Anda di halaman 1dari 4

Aku dan Facebookku

Sebuah berita di koran Kompas tanggal 26 Januari 2011 menceritakan tentang


sebuah kecelakaan akibat terlalu bergantung pada teknologi:
"Gara-gara terlalu percaya kepada peranti GPS di mobil mereka,
pasangan lanjut usia dari Inggris harus dirawat di rumah sakit. Saat
bermobil menuju Perancis dari arah Jerman, mereka melewati jalan-
jalan pedesaan di dekat perbatasan Jerman-Austria, yang masih
asing bagi mereka. Untuk itu, mereka mengandalkan perangkat
navigasi satelit tersebut sebagai penunjuk jalan. Sampai di satu titik,
perangkat GPS memerintahkan pengemudi yang sudah berusia 76
tahun itu untuk belok kanan, padahal tidak terlihat ada jalan ke
kanan. Namun, karena telanjur percaya kepada teknologi, sopir
dengan mantap berbelok ke kanan. Alhasil, mobil pun langsung
menabrak bangunan gereja di pinggir jalan. Begitu kerasnya
benturan, sampai-sampai lukisan di dinding gereja berjatuhan,
sebagian fondasi bangunan rusak, dan mobil yang mereka tumpangi
hancur. Untunglah, pasangan ini hanya menderita luka ringan walau
sempat dirawat di rumah sakit. ”Mereka bingung dan tidak sadar
sistem navigasinya rusak,” tutur polisi di kota Immenstadt sambil
menambahkan, kerugian akibat tabrakan itu mencapai 25.000 euro
(sekitar Rp 306 juta)."

Kita hidup di jaman yang serba canggih. Saking canggihnya, sampai-sampai


sebuah penelitian menyebutkan bahwa anak-anak balita pun sudah melek
teknologi. Banyak cerita tentang anak-anak di bawah 15 tahun yang sudah
menjadi programmer. Di Singapura, ada anak berusia 9 tahun bernama Ling
Ding Wen yang sudah bisa membuat aplikasi/program iPhone yang laris
diunduh pengguna iPhone di seluruh dunia.

Tak usah jauh-jauh ke Singapura, di Indonesia sendiri kita punya kakak-beradik


berusia 12 tahun dan 6 tahun yang juga termasuk dalam golongan progammer
termuda di dunia. Waluya dan Hania bahkan memenangkan lomba pembuatan
software se-Asia Pasifik pada bulan Oktober 2010! Di Indonesia, siapakah yang
tidak kenal istilah-istilah seperti "dual sim card", "BlackBerry", "Facebook",
"update status", dan "Twitter"? Keponakan-keponakan saya yang masih SD pun
sudah punya akun Facebook sendiri-sendiri. Indonesia bahkan tercatat sebagai
negara pengguna Facebook terbesar di dunia, setelah Amerika Serikat.

Facebook memang mengasyikkan. Saya masih ingat sebelum Facebook


muncul, ada Friendster yang polanya hampir sama, bahkan bisa dibilang lebih
interaktif karena penggunanya bisa mengubah tampilan halaman muka
mereka sesuai keinginan. Akan tetapi, setelah kemunculan Facebook,
popularitas Friendster langsung menukik tajam. Sekarang, semua orang seolah
berada dalam "sihir" Facebook. Lewat Facebook, setiap orang bisa
mengekspresikan diri mereka, entah lewat status, foto, video, atau artikel.
Banyak kisah yang menyentuh tentang bagaimana Facebook "memberkati"
seseorang. Saya pernah membaca di sebuah majalah tentang kisah seorang
anak yang dipertemukan dengan ibunya setelah bertahun-tahun berpisah
berkat Facebook. Di Inggris, polisi berhasil menangkap penjahat setelah
mereka mengunggah fotonya di halaman Facebook mereka dan mendapat
informasi dari warga tentang keberadaan tersangka.

Di sisi lain, Facebook juga bisa berbahaya. Beberapa waktu yang lalu kita
digegerkan dengan kisah-kisah penculikan remaja setelah perkenalan dengan
orang asing di situs pertemanan itu. Beberapa kasus yang muncul adalah
oknum-oknum berniat jahat yang menjebol akun facebook seseorang lalu
meminta transfer uang kepada teman-temannya dengan berbagai alasan
(kecelakaan, opname, dll). Facebook juga dimanfaatkan oleh oknum-oknum
yang tidak bertanggung jawab untuk melakukan bisnis prostitusi terselubung.

Patut disadari, bahwa Facebook dan media sosial sejenisnya adalah produk
mati, artinya tidak memiliki keinginan pribadi. Facebook bisa dikatakan seperti
sebilah pisau, yang manfaat ataupun kerugiaannya sangat ditentukan oleh
orang yang memakainya. Jika seseorang menggunakan pisau untuk memasak,
tentu pisau tersebut membawa manfaat. Sebaliknya, jika pisau yang sama
dipakai untuk merampok, pastilah pisau tersebut membawa dampak negatif.
Hal yang sama berlaku juga untuk Facebook, Twitter, dan sebagainya. Jika kita
tidak berhati-hati dalam menggunakan semua piranti teknologi dan media-
media sosial, bisa-bisa kita sendiri dirugikan.

Lalu bagaimanakah kita sebagai anak-anak terang seharusnya menyikapi tren


yang sedang berkembang dengan pesat ini? Sebagai orang-orang yang telah
ditebus oleh Kristus dari dunia, kita sudah seharusnya bersikap seperti Kristus
dan tidak seperti dunia. Tuhan meminta kita untuk berubah agar tidak
menyerupai dunia ini, seperti yang disampaikan oleh rasul Paulus, “Janganlah
kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan
budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa
yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.” (Rm. 12:2). Kita
semua sudah dipanggil untuk menjadi orang-orang yang “berbeda,” untuk
menjadi generasi yang “berbeda.”

Pandangan rasul Paulus tentang daging persembahan berhala seperti yang


terdapat dalam suratnya di 1 Korintus 10:23-24 yang berbunyi, "Segala
sesuatu diperbolehkan.' Benar, tetapi bukan segala sesuatu berguna. 'Segala
sesuatu diperbolehkan.' Benar, tetapi bukan segala sesuatu membangun.
Jangan seorangpun yang mencari keuntungannya sendiri, tetapi hendaklah
tiap-tiap orang mencari keuntungan orang lain." masih relevan bagi kita semua
hingga saat ini. Kita perlu menyelidiki apakah teknologi baru itu berguna dan
membangun, ataukah justru sebaliknya, merusak dan tidak berguna. Setelah
itu, kita juga perlu menyelidiki motivasi kita dalam menggunakan perangkat
teknologi yang ada, apakah hanya untuk keuntungan kita pribadi ataukah
membawa manfaat bagi orang lain.

Kalau kita ingin online sepanjang hari, pertimbangkanlah apakah kebiasaan itu
berguna dan membangun hidup kita atau sebenarnya tidak membawa
pengaruh apapun dan justru merugikan? Apakah online-nya kita itu hanya
untuk memenuhi egoisme kita (gengsi, dsb) atau memang untuk melayani
orang lain? Beberapa orang menggunakan akun Facebook dan Twitternya
untuk mencaci-maki orang tua/gurunya, dan sebagian lagi menggunakannya
untuk membagikan kata-kata penyemangat. Agar bisa mempertimbangkan
dengan baik, kita memerlukan lebih dari kecerdasan. Kita memerlukan hikmat
dari Tuhan. Pengetahuan menolong kita untuk mengerti bahwa pisau dapat
digunakan untuk memasak dan juga untuk menyakiti orang lain, akan tetapi
hikmat dari Tuhan menolong kita untuk mengerti bagaimana menggunakan
pisau itu dengan baik.

Untuk mendapatkan hikmat dari Tuhan, kita perlu berdoa kepadaNya. Seperti
Salomo yang berdoa meminta hati yang bijaksana, marilah kita berdoa juga
untuk memperoleh hikmat dari Tuhan. Selain berdoa, kita juga perlu
menyelami "pemikiran-pemikiran" ilahi yang tertulis dalam Alkitab. Memiliki
hikmat Tuhan berarti memiliki cara pandang seperti Dia, dan untuk itu kita
perlu belajar dari pengajaran-pengajaran yang Dia sampaikan melalui para
nabi dan rasul. Pemazmur menyatakan, "Taurat TUHAN itu sempurna,
menyegarkan jiwa; peraturan TUHAN itu teguh, memberikan hikmat kepada
orang yang tak berpengalaman." (Mzm. 19:8).

Jadi, dengan tekun membaca dan mempelajari Alkitab, kita akan mendapat
petunjuk ke jalan yang benar, tanpa harus “berpengalaman” atau “belajar dari
kesalahan” terlebih dahulu. Banyak remaja putri, misalnya, yang terpaksa
“belajar dari kesalahan” ketika perut mereka mulai membesar, jangan ikuti
mereka. Jika kita hendak ke suatu tempat asing dan ada dua belokan di depan
kita, apakah yang akan kita pilih: (1) belok kanan, (2) belok kiri, atau (3)
bertanya pada penduduk setempat? Pasti kita akan memilih yang ke-3 kan?
Jadi, sebelum jauh tersesat, bertanyalah pada Yang Maha Tahu!

Mari kita terus bertekun berdoa dan membaca serta menaati firman Tuhan
agar kita mendapat hikmat-Nya dan menjadi orang-orang yang tidak
terombang-ambing oleh perkembangan teknologi. Jangan sampai kita terjebak
menjadi orang-orang yang terlalu bergantung pada teknologi, sehingga malah
merugikan diri kita sendiri dan orang lain, seperti kisah kecelakaan akibat GPS
di atas. Meski mata yang diberikan Tuhan sudah tua (76 tahun!), tetap saja
lebih “akurat” daripada “mata” buatan (GPS) yang dibuat manusia kan? Tuhan
memberkati.

[Philip Ayus]

Anda mungkin juga menyukai