Anda di halaman 1dari 5

A.

Hasil
1. Makroskopis
a. Bentuk dan konsistensi
Bentuk feses silinder dengan konsistensi yang padat.
b. Warna dan bau
Warna feses coklat tua dengan bau yang sangat khas.
c. Darah dan lendir
Tidak terdapat darah dan lendir pada feses menunjukan tidak ada kelainan atau
gangguan pada gastrointestinal.
2. Mikroskopis
a.

Sel darah : (-)

b.

Epitel : (-)

c.

Pati : (-)

d.

Protein : (+)

e.

Lemak : (+) dalam metode pemanasan; (-) dalam metode asam asetat 30%.

f.

Kristal : (-)

3. Kimiawi
a. Bilirubin
Tidak ada perubahan warna menjadi hijau dengan intrepretasi tidak terdapatnya
bilirubin di dalam feses.
B. Pembahasan
1. Pemeriksaan Makroskopis
a.

Bentuk dan konsistensi.


Dari hasil praktikum didapatkan bentuk feses yang silinder, dengan konsistensi
padat, tidak terlalu cair dan tidak terlalu keras. Hal ini menunjukkan bahwa bentuk
dan konsistensi feses normal. Konsistensi feses yang normal adalah plastic, dalam
artian tidak terlalu cair dan tidak terlalu keras. Saat konsistensi feses berubah menjadi
cair, didapatkan kemungkinan terjadinya diare. Bila konsistensi feses lembek dan

berbusa dapat menunjukkan tanda-tanda terjadinya steathorrhea (Fischbach &


Dunning, 2014).
b.

Warna dan bau.


Didapatkan feses berwarna coklat tua dengan bau yang khas. Hal ini
menunjukkan bahwa warna dan bau feses normal. Bau yang khas ini didapatkan dari
adanya indole dan skatole yang terbentuk dari hasil fermentasi dan pembusukan
bakteri (Fischbach & Dunning, 2014).

c.

Darah dan lendir.


Feses yang di jadikan sampel tidak berdarah dan berlendir dapat diartikan feses
tidak adanya iritasi atau radang pada saluran pencernaan. Terdapatnya mukus dan
dalam feses dapat menunjukkan gejala konstipasi, keganasan, hemoroid, Irritable
Bowel Syndrome, dan colitis (Laycock & Haslam, 2013).

2.

Pemeriksaan Mikroskopis.
a.

Epitel dan eritrosit


Pada pemeriksaan mikroskopis tidak ditemukan adanya sel epitel dan sel darah.
Bila didapatkan adanya sel epitel, bila berasal dari dinding usus bagian distal, sel
epitel dapat ditemukan dalam keadaan normal. Kalau sel epitel berasal dari bagian
yang lebih proksimal, sel- sel itu sebagian atau seluruhnya rusak. Jumlah sel epitel
bertambah banyak kalau ada perangsangan atau peradangan dinding usus (Kleinman,
et al., 2008).
Makrofag merupakan sel- sel besar berinti satu memiliki daya fagositosis, dalam
plasmanya sering dilihat sel- sel lain (leukosit, eritrosit) atau benda- benda lain.
Dalam preparat natif (tanpa pewarnaan) sel- sel itu menyerupai amuba, hanya saja sel
ini tidak dapat bergerak. Eritrosit hanya dilihat kalau lesi mempunyai lokalisasi dalam
kolon, rectum atau anus. Keadaan ini selalu bersifat patologis (Fischbach & Dunning,
2014).
b. Pati/Amilum
Pati atau amilum adalah karbohidrat kompleks yang tidak larut dalam air,
berwujud bubuk putih, tawar dan tidak berbau. Pati merupakan bahan utama yang

dihasilkan oleh tumbuhan untuk menyimpan kelebihan glukosa (sebagai produk


fotosintesis) dalam jangka panjang. Hewan dan manusia juga menjadikan pati sebagai
sumber energi yang penting. Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan glikosidik. Berbagai macam pati tidak sama sifatnya, tergantung dari panjang rantai
C-nya. Pati tersusun dari dua macam fraksi karbohidrat, amilosa sebagai fraksi
terlarut dan amilopektin sebagai fraksi tidak larut dengan komposisi yang berbedabeda. Amilosa memberikan sifat keras (pera) sedangkan amilopektin menyebabkan
sifat lengket serta memberikan warna ungu pekat pada tes iodine, sementara
amilopektin tidak bereaksi. Pati yang berikatan dengan iodine akan menghasilkan
warna biru. Hal ini disebabkan oleh struktur molekul pati yang berbentuk spiral,
sehingga akan mengikat molekul iodine dan terbentuklah warna biru (Winarno,
2009).
Hasil dari pemeriksaan pati pada feces menunjukkan hasil negatif atau dapat
dikatakan normal. Bila pemeriksaan amilum positif, hal ini menunjukkan bahwa di
dalam sampel terdapat pati yang tidak tercerna dengan sempurna sehingga
terekskresikan lewat tinja. Pada feces bila ditemukan sisa-sisa makanan masih dapat
dikatakan normal (Snady, 2012).
c. Lemak
Normalnya, lemak sudah tidak ditemukan dalam feses karena lemak sudah habis
dicerna di usus. Namun, bisa saja pemeriksaan yang dilakukan praktikan tidak valid
dan tidak akurat. Adanya lemak yang masih ditemukan dalam feses (steatorrhea)
mengindikasikan adanya gangguan dalam sistem pencernaan, terutama pencernaan
lemak. Dalam hal ini, organ yang mungkin mengalami gangguan adalah pancreas
(DomnguezMuoz, 2011).
d. Protein
Dalam preparat, ditemukan warna kuning muda. Hal ini menunjukkan adanya
protein yang ditemukan dalam feses, yang tampak sebagai serabut bengkak homogen,
warna kuning muda. Ditemukannya protein dalam feses dapat disebabkan oleh

beberapa faktor, antara lain sisa makanan yang mengandung protein sulit tercerna
dalam tubuh dan adanya gangguan pada sistem pencernaan (Pourakbari, et al., 2011).
3. Pemeriksaan Kimiawi
a. Pemeriksaan Bilirubin
Pemeriksaan bilirubin dalam feces menggunakan prinsip bilirubin akan
dioksidasi menjadi biliverdin yang berwarna hijau. Cara pemeriksaan bilirubin pada
faeces dapat dilakukan dengan cara membuat suspensi feces, biarkan selama
beberapa menit, kemudian saring. Setelah endapan feces pada kertas saring agak
kering, kemudian tetesi reagen Fouchet. Hasil positif didapat apabila terjadi
perubahan warna menjadi hijau-biru (Ramakrishnan & Sulochana, 2012).
Pada saat praktikan melakukan pemeriksaan bilirubin, tidak terjadi perubahan
warna

yang

berarti

bilirubin

pada

probandus

dalam

keadaan

normal.

Pemeriksaan bilirubin akan beraksi negatif pada tinja normal, karena bilirubin dalam
usus akan berubah menjadi urobilinogen dan kemudian oleh udara akan teroksidasi
menjadi urobilin. Reaksi mungkin menjadi positif pada diare dan pada keadaan yang
menghalangi perubahan bilirubin menjadi urobilinogen, seperti pengobatan jangka
panjang dengan antibiotik yang diberikan peroral, mungkin memusnahkan flora usus
yang menyelenggarakan perubahan tadi. Tetapi tidak menutup kemungkinan ada
kesalahan dalam pengambilan sampel dan cara kerja praktikum serta melakukan
intrepretasinya dikarenakan kurang pemahaman dan pengalaman dari praktikan (Van
Slambrouck, et al., 2013).

Van Slambrouck, C. M., Salem, F., Meehan, S. M., dan Chang A. 2013. Bile cast nephropathy is
a common pathologic finding for kidney injury associated with severe liver dysfunction.
Kidney International. 84(1): 192-197.
Ramakrishnan, S., dan K. N. Sulochana. 2012. Manual of Medical Laboratory Techniques: 1st
Edition. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers.
Pourakbari, B., Mirsalehian, A., Maleknejad, P., Mamishi, S., Azhdarkosh, H., Daryani, N. E.,
Najafi, M., Kazemi, B., Paknejad, M., Mahmoudi, S., Ghazi, M., Salavat, A., dan
Bandehpour, M. 2011. Evaluation of a new antigen for diagnosis of Helicobacter pylori
infection in stool of adult and children. Helicobacter. 16(1): 42-46.

DomnguezMuoz, J. E. 2011. Pancreatic enzyme therapy for pancreatic exocrine


insufficiency. Gastroenterology & Hepatology. 7(6): 401-403.
Snady, H. 2012. Method of Bowel Cleansing. Virginia: US Patent Application.
Winarno, F.G. 2009. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Fischbach, F. T., dan M. B. Dunning. 2014. A Manual of Laboratory and Diagnostic Test: Ninth
Edition. Alphen aan den Rijn: Wolters Kluwer.
Kleinman, R. E., Goulet, O., Mieli-vergani, G., Sanderson, I. R., Sherman, P. M., dan Shneider,
B. 2008. Walkers Pediatric Gastrointestinal Disease: Physiology, Diagnosis,
Management. Shelton: PMPH-USA Limited.
Laycock, J., dan J. Haslam. 2013. Therapeutic Management of Incontinence and Pelvic Pain:
Pelvic Organ Disorders. Berlin: Springer Science & Business Media.

Anda mungkin juga menyukai