Anda di halaman 1dari 37

A.

DEFINISI
Demensia adalah penurunan kemampuan mental yang biasanya berkembang secara
perlahan, dimana terjadi gangguan ingatan, fikiran, penilaian dan kemampuan untuk
memusatkan perhatian, dan bisa terjadi kemunduran kepribadian. Pada usia muda, demensia
bisa terjadi secara mendadak jika cedera hebat, penyakit atau zat-zat racun (misalnya karbon
monoksida) menyebabkan hancurnya sel-sel otak. Tetapi demensia biasanya timbul secara
perlahan dan menyerang usia diatas 60 tahun.
Namun demensia bukan merupakan bagian dari proses penuaan yang normal. Sejalan
dengan bertambahnya umur, maka perubahan di dalam otak bisa menyebabkan hilangnya
beberapa ingatan (terutama ingatan jangka pendek) dan penurunan beberapa kemampuan
belajar. Perubahan normal ini tidak mempengaruhi fungsi. Lupa pada usia lanjut bukan
merupakan pertanda dari demensia maupun penyakit Alzheimer stadium awal. Demensia
merupakan penurunan kemampuan mental yang lebih serius, yang makin lama makin parah.
Pada penuaan normal, seseorang bisa lupa akan hal-hal yang detil; tetapi penderita demensia
bisa lupa akan keseluruhan peristiwa yang baru saja terjadi.
B. ETIOLOGI
Yang paling sering menyebabkan demensia adalah penyakit Alzheimer. Penyebab
penyakit Alzheimer tidak diketahui, tetapi diduga melibatkan faktor genetik, karena penyakit
ini tampaknya ditemukan dalam beberapa keluarga dan disebabkan atau dipengaruhi oleh
beberapa kelainan gen tertentu.
Pada penyakit Alzheimer, beberapa bagian otak mengalami kemunduran, sehingga
terjadi kerusakan sel dan berkurangnya respon terhadap bahan kimia yang menyalurkan
sinyal di dalam otak. Di dalam otak ditemukan jaringan abnormal (disebut plak senilis dan
serabut saraf yang semrawut) dan protein abnormal, yang bisa terlihat pada otopsi.
Demensia sosok Lewy sangat menyerupai penyakit Alzheimer, tetapi memiliki
perbedaan dalam perubahan mikroskopik yang terjadi di dalam otak. Penyebab ke-2 tersering
dari

demensia

adalah

serangan

stroke

yang

berturut-turut.

Stroke tunggal ukurannya kecil dan menyebabkan kelemahan yang ringan atau kelemahan
yang timbul secara perlahan. Stroke kecil ini secara bertahap menyebabkan kerusakan
jaringan otak, daerah otak yang mengalami kerusakan akibat tersumbatnya aliran darah
disebut infark.

Demensia yang berasal dari beberapa stroke kecil disebut demensia multi-infark.
Sebagian besar penderitanya memiliki tekanan darah tinggi atau kencing manis, yang
keduanya menyebabkan kerusakan pembuluh darah di otak. Demensia juga bisa terjadi
setelah seseorang mengalami cedera otak atau cardiac arrest. Penyebab lain dari demensia
adalah:

Penyakit Pick
Penyakit Parkinson
AIDS
Penyakit Creutzfeldt-Jakob

Hidrosefalus bertekanan normal terjadi jika cairan yang secara normal mengelilingi
otak dan melindunginya dari cedera, gagal diserap sebagaimana mestinya. Hidrosefalus ini
menyebabkan demensia yang tidak biasa, dimana tidak hanya menyebabkan hilangnya fungsi
mental tetapi juga terjadi inkontinensi pada air kemih dan kelainan berjalan.
Orang yang menderita cedera kepala berulang (misalnya petinju) seringkali
mengalami demensia pugilistika (ensefalopati traumatik progresif kronik); beberapa
diantaranya juga menderita hidrosefalus.
Usia

lanjut

yang

menderita

depresi

juga

mengalami

pseudodemensia.

Mereka jarang makan dan tidur serta sering mengeluh tentang ingatannya yang berkurang;
sedangkan pada demensia sejati, penderita sering memungkiri hilangnya ingatan mereka.
Adapun faktor resiko terjadinya demensia adalah sebagai berikut:
a.

Demensia alzheimer

Usia > 65 tahun

Wanita

Penyakit parkinson familial

Sindrom down familial

Perokok

Herediter

b.

Demensia vaskuler

Hipertensi

Diabetes

Hiperkolesterol

Penyakit jantung dan pembuluh darah

C. ANATOMI FUNGSIONAL DEMENSIA


Demensia terjadi akibat dari gangguan sirkuit neuronal cerebral; kuantitas kehilangan
neuronal dan lokasi didaerah yang dipengaruhi adalah faktor yang berkombinasi untuk
menyebabkan gangguan spesifik. Perilaku dan suasana hati diatur oleh jalur-jalur
noradrenergik, serotonergik, dan dopaminergik, sementara asetilkolin terutama sekali tampak
penting untuk memori. Oleh karena itu, kehilangan neuron kolinergik pada alzheimers
disease (AD) dapat mendasari gangguan memori, sementara pada pasien dengan demensia
non-AD, kehilangan neuron-neuron serotonergik dan glutaminergik terutama menyebabkan
gejala-gejala perilaku, meninggalkan memori secara relatif bertahan. Neutrophins juga
didalilkan memainkan peranan dalam fungsi memori, sebagiannya oleh neuron-neuron
kolinergik, dan oleh karena itu menggambarkan suatu jalur farmakologik kea arah efek AD
yang melambat atau membalikkan.
Demensia secara anatomi mempunyai pola spesifik pada degenerasi neuronal yang
memerintahkan clinical symptomatology. AD memulai pada korteks enthorinal, menyebar ke
hippocampus, dan kemudian bergerak ke

posterior temporal and parietal neocortex,

secepatnya menyebabkan suatu degenerasi yang menyebar secara relatif seluruh korteks
serebral. Multi-infarct dementia dihubungkan dengan kerusakan fokal dalam suatu potongan
kecil-kecil yang acak pada daerah kortikal. Kerusakan white matter yang menyebar dapat
mengganggu koneksi intracerebral dan menyebebkan sindrom demensia yang mirip
dihubungkan dengan leukodystrophies, multiple sclerosis, dan Binswangers disease. Struktur
subkortikal, temasuk kaudatus, putamen, thalamus, dan substansia nigra, juga mengatur
kesadaran dan perilaku dalam jalan yang belum dipahami dengan baik. Efek bahwa pola
degenerasi kortikal ini berakibat pada symptomatology penyakit sudah jelas. AD terjadi
secara primer dengan adanya kehilangan memori dan sering dihubungkan dengan aphasia
atau gangguan-gangguan bahasa lain. Berbeda pada pasien dengan demensia lobus frontal
atau subkortikal seperti pada frontotemporal dementia (FTD) atau Huntingtons disease (HD)
mungkin kurang dimulai dengan masalah kehilangan memori dan masalah yang mulai lebih
kepada berbagai kesulitan perhatian, mengadili sesuatu (judgment), kesadaran dan perilaku.
Lesi pada jalur kortikal-subkortikal spesifik memiliki efek spesifik yang sama
terhadap perilaku. Korteks prefrontal dorsolateral mempunyai koneksi dengan dorsolateral
caudate, globus pallidus, dan thalamus. Lesi pada jalur ini menghasilkan organisasi dan
perencanaan yang buruk, penurunan fleksibilitas kognitif, dan gangguan mengadili
(judgment). Korteks frontal orbital lateral berhubungan dengan nukleus accumbens, globus

pallidus, dan thalamus. Gangguan pada hubungan ini menghasilkan kelesuan (apathy) dan
kekurangan berbicara atau bahkan akinetic mutism.
Faktor resiko yang paling kuat untuk demensia adalah meningkatnya usia. Prevalensi
melumpuhkan kehilangan memori meningkat dengan tiap-tiap dekade usia lebih dari 50
tahun dan dihubungkan paling sering dengan perubahan mikroskopik AD pada autopsi.
Akumulasi mutasi yang perlahan pada neuronal mitochondria juga dihipotesiskan
berkontribusi terhadap peningkatan prevalensi demensia dengan umur. Sampai saat ini
beberapa centenarians (orang-orang yang berusia 100 tahun atau lebih) memiliki fungsi
memori yang utuh dan tidak ada bukti secara klinis adanya demensia yang signifikan. Apakah
demensia merupakan suatu konsekuensi yang tidak dapat dielakkan/dihindarkan pada
penuaan manusia normal tetap controversial.
D. MANIFESTASI KLINIK AD
Gambaran utama demensia adalah munculnya defisit kognitif multipleks, termasuk
gangguan memori, setidak-tidaknya satu di antara gangguan gangguan kognitif berikut ini:
afasia, apraksia, agnosia, atau gangguan dalam hal fungsi eksekutif. Defisit kognitif harus
sedemikian rupa sehingga mengganggu fungsi sosial atau okupasional (pergi ke sekolah, bekerja,
berbelanja, berpakaian, mandi, mengurus uang, dan kehidupan sehari-hari lainnya) serta harus
menggambarkan menurunnya fungsi luhur sebelumnya.
1. Gangguan memori
Dalam bentuk ketidakmampuannya untuk belajar tentang hal-hal baru, atau lupa akan halhal yang baru saja dikenal, dikerjakan atau dipelajari. Sebagian penderita demensia
mengalami kedua jenis gangguan memori tadi. Penderita seringkali kehilangan dompet dan
kunci, lupa bahwa sedang meninggalkan bahan masakan di kompor yang menyala, dan
merasa asing terhadap tetangganya. Pada demensia tahap lanjut, gangguan memori menjadi
sedemikian berat sehingga penderita lupa akan pekerjaan, sekolah, tanggal lahir, anggota
keluarga, dan bahkan terhadap namanya sendiri.
2. Gangguan orientasi
Karena daya ingat adalah penting untuk orientasi terhadap orang, tempat, dan waktu.
Orientasi dapat terganggu secara progresif selama perjalanan penyakit demensia. Sebagai
contohnya, pasien dengan demensia mungkin lupa bagaimana kembali ke ruangannya setelah
pergi ke kamar mandi. Tetapi, tidak masalah bagaimana beratnya disorientasi, pasien tidak
menunjukkan gangguan pada tingkat kesadaran.

3. Afasia
Dapat dalam bentuk kesulitan menyebut nama orang atau benda. Penderita afasia berbicara
secara samar-samar atau terkesan hampa, dengan ungkapan kata-kata yang panjang, dan
menggunakan istilah-istilah yang tak menentu misalnya anu, itu, apa itu. Bahasa lisan
dan tertulis dapat pula terganggu. Pada tahap lanjut, penderita dapat menjadi bisu atau
mengalami gangguan pola bicara yang dicirikan oleh ekolalia (menirukan apa yang dia
dengar) atau palilalia yang berarti mengulang suara atau kata terus-menerus.
4. Apraksia
Adalah ketidakmampuan untuk melakukan gerakan meskipun kemampuan motorik, fungsi
sensorik dan pengertian yang diperlukan tetap baik. Penderita dapat mengalami kesulitan
dalam menggunakan benda tertentu (menyisir rambut) atau melakukan gerakan yang telah
dikenali (melambaikan tangan). Apraksia dapat mengganggu keterampilan memasak,
mengenakan pakaian, menggambar.
5. Agnosia
Adalah ketidakmampuan untuk mengenali atau mengidentifikasi benda maupun fungsi
sensoriknya utuh. Sebagai contoh, penderita tak dapat mengenali kursi, pena,meskipun
visusnya baik. Akhirnya, penderita tak mengenal lagi anggota keluarganya dan bahkan dirinya
sendiri yang tampak pada cermin. Demikian pula, walaupun sensasi taktilnya utuh, penderita
tak mampu mengenali benda yang diletakkan di tangannya atau yang disentuhnya misalnya
kunci atau uang logam.
6. Gangguan fungsi eksekutif
Yaitu merupakan gejala yang sering dijumpai pada demensia. Gangguan ini mempunyai
kaitan dengan gangguan di lobus frontalis atau jaras-jaras subkortikal yang berhubungan
dengan lobus frontalis. Fungsi eksekutif melibatkan kemampuan berpikir abstrak,
merencanakan, mengambil inisiatif, membuat urutan, memantau, dan menghentikan kegiatan
yang kompleks. Gangguan dalam berpikir abstrak dapat muncul sebagai kesulitan dalam
menguasai tugas/ide baru serta menghindari situasi yang memerlukan pengolahan informasi
baru atau kompleks.
7. Perubahan Kepribadian
Perubahan kepribadian pasien demensia merupakan gambaran yang paling mengganggu
bagi keluarga pasien yang terkena. Sifat kepribadian sebelumnya mungkin diperkuat selama
perkembangan demensia. Pasien dengan demensia juga mungkin menjadi introvert dan
tampaknya kurang memperhatikan tentang efek perilaku mereka terhadap orang lain. Pasien

demensia yang mempunyai waham paranoid biasanya bersikap bermusuhan terhadap anggota
keluarga dan pengasuhnya. Pasien dengan gangguan frontal dan temporal kemungkinan
mengalami perubahan kepribadian yang jelas dan mungkin mudah marah dan meledak-ledak.
8. Gangguan Lain
Psikiatri. Disamping psikosis dan perubahan kepribadian, depresi dan kecemasan adalah
gejala utama pada kira-kira 40 sampai 50 persen pasien demensia, walaupun sindroma
gangguan depresif yang sepenuhnya mungkin hanya ditemukan pada 10 sampai 20 persen
pasien demensia. Pasien dengan demensia juga menunjukkan tertawa atau menangis yang
patologis, yaitu emosi yang ekstrim tanpa provokasi yang terlihat.
Neurologis. Disamping afasia pada pasien demensia, apraksia dan agnosia adalah sering,
dan keberadaannya dimasukkan sebagai kriteria diagnostik potensial dalam DSM-IV. Tanda
neurologis lain yang dapat berhubungan dengan demensia adalah kejang, yang terlihat pada
kirakira 10 persen pasien dengan demensia tipe Alzheimer dan 20 persen pasien dengan
demensia vaskular, dan presentasi neurologis yang atipikal, seperti sindroma lobus parietalis
nondominan. Refleks primitif-seperti refleks menggenggam, moncong, mengisap, kaki-tonik,
dan palmomental-mungkin ditemukan pada pemeriksaan neurologis, dan jerks mioklonik
ditemukan pada lima sampai sepuluh persen pasien. Pasien dengan demensia vaskular
mungkin mempunyai gejala neurologis tambahanseperti nyeri kepala, pusing, pingsan,
kelemahan, tanda neurologis fokal, dan gangguan tidur mungkin menunjukkan lokasi
penyakit serebrovaskular. Palsi serebrobulbar, disartria, dan disfagia juga lebih sering pada
demensia vaskular dibandingkan demensia lain.
Reaksi katastropik. Pasien demensia juga menunjukkan penurunan kemampuan untuk
menerapkan apa yang disebut oleh Kurt Goldstein sebagai perilaku abstrak. Pasien
mempunyai kesulitan dalam generalisasi dari suatu contoh tunggal, dalam membentuk
konsep, dan dalam mengambil perbedaan dan persamaan di antara konsep-konsep.
Selanjutnya, kemampuan untuk memecahkan masalah, untuk memberikan alasan secara logis,
dan untuk membuat pertimbangan yang sehat adalah terganggu. Goldstein juga
menggambarkan suatu reaksi katastropik, yang ditandai oleh agitasi sekunder karena
kesadaran subjektif tentang defisit intelektualnya di bawah keadaan yang menegangkan.
Pasien biasanya berusaha untuk mengkompensasi defek tersebut dengan menggunakan
strategi untuk menghindari terlihatnya kegagalan dalam daya intelektual, seperti mengubah
subjek, membuat lelucon, atau mengalihkan pewawancara dengan cara lain. Tidak adanya
pertimbangan atau control impuls yang buruk sering ditemukan, khususnya pada demensia
yang terutama mempengaruhi lobus frontalis. Contoh dari gangguan tersebut adalah bahasa

yang kasar, humor yang tidak sesuai, pengabaian penampilan dan higiene pribadi, dan
mengabaikan aturan konvensional tingkah laku sosial.
Sindroma Sundowner. Sindroma ini ditandai oleh mengantuk, konfusi, ataksia, dan
terjatuh secara tidak disengaja. Keadaan ini terjadi pada pasien lanjut usia yang mengalami
sedasi berat dan pada pasien demensia yang bereaksi secara menyimpang bahkan terhadap
dosis kecil obat psikoaktif. Sindroma juga terjadi pada pasien demensia jika stimuli eksternal,
seperti cahaya dan isyarat yang menyatakan interpersonal, adalah menghilang. Pemeriksaan
neurologis dasar tidak menemukan sesuatu yang abnormal. Hasil dari semua pemeriksaan
laboratorium adalah normal, termasuk B12, folat, T4 dan serologi; tetapi pemeriksaan
tomografi komputer menunjukkan atrofi kortikal yang nyata.

E. DIAGNOSIS
Evaluasi terhadap pasien dengan kecurigaan demensia harus dilakukan dari berbagai
segi, karena selain menetapkan seseorang pasien mengalami demensia atau tidak, juga harus
ditentukan berat-ringannya penyakit, serta tipe demensianya (penyakit Alzheimer, demensia
vaskuler, atau tipe yang lain). Hal ini berpengaruh pada penatalaksanaan dan prognosisnya.
Diagnosis demensia ditegakan berdasarkan criteria diagnosis yang sesuai dengan
Diagnosis and Statistical Manual of Mental Disorders, edisi keempat (DSM-IV).

Sementara untuk diagnosis klinis penyakit Alzheimer diterbitkan suatu consensus oleh
the National Institude of Neurological and Communicative Disorder and Stroke (NINCDS)
dan the Alzheimer;s Disease and Related Disorder Association (ADRDA). Kriteria diagnosis
klinis untuk probable penyakit Alzheimer mencakup:
o Demensia yang ditegakan oleh pemeriksaan klinis yang tercatat dengan pemeriksaan the
mini-mental test, Blessed Dementia scale, atau pemeriksaan sejenis, dan dikonfirmasi
oleh tes neuropsikologis
o Defisit pada dua atau lebih area kognitif
o Tidak ada gangguan kesadaran
o Awitan antara usia 40 dan 90, umumnya setelah 65 tahun
o Tidak adanya gangguan sistemik atau penyakit otak lain yang dapat menyebabkan defisit
progresif pada memori dan kognitif.
Diagnosis probable penyakit Alzheimer didukung oleh:
o Penurunan progresif fungsi kognitif spesifik seperti afasia, apraksia, dan agnosia
o Gangguan aktivittas hidup sehari-hari dan perubahan pola perilaku
o Riwayat keluarga dengan gangguan yang sama, terutama bila sudah dikonfirmasi secara
neuropatologi
o Hasil laboratorium yang mendukung
o Pungsi lumbal yang normal yang dievaluasi denga teknik standar
o Pola normal atau perubahan non-spesifik pada EEG, seperti peningkatan slow-wave
o Bukti adanya atrofi otak pada pemeriksaan CT yang progresif dan terdokumentasi oleh
pemeriksaan serial
Gambaran klinis lain yang konsisten denggan diagnosis probable penyakit Alzheimer,
setelah mengeksekusi penyakit demensia selain penyakit Alzheimer:
o Perjalanan penyakit yang progresif namun lambat (plateau)
o Gejala-gejala yang berhubungan seperti depresi, insomnia, inkontinensia, delusi,
halusinasi, verbal katastrofik, emosional, gangguan seksual, dan penurunan berat badan
o Abnormalitas neurologis pada beberapa pasien, terutama pada penyakit tahap lanjut,
seperti peningkatan tonus otot, mioklonus, dan gangguan melangkah (gait disorder)
o Kejang pada penyakit yang lanjut
o Pemeriksaan CT normal untuk usianya
Gambaran yang membuat diagnosis probable Alzheimer tidak cocok adalah:

o Onset yang mendadak dan apoplectic


o Terdapat defisit neurologis fokal seperti hemiparesis, gangguan sensorik, defisit lapang
pandang, dan inkoordinasi pada tahap awal penyakit; dan kejang atau gangguan
melangkah pada saat awitan atau tahap awal perjalanan penyakit
Diagnosis possible penyakit Alzheimer:
o Dibuat berdasarkan adanya sindrom demensia, tanpa adanya gangguan neurologis,
psikiatrik, atau sitemik lain yang dapat menyebabkan demensia, dan adanya variasi pada
awitan, gejala klinis, atau perjalanan penyakit
o Dibuat berdasarkan adanya gangguan otak atau sistemik yang cukup untuk menyebabkan
demensia, namun penyebab primernya bukan merupakan penyebab demensia
Kriteria diagnosis definite penyakit Alzheimer adalah:
o Kriteria klinis untuk probable penyakit Alzheimer
o Bukti histopatologik yang didapat dari biopsy atau autopsy
Klasifikasi penyakit Alzheimer untuk tujuan penelitian dilakukan bila terdapat gambaran
khusus yang mengkin merupakan subtype penyakit Alzheimer, seperti:
o Banyak anggota keluarga yang mengalami hal yang sama
o Awitan sebelum usia 65 tahun
o Adanya trisomi-21
o Terjadi bersamaan dengan kondisi lain yang relevan seperti penyakit parkinson
Berdasarkan kedua kriteria diagnosis tersebut, menegakan penyakit Alzheimer dan
demensia tipe lain harus dilakukan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti, serta
didukung oleh pemeriksaan penunjang yang tepat.
Anamnesis
Anamnesis harus terfokus pada awitan (onset), lamanya, dan bagaimana laju progresi
penurunan fungsi kognitif yang terjadi. Kebingungan (confusion) yang terjadi akut dan
subakut mungkin merupakan manifestasi delirium dan harus dicari kemungkinan
penyebabnya seperti intoksikasi, infeksi, atau perubahan metabolik. Seorang usia lanjut
dengan kehilangan memori yang berlangsung lambat selama beberapa tahun kemungkinan
menderita penyakit Alzheimer. Hampir 75% pasien penyakit Alzheimer dimulai dengan
gejala memori, tetapi gejala awal juga dapat meliputi kesulitan mengurus keuangan,
berbelanja, mengikuti perintah, menemukan kata, atau mengemudi. Perubahan kepribadian,
disinhibisi, peningkatan berat badan, atau obsesi terhadap makanan mengarah pada fronto-

temporal dementia (FTD), bukan penyakit Alzheimer. FTD juga patut diduga bila ditemukan
apati, hilangnya fungsi eksekutif, abnormalitas progresif fungsi berbicara, atau keterbatasan
kemampuan memori atau spasial. Diagnosis demensia dengan Lewy body (DLB) dicurigai
bila terdapat adanya gejala awal berupa halusinasi visual, parkinsonism, delirium, ganguan
tidur REM (rapid-eye movement), atau sindroma Capgras, yaitu delusi bahwa seseorang yang
dikenal digantikan oleh penipu.
Riwayat adanya stroke dengan progresi bertahap dan tidak teratur mengarah pada
demensia multi-infark. Demensia multi-infark juga umumnya terjadi pada pasien-pasien
dengan faktro risiko hipertensi, fibrilasi atrium, penyakit vaskuler perifer, dan diabetes. Pada
pasien yang menderita penyakit serebrovaskuler dapat sulit ditentukan apakah demensia yang
terjadi adalah penyakit Alzheimer, demensia multi-infark, atau campuran keduanya. Bila
dikaitkan dengan berbagai penyebab demensia, maka anamnesis harus diarahkan pula pada
berbagai faktor risiko seperti trauma kepala berulang, infeksi susunan saraf pusat akibat sifilis
(neurosifilis), konsumsi alkohol berlebihan, intoksikasi bahan kimia pada pekerja pabrik,
serta penggunaan obat-obatan jangka panjang (sedatif dan tranquilizer). Riwayat keluarga
juga harusselalu menjadi bagian dari evaluasi, mengingat bahwa pada penyakit Alzheimer,
FTD, dan penyakit Huntington (sebagai salah satu penyebab demensia) terdapat
kecendrungan familial. Gejala depresi seperti insomnia dan kehilangan berat badan sering
tampak pada pseudodemensia akibat depresi, yang dapat disebabkan oleh anggota keluarga
yang baru-baru ini meninggal.
Pemeriksaan fisik dan neurologis
Pemeriksaan fisik dan neurologis pada penderita dengan demensia dilakukan untuk
mencari keterlibatan sistem saraf dan penyakit sistemik yang mungkin dapat dihubungkan
dengan gangguan kognitifnya. Umumnya penyakit Alzheimer tidak menunjukan gangguan
system motorik kecuali pada tahap lanjut. Kekakuan motorik dan bagian tubuh aksial,
hemiparesis, parkinsonism, mioklonus, atau berbagai gangguan motorik lain umumnya
timbul pada FTD, DLB, atau demensia multi-infark. Penyebab sistemik seperti defisiensi
vitamni B12, intoksikasi logam berat, dan hipotiroidisme dapat menunjukan gejala-gejala
yang khas. Yang tidak boleh dilupakan adalah adanya gangguan pendengaran dan penglihatan
yang menimbulakn kebingungan dan disorientasi pada pasien yang sering disalahartikan
sebagai demensia. Pada usia lanjut defisit sensorik seperti ini sering terjadi.
Pemeriksaan kognitif dan neuropsikiatrik

Pemeriksaan yang sering digunakan untuk evaluasi dan konfirmasi penurunan fungsi
kognitif adalah the mini mental status examination (MMSE), yang dapat pula digunakan
untuk memantau perjalanan penyakit. MMSE merupakan pemeriksaan yang mudah dan cepat
dikerjakan, berupa 30 point-test terhadap fungsi kognitif dan berisikan pula orientasi, memori
kerja dan memori episodik, komprehensi bahasa, menyebutkan kata, dan mengulang kata.
Pada penyakit Alzheimer defisit yang terlibat berupa memori episodik, category generation
(sebutkan sebanyak-banyaknya binatang dalam 1 menit), dan kemampuan visuokonstroktif.
Defisit pada kemampuan verbal dan memori episodik visual sering merupakan abnormalitas
neuropsikologis awal yang terlihat pada penyakit Alzheimer, dan tugas yang membutuhkan
pasien menyebutkan ulang daftar panjang kata atau gambar setelah jeda waktu tertentu akan
menunjukan defisit pada sebagian pasien penyakit Alzheimer. Pada FTD defisit awal sering
melibatkan fungsi eksekutif frontal atau bahasa (berbicara atau menyebutkan kata). Pasien
DLB mempunyai defisit lebih berat pada fungsi visuospasial tetapi melakukan tugas memori
episodik lebih baik dibandingkan pasien dengan penyakit Alzheimer. Pasien dengan demensia
vaskular sering menunjukan campuran defisit eksekutif frontal dan visuospasial. Pada
delirium, defisit cenderung terjadi pada area pemusatan perhatian, memori kerja, dan fungsi
frontal.
Pengkajian status fungsional harus juga dilakukan. Dokter harus menentukan dampak
kelainan terhadap memori pasien, hubungan di komunitas, hobi, penilaian, berpakaian, dan
makan. Pengetahuan mengenai status fungsional pasien sehari-hari akan membantu mengatur
pendekatan terapi dengan keluarga.
Pemeriksaan penunjang
Pemilihan tes laboratorium pada pasien dengan demensia is not straightforward.
Penyebab yang reversibel dan dapat diatasi seharusnya tidak boleh terlewatkan. Pemeriksaan
fungsi tiroid, kadar vitamin B12, darah lengkap, elektrolit, dan VDRL direkomendasikan
untuk diperiksa secara rutin. Pemeriksaan tambahan yang perlu dipertimbangkan adalah
pungsi lumbal, fungsi hati, fungsi ginjal, pemeriksaan toksin dalam urin atau darah, dan
apolipoprotein E.
Pemeriksaan penunjang yang juga direkomendasikan adalah MRI/CT scan kepala.
Pemeriksaan ini dapat mengidentifikasi tumor primer atau sekunder, lokasi area infark,
hematoma subdural, dan memperkirakan adanya hidrosefalus bertekanan-normal atau
penyakit white matter yang luas. MRI dan CT juga dapat mendukung diagnosis penyakit
Alzheimer, terutama jika terdapat atrofi hipokampus selain adanya atrofi kortikal yang difus.

Abnormalitas white matter yang luas berkorelasi dengan demensia vaskuler. Peran pencitraan
fungsional seperti single photon emission computed tomography (SPECT) dan positron
emission tomography (PET) scanning masih dalam penelitian. SPECT dan PET scanning
dapat mennunjukan hipoperfusi atau hipometabolisme temporal-parietal pada penyakit
Alzheimer dan hipoperfusi atau hipometabolisme frontotemporal pada FTD.
Kriteria diagnosis tersangka penyakit alzheimer terdiri dari:
Demensia ditegakkan dengan pemeriksaan klinik dan pemeriksaan status mini mental atau
beberapa pemeriksaan serupa, serta dikonfirmasikan dengan test neuropsikologik
Didapatkan gangguan defisit fungsi kognisi >2
Tidak ada gangguan tingkat kesadaran
Awitan antara umur 40-90 tahun, atau sering >65 tahun
Tidak ada kelainan sistematik atau penyakit otak lainnya
Diagnosis tersangka penyakit alzheimer ditunjang oleh:
Perburukan progresif fungsi kognisi spesifik seperti berbahasa, ketrampilan motorik, dan
persepsi
ADL terganggu dan perubahan pola tingkah laku
Adanya riwayat keluarga, khususnya kalau dikonfirmasikan dengan neuropatologi
Pada gambaran EEG memberikan gambaran normal atau perubahan non-spesifik seperti
peningkatan aktivitas gelombang lambat
Pada pemeriksaan CT Scan didapatkan atropi serebri
Gambaran lain tersangka diagnosa penyakit alzheimer setelah dikeluarkan penyebab
demensia lainnya terdiri dari:
Gejala yang berhubungan dengan depresi, insomnia, inkontinentia, delusi, halusinasi,
emosi, kelainan seksual, berat badan menurun
Kelainan neurologi lain pada beberapa pasien, khususnya penyakit padastadium lanjut
dan termasuk tanda-tanda motorik seperti peningkatan tonus otot, mioklonus atau
gangguan berjalan
Terdapat bangkitan pada stadium lanjut
Gambaran diagnosa tersangka penyakit alzheimer yang tidak jelas terdiri dari:

Awitan mendadak
Diketemukan gejala neurologik fokal seperti hemiparese, hipestesia, defisit lapang
pandang dan gangguan koordinasi
Terdapat bangkitan atau gangguan berjalan pada saat awitan
Diagnosa klinik kemungkinan penyakit alzheimer adalah:
Sindroma demensia, tidak ada gejala neurologik lain, gejala psikiatri atau kelainan
sistemik yang menyebabkan demensia
Adanya kelainan sistemik sekunder atau kelainan otak yang menyebabkan demensia,
defisit kognisi berat secara gradual progresif yang diidentifikasi tidak ada penyebab
lainnya
Kriteria diagnosa pasti penyakit alzheimer adalah gabungan dari kriteria klinik
tersangka penyakit alzheimer dab didapatkan gambaran histopatologi dari biopsi atau
otopsi:
autopsi tampak bagian otak mengalami atropi yang difus dan simetri,
secara mikroskopik tampak bagian kortikal otak mengalami neuritis plaque dan
degenerasi neurofibrillary
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1

Neuropatologi
Diagnosa definitif tidak dapat ditegakkan tanpa adanya konfirmasi neuropatologi.
Secara umum didapatkan:

atropi yang bilateral, simetris lebih menonjol pada lobus temporoparietal,


anterior frontal, sedangkan korteks oksipital, korteks motorik primer, sistem
somatosensorik tetap utuh

berat otaknya berkisar 1000 gr (850-1250gr). Kelainan-kelainan neuropatologi


pada penyakit alzheimer terdiri dari:
a

Neurofibrillary tangles (NFT) Merupakan sitoplasma neuronal yang


terbuat

dari

filamen-filamen

abnormal

yang

berisi

protein

neurofilamen, ubiquine, epitoque. Densitas NFT berkolerasi dengan


beratnya demensia.
b

Senile plaque (SP). Merupakan struktur kompleks yang terjadi akibat

degenerasi nerve ending yang berisi filamen-filamen abnormal, serat


amiloid ektraseluler, astrosit, mikroglia. Amloid prekusor protein yang
terdapat pada SP sangat berhubungan dengan kromosom 21. Senile
plaque ini terutama terdapat pada neokorteks, amygdala, hipokampus,
korteks piriformis, dan sedikit didapatkan pada korteks motorik primer,
korteks somatosensorik, korteks visual, dan auditorik. Senile plaque ini
juga terdapat pada jaringan perifer. densitas Senile plaque berhubungan
dengan penurunan kolinergik. Kedua gambaran histopatologi (NFT dan
senile plaque) merupakan gambaran karakteristik untuk penderita
penyakit alzheimer.
c

Degenerasi neuron Pada pemeriksaan mikroskopik perubahan dan


kematian neuron pada penyakit alzheimer sangat selektif. Kematian
neuron pada neokorteks terutama didapatkan pada neuron piramidal
lobus temporal dan frontalis. Juga ditemukan pada hipokampus,
amigdala, nukleus batang otak termasuk lokus serulues, raphe nukleus
dan substanasia nigra. Kematian sel neuron kolinergik terutama pada
nukleus basalis dari meynert, dan sel noradrenergik terutama pada
lokus seruleus serta sel serotogenik pada nukleus raphe dorsalis,
nukleus tegmentum dorsalis. Telah ditemukan faktor pertumbuhan saraf
pada neuron kolinergik yang berdegenerasi pada lesi merupakan
harapan dalam pengobatan penyakit alzheimer.

Perubahan vakuoler. Merupakan suatu neuronal sitoplasma yang


berbentuk oval dan dapat menggeser nukleus. Jumlah vakuoler ini
berhubungan secara bermakna dengan jumlah NFT dan SP , perubahan
ini sering didapatkan pada korteks temporomedial, amygdala dan
insula. Tidak pernah ditemukan pada korteks frontalis, parietal,
oksipital, hipokampus, serebelum dan batang otak.

Lewy body. Merupakan bagian sitoplasma intraneuronal yang banyak


terdapat pada enterhinal, gyrus cingulate, korteks insula, dan amygdala.
Sejumlah kecil pada korteks frontalis, temporal, parietalis, oksipital.
Lewy body kortikal ini sama dengan immunoreaktivitas yang terjadi
pada lewy body batang otak pada gambaran histopatologi penyakit
parkinson. Hansen et al menyatakan lewy body merupakan variant dari
penyakit alzheimer.

Pemeriksaan neuropsikologik. Penyakit alzheimer selalu menimbulkan gejala


demensia.

Fungsi pemeriksaan neuropsikologik ini untuk menentukan ada atau tidak


adanya gangguan fungsi kognitif umum danmengetahui secara rinci pola
defisit yang terjadi.

Test psikologis ini juga bertujuan untuk menilai fungsi yang ditampilkan oleh
beberapa bagian otak yang berbeda-beda seperti gangguan memori, kehilangan
ekspresi,

kalkulasi,

perhatian

dan

pengertian

berbahasa.

Evaluasi

neuropsikologis yang sistematik mempunyai fungsi diagnostik yang penting


karena:
a

Adanya defisit kognisi: berhubungan dgn demensia awal yang dapat


diketahui bila terjadi perubahan ringan yang terjadi akibat penuaan
yang normal.

Pemeriksaan

neuropsikologik

secara

komprehensif

untuk

membedakan kelainan kognitif pada global demensia dengan deficit


selektif yang diakibatkan oleh disfungsi fokal, faktor metabolik, dan
gangguan psikiatri
c

Mengidentifikasi gambaran kelainan neuropsikologik yang diakibatkan


oleh demensia karena berbagai penyebab.

The Consortium to establish a Registry for Alzheimer Disease (CERALD)


menyajikan suatu prosedur penilaian neuropsikologis dengan mempergunakan alat
batrey yang bermanifestasi gangguan fungsi kognitif, dimana pemeriksaannya terdiri
dari:
1

. Verbal fluency animal category

. Modified boston naming test

. mini mental state

. Word list memory

. Constructional praxis

. Word list recall

. Word list recognition


Test ini memakn waktu 30-40 menit dan <20-30 menit pada kontrol

1.

CT Scan dan MRI

2.

Merupakan metode non invasif yang beresolusi tinggi untuk melihat kwantifikasi

perubahan volume jaringan otak pada penderita Alzheimer antemortem. CT scan:


menyingkirkan kemungkinan adanya penyebab demensia lainnya selain alzheimer
seperti multiinfark dan tumor serebri. Atropi kortikal menyeluruh dan pembesaran
ventrikel keduanya merupakan gambaran marker dominan yang sangat spesifik pada
penyakit ini
Penipisan substansia alba serebri dan pembesaran ventrikel berkorelasi dengan
beratnya

gejala

klinik

dan

hasil

pemeriksaan

status

mini

mental

MRI:
peningkatan intensitas pada daerah kortikal dan periventrikuler (Capping anterior
horn pada ventrikel lateral). Capping ini merupakan predileksi untuk demensia awal.
Selain didapatkan kelainan di kortikal, gambaran atropi juga terlihat pada daerah
subkortikal seperti adanya atropi hipokampus, amigdala, serta pembesaran sisterna
basalis dan fissura sylvii.
MRI lebih sensitif untuk membedakan demensia dari penyakit alzheimer dengan
penyebab lain, dengan memperhatikan ukuran (atropi) dari hipokampus.
3. EEG
Berguna untuk mengidentifikasi aktifitas bangkitan yang suklinis. Sedang pada
penyakit alzheimer didapatkan perubahan gelombang lambat pada lobus frontalis
yang non spesifik
4. PET (Positron Emission Tomography). Pada penderita alzheimer, hasil PET
ditemukan:

penurunan aliran darah

metabolisma O2

dan glukosa didaerah serebral

Up take I.123 sangat menurun pada regional parietal, hasil ini sangat
berkorelasi dengan kelainan fungsi kognisi danselalu dan sesuai dengan hasil
observasi penelitian neuropatologi

5. SPECT (Single Photon Emission Computed Tomography).


6. Aktivitas I. 123 terendah pada refio parieral penderita alzheimer. Kelainan ini
berkolerasi dengan tingkat kerusakan fungsional dan defisit kogitif. Kedua
pemeriksaan ini (SPECT dan PET) tidak digunakan secara rutin.
7. Laboratorium darah Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik pada penderita
alzheimer. Pemeriksaan laboratorium ini hanya untuk menyingkirkan penyebab

penyakit demensia lainnya seperti pemeriksaan darah rutin, B12, Calsium, Posfor,
BSE, fungsi renal dan hepar, tiroid, asam folat, serologi sifilis, skreening antibody
yang dilakukan secara selektif.
F.

DIFFERENSIAL DIAGNOSIS
1. DEMENSIA VASKULER
Penyakit vaskuler merupakan penyebab kedua demensia, setelah penyakit
Alzheimer. Penyakit vaskuler dapat dicegah dan ditangani, dengan peningkatan
kewaspadaan dan pengendalian faktor-faktor vaskuler , sehingga insidensi demensia
dapat diturunkan1. Baru sedikit diketahui tentang penyebab yang mendasari penyakit
vaskuler ini. Beberapa penelitian di Amerika melaporkan adanya gambaran insidensi
spesifik untuk penyakit vaskuler, dan telah dapat mengidentifikasikan faktor-faktor
resiko yang berhubungan2.
Pada akhir abad ke-19, Otto Biswanger dan Alois Alzheimer meneliti tentang
hubungan antara patologi vaskuler dan pengurangan kemampuan kognisi. Tujuh puluh
tahun kemudian, Tomlisson dan Blessed melengkapi dengan penelitian yang lebih
sistematik yang menunjukkan hubungan antara patologi vaskuler dengan demensia.
Pada tahun 1974, Hachinski mengenalkan istilah multi-infark dementia ( MID ) untuk
menekankan bahawa demensia adalah berhubungan dengan infark pembuluh darah
otak baik pembuluh besar maupun kecil. Kemudian peneliti-peneliti menggunakan
istilah

vascular

dementia

(VaD)

yang

membantu

para

dokter

untuk

mempertimbangkan berbagai patologi vaskuler termasuk perdarahan, yang dapat


menyebabkan demensia. Baru-baru ini para peneliti mengenalkan isitlah vascular
cognitive impairment (VCI) dengan tujuan untuk meluaskan konsep lebih lanjut.
Dimaksudkan bahwa penyakit vaskuler dapat menyebabkan suatu defisit kognisi dari
skala ringan sampai berat, dan pengenalan dini dari defisit tersebut membantu klinisi
untuk

mengintervensi

sebelum

demesia

terjadi1.

Insidensi dan prevalensi VaD yang dilaporkan berbeda-beda menurut populasi studi,
metode pendeteksian, kriteria diagnosa yang dipakai dan periode waktu pengamatan.
Diperkirakan demensia vaskuler memberi kontribusi 10 % - 20 % dari semua kasus
demensia3. Data dari negara-negara Eropa dilaporkan prevalensi 1,6% pada kelompok
usia lebih dari 65 tahun dengan insidensi 3,4 tiap 1000 orang per tahun. Penelitian di
Lundby di Swedia memperlihatkan angka resiko terkena VaD sepanjang hidup 34,5%

pada pria dan 19.4% pada wanita bila semua tingkatan gangguan kognisi dimasukkan
dalam perhitungan4.Sudah lama diketahui bahwa defisit kognisi dapat terjadi setelah
serangan stroke. Penelitian terakhir memperlihatkan bahwa demensia terjadi pada
rata-rata seperempat hingga sepertiga dari kasus-kasus stroke5.
Prevalensi dari semua bentuk demensia termasuk demesia vaskuler, naik seiring
dengan bertambahnya usia. Di Eropa, prevalensi demensia vaskuler diperkirakan
sekitar 1,5-4,8 % pada individu berusia antara 70 hingga 80 tahun.
Penelitian akhir-akhir ini juga membuktikan adanya hubungan antara suatu faktor
genetik apolipoprotein E4 dengan kerusakan vaskuler dan juga penyakit
serebrovaskuler. DeCarli et. al menemukan bahwa peningkatan ApoE4 pada pasienpasien kardiovaskuler dan juga pada pasien-pasien stroke. ApoE4 akan menyebabkan
perubahan level kolesterol serum dan LDL. ApoE4 ini juga memainkan peran dalam
pembentukan arterosklerosis7. ApoE4 akan membantu hemostasis dari kolesterol, dan
ini merupakan komponen dari kilomikron, VLDL, dan produk degradasi mereka.
Beberapa reseptor di hati mengenali ApoE, termasuk reseptor LDL, Reseptor LDL
yang terikat protein , dan reseptor VLDL8. Penelitian yang dilakukan oleh DeLeewu
et. al menyimpulkan bahwa pasien dengan ApoE4 adalah beresiko tinggi terhadap lesi
di substansia alba apabila ia juga menderita hipertensi9. Dalam penelitian terbaru
yang dilakukan Kokobu et al, melaporkan adanya hubungan antara ApoE4 dengan
perdarahan subarachnoid. Hal ini membuat dugaan bahwa ApoE4 memainkan peran
dalam respon terhadap trauma sistem saraf pusat 10.
PEMBAHASAN
Definisi Demensia adalah suatu sindroma penurunan progresif kemampuan intelektual
yang menyebabkan kemunduran kognisi dan fungsional, sehingga mengakibatkan
gangguan fungsi sosial pekerjaan, dan aktivitas harian.Demensia Vaskuler (VaD)
merupakan suatu kelompok kondisi heterogen yang meliputi semua sindroma
demensia akibat iskemik, perdarahan, anoksik atau hipoksik otak dengan penurunan
kognisi mulai dari yang ringan sampai paling berat dan meliputi semua domain, tidak
harus dengan gangguan memori yang menonjol.
Secara garis besar VaD terdiri dari tiga subtipe yaitu :

1. VaD paska stroke yang mencakup demensia infark strategis, demensia multi-infark,
dan stroke perdarahan. Biasanya mempunyai korelasi waktu yang jelas antara
stroke dengan terjadinya demensia.
2. VaD subkortikal, yang meliputi infark lakuner dan penyakit Binswanger dengan
kejadian TIA atau stroke yang sering tidak terdeteksi namun memiliki faktor resiko
vaskuler.
3. Demensia tipe campuran, yaitu demensia dengan patologi vaskuler dalam
kombinasi dengan demensia Alzheimer (AD).
Sedangkan pembagian VaD secara klinis adalah sebagai berikut :
1. VaD pasca stroke
Demensia infark strategis : lesi di girus angularis, thalamus, basal forebrain,
teritori arteri serebri posterior, dan arteri serebri anterior.
Multiple Infark Dementia (MID)
Perdarahan intraserebral
2. VaD subkortikal
Lesi iskemik substansia alba
Infark lakuner subkortikal
Infark non-lakuner subkortikal
3. VaD tipe campuran Alzheimer Disease dan Cerebrovascular Disease.
Patologi dan Patofisologi
Patologi dari penyakit vaskuler dan perubahan perubahan kognisi telah diteliti.
Berbagai perubahan makroskopik dan mikroskopik diobservasi. Beberapa penelitian
telah berhasil menunjukkan lokasi dari kecenderungan lesi patologis, yaitu bilateral
dan melibatkan pembuluh-pembuluh darah besar ( arteri serebri anterior dan arteri
serebri posterior). Penelitian-penelitian lain mendemonstrasikan keberadaan lakunalakuna di otak misalnya di bagian anterolateral dan medial thalamus, yang
dihubungkan dengan defisit neuropsikologi yang berat. Beberapa lokasi strategis
termasuk substansia alba bagian frontal atau basal dari forebrain, basal ganglia, genu
dari kapsula interna hippocampus, mamillary bodies, otak tengah dan pons.Pada
analisis mikroskopik perubahan - perubahan tipe Alzheimer (neurofibrillary tangles
dan plak senile) didapatkan juga sehingga akan merumitkan gambaran. Istilah

demensia campuran digunakan ketika baik perubahan vaskuler dan degenerasi


memberikan kontribusi pada penurunan kognisi1.
Mekanisme patoisiologi dimana patologi vaskuler menyebabkan kerusakan kognisi
adalah belum jelas. Hal ini dapat dijelaskan bahwa dalam kenyataannya beberapa
patologi vaskuler yang berbeda dapat menyebabkan kerusakan kognisi, termasuk
trombosis otak emboli jantung, dan perdarahan.Peran dari abnormalitas substansia
alba sebagai penyebab disfungsi kognisi telah diketahui. Suatu penelitian terbaru
tentang patologi substansia alba pada 40 kasus dengan demensia vaskuler
menunjukkan adanya :
1. Patologi fokal meliputi daerah infark luas dan sempit pada substansia alba
2. Patologi difus substansia alba yang melibatkan rarefaction perifokal yang
dikelilingi infark dan substansia alba tanpa infark1.
3. Faktor resikoFaktor-faktor resiko telah diteliti oleh beberapa ilmuwan dalam 4
tahun terakhir ini. Mereka membagi faktor-faktor resiko itu dalam 4 kategori :
1. Faktor demografi, termasuk diantaranya adalah usia lanjut, ras dan etnis( Asia,
Africo American ), jenis kelamin ( pria), pendidikan yang rendah, daerah rural.
2. Faktor aterogenik, termasuk diantaranya adalah hipertensi, merokok cigaret,
penyakit jantung, diabetes, hiperlipidemia, bising karotis, menopause tanpa terapi
penggantian estrogen, dan gambaran EKG yang abnomal.
3. Faktor non-aterogenik, termasuk diantaranya adalah genetik, perubahan pada
hemostatis, konsumsi alkohol yang tinggi, penggunaan aspirin, stres psikologik,
paparan zat yang berhubungan dengan pekerjaan ( pestisida, herbisida, plastik),
sosial ekonomi.
4. Faktor yang berhubungan dengan stroke yang termasuk diantaranya adalah volume
kehilangan jaringan otak, serta jumlah dan lokasi infark2.
Jenis kelamin merupakan faktor yang masih kontroversial, dan beberapa penelitian
menemukan bahwa tidak ada perbedaaan dalam jenis kelamin. Semuanya dapat
terkena dalam perbandingan yang sama.Genetik juga merupakan faktor yang
berpengaruh. Arteriopati cerebral autosomal dominan dengan infark subkortikal dan
leukoencepalopati (CADASIL) adalah suatu penyakit genetik yang melibatkan mutasi
Notch 3, menyebabkan infark subkortikal dan demensia pada 90 % pasien yang
terkena yang akhirnya meninggal dengan kondisi ini.Riwayat dari stroke terdahulu
adalah faktor resiko yang penting pada demensia vaskuler. Tidak hanya berhubungan
dengan luas dan jumlah infark, tetapi juga lokasi dan bahkan lesi tunggal yang
strategis sudah dapat menyebabkan demensia1.Katzman et.al melaporkan resiko

terjadinya demensia vaskuler yang dihubungkan dengan keadaan depresi atau stres
psikologik sebelumnya.
Depresi merupakan suatu sindroma premonitori untuk VaD pada pasien-pasien
stroke, dan juga merupakan suatu penanda yang penting bagi kerusakan pada
otak.Hubungan antara VaD dan alel 4 dari APOE telah diteliti pada beberapa
penelitian, dan ditemukan bahwa adanya alel ini bukan hanya merupakan suatu
penanda spesifik bagi Alzheimer Disease, tapi juga dihubungkan dengan proses
perbaikan pada sistem saraf. Frison et. al menghipotesiskan bahwa APOE memainkan
peran pada metabolisme otak normal, dan terdapatnya alel 4 dalam jumlah besar
menandakan adanya kerusakan pada otak baik degeneratif atau vaskuler.
Bagaimanapun juga, semenjak diagnosis VaD ditetapkan dengan menggunakan
kriteria NINDS-AIREN, maka konkurensi dengan Alzheimer Disease adalah mungkin
dan menjelaskan hubungan dengan APOE2.
Resiko yang berhubungan dengan paparan pepstisida dan pupuk telah
dikonfirmasikan pada berbagai penelitian terdahulu, dan menjelaskan hubungan
dengan daerah rural. Tingginya insidensi VaD di daerah rural juga dilaporkan Liu
et.al, dan. hubungan antara zat ini juga terdapat pada Alzheimer Disease dan
Parkinson.
Etiologi
Barubaru ini diketahui, bahwa demesia vaskuler bukan hanya disebabkan oleh
discret infark ( multi-infark demensia ), tapi juga oleh keadaan serebrovaskuler.
Kriteria diagnosis
Kriteria diagnosis yang digunakan saat ini adalah NINDS-AIREN( National
Institute of Neurological Disorders and Stroke, and LAssociation Internationale pour
la Recherche et LEnseignmement en Neurosciences ).1. Diagnosis klinis probable
VaD meliputi semua hal dibawah ini :a) Demensiab) Penyakit serebrovaskuler (CVD)
yang ditandai dengan adanya defisit neurologik fokal pada pemeriksaan fisik seperti
hemiparese, kelumpuhan otot wajah bawah, refleks Babinski, defisit sensorik,
hemianopsia, disartria, dll. Yang konsisten dengan stroke ( dengan atau tanpa riwayat
stroke ), dan bukti yang relevan adanya CVD dengan pemeriksaan pencitraan otak
(CT-scan atau MRI) meliputi stroke multipel pembuluh darah besar atau infark
tunggal tempat strategis ( girus angularis, talamus, basal forebrain, teritori arteri

serebri posterio dan anterior ), atau infark lakuner multipel di basal ganglia dan
substantia alba atau lesi substantia alba periventrikuler luas atau kombinasi dari
kelainan-kelainan di atas.c) Terdapat hubungan antara kedua gangguan diatas dengan
satu atau lebih keadaan dibawah ini :- Awitan demensia berada dalam kurun waktu 3
bulan pasca stroke.- Deteriorasi fungsi kognisi yang mendadak atau berfluktuasi,
defisit kognisi yang progresif dan bersifat stepwise.
Kriteria diagnosis probable VaD subkortikal :
A. Sindroma kognisi yang meliputi kedua-duanya :
Sindroma disexecution : gangguan formulasi tujuan, inisiasi, perencanaan,
pengorganisasian, sekuensial, eksekusi, set-shifting, mempertahankan
kegiatan dan abstraksi.
Deteriorasi fungsi memori yang menyebabkan gangguan fungsi okupasi dan
sosial yang tidak disebabkan oleh gangguan fisik karena stroke.
B. CVD yang meliputi kedua-duanya :
CVD yang dibuktikan dengan neuroimaging
Adanya riwayat defisit neurologis sebagai bagian dari CVD : hemiparese,
parese otot wajah, refleks Babinski positif, gangguan sensorik, disartri,
gangguan berjalan, gangguan ekstrapiramidal yang berhubungan dengan
lesi subkortikal otak.
Gambaran KlinisSesuai dengan NINDS-AIREN maka didapatkan gambaran klinis
VaD sebagai berikut :
A. Gambaran klinis yang konsisten dengan diagnosis probable VaD :
1.

Gangguan berjalan ( langkah-langkah kecil, atau marche a petit-pas,


magnetic, apraxic-ataxic atau parkinson gait )

2.

Riwayat miksi dini dan keluhan kemih yang bukan disebabkan oleh
kelainan urologi3. Perubahan kepribadian dan suasana hati, abulia dan
depresi. Inkontinesia emosi, gejala defisit subkortikal meliputi retardasi
psikomotor dan gangguan fungsi eksekusi.

B. Gambaran klinis yang tidak menyokong diagnosis VaD :


1.

Defisit memori pada tahap dini, perburukan fungsi memori dan gangguan
kognisi lain seperti bahasa (ataxia transkortikal sensorik ), ketrampilan

motorik (apraksia) dan persepsi ( agnosia) tanpa adanya lesi yang sesuai pada
pencitraan otak.
2.

Tidak ditemukannya defisit neurologik fokal selain gangguan kognisi3. Tidak


ditemukan lesi pada CT-scan atau MRI kepala.

C.Gambaran klinis yang menyokong diagnosis VaD subkortikal :


1. Episode gangguan lesi upper motor neuron ( UMN) ringan seperti kelumpuhan
ringan, refleks asimetri, dan inkoordinasi.
2. Gangguan berjalan pada tahap dini demensia.
3. Riwayat gangguan keseimbangan, sering jatuh, tanpa sebab
4. Urgensi miksi yang dini yang tidak disebabkan oleh kelainan urologi
5. Disartri, disfagi dan gejala ekstrapiramidal
6. Gangguan perilaku dan psikis seperti depresi, perubahan kepribadian, emosi
labil, dan retardasi psikomotor.
D. Gambaran yang tidak menyokong diagnosis VaD subkortikal
1. Awitan dini gangguan memori yang progresif memburuk dan gangguan kognisi
lain seperti disfasia, dispraksi, dan agnosia.
2. Tidak

ditemukan

lesi

fokal

yang

berhubungan

pada

pencitraan

3. Tidak ditemukannya relevansi lesi serebral pada CT-scan atau MRI1.7.


PemeriksaanPemeriksaan VaD secara umum antara lain :
A. Riwayat medis meliputi
1. Riwayat medik umumWawancara meliputi gangguan medik yang dapat
menyebabkan demensia seperti penyakit jantung koroner, gangguan katup
jantung, penyakit jantung kolagen, hipertensi, hiperlipidemia, diabetes,
arteriosklerosis perifer, hipotiroidisme., neoplasma, infeksi kronik ( sifilis, AIDS
)
2. Riwayat Neurologi umumWawancara riwayat neurologi seperti riwayat stroke,
TIA, trauma kapitis, infeksi susunan saraf pusat, riwayat epilepsi dan operasi
otak karena tumor atau hidrosefalus. Gejala penyerta demensia seperti gangguan
motorik sensorik, gangguan berjalan, koordinasi dan gangguan keseimbangan
yang mendadak pada fase awal menandakan defisit neurologik fokal yang
mengarah pada VaD.

3. Riwayat NeurobehaviourInformasi dari keluarga mengenai penurunan fuingsi


kognisi, kemampuan intelektual dalama aktivitas sehari-hari dan perubahan
tingkah laku adalah sangat penting dalam diagnosis demensia.
4. Riwayat psikiatrikRiwayat psikiatrik penting untuk menentukan apakah pasien
mengalami depresi, psikosis, perubahan kepribadian, tingkah laku agresif,
delusi, halusinasi, pikiran paranoid, dan apakah gangguan ini terjadi sebelum
atau sesudah awitan demensia.
5. Riwayat keracunan, nutrisi, obat-obatan.Keracunan logam berat, pestisida, lem
dan pupuk, defisiensi nutrisi , pemakaian alkohol kronik dapat menyebabkan
demensia walaupun tidak spesifik untuk VaD. Pemakaian obat-obatan
antidepresan, antikolinergik dan herbal juga dapat mengganggu fungsi kognisi.
6. Riwayat keluargaPemeriksa harus menggali semua insidensi demensia pada
keluarga.
B. Pemeriksaan obyektif meliputi :
1. Pemeriksaan fisik umumMeliputi observasi penampilan, tanda-tanda vital,
arteriosklerosis, faktor resiko vaskuler.
2. Pemeriksaan neurologisGangguuan berjalan, gangguan kekuatan, tonus atau
kontrol motorik, gangguan sensorik dan lapangan visual gangguan saraf otak,
gangguan keseimbangan dan gangguan refleks.
3. Pemeriksaan status mentalPemeriksaan kognisi status mental meliputi memori,
orientasi, bahasa, fungsi kortikal, terkait dengan berhitung, menulis, praksis,
gnosis, visuospasial, dan visuopersepsi.
4.

Pemeriksaan

aktivitas

fungsionalAdalah

pemeriksaan

performa

nyata

penyandang dalam aktivitas kehidupan sehari-hari saat premorbid atau saat ini.
5. Pemeriksaan psikiatrikPemeriksaan ini untuk menentukan kondisi mental
penyandang demensia, apakah ia menderita gangguan depresi, delirium., cemas
atau mengalami gejala psikotik.
Manajemen Terapi
Terapi farmakologik
Penderita dengan faktor resiko penyakit serebrovaskuler misalnya hipertensi,
diabetes melitus, penyakit jantung, arterosklerosis, arteriosklerosis, dislipidemia dan
merokok, harus mengontrol penyakitnya dengan baik dan memperbaiki gaya hidup.

Kontrol teratur terhadap penyakit primer dapat memperbaiki fungsi kognisinya.Terapi


simptomatikPada vaskuler demensia terjadi penurunan neurotransmiter kolinergik
sehingga kolinesterase inhibitor dapat diberikan. Penelitian-penelitian terakhir
menunjukkan obat golongan ini dapat menstabilkan fiungsi kognisi dan memperbaiki
aktivitas harian pada penderita demensia vaskuler ringan dan sedang. Efek samping
kolinergik yang perlu diperhatikan adalah mual, muntah, diare, bradikardi dan
gangguan konduksi supraventrikuler.
Terapi non-farmakologis
Bertujuan untuk memaksimalkan/mempertahankan fungsi kognisi yang masih ada.
Program harus dibuat secara individual mencakup intervensi terhadap pasien sendiri,
pengasuh dan lingkungan, sesuai dengan tahapan penyakit dan sarana yang tersedia.
Intervensi terhadap pasien meliputi :
1. Perilaku hidup sehat
2. Terapi rehabilitasi, dilakukan orientasi realitas, stimulasi kognisi, reminiscent,
gerak dan latih otak serta olahraga lain, edukasi, konseling, terapi musik, terapi
wicara dan okupasi.
3. Intervensi lingkungan, dilakukan melalui tata ruang, fasilitasi aktivitas, tarapi
cahaya, penyediaan fasilitas perawatan, day care center, nursing home, dan
respite center.
Gangguan mood dan perilaku yang ditemukan pada pasien demensia vaskuler dapat
bervariasi sesuai dengan lokasi fungsi otak yang rusak. Gejala yang sering muncul
adalah depresi, agitasi, halusinasi, delusi, ansietas, perilaku kekerasan, kesulitan tidur
dan wandering ( berjalan ke sana kemari).Sebelum memulai terapi farmakologis,
terapi non-farmakologis harus dilakukan dulu untuk mengontrol gangguan ini namun
dalam prakteknya sering diperlukan kombinasi kedua metode terapi ini. Penting untuk
selalu menganalisa dengan seksama setiap gejala yang timbul, adakah hubungan
gejala perilaku atau psikiatrik dengan kondisi fisik (nyeri), situasi (ramai, dipaksa, dll)
atau semata-mata akibat penyakitnya3.DepresiPasien demensia vaskuler dengan
depresi memperlihatkan gangguan fungsional yang labih berat dibanding pasien
demensia Alzheimer tanpa depresi. Obat antidepresan dapat memperbaiki gejala
depresi, mengurangi disabilitas tetapi tidak memperbaiki gangguan kognisi.

3. DEMENTIA LEWY BODIES ( DLB )


Definisi
Merupakan suatu penyakit yang mirip dengan Alzheimer dan Parkinson. Dapat di
kenali dengan karakteristik anatomi berdasarkan adanya Lewy Bodies dan alpha
synuclein serta protein ubiquitin yang ditemukan di saraf, yang terdeteksi pada biopsy
otak saat post mortem.
DLB pertama kali ditemukan oleh Frederic Lewy ( 1885 1950 ) yang
menemukan adanya alpha synuclein pada pasien demensia post mortem didaerah
cortex otak.
Epidemiologi
DLB merupakan penyakit kedua setelah Alzheimer yang menyebabkan Demensia.
Sekitar 60 % - 70% diagnosis demensia adalah Alzheimer dan campuran antara
Alzheimer dan demensia vaskuler. 10 % - 15 % merupakan DLB dan sisanya
merupakan beberapa jenis demensia lainnya seperti frontotempolar lobus degenerasi,
demensia alkoholik, dan demensia vaskuler, dll. Prevalensi terbanyak adalag laki
laki dari pada perempuan.
Patofisiologi
DLB ditentukan dengan adanya keabnormalan protein ( alpha synuclein ) pada
sitoplasma yang berinklusi, yang dikenal dengan Lewy Bodies yang ditemukan
pada otak. Inklusi ini mirip dengan struktur klasik dari Lewy bodies yang ditemukan
pada penyakit Parkinson. Pada keadaan ini terjadi kekurangan dopamine pada
produksi di saraf ( di substansia nigra ) yang mirip dengan penyakit Parkinson, serta
adanya kekurangan pada produksi asetilkolin di saraf ( basal nukleus of Meynert )
yang mirip dengan penyakit Alzheimer. Adanya atrofi cerebral dikatakan sebagai
degenerasi dari cortex .
Tanda dan Gejala
a. Fluktuasi yang besar dari psikologis pasien, adanya keadaan was was atau
waspada yang belebihan dari hari ke hari.
b. Gangguan visual, berupa halusinasi ( terjadi pada 75% kasus DLB )
c. Gerakan motorik yang abnormal, mirip dengan penyakit Parkinson.
d. REM ( Rapid Eye Movement ) dan sleep behavior disorder.

e. Abnormalitas lainnya yang ditemukan pada pemeriksaan secara PET atau SPECT
scan.
Penatalaksanaan
Secara farmakologis
DLB merupakan penyakit yang tidak dapat disembuhkan. Tujuan dari pengobatan
adalah untuk mengobati dari efek samping yang terjadi pada DLB dan
mempertahankan kondisi penderita agar tidak semakin memburuk.
Berikut merupakan beberapa obat yang digunakan untuk mengobati gejala gejala
yang timbul pada penyakit DLB :
a. Inhibitor kolinesterase untuk pengobatan gangguan kognitif.
b. Donepezil, Rivastigmine, dan Galantamine untuk memperlambat keparahan dari
gangguan kognitif dan untuk meningkatkan dari fungsi kognitifnya.
c. Sinemet untuk mengatasi gangguan pergerakan.
d. Clonazepam untuk mengatasi masalah gangguan pergerakan mata ( REM / Rapid
Eye Movement disorder ).
e. Injeksi Botulinum toxin pada kelenjar parotid untuk mengatasi silorhhea.
Ketika obat obatan ini diberikan, anti psikotik atipikal di sarankan untuk untuk
anti psikotik tipikal, dilakukan ujicoba dalam dosis yang kecil dan pasien harus
selalu di monitor apakah pasien memberikan reaksi yang buruk terhadap obat.
Adanya hipersensitivitas pada neuroleptiks merupakan factor yang sangat harus
diperhatikan. Pasien dengan DLB sangat rentan dengan Sindrom Neuroleptik
Malignan, terutama dengan anti psikotik tipikal jenis lama, seperti Haloperidol.
Secara non farmakologis
Karena DLB tidak dapat disembuhkan, maka hal yang sangat penting untuk
penanganan kasus DLB ini adalah perawatan intensif agar penyakit penyerta tidak
semakin memburuk dan mempertahankan kondisi pasien. Perawatan terhadap
pasien DLB yang berfungsi untuk meningkatkan fungsi kognitif nya adalah sebagai
berikut :
a. Keadaan lingkungan perawatan yang nyaman dan bersih.
b. Jadual aktivitas.
c. Komunikasi

4. PICK DISEASE
Berbeda dengan distribusi patologi parietal-temporal pada penyakit Alzheimer,
penyakit Pick ditandai oleh atrofi yang lebih banyak dalam daerah frontotemporal.
Daerah tersebut juga mengalami kehilangan neuronal, gliosis, dan adanya badan Pick
neuronal yang merupakan massa elemen sitoskeletal. Badan Pick ditemukan pada
beberapa spesimen postmortem tetapi tidak diperlukan untuk diagnosis. Penyebab
penyakit Pick tidak diketahui. Penyakit Pick berjumlah kira-kira lima persen dari
semua demensia yang irreversibel. Penyakit ini paling sering terjadipada laki-laki,
khususnya mereka yang mempunyai sanak saudara derajat pertama dengan kondisi
tersebut. Penyakit Pick sulit dibedakan dari demensia tipe Alzheimer, walaupun
stadium awal penyakit Pick lebih sering ditandai oleh perubahan kepribadian dan
perilaku, dengan fungsi kognitif lain yang relatif bertahan. Gambaran sindroma
Kluver-Bucy (sebagai contohnya, hiperseksualitas, plasiditas, hiperoralitas) adalah
jauh lebih sering pada penyakit Pick dibandingkan pada penyakit Alzheimer.

Gambar Badan Pick


Struktur otak yang terlibat yaitu:
1. Korteks

prefrontal

&

orbito-frontal:

apati,

abstraksi

(-),

egois,

disinhibisi,perseverasi, mood /affek tdk sesuai.


2. Paralimbik temporal + korteks assosiasi : hiperaktif, impulsif, bulimia,
hiperoralitas, hiperseksualitas, logoroe.
3. Parietal + hipokampal (tdk melibatkan memori & visuospasial secara relatif).

4. Ganglia basalis terutama nukleus kaudatus dan substansia nigra (rigiditas &
akinesia).

Gambaran Otak pada Pick Disease


Kriteria diagnosis penyakit Pick adalah 3 dari 5 gejala khas oleh penyakit ini.
1.
2.
3.
4.
5.

Onsetnya presenilis (sekitar 55 th)


Perubahan kepribadian pd awal peny.
Hiperoralitas
Disinhibisi
Perilaku suka berkelana.

5. PARKINSON DISEASE
Seperti penyakit Huntington, parkinsonisme adalah suatu penyakit pada ganglia
basalis yang sering disertai dengan demensia dan depresi. Diperkirakan 20 sampai 30
persen pasien dengan penyakit Parkinson menderita demensia, dan tambahan 30
sampai 40 persen mempunyai gangguan kemampuan kognitif yang dapat diukur.
Pergerakan yang lambat pada pasien dengan penyakit Parkinson adalah disertai
dengan berpikir yang lambat pada beberapa pasien yang terkena, suatu ciri yang
disebut oleh beberapa dokter sebagai bradifenia (bradyphenia).
Gejala yang nyata dari parkinson adalah tremor ritmik cepat pada saat istirahat.
Penurunan pergerakan refleks otomatis dengan lambannya gerakan sadar berakibat
pada perubahan ekspresi wajah, penurunan atau tidak adanya ayunan tungkai saat
berjalan dan bergerak.
Klasifikasi Parkinson

1.
a)
b)
c)
d)
e)
f)
g)

Parkinson Primer ( Gejala Parkinson sudah muncul sejak awal)


Penyakit Parkinson Idiopatik
Progressive Supranuclear Palsy
Olivoponto Cerebellar Degeneration
Shy-Drager Syndrome
Striatonigral Degeneration
Parkinson-Amyotrophic Lateral Sclerosis-DementiaComplex of Guam
Azorean Motor System Degeneration

2.

Parkinson Sekunder (Gekala Parkinson mungkin terjadi selama perjalanan

Penyakit)
a) Metabolisme : - Wilsons Disease
Hallervorden-Spatz Syndrome
Fahrs Syndrome
b)

Infeksi

: - Post Encephalitic Parkinson Disease

c)
-

Racun/Toksik : - Racun Katbon Monoksida


Anoksia Cerebral
Reserpine
Butyrophenon
Racun Mangan
Racun Analog Meperidine
Phenotiazine

d)

Vaskuler

: - Arteriosklerotik Parkinson

Patologi
Semua bentuk parkinson memiliki sifat terjadi defisiensi dopamin pada corpus
striatum di ganglia basalis sehingga terjadi ketidakseimbangan konsentrasi dopamin
dan asetilkolin pada otak. Pada parkinson yang idiopatik, reaksi patologis utama yang
biasa ditemukan adalah kehilangan sel pigmen pada substansia nigra secara masif,
kemudian meluas ke Coeruleus Pontis dan nukleus dorsalis dari vagus dan adanya
badan lewy (badan inklusi).

Tipe lain dari badan inklusi yang eosinofilik dengan diameter sekitar 20 um
ditemukan pada banyak nukleus di diensefalon, batang otak, tanduk posterior dan
lateral dari medulla spinalis dan pada ganglia saraf simpatis. Pada parkinson yang
idiopatik juga terjadi degenerasi jalur nigrostriatal dopaminergik. Pada post
encephalitik parkinson, karakteristik yang paling sering ditemukan adalah terjadi
kehilangan banyak pigmen di substantia nigra dan degenerasi neurofibril berat pada
substansia nigra, putamen, thalamus, hypotalamus dan struktur lain tetapi tidak ada
badan lewy yang ditemukan.

Patogenesis dari Parkinson Disease


Gejala Klinis
Gejala yang esensial dalam diagnosis parkinson adalah :
1)

Hipokinesia

Adalah suatu kondisi dimana terjadi perlambatan pada gerakan sadar. Semakin
lama hipokinesia akan menjadi simetris dan bilateral. Berikut adalah macammacam hipokinesia pada parkinson :
1) Turunnya Kedipan Mata
2) Divergensi Okuler yang Melemah
3) Muka Seperti Topeng
4) Bicara yang Monoton
5) Mikrografia
6) Penurunan Ayunan Tungkai Saat Berjalan
2)

Rigiditas
Kejadian yang biasa terjadi pada seluruh tipe parkinson. Kondisinya sama
dengan hipokinesia dimana semakin lama cenderung menjadi simetrios dan
bilateral. Biasanya kemunculan awal pada otot leher yang menyebabkan sikap
kaku (flexed posture). Sikap kaku ini berperan pada fenomena anteropilsion
dan cara berjalan yang terburu-buru dan tampak gerakan seperti roda gigi.

3)

Tremor
Terjadi secara unilateral dari ekstremitas atas/otot distal. Muncul saat istirahat,
menurun saat bergerak, menghilang saat tidur dan diturunkan dengan sedasi.
Saat pasien gugup, tegang atau marah maka gejala ini akan lebih buruk. Gejala
ini hadir pada 65 % pasien parkinson idiopatik. Bentuk gerakan termornya
berupa fleksi-ekstensi dari jari-jari dan pronasi-supinasi pada tungkai lengan
bawah. Frekuensi termor berkisar antara 4-8 kali per detik.

4)

Gejala-Gejala Lain
1) Gangguan Mental
2) Sering meneskan liur
3) Disfagia
4) Panas pada perut
5) Kehilangan Berat Badan
6) Gangguan Sikap Tubuh
7) Disfungsi Saraf Otonom

Diagnosa Banding
1)

Tremor Esensial
Terjadi tremor dan kemudian menghilang dengan relaksasi penuh. Tremor
ini mempengaruhi tangan lebih sering daripada parkinson dan hampir selalu
tidak terjadi di kaki (terbentuk di rahang, wajah dan suara). Pada kasus ini
tidak terjadi rigiditas yang membedakannya dengan parkinson.

2)

Post Encephalitic Parkinsonism

Jarang terjadi dan ditandai dengan riwayat ensefalitis, prosesnya sangat


lambat dan muncul dini. Gejala khasnya adalah terjadi kelainan skeletal seperti
skoliosis dan kelainan deformitas tangan (Wrist Hand).
3)

Parkinson di induksi Obat


Biasa terjadi pada orang tua (kehilangan sel nigra), di induksi oleh reserpin,
tetrabenazine, dan juga obat-obat yang memblok pada post sinaptik seperti
phenotiazine atau butyrophenon. Parkinson yang di induksi oleh obat biasanya
bersifat reversibel.

Tata Laksana
1)

Obat
Levadopa

(Asam Amino

Prekursor

untuk

Dopamin)

atau

Dopa

Dekarboksilase Inhibitor ( Carbidopa dan Benserazide). Efek sampingnya


adalah diskinesia, kebingungan, halusinasi, delusi, gelisah, hipotensi
orthostatik, cardiac arrytmia, gout dan hot Flushes. Jenis obatnya adalah
Sinemet (Levadopa dan Carbidopa) dan Medopar (Levadopa dan
Benserazide).
Amantadine
Bromocriptine ( Agonis Dopamin)
Selegilline ( Mono Amin Oksidase Tipe B Inhibitor)
Antikholinergik (Benzhexol, Ophenadrine, Procyclidine)
2) Fisioterapi
3) Terapi Okupasi
4) Perawatan Suportif
G. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan Umum
Tujuan utama penatalaksanaan pada pasien dengan demensia adalah mengobati penyebab
demensia yang dapat dikoreksi dan menyediakan situasi yang nyaman dan mendukung bagi
pasien. Menghentikan obat-obat yang bersifat sedatif dan memengaruhi fungsi kognitif
banyak memberikan manfaat. Bila pasien cenderung depresi ketimbang demensia, maka
depresi harus diatasi dengan adekuat. Pasien dengan penyakit degeneratif sering muncul
gejala depresi, dan sebagian dari mereka akan respon dengan terapi antidepresi.
Oba-obat yang dapat digunakan untuk meredam agitasi dan insomnia tanpa memperberat
demensia diantaranya haloperidol (0,5-2 mg), trazodone, buspiron, atau propranolol. Terapi
kolinesterase inhibitor sebagai terapi terpilih untuk meningkatkan fungsi kognitif pada pasien

demensia, seringkali juga dapat mengurangi gejala apatis, halusinasi visual, dan beberapa
gejala psikiatrik lain.
Pengobatan Untuk Mempertahankan Fungsi Kognitif
Penyakit Alzheimer tidak dapat disembuhkan dan belum ada obat yang terbukti tinggi
efektivitasnya. Selain mengatasi gejala perubahan tingkah laku dan membangun rapport
dengan pasien, anggota keluarga, dan pramuwerdha, saat ini fokus pada pengobatan fungsi
kognitif adalah pada defisit sistem kolinergik. Selain itu, beberapa penelitian klinis juga
mencoba mengarah pada terapi lain yang disesuaikan dengan patofisiologi timbulnya
demensia yang melibatkan berbagai mekanisme.
Kolinesterase Inhibotor
Tacrine

(tetrahydroaminoacridine),

donepezil,

rivastigmin,

dan

galantamin

adalah

kolinesterase inhibitor yang telah disetujui U.S. Food and Drug Administration (FDA) untuk
pengobatan penyakit Alzheimer. Efek farmakologik obat-obat ini adalah dengan menghambat
enzim kolinesterase, dengan hasil meningkatnya kadar asetilkolin di jaringan otak. Dari
keempat obat tersebut, tacrine saat ini jarang digunakan karena efek sampingnya ke organ
hati (hepatotoksik). Donepezil dimulai pada dosis 5 mg perhari, dan dosis dinaikkan menjadi
10 mg perhari setelah 1 bulan pemakaian. Dosis rivastigmin dinaikkan dari 1,5 mg dua kali
perhari menjadi 3 mg dua kali perhari, kemudian 4,5 mg dua kali perhari, sampai dosis 6 mg
dua kali perhari. Dosis dapat dinaikkan pada interval antara 1-4 minggu. Efek samping
umumnya lebih minimal bila peningkatan dosisnya dilakukan lebih lama. Sementara
galantamin diberikan dengan dosis awal 4 mg dua kali perhari untuk dinaikkan menjadi 8 mg
dua kali perhari dan kemudian 12 mg perhari. Seperti rivastigmin, interval peningkatan dosis
lebih lama akan menimalkan efek samping yang terjadi. Dosis harian efektif untuk masingmasing obat adalah 5-10 mg untuk donepezil, 6-12 mg untuk rivastigmin, dan 16-24 mg
untuk galantamin.
Efek samping yang dapat timbul dengan pemakaiaan obat-obatan kolinesterase inhibitor
adalah mual, muntah ,dan diare, dapat pula timbul penurunan berat badan, insomnia, mimpi
abnormal, kram otot, bradikardia, sinkop, dan fatig. Efek-efek samping tersebut biasanya
timbul pada awal-awal terapi, dan seperti telah disinggung diatas, dapat dikurangi apabila
interval peningkatan dosisnya diperpanjang dan dosis rumatan diminimalkan.
Perbedaan antara masing-masing obat kolinesterase inhibitor masih belum dapat dibuktikan.
Indikasi untuk berpindah dari satu kolinesterase inhibitor ke obat lain adalah adanya reaksi

alergi, efek samping yang tidak dapat diatasi, keinginan keluarga, dan tidak adanya respon
pengobatan setelah 6 bulan. Bila akan mengganti satu obat kolinesterase inhibitir dengan
yang lainnya maka digunakan anjuran untuk menghentikan sementara pemberiaan obat
(washout period) selama 3-4 minggu. Penggunaan bersama-sama lebih dari satu kolinesterase
inhibitor pada saat yang bersamaan belum pernah diteliti dan tidak dianjurkan. Kolinesterase
inhibitor umumnya digunakan bersama-sama dengan memantin dan vitamin E.
Antioksidan
Antioksidan yang diteliti dan memberikan hasil yang cukup baik adalah alfa tokoferol
(vitamin E). pemberiaan vitamin E pada satu penelitian dapat memperlambat progresi
penyakit Alzheimer menjadi lebih berat. Vitamin E telah banyak digunakan sebagai terapi
tambahan pada pasien dengan penyakit Alzheimer dan demensia tipe lain karena harga murah
dan dianggap aman. Efek terapi vitamin E pada pasien demensia maupun gangguan kognitif
ringan tampaknya hanya bermanfaat apabila dikombinasi dengan kolinesterase inhibitor.
Memantin
Obat yang saat ini juga disetujui oleh FDA sebagai terapi pada demensia sedang dan berat
adalah mementin, suatu antagonis N-metil--aspartat. Efek terapinya diduga adalah melalui
pengaruhnya pada glutaminergic excitotoxicity dan fungsi neuron di hipokampus. Bila
memantin ditambahkan pada pasien Alzheimer yang telah mendapat kolinesterase inhibitor
dosis tetap, didapatkan perbaikan fungsi kognitif, berkurangnya penurunan status fungsional,
dan berkurangnya gejala perubahan perilaku baru bila dibandingkan dengan penembahan
plasebo.
Terapi Lain
Dengan adanya bukti bahwa proses inflamasi pada jaringan otak terlibat pada patogenesa
timbulnya penyakit Alzheimer, maka beberapa penelitian mencoba mendapatkan manfaat
obat-obatan antiinflamasi baik dalam hal pencegahan maupun terapi demensia Alzheimer.
Beberapa obat lain dari penelitian nampaknya punya potensi untuk dapat digunakan sebagai
pencegahan dan pengobatan demensia diantaranya, ginko biloba, huperzin A (suatu
kolinesterase inhibitor), imunisasi/vaksin terhadap amyloid, dan beberapa pendekatan yang
bersifat neuroprotektif. Jika pada penyakit dementia dengan etiologi defisiensi vitamin B1
dan B12 diberikan vitamin yang dibutuhkan secara parenteral. Namun jika pada defisiensi B1
lambat ditangani, maka tidak bisa terjadi dementia yang reversibel. Sedangkan, pada

penderita defisiensi vitamin B12, pemberian vitamin ini hanya berguna untuk menghentikan
progresif dari dementia itu sendiri, namun kerusakan yang terjadi tidak dapat kembali.
H. PENCEGAHAN
Pencegahan antara lain, bagaiman cara kita lebih awal untuk mendeteksi Alzheimer
disease serta memperkirakan siap yang mempunyai factor resiko terkena penyakit ini
sehingga dapat dicegah lebih awal. Pencegah dapat juga perubahan daya hidup ( diet,
kegiatan olahraga, aktifitas mental )
I.

PROGNOSIS
Prognosis berhubungan dengan jumlah absolut netrofil dan trombosit. Jumlah absolut

netrofil lebih bernilai prognostik daripada yang lain. Jumlah netrofil kurang dari 500/l
(0,5x109/liter) dipertimbangkan sebagai anemia aplastik berat dan jumlah netrofil kurang dari
200/l (0,2x109/liter) dikaitkan dengan respon buruk terhadap imunoterapi dan prognosis yang
jelek bila transplantasi sumsum tulang allogenik tidak tersedia. Anak-anak memiliki respon
yang lebih baik daripada orang dewasa. Anemia aplastik konstitusional merespon sementara
terhadap androgen dan glukokortikoid akan tetapi biasanya fatal kecuali pasien mendapatkan
transplantasi sumsum tulang.
Transplantasi sumsum tulang bersifat kuratif pada sekitar 80% pasien yang berusia
kurang dari 20 tahun, sekitar 70% pada pasien yang berusia 20-40 tahun dan sekitar 50%
pada pasien berusia lebih dari 40 tahun. Celakanya, sebanyak 40% pasien yang bertahan
karena mendapatkan transplantasi sumsum tulang akan menderita gangguan akibat GVHD
kronik dan resiko mendapatkan kanker sekitar 11% pada pasien usia tua atau setelah
mendapatkan terapi siklosporin sebelum transplantasi stem sel. Hasil yang terbaik didapatkan
pada pasien yang belum mendapatkan terapi imunosupresif sebelum transplantasi, belum
mendapatkan dan belum tersensitisasi dengan produk sel darah serta tidak mendapatkan
iradiasi dalam hal conditioning untuk transplantasi.
Sekitar 70% pasien memiliki perbaikan yang bermakna dengan terapi kombinasi
imunosupresif (ATG dengan siklosporin). Walaupun beberapa pasien setelah terapi memiliki
jumlah sel darah yang normal, banyak yang kemudian mendapatkan anemia sedang atau
trombositopenia. Penyakit ini juga akan berkembang dalam 10 tahun menjadi proxysmal
nokturnal hemoglobinuria, sindrom myelodisplastik atau akut myelogenous leukimia pada
40% pasien yang pada mulanya memiliki respon terhadap imunosupresif. Pada 168 pasien
yang mendapatkan transplantasi sumsum tulang, hanya sekitar 69% yang bertahan selama 15

tahun dan pada 227 pasien yang mendapatkan terapi imunosupresif, hanya 38% yang
bertahan dalam 15 tahun.
Pengobatan dengan dosis tinggi siklofosfamid menghasilkan hasil awal yang sama
dengan kombinasi ATG dan siklosporin. Namun, siklofosfamid memiliki toksisitas yang lebih
besar dan perbaikan hematologis yang lebih lambat walaupun memiliki remisi yang lebih
bertahan lama.
J. KOMPLIKASI
Bila terjadi Infeksi bisa fatal, perdarahan, gagal jantung pada anemia berat.

Anda mungkin juga menyukai