Anda di halaman 1dari 3

Makna dan Kuasa Doa

Oleh: Ayus Aditia M


Bacaan: 1 Petrus 4:7

Suatu hari seorang kaisar muslim sedang berburu di hutan bersama – sama dengan para
pengawalnya. Sesudah tengah hari mereka berhenti di suatu tempat di hutan itu untuk melakukan
shalat. Ketika sang kaisar di tengah – tengah shalatnya, seorang wanita tiba – tiba berlari ke arah
kaisar yang sedang sujud, tersandung badan kaisar hingga terjatuh, kemudian bangun dan berlari
lagi. Sang kaisar sangat marah karena doanya terganggu.
Beberapa saat kemudian, wanita yang sama itu kembali lagi dengan menggandeng seorang
laki – laki yang adalah suaminya. Sang kaisar menyuruh pengawalnya untuk menangkap mereka.
“Mengapa tuanku menangkap hamba?” tanya wanita itu.
“Mengapa aku menangkapmu, hah?! Tidak tahukah kamu apa kesalahan yang telah kamu
buat? Tadi engkau telah menabrakku dan mengganggu shalatku!” bentak sang kaisar kesal.
“Ampuni hamba tuanku. Tadi pikiran hamba sedang terhanyut kepada suami hamba yang
berada di dalam hutan, sehingga hamba tidak mempedulikan segala sesuatu di sekeliling hamba.
Sedangkan tadi tuanku sedang shalat dan pastilah sedang terhanyut ke dalam Sang Maha Tinggi
yang jauh lebih mulia daripada suami hamba. Bagaimana mungkin kaisar tahu bahwa hambalah
yang menabrak tuanku?”
Mendengar jawaban dari wanita itu, kaisar menjadi sadar dan kemudian melepaskan
mereka. Sepulangnya dari berburu dia mengatakan kepada penghuni istana, bahwa seorang wanita
desa yang miskin telah mengajarkan kepadanya mengenai arti sebuah doa.

Ilustrasi yang saya ambil dari buku Doa Sang Katak karangan Anthony de Mello tadi telah
menginspirasi saya tentang arti sebuah doa. Setiap kali saya berdoa, saya berarti sedang
“menghanyutkan diri, menghanyutkan pikiran” saya ke dalam Allah yang Maha Tinggi, ke dalam
Allah yang Maha Kudus, yang jauh lebih berharga daripada apapun juga di dunia ini. Dengan
demikian doa seharusnya merupakan sebuah kenikmatan bagi saya, yang tidak dapat ditandingi oleh
hal – hal lain di dalam hidup saya. Apalagi sebagai seorang kristen yang memiliki akses tercepat
dan tertepat kepada Bapa di surga melalui sambungan “Yesus-sel” yang bebas pulsa dan bebas
roaming internasional (Yoh 14:6) yang tidak dimiliki oleh keyakinan lain, doa seharusnya
merupakan sebuah peluang emas yang tidak saya sia – siakan. Namun sayangnya karena terlalu
seringnya berdoa, seringkali doa – doa itu menjadi dangkal, sehingga ketika gangguan datang saya
keluar dari aliran doa saya bersama Tuhan. Karena doa sudah menjadi kebiasaan umum di dalam
kekristenan, maka seringkali makna dan kuasa doa jarang sekali dihayati. Nah, bagaimana dengan
Saudara, sudahkah Saudara memandang doa sebagai sebuah peluang emas untuk berbicara
dengan Yang Maha Tinggi? Ataukah hanya sebagai sebuah rutinitas keagamaan biasa?
Pembaca yang dikasihi Tuhan, orang biasanya menafsirkan doa sebagai ‘nafas hidup’ orang
beriman, akan tetapi saya mau katakan bahwa doa lebih dari sekedar nafas hidup. Doa adalah hidup
itu sendiri. Orang hidup bisa menahan nafas lalu bernafas lagi, akan tetapi orang yang bernafas
tidak bisa menahan hidup (mati) lalu hidup lagi. Demikianlah seharusnya tidak ada sesuatupun yang
bisa menahan kita untuk berdoa. Setiap doa kita adalah hidup kita yang kita nyatakan di hadapan
Allah Sang Pemberi Hidup. Allah Roh Kudus akan menolong kita untuk berdoa, untuk hidup. Di
dalam doa – doa kita Roh Kudus bekerja untuk memperbaharui hidup kita, mengisi bejana hidup
kita yang kosong dengan air surgawi, mewarnai lembaran hidup kita dengan tinta surgawi. Betapa
seringnya orang kristen yang menganggap doa sebagai nafas hidup sehingga ada waktu – waktu
dimana mereka ‘menahan nafas’ untuk tidak berdoa karena berbagai alasan. Seberapa hidupkah
doa – doa Saudara? Seberapa seringkah Saudara ‘menahan nafas’ hidup rohani Saudara?
Seringkali kita juga mengartikan doa sebagai media untuk berkomunikasi dengan Allah,
akan tetapi pada kenyataannya kita jarang berkomunikasi dengan Allah dalam doa – doa kita,
melainkan hanya memberikan instruksi – instruksi. “Tuhan, ampunilah saya”, “Tuhan, berkatilah
ini dan itu”, “Tuhan, pimpinlah saya”, “Tuhan, pulihkanlah negeri ini”, dan banyak lagi kata – kata
bernada instruksi dalam doa kita. Saya tidak mengatakan bahwa kata – kata itu jelek, tetapi yang
menjadi masalah adalah biasanya kita segera menutup “gagang telepon” (dengan kata AMIN)
ketika Tuhan hendak menjawabnya. Kita jarang bertanya, “Tuhan, apakah kehendak-Mu bagi hidup
saya? Apa yang harus saya lakukan? Apa yang harus saya doakan?” dan berdiam diri, menantikan
Tuhan membisikkan kehendak-Nya ke dalam hati kita. Seringkali kita berdoa sembarangan saja,
sesuai kehendak kita, kemudian setelah itu kita tutup dengan kata – kata semacam “Akan tetapi
biarlah kehendak-Mu yang jadi.” Yesus memang berdoa seperti demikian, akan tetapi itu dalam
kerangka bahwa Dia sudah tahu terlebih dahulu apa yang menjadi kehendak Bapa. Kita seringkail
mengasumsikan bahwa isi doa yang baik – baik itu pasti sesuai dengan kehendak Allah, misalnya
doa bagi bangsa dan negara. Akan tetapi pada kenyataannya tidak selalu seperti demikian. Contoh
dalam alkitab adalah nabi Yeremia, dimana TUHAN malahan menyuruh dia untuk tidak berdoa
bagi kebaikan bangsanya, karena Dia tidak akan mendengarkan doa itu (Yer 7:16;11:14;14:11).
Saudara pembaca yang dikasihi Tuhan, janji Tuhan adalah Dia akan memberikan apa saja yang kita
minta jika apa yang kita minta itu sesuai dengan kehendak-Nya (1 Yoh 5:14). Sudahkah Saudara
berdoa sesuai dengan kehendak-Nya? Seberapa seringkah Saudara lebih dahulu menutup
‘gagang telepon’ sebelum Tuhan sempat menjawab doa Saudara? Pernahkah Saudara
bertanya kepada Allah untuk kehendak-Nya atas hidup dan pelayanan Saudara?
Firman Tuhan yang saya ambil dari surat 1 Petrus itu memperlihatkan bahwa ternyata
semenjak jaman para rasul sudah banyak orang yang tidak sempat berdoa. Mungkin mereka sibuk
dengan urusan masing – masing, mungkin juga mereka terlalu khawatir dengan banyak hal sehingga
tidak bisa menjadi tenang dan berdoa. Rasul Petrus menyatakan ‘kesudahan segala sesuatu sudah
dekat’. Jikalau itu adalah sekitar 2000 tahun yang lalu, maka saat ini saya bisa katakan bahwa
kesudahan segala sesuatu sudah SEMAKIN dekat. Dan untuk menghadapi itu satu – satunya hal
yang dianjurkan adalah berdoa! Kita harus berpacu dengan jaman yang semakin gelap ini, dan kita
tidak bisa melakukannya sendiri. Kita harus terus bergantung kepada Allah Sumber Kekuatan dan
Sumber Hikmat kita. Mungkin Saudara memiliki kesibukan sendiri yang membuat Saudara tidak
tenang, stress, dan susah (atau lupa?) berdoa. Lewat bagian ini kita bersama – sama diingatkan
untuk menguasai diri kita (band. 1 Kor 9:27) dan menjadi tenang, supaya dapat berdoa untuk
menghadapi ‘kesudahan segala sesuatu’. Adakah bagian tertentu dalam hidup Saudara yang
sadar maupun tidak telah ‘merampas’ hak istimewa Saudara untuk berdoa? Adakah hal –
hal lain yang membuat Saudara tidak tenang, dan itu membuat Saudara menurunkan
prioritas doa menjadi nomor kesekian untuk terlebih dahulu menyelesaikan hal itu? Adakah
Saudara terhanyut dengan ‘segala sesuatu’ yang akan berakhir (meskipun kelihatannya
penting, seperti urusan studi, pekerjaan, keluarga, pelayanan, dll) dan tidak
memprioritaskan doa, yang justru bernilai kekal? Marilah kita bersama – sama menghayati
dan menghidupi kehidupan doa yang sejati!

Anda mungkin juga menyukai