengamati keadaan ruang tamu itu. Sofanya terasa

cukup nyaman juga.

Rani mengambil tempat duduk di depan lelaki itu.

“Apakah Mas adalah Mas Jati, yang tadi siang menelepon saya?” Tanya Rani mengawali

pembicaraan. Lelaki itu mengangguk kecil sambil mengubah posisi duduknya. Agaknya dia sedang

mencoba membiasakan diri dengan sofa itu.


“Mau minum apa nih, Mas, yang dingin, atau yang hangat? Tapi Rani sarankan yang hangat

saja, untuk melawan hawa dingin malam ini, bagaimana?”

“Okelah, terserah Dik Rani,” jawab lelaki itu pelan sambil membuka jasnya.

“Mas Jati suka kopi?” tanya Rani. Lelaki itu hanya mengangguk kecil. “Manis atau pahit?”

tanyanya lagi. “Setengah.” Jawab lelaki itu dingin. “Oke deh, kalo begitu. Tunggu sebentar ya…”

Rani segera pergi ke dapur.

Beberapa saat kemudian, keluarlah Rani dengan membawa secangkir kopi di tangannya.

“Silakan diminum lho, Mas,” katanya, setelah meletakkan kopi itu di meja. “Ya, terima kasih,”

jawab lelaki itu sambil mengambil secangkir kopi yang tersedia di hadapannya. Keheningan sejenak

menyelimuti ruangan itu. Rani kemudian berinisiatif untuk menyalakan radio yang berada di

dekatnya. Segera mengalun sebuah lagu pop yang lembut dari salah satu stasiun pemancar ternama

di kota itu.

Segera setelah lelaki itu meletakkan kembali cangkir itu di meja, Rani bertanya kepadanya,

“Bagaimana, Mas, kopinya, apakah sudah sesuai pesanan?” Lelaki itu tersenyum kecil, lalu

menjawab, “Wah, kalau yang membuat kopi secantik kamu…tentu saja sesuai pesanan.”

“Ah, Mas Jati ini lho, baru kenal kok sudah berani merayu…,” sahut Rani. Merekapun

tertawa bersama. Kekakuan yang ada pun cairlah sudah.

Jati, lelaki itu, kemudian bertanya, sambil melihat sekeliling ruangan, “Dengan siapa kamu

tinggal di sini?”

“Saya sendirian kok, Mas,” jawab Rani. Jati pun hanya mengangguk – angguk kecil.

“Berapa biaya kontrak rumah sebesar ini, Dik? Pasti lumayan mahal nih.”

Rani tersenyum dan menjawab, “Sebenarnya ini rumah tante saya, Mas. Satu tahun yang

lalu suami beliau mendapat tugas dari kantor untuk menjadi kepala cabang perusahaan di Medan.

Akhirnya mereka sekeluarga pindah ke Medan. Saya yang akhirnya harus tinggal di rumah ini

sendiri.”

“O, jadi begitu rupanya…” Jati mengangguk – angguk tanda mengerti.


“Kamu ini sudah semester berapa sekarang?” tanya Jati lagi.

“Baru semester lima, sebentar lagi semester enam, Mas,” jawabnya.

“Bagaimana kuliahnya, susah nggak?” lanjut Jati.

“Ah, biasa – biasa saja.” Jawab Rani pelan. Dia sepertinya tidak begitu bersemangat

membicarakan kuliahnya. Jati pun bisa membaca gelagat tersebut. Dia segera mengganti topik

pembicaraan.

“What kind of music do you like, Rani?” Tanya Jati dengan bahasa Inggris yang cukup fasih.

Dia memang biasa berhubungan dengan warga negara asing dalam pekerjaannya.

“Saya suka semua musik yang easy listening. Pokoknya yang terdengar enak di telinga.”

Jawab Rani mantap.

Rani kemudian berdiri lalu mematikan radio yang sejak tadi menemani mereka berbincang.

Dia mengambil sebuah CD dari rak, lalu menyetelnya. Alunan musik jazz yang sedikit menghentak

mulai memenuhi ruangan itu.

Jati meraih cangkir kopi yang ada di depannya dan meminum kopi itu sampai habis. Setelah

itu dia melepaskan dasinya, berdiri, lalu menghampiri Rani yang sedang mengatur volume tape, dan

memeluknya dari belakang.

Sejenak Rani terkejut. Dia lalu membalikkan tubuhnya, sehingga mereka berhadapan. “Mas

mau mulai sekarang?” tanya Rani. Jati, lelaki pengusaha paruh baya itupun mengangguk sambil

tersenyum nakal. Dan cangkir kopi buatan Jogja itu pun terdiam menatap mereka berdua yang

menganggap Tuhan sedang berkelana ke sisi lain dunia.

Semarang, September 2003

Anda mungkin juga menyukai