IDENTITAS PASIEN
Nama
: Tn. S
Umur
: 48 tahun
Jenis kelamin
: Laki-laki
Agama
: Islam
Alamat
: Makassar
RS
: Unhas
II.
RM
: 060025
Pemeriksa
: dr. F
ANAMNESIS
Keluhan utama
Anamnesis terpimpin : Nyeri pada mata kiri dialami sejak 1 bulan yang
lalu, setelah menjalani operasi bola mata di RSUD
akibat terkena paku pada bagian tumpulnya. Mata
rasa berpasir (+), mata merah (+), air mata berlebih
(+),
kotoran
mata
berlebih
(+),
penurunan
penglihatan (+).
Nyeri kepala menyeluruh (+) nyeri sensasi panas
dirasakan terus-menerus sejak 1 bulan yang lalu
hingga saat ini. Demam (-).
III.
PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalisata
Status Umum : Sakit sedang /Gizi Cukup/Sadar
Tanda Vital
IV.
PEMERIKSAAN OFTALMOLOGI
A. INSPEKSI
PEMERIKSAAN
1. Palpebra
2. Aparatus Lakrimalis
3. Silia
4. Konjungtiva
OD
Edema (-)
Laserasi (-)
Sekret (-)
Hiperemis (-),
OS
Edema (+)
Laserasi (-)
Sekret (+)
Hiperemis, Mixed
5.
Ke segala arah
injeksion (+)
Ke segala arah
Normal
Mekanisme
Muskular
- ODS
- OD
- OS
6. Kornea
Normal
Coklat,kripte (+)
Bulat, sentral, RC (+)
10. Lensa
Keruh
sulit dinilai
Keruh
B. PALPASI
PALPASI
OD
OS
3
1. Tensi Okuler
2. Nyeri tekan
3. Massa tumor
4. Glandula preaurikuler
Tn
(-)
(-)
Pembesaran (-)
Tn-1
(+)
(-)
Pembesaran (-)
C. TONOMETRI
TOD = 16 mm Hg (NCT)
TOS = sulit dievaluasi
D. VISUS
VOD
20/25
VOS
1/300
E. CAMPUS VISUAL
Tidak dilakukan pemeriksaan
F. COLOR SENSE
Tidak dilakukan pemeriksaan
G. LIGHT SENSE
Tidak dilakukan pemeriksaan.
H. FUNDUSKOPI
Tidak dilakukan pemeriksaan.
I. PENYINARAN OBLIK
Pemeriksaan
OD
OS
Hiperemis (-)
Hiperemis (+),
mixed injektio
Edema (+), keruh
Normal
Dangkal
Sinekia posterior
Pupil
Bulat, sentral,
Tidak bulat,
Lensa
RC(+)
Sentral, keruh
sentral, RC(-)
Sentral, keruh
Konjungtiva
Kornea
Bilik Mata Depan
Iris
J. SLIT LAMP
SLOD : Palpebra edema (-), hiperlakrimasi (-), silia sekret (-),
konjungtiva hiperemis (-), kornea jernih, BMD kesan normal,
iris coklat, kripte (+), pupil bulat, sentral, RC (+), lensa
keruh.
SLOS : Palpebra edema (+), hiperlakrimasi (+), silia sekret (+),
konjungtiva hiperemis mixed injektio (+), tampak jahitan di
sklera arah jam 11 dan 12 menembus kornea, simpul
terbenam, hampir terekspose, tampak fibrin keluar dari
jahitan hingga ke depan kornea, kornea edema dan keruh,
neovaskularisasi, BMD Van herick I, iris sinekia posterior,
pupil tidak bulat, sentral, RC (-), Lensa sentral keruh.
5
K. BIOMETRI
Tidak Dilakukan Pemeriksaan.
L. TES SEIDEL
Tes seidel
Negatif
M. LABORATORIUM
Parameter
Hasil
Nilai Normal
WBC
8.97 x 10/uL
4.00-11.00
RBC
5.78 x 106
4.50-5.50
HGB
15.6 g/dL
13.0-16.0
HCT
47.0%
40.0-50.0
PLT
281 x 10 /uL
150-450
GDS
117 mg/dL
80-180
Ureum
45 mg/dL
0-53
Creatinin
1.5 mg/dL
0.6-1.3
HbsAg
Non reaktif
Non reaktif
N. GONIOSKOPI
Tidak dilakukan pemeriksaan
O. PERIMETRI
Tidak Dilakukan Pemeriksaan.
P.
USG
V.
RESUME
Seorang laki-laki berusia 48 tahun datang ke poli RS Unhas dengan keluhan utama
nyeri oculi sinistra yang dialami sejak 1 bulan yang lalu setelah menjalani operasi
mata akibat trauma oculi. Trauma oculi diketahui terkena sisi tumpul dari
paku. Pasien mengeluh adanya penurunan visus secara tiba-tiba dan rasa
berpasir pada oculi sinistra. Selain itu, pasien mengeluhkan mata hiperemis,
hiperlakrimasi dan sekret berlebih pada oculi sinistra. Cefalgia ada, sensasi
panas dan difus.
Dari hasil pemeriksaan oftalmologi didapatkan SLOS alpebra edema
(+), hiperlakrimasi (+), silia sekret (+), konjungtiva hiperemis mixed injektio
(+), tampak jahitan di sklera arah jam 11 dan 12 menembus kornea, simpul
terbenam, hampir terekspos, tampak fibrin keluar dari jahitan hingga ke depan
kornea, kornea edema dan keruh, neovaskularisasi, BMD Van herick I, iris
sinekia posterior, pupil tidak bulat, sentral, RC (-), lensa sentral keruh. Palpasi
OS nyeri tekan (+), NCT ODS 16 mmHg/ sulit dievaluasi. Terdapat penurunan
visus dengan hasil VOD: 20/25 VOS: 1/300. Seidel tes negatif.
VI.
DIAGNOSA KERJA
OS Endoftalmitis post trauma oculus perforans + PVD
VII.
PROGNOSIS
Quo ad vitam
Quo ad sanationem
Quo ad visum
Quo ad kosmeticum
: Bonam
: Dubia et malam
: Dubia et malam
: Dubia et bonam
VIII. TERAPI
A. TERAPI FARMAKOLOGI SISTEMIK
Levofloksasin 500mg/12jam/iv
Ketorolac 30mg/8jam/iv
Dexamethasone 5mg/8jam/iv
B. TERAPI FARMAKOLOGI TOPIKAL
Moksifloksasin 1 tetes/4jam/ OS
Nevanac 1tetes/6jam/ OS
C. tropin 1% 1tetes/ 24jam/ OS
Inj. Intravitreal (vancomycin + ceftazidime)
Rencana os eksplorasi dan repair kornea sklera
IX.
DISKUSI
Pasien ini didiagnosa dengan OS endoftalmitis karena dari anamnesis
didapatkan keluhan nyeri pada mata kiri yang disertai mata merah dan
penurunan penglihatan. Keluhan dirasakan sejak 1 bulan yang lalu, setelah
menjalani operasi mata akibat trauma sebelumnya. Keluhan semakin
memberat tiap harinya sehingga pasien tidak mampu melihat dengan baik
lagi. Kotoran mata berlebih ada. Air mata berlebih ada. Dari pemeriksaan
visus didapatkan VOS 1/300. Dari hasil pemeriksaan oftalmologi didapatkan
SLOS alpebra edema (+), hiperlakrimasi (+), silia sekret (+), konjungtiva
hiperemis mixed injektio (+), tampak jahitan di sklera arah jam 11 dan 12
menembus kornea, simpul terbenam, hampir terekspose, tampak fibrin keluar
dari jahitan hingga ke depan kornea, kornea edema dan keruh,
neovaskularisasi, BMD Van herick I, iris sinekia posterior, pupil tidak bulat,
sentral, RC (-), lensa sentral keruh. Palpasi OS nyeri tekan (+), ODS NCT 16
mmHg/ sulit dievaluasi. Terdapat penurunan visus dengan hasil VOD : 20/25
VOS : 1/300. Seidel tes negatif.
10
ataupun
berkurangnya
pengeluaran
darah
misalnya
terjadi
virulensi
bakteri,
dan
jangka
waktu
infeksi
sampai
penatalaksanaan.
12
TINJAUAN PUSTAKA
ENDOPHTHALMITIS
I.
PENDAHULUAN
Endophthalmitis merupakan suatu penyakit yang jarang terjadi, namun
13
II.
EPIDEMIOLOGI
Operasi katarak merupakan operasi mata yang paling sering dilakukan di
dunia, dan endophthalmitis akut post katarak merupakan salah satu komplikasi
operasi yang terjadi pada 0,03% - 0,2% kasus. Di USA dan Eropa, hampir seluruh
kasus diakibatkan oleh bakteri, sedangkan pada wilayah tropis seperti India, 1020% kasus disebabkan oleh jamur. Operasi lain yang dilaporkan memiliki
komplikasi onset cepat / akut berupa endophthalmitis antara lain; keratoplasty
penetrasi, scleral buckling, dan implantasi alat drainase glaukoma.(1,3,6) Sedangkan
endophthalmitis sebagai komplikasi operasi onset lambat terjadi pada 0,02%
tindakan operasi, atau dengan perbandingan 1 : 3,5 terhadap komplikasi operasi
onset cepat.(1)
Jenis endophthalmitis lain ditemukan sebagai komplikasi injeksi intravitreal.
Penelitian pelayanan kesehatan tersier di Australia pada tahun 2007-2010
menunjukkan tingkat kejadian bervariasi antara 0,025% - 0,2% dari total tindakan
injeksi intravitreal. Studi menggunakan sebuah database Medicare dari 40.903
injeksi, disimpulkan bahwa tingkat kejadian endophthalmitis adalah 0,09% per
injeksi.(3)
Endophthalmitis terjadi pada 3-10% kasus trauma penetrasi okulus,
walaupun tindakan operasi perbaikan secara cepat dan antibiotik sistemik
profilaksis menurunkan insidensi penyakit ini menjadi <1%.(3)
III.
dibentuk oleh glandula lakrimalis, os. maxillaris, os. zygomaticum, os. frontalis,
os. sphenoidalis, os. ethmoidalis, serta otot-otot pergerakan bola mata. Otot
pergerakan bola mata ber-origo pada tengkoran dan ber-insersio pada sklera.
Dipersarafi oleh nervus kranialis III, IV, dan VI. Selain otot intrinsik yang telah
disebutkan, terdapat pula otot lain yang bertujuan melindungi bola mata, yaitu m.
orbicularis oculi yang dipersarafi nervus kranialis VII dan m. levator palpebrae
yang dipersarafi nervus kranialis III.(4)
14
Secara umum, bola mata tersusun atas 3 lapisan utama, yaitu sklera, koroid,
dan retina. Sklera merupakan lapisan paling tebal yang tersusun dari jaringan
fibrosa, yang terlihat sebagai bagian putih mata. Pada bagian paling anterior,
terdapat kornea yang tidak memiliki pembuluh darah sehingga berwarna jernih,
serta berfungsi sebagai salah satu media refraksi. Lapisan koroid kaya akan
pembuluh darah serta pigmen biru gelap (melanin) yang berfungsi menyerap
cahaya yang masuk ke mata sehingga tidak terjadi glare. Bagian anterior lapisan
ini mengalami spesialisasi dan modifikasi membentuk corpus ciliaris, yaitu otot
yang mengelilingi lensa, berfungsi memfiksasi lensa melalui zonula zinn, dan
berperan dalam proses akomodasi. Selain corpus ciliaris, koroid anterior
membentuk iris, yang memiliki pigmen warna, dan berperan dalam membatasi
jumlah cahaya yang masuk dengan cara menyesuaikan ukuran pupil, melalui otot
- otot konstriktor dan dilator, yang dipersarafi oleh nervus kranialis III.lapisan
terdalam adalah retina yang tersusun atas sel-sel fotoreseptor yang mengubah
cahaya menjadi impuls yang merangsang nervus optikus.(4)
15
Terdapat dua kavitas dalam bola mata, yaitu kavitas anterior yang berisi
humor aquous, yang berperan penting dalam nutrisi lensa dan kornea, dan kavitas
posterior yang berisi vitreous humour, yang berperan mempertahankan posisi
retina pada perlekatannya terhadap koroid.(4)
IV.
DEFINISI
Endophthalmitis merupakan proses inflamasi yang meliputi kavitas bola
mata dan lapisan bola mata yang berdampingan, walaupun tanpa melibatkan
keseluruhan ketebalan lapisan-lapisan bola mata. Selain akibat infeksi, penyakit
ini juga timbul akibat gangguan pada lensa atau proses autoimun. Namun
demikian, pada praktek klinis, biasanya endophthalmitis digunakan untuk
menunjukkan suatu proses infeksi.(6)
Ketika proses inflamasi tersebut meluas hingga mencakup keseluruhan
lapisan bola mata dan kapsula Tenon serta jaringan orbita disekitar bola mata,
maka disebut sebagai panophthalmitis.(6)
V.
bakteri pada segmen anterior dan posterior sebagai konsekuensi dari operasi
intraokuler atau trauma okulus penetrasi atau dari penyebaran metastasis dari
fokus infeksi tertentu dalam tubuh.(6)
Endophthalmitis banyak terjadi setelah operasi intraokuler. Staphylococcus
koagulase negatif, umumnya ditemukan sebagai flora normal kompleks bola mata,
dilaporkan menyebabkan hingga 70% kasus endophthalmitis post-op katarak.
Organisme lain penyebab endophthalmitis termasuk Staphylococcus aureus,
Streptococcus viridans, serta bakteri gram positif dan gram negatif lain. Jamur
juga merupakan penyebab umum terjadinya endophthalmitis post-op. Antibiotik
topikal pre-op, umum digunakan untuk mengurangi jumlah organisme pada
lapisan air mata dan jaringan sekitar, tetapi agen antibiotik ini tidak mensterilkan
area operasi. Endophthalmitis post-op onset lambat dapat terjadi beberapa minggu
16
hingga bulan setelah operasi. Infeksi lambat ini umumnya diakibatkan oleh
organisme
yang
relatif
avirulen,
seperti
Propionibacterium
acnes
dan
VI.
PATOGENESIS
Bakteri yang telah melakukan penetrasi ke struktur internal bola mata dapat
secara leluasa ber-replikasi tanpa perlawanan berarti dari sistem imun akibat
kompartmentalisasi pembuluh darah dan mekanisme supresi aktif. Selama
perkembangan koloni, produksi toksin oleh organisme virulen menyebabkan
hilangnya fungsi retina sejalan dengan jumlah koloni organisme itu sendiri.(7)
Sebagai tambahan dari toksin yang dihasilkan, adanya organisme tertentu,
dapat menstimulasi inflamasi intraokuler. Kapsul sel, fragmen peptidoglikan, serta
asam theicoic atau lipopolisakarida, sebagaimana organisme hidupnya sendiri,
dapat berinteraksi dan menstimulasi sel-sel imun intraokuler untuk memproduksi
sitokin - sitokin pro-inflamasi atau mediator imun lainnya. Produksi mediator
imun menginisiasi tahapan inflamasi, termasuk meningkatkan permeabilitas
blood-ocular fluid barrier, yang menyebabkan influx mediator imun dan sel-sel
inflamasi fagositik dalam jumlah yang lebih banyak. Sel-sel inflamasi ini
selanjutnya memprodusi lebih banyak sitokin inflamasi, sebagai tambahan dari
enzim toksik dan reactive oxygen species (ROS) yang terlibat dalam fagositosis.(7)
Selama fase kronik endophthalmitis, limfosit dapat bermigrasi ke jaringan
intraokuler yang mengalami inflamasi dan menimbulkan respon imunoglobulin.
Hasil yang paling ditakutkan adalah kerusakan struktur retina dan kematian sel-sel
fotoreseptor yang tidak memiliki kemampuan regenerasi dan respons inflamasi
intraokuler yang signifikan dari struktur yang mengalami kerusakan, dapat
menyebabkan eksaserbasi efek buruk dari pertumbuhan bakteri dan produksi
toksin.(7)
VII.
KLASIFIKASI
1. ENDOPHTHALMITIS EKSOGEN
a. Endophthalmitis Post Operatif
Onset cepat umumnya terjadi dalam 6 minggu setelah operasi mata
dilakukan. Pada studi endophthalmitis vitrektomi (EVS), 94% pasien
endophthalmitis post-op katarak dengan onset cepat mengeluhkan penurunan
18
visus, 82% datang dengan injeksi konjungtiva dan hipopion, 74% dengan nyeri
pada bola mata, dan sekitar 35% dengan edema palpebra.(1)
Onset lambat terjadi setelah 6 minggu operasi, dengan rata-rata diagnosis
pada hari ke-340 setelah dilakukannya operasi mata. Endophthalmitis post-op
onset lambat memiliki karakteristik progesifitas yang lambat dan biasanya
hanya berupa inflamasi ringan. Jika dibandingkan dengan onset cepat, tipe
onset lambat ini jarang disertai dengan adanya hipopion. Nyeri dapat dirasakan,
atau juga tidak, oleh pasien. Sering ditemukan adanya plak putih dalam
kantong kapsuler.(1)
Infeksi yang lebih buruk berkaitan dengan hilangnya refleks fundus,
defek papillary afferent, dan persepsi cahaya hanya pada awal gejala. Adanya
infiltrasi kornea atau abnormalitas luka operasi katarak, berkaitan erat dengan
organisme gram negatif, yang lebih virulen. Sebagai tambahan, semakin
virulen organisme penyebabnya, gejala dan tanda endophthalmitis akan muncul
lebih cepat. Hal ini penting diketahui karena kasus-kasus seperti ini secara
signifikan berkaitan dengan kemampuan visual kedepannya.(2)
b. Endophthalmitis Post Trauma
Gejala dan onset endophthlamitis post trauma bervariasi tergantung dari
mekanisme trauma dan faktor virulensi organisme penyebabnya sendiri.
Endophthalmitis dapat muncul beberapa jam hingga beberapa bulan bahkan
menahun setelah trauma okuli. Gejala dan tanda yang ditimbulkan kurang lebih
sama dengan post-op, antara lain hipopion, penurunan visus, nyeri yang tidak
berkaitan dengan derajat trauma okuli, periphlebitis, retinitis / nekrosis retina,
dan vitritis. Temuan lain yang berpotensi mengarahkan dokter ke diagnosis
endophthalmitis, adalah hilangnya refleks kornea dan / atau edema palpebra
serta hilangnya refleks fundus.(2)
2. ENDOPHTHALMITIS ENDOGEN
Gejala dari endophthalmitis endogen termasuk penurunan visus, mata
merah, nyeri bola mata, fotofobia, floater, serta edema palpebra. Tanda klinis
yang dilaporkan, antara lain hipopion, perdarahan subkonjungtiva, injeksi
19
konjungtiva, iritis / retinitis, edema kornea, dan reflsk fundus yang berkurang
atau hilang. Karena patogenesis dari endophthalmitis endogen barkaitan
dengan penyebaran secara hematogen, maka dapat pula ditemukan gejala
sistemik dan relatif terjadi bilateral. Gejala dan tanda sistemik termasuk
demam, menggigil, dan mual muntah. Pada infeksi kandida, nodul berwarna
putih pada retina atau subretina dapat berkaitan dengan perkabutan vitreous.
(2)
VIII.
DIAGNOSA
Suspek endophthalmitis awalnya ditentukan berdasarkan gejala dan tanda
IX.
DIAGNOSIS BANDING
1. TOXIC ANTERIOR SEGMENT SYNDROME
Toxic anterior segment syndrome (TASS) merupakan inflamasi steril
post-op yang disebabkan substansi non-infeksius yang masuk ke segmen
anterior dan menyebabkan kerusakan pada jaringan intra okuler.(5)
TASS memiliki presentasi klinik serupa dengan endophthalmitis
(penurunan visus, hipopion, fibrin). Umumnya TASS memiliki onset cepat (1224 jam post-op), edema kornea (kerusakan pada endotel kornea), kerusakan iris
(pupil ireguler), tekanan intraokuler yang tinggi (kerusakan trabecular
meshwork), dan tanpa vitritis (hanya mengenai segmen anterior).(5)
Berdasarkan etiologinya dan berbeda dengan endophthalmitis, TASS
hanya memerlukan tatalaksana berupa kortikosteroid topikal.(5)
2. PANOPHTHALMITIS
Gambar 2. Gambaran klinis dan keterlibatan struktur sekitar bola mata pada endohpthalmitis
(A & C) dibandingkan dengan panophthalmitis (B & D)(6)
cepat dan tepat. Proses inflamasi yang meluas membedakan kedua kondisi ini,
dimana proses inflamasi pada panophthalmitis tidak hanya melibatkan seluruh
lapisan bola mata, tetapi juga kapsul Tenon dan jaringan sekitar bola mata.
Sebagai tambahan dari endophthalmitis, pada panophtalmitis juga akan
ditemukan adanya nyeri hebat, kongesti orbita berat, ophthalmoplegia eksterna
dan proptosis.(6)
X.
TATALAKSANA
Keberhasilan penatalaksanaan endophthalmitis memberikan tantangan
tersendiri, mengingat struktur anatomi dan fisiologi mata. Opasitas yang muncul
akibat inflamasi pada kornea, bilik mata depan, lensa, dan/atau vitreus akan
mengganggu terbentuknya bayangan obyek yang jelas pada retina. Kerusakan
pada trabecular meshwork dan/atau corpus ciliaris akibat inflamasi akan
menyebabkan glaukoma atau hipotoni okuler. Yang paling kritis, kerusakan pada
neurosensoris retina dan epitel pigmen retina akan merusak proses photochemical
dasar pengelihatan.(7)
Tidak seperti retina yang kaya akan suplai darah, vitreous dan bilik mata
depan merupakan struktur avaskuler dan terisolir dari sirkulasi sistemik oleh
blood-ocular fluid barrier. Keunikan anatomi ini akan menghambat suplai, tidak
hanya mediator imun seluler dan humoral, tetapi juga agen anti-inflamasi dan
antibiotik yang diberikan sistemik. Permasalahan kedua timbul akibat sensitifitas
sel fotoreseptor dan sel retina lain yang berbatasan langsung dengan vitreus. Selsel ini sangat sensitif tidak hanya terhadap patogen dan respons inflamasi yang
ditimbulkan, tetapi juga sangat sensitif terhadap agen antimikroba dosis tinggi
yang diberikan lokal untuk mengatasi infeksi.(7)
22
1. ANTIBIOTIK
Tatalaksana yang dianjurkan untuk endophthalmitis bakterial termasuk
injeksi langsung antibiotik ke dalam vitreous. Antibiotik sistemik juga
digunakan, walaupun beberapa antibiotik yang dinilai efektif (vancomycin dan
aminoglikosida), tidak berpenetrasi dengan baik ke dalam vitreous, karena efek
protektif dari blood-ocular fluid barrier. Meskipun inflamasi intraokuler
meningkatkan permeabilitas blood-ocular fluid barrier, sehingga meningkatkan
penetrasi antibiotik sistemik ke dalam vitreous, penggunaan antibiotik sistemik,
seperti yang digunakan pada penelitian oleh National Institute of Health
(Endopthalmitis Vitrectomy Study / EVS), tidak memberikan perbaikan visus
ketika digunakan sebagai kombinasi pemberian antibiotik intravitreal.(7)
Berdasarkan
penelitian
tersebut,
tidak
dianjurkan
menggunakan
pelepasan dinding sel bakteri atau komponen dinsing sel dapat memperparah
inflamasi selama pengobatan endophthalmitis. Filtrat steril dari Bacillus
subtilin yang diberikan antibiotik, dengan bahan aktif yang merusak dinding
sel bakteri tersebut, memicu terjadinya inflamasi dan menyebabkan berkurang
atau hilangnya respons retina.(7)
Melihat hal tersebut, penelitian yang dilakukan pada meningitis,
digunakan
kortikosteroid
untuk
menekan
inflamasi
ini.
Pada
studi
24
pemberian
topikal
maupun
sistemik,
sangat
terbatas,
dan
XI.
Begitu pula dengan penyebab lain, seperti kausa jamur, secara signifikan
memberikan outcome yang buruk, dimana 1/5 kasus menghasilkan visus akhir
kurang dari 20/200.(1)
Mengingat hal tersebut, diperlukan diagnosis dini dan pengobatan secara
tepat untuk mendapatkan outcome visual yang baik. Sebagai tambahan,
meningkatnya frekuensi operasi mata, tentu juga meningkatkan risiko terjadinya
endophthalmitis. Sehingga diperlukan metode profilaksis yang efektif dalam
meningkatkan keamanan operasi.(2) Penggunaan antiseptik povidone-iodine preop, secara signifikan menurunkan tingkat kejadian endophthalmitis bakterial. The
25
26
DAFTAR PUSTAKA
1. Vaziri K, Schwartz SG, Kishor K. Endophthalmitis: State of the art. Clin
Ophthalmol. 2015 Jan 8;9:95-108.
2. Kernt M, Kampik A. Endophthalmitis: Pathogenesis, clinical presentation,
management, and perspectives. Clin Ophthalmol. 2010; 4: 121135.
3. Durand ML. Endophthalmitis. Clin Microbiol Infect. 2013 Mar;19(3):227-34.
4. Scanlon VC, Sanders T. The Senses. In: Essentials of anatomy and physiology. 5th
ed. Philadelphia: F. A. Davis Company; 2007. p. 220-228.
5. Barry P, Cordoves L, Gardner S. ESCRS guidelines for prevention and treatment
of endophthalmitis following cataract surgery: Data, dilemmas and conclusions
2013. Section 1. Stockholm: The European Society for Cataract & Refractive
Surgeons; 2013. p. 1-46.
6. Callegan MC, Gilmore MS, Parke DW. The Pathogenesis of Infectious
Endophthalmitis. In: Duane's Ophthalmology. 9th ed. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins. 2007.
7. Callegan MC, Engelbert
M,
Parke
DW.
Bacterial
endophthalmitis:
27