Di sisi lain, Facebook juga bisa berbahaya. Beberapa waktu yang lalu kita
digegerkan dengan kisah-kisah penculikan remaja setelah perkenalan dengan
orang asing di situs pertemanan itu. Beberapa kasus yang muncul adalah
oknum-oknum berniat jahat yang menjebol akun facebook seseorang lalu
meminta transfer uang kepada teman-temannya dengan berbagai alasan
(kecelakaan, opname, dll). Facebook juga dimanfaatkan oleh oknum-oknum
yang tidak bertanggung jawab untuk melakukan bisnis prostitusi terselubung.
Patut disadari, bahwa Facebook dan media sosial sejenisnya adalah produk
mati, artinya tidak memiliki keinginan pribadi. Facebook bisa dikatakan seperti
sebilah pisau, yang manfaat ataupun kerugiaannya sangat ditentukan oleh
orang yang memakainya. Jika seseorang menggunakan pisau untuk memasak,
tentu pisau tersebut membawa manfaat. Sebaliknya, jika pisau yang sama
dipakai untuk merampok, pastilah pisau tersebut membawa dampak negatif.
Hal yang sama berlaku juga untuk Facebook, Twitter, dan sebagainya. Jika kita
tidak berhati-hati dalam menggunakan semua piranti teknologi dan media-
media sosial, bisa-bisa kita sendiri dirugikan.
Kalau kita ingin online sepanjang hari, pertimbangkanlah apakah kebiasaan itu
berguna dan membangun hidup kita atau sebenarnya tidak membawa
pengaruh apapun dan justru merugikan? Apakah online-nya kita itu hanya
untuk memenuhi egoisme kita (gengsi, dsb) atau memang untuk melayani
orang lain? Beberapa orang menggunakan akun Facebook dan Twitternya
untuk mencaci-maki orang tua/gurunya, dan sebagian lagi menggunakannya
untuk membagikan kata-kata penyemangat. Agar bisa mempertimbangkan
dengan baik, kita memerlukan lebih dari kecerdasan. Kita memerlukan hikmat
dari Tuhan. Pengetahuan menolong kita untuk mengerti bahwa pisau dapat
digunakan untuk memasak dan juga untuk menyakiti orang lain, akan tetapi
hikmat dari Tuhan menolong kita untuk mengerti bagaimana menggunakan
pisau itu dengan baik.
Untuk mendapatkan hikmat dari Tuhan, kita perlu berdoa kepadaNya. Seperti
Salomo yang berdoa meminta hati yang bijaksana, marilah kita berdoa juga
untuk memperoleh hikmat dari Tuhan. Selain berdoa, kita juga perlu
menyelami "pemikiran-pemikiran" ilahi yang tertulis dalam Alkitab. Memiliki
hikmat Tuhan berarti memiliki cara pandang seperti Dia, dan untuk itu kita
perlu belajar dari pengajaran-pengajaran yang Dia sampaikan melalui para
nabi dan rasul. Pemazmur menyatakan, "Taurat TUHAN itu sempurna,
menyegarkan jiwa; peraturan TUHAN itu teguh, memberikan hikmat kepada
orang yang tak berpengalaman." (Mzm. 19:8).
Jadi, dengan tekun membaca dan mempelajari Alkitab, kita akan mendapat
petunjuk ke jalan yang benar, tanpa harus “berpengalaman” atau “belajar dari
kesalahan” terlebih dahulu. Banyak remaja putri, misalnya, yang terpaksa
“belajar dari kesalahan” ketika perut mereka mulai membesar, jangan ikuti
mereka. Jika kita hendak ke suatu tempat asing dan ada dua belokan di depan
kita, apakah yang akan kita pilih: (1) belok kanan, (2) belok kiri, atau (3)
bertanya pada penduduk setempat? Pasti kita akan memilih yang ke-3 kan?
Jadi, sebelum jauh tersesat, bertanyalah pada Yang Maha Tahu!
Mari kita terus bertekun berdoa dan membaca serta menaati firman Tuhan
agar kita mendapat hikmat-Nya dan menjadi orang-orang yang tidak
terombang-ambing oleh perkembangan teknologi. Jangan sampai kita terjebak
menjadi orang-orang yang terlalu bergantung pada teknologi, sehingga malah
merugikan diri kita sendiri dan orang lain, seperti kisah kecelakaan akibat GPS
di atas. Meski mata yang diberikan Tuhan sudah tua (76 tahun!), tetap saja
lebih “akurat” daripada “mata” buatan (GPS) yang dibuat manusia kan? Tuhan
memberkati.
[Philip Ayus]