Anda di halaman 1dari 7

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Diabetes Mellitus (DM)

2.1.1. Definisi Diabetes Mellitus (DM)

Diabetes melitus adalah sindrom kelainan metabolisme karbohidrat yang


ditandai hiperglikemia kronik akibat defek pada sekresi insulin dan atau tidak
adekuatnya fungsi insulin. Diabetes melitus tipe II adalah kelompok DM akibat
kurangnya sensitifitas jaringan sasaran (otot, jaringan adiposa dan hepar) berespon
terhadap insulin. Penurunan sensitifitas respon jaringan otot, jaringan adiposa dan
hepar terhadap insulin ini, selanjutnya dikenal dengan resistensi insulin dengan atau
tanpa hiperinsulinemia ( R.M. Tjekyan, S., 2007). Berdasarkan WHO Diabetes
Mellitus (DM) adalah penyakit kronis, yang terjadi ketika pankreas tidak cukup
memproduksi insulin, atau ketika tubuh tidak dapat secara efektif menggunakan
insulin yang dihasilkan. Hal ini menyebabkan peningkatan konsentrasi glukosa dalam
darah (hyperglycaemia) (WHO, 2008).

2.1.2. Etiologi Diabetes Mellitus (DM)

Faktor yang diduga menyebabkan terjadinya resistensi insulin dan


hiperinsulinemia ini adalah adanya kombinasi antara kelainan genetik, obesitas,
inaktifitas, faktor lingkungan dan faktor makanan (R.M. Tjekyan, S., 2007). Produksi
insulin yang cukup atau ketidakmampuan sel untuk menggunakan insulin dengan
benar dan efesien akan menyebabkan hiperglikemia dan diabetes. Kondisi ini akan
mempengaruhi kebanyakkan sel-sel otot dan jaringan lemak. Hasil dari kondisi ini
disebut sebagai resistansi insulin. Ini adalah masalah utama pada Diabetes Mellitus
Tipe II. Dalam Diabetes Mellitus Tipe II ini juga dijumpai penurunan sel beta
Universitas Sumatera Utara secara stabil yang mengakibatkan terjadinya peningkatan
kadar gula darah (Medicinenet.com, 2005). Diabetes Mellitus Tipe I adalah
kurangnya insulin secara mutlak. Hal ini terjadi kerana adanya gangguan dalam
proses memproduksi insulin daripada sel beta di pankreas akibat daripada kerusakan
sekunder (Medicinenet.com, 2005). Pada dasarnya, jika seseorang itu ada resisten
terhadap insulin, prnghasilan insulin di dalam tubuhnya akan meningkat sehingga
mencapai suatu tahap tertentu untuk mengatasi kondisi ini. Setelah itu, jika produksi
insulin berkurang atau insulin tidak dapat dilepaskan, maka terjadilah hiperglikemia
(Medicinenet.com, 2005). 2.1.3. Faktor risiko diabetes tipe II terbagi kepada 3 yaitu
faktor risiko yang tidak dapat diubah, diperbaiki dan lain-lain (Tedjapranata, M.,
2009 Faktor Risiko Diabetes Mellitus (DM) ). Faktor risiko yang tidak dapat diubah
seperti ras, etnik, riwayat keluarga dengan diabetes, usia > 45 tahun, riwayat
melahirkan bayi dengan berat badan lahir lebih dari 4 kg, riwayat pernah menderita
DM Gestasional, riwayat berat badan lahir rendah < 2,5 kg (Tedjapranata, M., 2009
Faktor risiko yang dapat diperbaiki adalah seperti berat badan lebih (indeks massa
tubuh > 23kg/m2, kurang aktivitas fisik, hipertensi(>140/90 mmHg), dislipidemia
(HDL 250 mg/dl, diet tinggi gula rendah serat (Tedjapranata, M., 2009 ). Faktor
risiko lain yang terkait dengan risiko diabetes adalah penderita sindrom ovarium poli-
kistik, atau keadaan klinis lain yang terkait dengan ressitensi insulin,sindrom
metabolik, riwayat toleransi glukosa terganggu/glukosa darah puasa terganggu,
riwayat penyakit kardiovascular (stroke, penyempitan pembuluh darah koroner
jantung,pembuluh darah arteri kaki) (Tedjapranata, M., 2009 ). ). Universitas
Sumatera Utara 2.1.4. Klasifikasi Diabetes Mellitus (DM) Diabetes Mellitus (DM)
dibahagikan kepada 2 jenis yaitu Diabetes Mellitus Tipe I dan Diabetes Mellitus Tipe
II (American Heart Association, 2007). Diabetes Mellitus Tipe II adalah paling sering
dijumpai terutamanya pada dewasa. Walaubagaimanapun kasus pada remaja dan
anak-anak untuk Diabetes Mellitus tipe II juga makin meningkat. Diabetes Mellitus
Tipe II ini adalah disebabkan oleh penghasilan insulin yang tidak cukup atau
penggunaan insulin yang tidak efesien (resistansi insulin) (American Heart
Association, 2007). Diabetes Mellitus Tipe I biasanya dijumpai pada anak-anak.
Diabetes jenis ini disebabkan pankreas tidak dapat menghasilkan insulin atau
penghasilannya sedikit (American Heart Association, 2007). Klasifikasi DM yang
dianjurkan oleh PERKENI (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia) adalah yang
sesuai dengan anjuran klasifikasi DM menurut American Diabetes Association
(ADA) 1997, sebagai berikut (Shahab, A., 2006): 1. Diabetes Melitus tipe 1
(destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut) :  Autoimun 
Idiopatik (tidak diketahui penyebabnya) 2. Diabetes Melitus tipe 2 (bervariasi mulai
dari yang terutama dominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif sampai
yang terutama defek sekresi insulin disertai resistensi insulin) 3. Diabetes Melitus tipe
lain : A. Defek genetik fungsi sel beta :  Maturity Onset Diabetes of the Young
(MODY) 1,2,3.  DNA mitokondria B. Defek genetik kerja insulin Universitas
Sumatera Utara C. Penyakit endokrin pankreas :  pankreatitis  tumor pankreas
/pankreatektomi  pankreatopati fibrokalkulus D. Endokrinopati :  akromegali 
sindrom Cushing  feokromositoma  hipertiroidisme E. Karena obat/zat kimia : 
vacor, pentamidin, asam nikotinat  glukokortikoid, hormon tiroid  tiazid, dilantin,
interferon alfa dan lain-lain F. Infeksi :  Rubella kongenital, Cytomegalovirus
(CMV) G. Sebab imunologi yang jarang :  antibodi anti insulin H. Sindrom genetik
lain yang berkaitan dengan DM :  sindrom Down, sindrom Kleinfelter, sindrom
Turner, dan lain-lain. 4. Diabetes Melitus Gestasional (DMG) 2.1.5. Tanda dan
Gejala Diabetes Mellitus (DM) Kedua-kedua jenis diabetes memiliki gejala yang
sangat mirip. Gejala pertama berhubungan dengan efek langsung dari kadar gula
darah yang tinggi. Gula tumpah ke dalam urin ketika kadar gula darah naik di atas
160-180 mg / dL. Ketika tingkat gula dalam urin meningkat lebih tinggi lagi, ginjal
mengeluarkan air tambahan untuk mengencerkan sejumlah besar gula, maka
menghasilkan air seni yang berlebihan, jadi penderita diabetes sering buang air kecil
dengan volume yang banyak Universitas Sumatera Utara (poliuria). Buang air kecil
yang berlebihan mengakibatkan rasa haus yang tidak normal (polidipsia). Selain itu
disebabkan kehilangan kalori yang berlebihan dalam urin, maka berat badan penderita
Diabetes Mellitus (DM) akan menurun. Untuk mengkompensasinya, penderita DM
akan sering merasa lapar. Gejala lain untuk Diabetes Mellitus (DM) termasuk
penglihatan kabur, pusing, mual, dan menurunnya daya tahan semasa melakukan
aktivitas ( Kishore, P. MD, 2008). Pada penderita Diabetes Mellitus Tipe I, gejalanya
sering muncul secara tiba-tiba dan dramatis. Dalam Diabetes Mellitus Tipe I ini bisa
terjadinya ketoasidosis diabetikum. Hal ini terjadi karena tubuh tidak bisa
menghasilkan insulin atau penghasilan insulinnya tidak adequate, maka sel-sel tubuh
tidak dapat menggunakan gula yang terdapat di dalam darah, jadi sel-sel tubuh akan
menjalani mekanisme back-up untuk memperolehi energi supaya sel-sel tubuh bisa
hidup. Sel-sel lemak akan mulai lisis dan menghasilkan keton. Keton ini memberikan
energi kepada sel tetapi akan menyebabkan darah menjadi asam (ketoasidosis).
Gejala awal dari ketoasidosis diabetikum adalah rasa haus dan buang air kecil yang
berlebihan, penurunan berat badan, rasa mual, muntah, kelelahan, dan pada anak-anak
terutmanya sakit perut. Selain itu, pasien Diabetes Mellitus Tipe I juga cenderung
untuk bernafas lebih dalam dan cepat karena tubuh berusaha untuk memperbaiki
keadaan keasaman dalam darah. Di samping itu, pasien Diabetes Mellitus Tipe I ini
nafasnya berbau seperti penghapus cat kuku. Jika tidak diobati, ketoasidosis
diabetikum ini bisa mengakibatkan koma dan kematian dalam beberapa jam
( Kishore, P. MD, 2008). Pada penderita Diabetes Mellitus Tipe II mungkin tidak
memiliki gejala apapun selama bertahun-tahun atau berpuluhan tahun sebelum
mereka didiagnosis. Gejala yang mungkin muncul adalah gejala yang halus. Gejala-
gelaja yang bisa didapati pada pasien Diabetes Mellitus Tipe II pada awalnya adalah
peningkatan urinasi dan haus yang ringan dan keadaannya akan menjadi semakin
buruk. Akhirnya, penderita DM Tipe II Universitas Sumatera Utara akan merasa
sangat lelah, penglihatannya kabur, dan mungkin mengalami dehidrasi ( Kishore, P.
MD, 2008). Oleh karena penderita Diabetes Mellitus Tipe II dapat menghasilkan
insulin, maka ketoasidosis tidak terjadi. Namun, kadar gula darah dapat menjadi
sangat tinggi (sering melebihi 1.000 mg / dL). Kadar gula darah yang tinggi ini
adalah akibat dari stres, infeksi atau penggunaan narkoba. Kadar gula darah yang
tinggi ini bisa mengakibatkan dehidrasi yang parah, kebingungan mental, pusing, dan
kejang, yang disebutkan koma hiperosmolar hiperglikemik non ketotik ( Kishore, P.
MD, 2008). 2.1.6. Patogenesis Diabetes Mellitus Terdapat 2 jenis diabetes yaitu
Diabetes Mellitus Tipe I dan Tipe II. Diabetes mellitus tipe I juga disebut insulin
dependent diabetes mellitus (IDDM), atau juvenile diabetes melitus. Dalam diabetes
mellitus tipe I, pankreas mengalami serangan autoimmune oleh tubuh sendiri, dan
menyebabkan sel-sel pankreas tidak bisa menghasilkan insulin. Antibodi abnormal
telah ditemukan di sebagian besar pasien dengan diabetes mellitus tipe I. Antibodi
adalah protein dalam darah yang merupakan bagian dari sistem kekebalan tubuh.
Pasien yang menderita diabetes mellitus tipe I harus bergantung pada obat insulin
untuk bertahan hidup. Pada penyakit autoimun, seperti diabetes mellitus tipe I, sistem
kekebalan tubuh secara keliru memproduksi antibodi dan sel-sel inflamasi yang
menentang jaringan tubuh sendiri dan menyebabkan kerusakan pada jaringan tubuh
sendiri. Pada pasien Diabetes Mellitus Tipe I, sel-sel beta pankreas yang bertanggung
jawab untuk produksi insulin diserang oleh sistem kekebalan tubuh. Hal ini diyakini
bahwa warisan genetik mungkin suatu faktor risiko berkembangnya antibiotik yang
abnormal. Selain itu, paparan terhadap infeksi virus tertentu (gondok dan Coxsackie
virus) atau racun-racun lingkungan hidup lainnya bisa memicu respons antibodi
abnormal yang merusakan sel-sel pankreas. Terdapat beberapa antibodi Universitas
Sumatera Utara yang dijumpai pada diabetes mellitus tipe I yaitu anti-islet Diabetes
mellitus tipe II juga disebut sebagai non-insulin dependent diabetes mellitus
(NIDDM), atau orang dewasa diabetes mellitus (AODM). Dalam diabetes mellitus
tipe II, pasien dapat memproduksi insulin, tetapi tidak dapat menggunakannya secara
adequate, terutama pada pasien yang mengalami resistensi insulin. Pada kebanyakkan
kasus, biasanya penghasilan insulin banyak, hanya jadi masalah apabila sel-sel tubuh
seperti sel lemak dan sel otot kurang peka terhadap insulin. Selain masalah dengan
peningkatan sel, anti-insulin dan anti-glutamat dekarboksilase (Medicinenet.com,
2005). resistensi insulin, pelepasan insulin oleh pankreas mungkin juga mengalami
kerusakan dan suboptimal. Pada penderita diabetes tipe mellitus II penghasilan
insulin dari beta sel akan berkurang(Ini adalah faktor utama bagi banyak pasien
dengan diabetes tipe mellitus II yang pada akhirnya memerlukan terapi insulin.).
Akhirnya, hati pada pasien DM akan terus memproduksi glukosa melalui proses yang
disebut glukoneogenesis meskipun kadar glukosa meningkat (Medicinenet.com,
2005). Glukosa yalah gula yang paling sederhana ditemukan dalam makanan.
Glukosa digunakan sebagai energi untuk sel-sel tubuh supaya berfungsi secara
normal. Karbohidrat dalam makanan dipecah menjadi glukosa di dalam usus halus
kemudian diserap oleh usus halus dan dibawa oleh aliran darah untuk kegunaan
semua sel-sel dalam tubuh. Namun, glukosa tidak dapat memasuki ke dalam sel jika
tanpa bantuan insulin. Dalam hal ini, insulin memainkan peranan sebagai transportasi
untuk menghantar glukosa memasuki ke dalam sel-sel. Tanpa insulin, sel-sel akan
kekurangan glukosa untuk digunakan sebagai sumber energi, meskipun, adanya
glukosa di dalam aliran darah. Akhinya, glukosa yang lebih ini atau glukosa yang
tidak digunakan ini akan diekskresikan dalam urin (Medicinenet.com, 2005). Insulin
adalah hormon yang dihasilkan oleh sel-sel khusus (sel beta) dari pankreas. (Pankreas
adalah organ mendalam dalam perut Universitas Sumatera Utara terletak di belakang
perut.) Selain membantu glukosa memasuki sel-sel, insulin juga penting dalam
mengatur rapat tingkat glukosa dalam darah. Setelah makan, kadar glukosa darah
akan meningkat, untuk mengatasi peningkatan kadar glukosa, pankreas biasanya
melepaskan lebih banyak insulin ke dalam aliran darah untuk membantu glukosa
memasuki sel-sel dan menurunkan kadar glukosa darah setelah makan. Ketika kadar
glukosa darah diturunkan, maka pelepasan insulin dari pankreas dihentikan. Seperti
diuraikan di atas, pada pasien dengan diabetes, insulin adalah baik tidak ada, relatif
cukup untuk kebutuhan tubuh, atau tidak digunakan dengan baik oleh tubuh. Semua
faktor ini menyebabkan peningkatan kadar glukosa darah (hiperglikemia)
(Medicinenet.com, 2005). 2.1.7. Diagnosis Diabetes Mellitus Diagnosis Diabetes
Mellitus (DM) harus didasarkan atas pemeriksaan kadar glukosa darah. Dalam
menentukan diagnosis DM harus diperhatikan asal bahan darah yang diambil dan cara
pemeriksaan yang dipakai. Untuk diagnosis, pemeriksaan yang dianjurkan adalah
pemeriksaan glukosa dengan cara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Untuk
memastikan diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah dilakukan di laboratorium
klinik. Walaupun demikian sesuai dengan kondisi setempat dapat juga dipakai bahan
darah utuh (whole blood), vena ataupun kapiler dengan memperhatikan angka-angka
kriteria diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan oleh WHO. Untuk pemantauan
hasil pengobatan dapat diperiksa glukosa darah kapiler (Gustaviani, R., 2007). Ada
perbedaan antara uji diagnostik DM dan pemeriksaan penyaring. Uji diagnotik DM
dilakukan pada mereka yang menunjukkan gejala/tanda DM, sedangkan pemeriksaan
penyaring bertujuan untuk mengidentifikasi mereka yang tidak bergejala, yang
mempunyai risiko DM. Serangkaian uji diagnostik akan dilakukan kemudian pada
mereka yang hasil pemeriksaan penyaringnya positif, untuk memastikan diagnosis
definitif (Gustaviani, R., 2007). Universitas Sumatera Utara Pemeriksaan penyaring
dikerjakan pada kelompok dengan salah satu risiko DM sebagai berikut: (Shahab, A.,
2006) 1. Usia > 45 tahun 2. Berat badan lebih: BBR >110% berat badan idaman atau
IMT > 23kg/m 3. Hipertensi ( ≥ 140/90mmHg) 2 4. Riwayat DM dalam garis
keturunan 5. Riwayat abortus berulang, melahirkan anak cacat atau berat badan lahir
bayi > 4000gram 6. Riwayat DM pada kehamilan 7. Dislipidemia HDL ≤ 35mg/dl
dan atau trigliserida ≥ 250mg/dl 8. Pernah TGT (Toleransi Glukosa Terganggu) atau
GDPT (Glukosa Darah Puasa Terganggu) Diagnosis klinis DM umumnya akan
dipikirkan bila ada keluhan khas DM berupa poliuria, polidipsia, polifagia, dan
penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Keluhan lain yang
mungkin dikemukakan pasien adalah lemah, kesemutan, gatal, mata kabur dan
disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvea pada pasien wanita. Jika keluhan
khas, pemeriksaan glukosa darah sewaktu ≥ 200mg/dl sudah cukup untuk
menegakkan diagnosis DM. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah puasa ≥ 126
mg/dl juga digunakan untuk patokan diagnosis DM. Untuk kelompok tanpa keluhan
khas DM, hasil pemeriksaan glukosa darah yang baru satu kali saja abnormal, belum
cukup kuat untuk menegakkan diagnosis DM. Diperlukan pemastian lebih lanjut
dengan mendapat sekali lagi angka abnormal, baik kadar glukosa darah puasa ≥
126mg/dl, kadar glukosa darah sewaktu ≥ 200mg/dl pada hari yang lain, atau dari
hasil tes toleransi glukosa oral (TTGO) didapatkan kadar glukosa darah pasca
pembebanan ≥ 200mg/dl (Gustaviani, R., 2007). Universitas Sumatera Utara Cara
penatalaksanaan TTGO (WHO 1985) adalah seperti berikut : • Tiga hari sebelum
pemeriksaan makan seperti biasa (karbohidrat cukup). Kegiatan jasmani seperti yang
biasa dilakukan. • Puasa paling sedikit 8 jam mulai malam hari sebelum pemeriksaan,
minum air putih diperbolehkan. • Diperiksa kadar glukosa darah puasa. • Diberikan
glukosa 75gram(orang dewasa) atau 1,75gram/kgBB(anakanak), dilarutkan dalam air
250ml dan diminum dalam waktu 5 menit. • Diperiksa kadar glukosa darah 2 jam
sesudah beban glukosa. • Selama proses pemeriksaan subyek yang diperiksa tetap
istirahat dan tidak merokok. Kriteria diagnostik Diabetes Melitus (Shahab, A., 2006)
1. Kadar glukosa darah sewaktu (plasma vena) ³ 200 mg/dl , atau 2. Kadar glukosa
darah puasa (plasma vena) ³ 126 mg/dl (Puasa berarti tidak ada masukan kalori sejak
10 jam terakhir ) atau Kadar glukosa plasma ³ 200 mg/dl pada 2 jam sesudah beban
glukosa 75 gram pada TTGO. 2.1.8. Komplikasi Diabetes Mellitus : Komplikasi yang
dapat timbul adalah komplikasi akut dan komplikasi kronis. Komplikasi akut
termasuk ketoasidosis diabetik, hipoglikemi dan hiperglikemia hiperosmolar non
ketotik. Untuk ketoasidosis diabetik adalah kedaaan dekompesasi kekacauan
metabolik yang ditandai oleh trias,terutama diakibatkan oleh defisiensi insulin
absolute atau insulin relative. Hipoglikemia adalah penurunan kadar glukosa dalam
darah dan biasanya disebabkan peningkatan kadar insulin yang kurang tepat, asupan
karbohidrat yang kurang. Hiperglikemia Hiperosmolar non ketotik pula adalah suatu
dekompensasi metabolik pada pasien diabetes tanpa disertai adanya ketosis, gejalanya
adalah dehirasi Universitas Sumatera Utara berat, hiperglikemia berat, dan gangguan
neurologis (Gustaviani, R., 2007). Diabetes Mellitus juga bisa menyebabkan
komplikasi kronis yaitu mikroangiopati dan makroangiopati. Dimana mikroangiopati
meliputi retinopati diabetikum, nefropati dan neuropati. Yang dimaksudkan retinopati
diabetekum adalah disebabkan karena kerusakan pembuluh darah retina. Faktor
tejadinya retinopathy diabetik adalah lamanya menderita diabetes, umur penderita ,
control gula darah, serta faktor sitemik seperti hipertensi dan kehamilan. Nefropati
diabetikum yang ditandai dengan ditemukannya kadar protein yang tinggi dalam urin
dan disebabkan adanya kerusakan pada glomerulus . Nefropati diabetikum
merupakan faktor resiko untuk menjadi gagal ginjal kronik. Neuropati diabetikum
biasanya ditandai dengan hilangya rasa sensorik terutama bagian distal diikuti dengan
hilangnya reflex. Selain itu juga bisa terjadi poliradikulopati diabetikum yang
merupakan suatu sindrom yang ditandai dengan gangguan pada satu atau lebih akar
saraf dan dapat disertai dengan kelemahan motorik. Makroangiopati adalah penyakit
jantung koronor. Diabetes Mellitus mempercepat pengerasan pembuluh darah
(aterosklerosis) dalam pembuluh darah yang lebih besar.Penyakit jantung koroner
adalah disebabkan kurangnya supply darah ke jantung (Gustaviani, R., 2007). Tabel
2.1. Komplikasi jangka panjang dari diabetes Organ/jaringan yg terkena Yang terjadi
Komplikasi Pembuluh darah Plak aterosklerotik terbentuk & menyumbat arteri
berukuran besar atau sedang di jantung, otak, tungkai & penis. Sirkulasi yang jelek
menyebabkan penyembuhan luka yang jelek & bisa menyebabkan Universitas
Sumatera Utara Dinding pembuluh darah kecil mengalami kerusakan sehingga
pembuluh tidak dapat mentransfer oksigen secara normal & mengalami kebocoran
penyakit jantung, stroke, gangren kaki & tangan, impoten dan infeksi Mata Terjadi
kerusakan pada pembuluh darah kecil retina Gangguan penglihatan dan pada
akhirnya bisa terjadi kebutaan Ginjal ∗ Penebalan pembuluh darah ginjal ∗ Protein
bocor ke dalam air kemih ∗ Darah tidak disaring secara normal Fungsi ginjal yang
buruk Gagal ginjal Saraf Kerusakan saraf karena glukosa tidak dimetabolisir secara
normal karena aliran darah berkurang ∗ Kelemahan tungkai yang terjadi secara tiba-
tiba atau secara perlahan ∗ Berkurangnya rasa, kesemutan & nyeri di tangan dan kaki
∗ Kerusakan saraf menahun Sistem saraf otonom Kerusakan pada saraf yang
mengendalikan Tekanan darah yang naik-turun Universitas Sumatera Utara tekanan
darah dan saluran pencernaan ∗ Kesulitan menelan serta perubahan fungsi pencernaan
disertai serangan diare Kulit Berkurangnya aliran darah ke kulit serta hilangnya rasa
yang menyebabkan cedera berulang ∗ Luka, infeksi dalam (ulkus diabetikum) ∗
Penyembuhan luka yang jelek Darah Gangguan fungsi sel darah putih Mudah terkena
infeksi, terutama infeksi saluran kemih dan kulit Jaringan ikat Gluka tidak
dimetabolisir secara normal sehingga jaringan menebal atau berkontraksi ∗ Sindroma
terowongan karpal Kontraktur Dupuytren (Kishore, P. MD, 2008)

Anda mungkin juga menyukai