Anda di halaman 1dari 8

Nama : Andi Taufiq Yusuf

NIM : E21108264
Jurusan : Ilmu Administrasi Negara

Sejarah Thesis Dependensi

Pada tahun 1965 hampir 100 ekonoom Amerika Latin berkumpul di Mexico City
melakukan suatu diskusi besar mengenai cara menganalisa situasi ekonomi di negara-
negara Amerika Latin untuk menjawab pertanyaan apakah negara-negara Amerika Latin
dan bangsa-bangsa yang menghuni negara-negara ini memang sudah dilahirkan miskin dan
ditakdirkan untuk miskin ataukah apakah ada suatu mekanisme yang telah menjerumuskan
negara-negara dan bangsa-bangsa ini kedalam kancah kemiskinan? Diskusi ini telah
melahirkan suatu deklarasi yang terkenal yaitu “Deklarasi Ekonoom Amerika Latin” dan
telah disebar-luaskan keseluruh penjuru Amerika Latin terutama kepada pengajar dan
mahasiswa di seluruh departemen atau fakultas ekonomi.
Adapun pokok-pokok dari deklarasi itu antara lain adalah sbb:
1. Adalah kewajiban para ekonoom di negara-negara Amerika Latin untuk
memformulasikan sendiri suatu rangkaian teori yang mampu menerangkan sebab-sebab
dan fenomena-fenomena yang ada yang telah merupakan faktor-faktor yang menghambat
perkembangan ekonomi dan social di Amerika Latin. Rangkaian teori ini hendaklah
didasarkan kepada realitas-realitas social yang terdapat di Amerika Latin, pada masa
lampau maupun pada saat sekarang ini.
2. Rintangan-rintangan utama yang telah menghambat dan merusak
perkembangan ekonomi dan social di Amerika Latin adalah merupakan rintangan-rintangan
yang structural sifatnya baik yang terdapat dalam struktur ekonomi, struktur social maupun
dalam sifat ketergantungan atas kekuatan asing
3. Perencanaan ekonomi haruslah didahului dengan suatu reformasi structural
dan harus bertolak dari reformasi structural ini
Seiring dengan pencetusan deklarasi ini dan juga sesudahnya, maka muncullah
gagasan-gagasan dan pemikiran-pemikiran dari beberapa sarjana Amerika Latin mengenai
keterbelakangan ekonomi di Amerika Latin yang kemudian terkenal dengan “thesis
ketergantungan” (dependency thesis). Para pencetus thesis ketergantungan ini antara
lain: Andre Gunder Frank, Fernando Enrique Cardoso dan Theotonio Dos Santos. Di luar
Amerika Latin, Samir Amin tampil sebagai pemikir yang telah memperkuat thesis
ketergantungan ini. Thesis ketergantungan ini yang ternyata berlandaskan atas kerangka
pemikiran Paul Baran, mengemukakan bahwa factor utama yang telah menjadi penyebab
ketergantungan negara-negara Amerika Latin yang begitu kaya dengan bahan-bahan
mentah ialah proses eksploitasi oleh pihak asing sebagai akibat hubungan ekonomi dengan
pihak asing yang sifatnya tidak adil.
Thesis ketergantungan mengemukakan penolakan terhadap thesis yang
mengatakan bahwa perkembangan ekonomi negeri-negeri miskin akan terjadi sebagai
akibat hubungan ekonomi dengan negara-negara maju yang akan menimbulkan diffusi
modal, teknologi, nilai-nilai institusi dan faktor-faktor dinamik lainnya kepada negeri-negeri
miskin ini.
Dalam perkembangan selanjutnya, thesis ketergantungan telah mendapat kritik dari
beberapa pemikir dari luar Amerika Latin. Tetapi kritik-kritik ini tidak menolak thesis
ketergantungan, malah justru memperlengkapinya dengan menambah analisa mengenai
hubungan antar kelas dalam proses ekonomi di dalam negeri yang telah juga bertanggung
jawab dalam menterbelakangkan massa rakyat di-negara-negara terbelakang.
Para pengkritik ini antara lain Richard Fagen, Ivar Oxaal dan kawan-kawan,
Christian Palloix dan Ranjit Sao. Para pengkritik ini malah mengemukakan bahwa
eksploitasi yang dilakukan oleh pihak asing terhadap massa rakyat di-negara-negara
terbelakang telah dilakukan atas bantuan kekuatan di dalam negeri dan kelas-kelas yang
telah membantu proses eksploitasi ini yang mereka sebut sebagai ”kelas
komprador” (compradore class) adalah justru kelas-kelas yang langsung melakukan
penindasan di dalam negeri.
Setelah memasukkan atau menambahkan analisa hubungan kelas di dalam negara-
negara terbelakang itu sendiri dalam batang tubuh thesis ketergantungan, maka
keseluruhan analisis menjadi suatu kesatuan analisa yang disebut sebagai ”thesis
ketergantungan dan keterbelakangan” (dependency and underdevelopment thesis).

Kasus Dependensi Indonesia

Dalam literatur dan sejarah utang negara berkembang, Indonesia hampir selalu menjadi
salah satu referensi, baik sebagai contoh keberhasilan maupun kegagalan dalam mengelola
utang.Dari waktu ke waktu, isu utang menjadi isu kontroversial. Dalam kasus Indonesia,
ketergantungan utang yang terlalu besar dinilai mengakibatkan tergadaikannya kedaulatan
negara, menyengsarakan rakyat, dan menghancurkan ekosistem hutan.
Argumen pemerintah berutang selama ini adalah adanya kebutuhan investasi yang besar
untuk pembangunan ekonomi dan sosial dalam rangka memperbaiki tingkat kesejahteraan
dan memenuhi tuntutan aspirasi masyarakat yang terus meningkat.Pada saat yang sama,
pemerintah dihadapkan pada keterbatasan sumber dana untuk melaksanakan agenda
pembangunan tersebut. Dalam konteks ini, utang diperlukan untuk menutup kesenjangan
yang ada antara kebutuhan investasi dan kemampuan mobilitas dana di dalam negeri
(saving investment gap).

Mereka yang mendukung utang cenderung hanya melihat manfaat, tanpa melihat biaya
politik dan dampak utang terhadap sosial ekonomi serta ekosistem. Bagi mereka, sah-sah
saja kita berutang selama utang dipakai untuk tujuan produktif, sebagaimana tecermin dari
meningkatnya kapasitas perekonomian dalam menciptakan lapangan kerja, mengatasi
kemiskinan, dan juga kapasitas membayar utang.

Sementara mereka yang menentang utang melihat adanya kesenjangan antara janji
manfaat dan konsekuensi mahal yang harus ditanggung bangsa akibat utang. Mereka
melihat tak kunjung berubahnya paradigma kebijakan berutang pemerintah dan tak adanya
komitmen untuk menciptakan kemandirian ekonomi, seperti diamanatkan oleh para pendiri
bangsa (founding fathers).

Padahal, banyak contoh negara yang mampu berdiri sendiri menjadi negara maju dan
bermartabat tanpa terus-menerus bergantung pada utang kendati mereka tak memiliki
sumber daya melimpah seperti Indonesia. Juga banyak contoh negara yang selama ini
menjadi langganan krisis utang berhasil bangkit dan tumbuh menjadi perekonomian yang
jauh lebih sehat setelah memperoleh penghapusan utang.

Lonjakan utang

Jika dicermati, kekhawatiran berbagai pihak menyangkut utang dilandasi sejumlah hal.
Pertama, ketergantungan pembiayaan pembangunan pada utang yang tinggi serta
konsekuensinya bagi kemandirian Indonesia dalam menetapkan kebijakan yang tepat buat
mereka sendiri tanpa didikte kepentingan kreditor.

Kedua, stok utang yang terus membengkak secara nominal kendati secara rasio terhadap
PDB angkanya menurun. Utang Rp 1.700 triliun lebih tahun ini memang bukan yang
terbesar dalam sejarah. Total utang Indonesia pernah mencapai Rp 2.100 triliun pascakrisis
1997/1998 antara lain karena adanya beban biaya restrukturisasi perbankan yang mencapai
Rp 650 triliun lebih, tetapi situasi waktu itu bisa dikatakan tak normal.

Untuk kondisi normal, peningkatan utang sekarang ini sangat spektakuler. Dalam lima tahun
terakhir, utang melonjak sekitar Rp 400 triliun atau 31 persen lebih dari Rp 1.299 triliun
(2004) menjadi Rp 1.704,75 triliun (2009). Dengan utang sebesar ini, berdasarkan perkiraan
kasar, setiap penduduk menanggung Rp 7 juta lebih utang. Sebagai perbandingan,
Soeharto perlu 32 tahun untuk menambah utang dari 6,3 miliar dollar AS menjadi 54 miliar
dollar AS.

Kendati pada saat bersamaan PDB juga meningkat dari Rp 2.300-an triliun (2004) menjadi
sekitar Rp 5.000 triliun (2009) dan APBN dari Rp 370 triliun menjadi sekitar Rp 1.000 triliun,
manfaat dan beban utang tidak bisa dikatakan terdistribusi dengan merata dan adil. Hal ini
tecermin dari jumlah rakyat miskin dan angka pengangguran yang nyaris bergeming
dan kian menciutnya kue pembangunan yang dinikmati oleh kelompok masyarakat miskin.

Ketiga, beban dan cicilan pokok utang yang juga cenderung terus meningkat dengan terus
bertambahnya utang baru. Untuk bunga saja, angkanya meningkat dari Rp 62,5 triliun
(2004) menjadi Rp 65,2 triliun (2005), Rp 79,1 triliun (2006), Rp 79,8 triliun (2007), Rp 88,62
triliun (2008), dan tahun ini diperkirakan Rp 101,7 triliun atau naik rata-rata 10,3 persen per
tahun.

Semakin membengkaknya kewajiban utang ini menjadi beban bagi APBN dan generasi
mendatang karena menyedot anggaran pembangunan dan mengakibatkan kontraksi
belanja sosial. Praktis sepertiga penerimaan pajak tersedot untuk membayar bunga utang.
Sementara untuk memenuhi kewajiban cicilan pokok, termasuk utang luar negeri,
pemerintah terus dipaksa menerbitkan utang baru (gali lubang tutup lubang).

Kelima, ada risiko nilai tukar yang melekat pada utang luar negeri dan utang dalam negeri
yang hampir sepertiganya dipegang asing. Krisis 1997/1998 yang antara lain dipicu oleh
utang harus jadi pelajaran di sini.
Keenam, komposisi utang baru yang semakin didominasi utang komersial, sejalan dengan
status Indonesia sebagai negara berpendapatan menengah bawah. Ketujuh, rendahnya
efektivitas utang dan kurang transparannya penggunaan atau pengalokasian utang. Selain
beban pembayaran kembali menjadi sangat berat, menjadi persoalan ketika kemudian tak
semua utang itu dipakai untuk tujuan produktif.

Pada masa Orde Baru, seperti diungkapkan Alm Prof Soemitro Djojohadikusumo, 30 persen
utang dikorupsi sehingga kemudian muncul istilah utang najis (odiuos debt) dan desakan
untuk meminta penghapusan utang. Pasca-Orde Baru, banyak utang yang sudah dibuat
dan dikenai commitment fee mahal ternyata tak dicairkan sehingga jadi beban ekonomi.
Hanya sekitar 44 persen utang yang akhirnya terserap.

Kini, meskipun rezim utang sudah lebih terbuka (utang tak lagi dianggap sebagai sumber
penerimaan negara seperti pada era Orde Baru) dan sudah ada apa yang disebut
”manajemen risiko utang”, kita masih melihat begitu gampang pemerintah membuat utang
baru tanpa memikirkan bebannya bagi generasi mendatang. Padahal, tanpa tambahan
utang baru pun, utang sekarang ini baru akan lunas 40 tahun lagi.

Dalam beberapa kasus, pemerintah terkesan gelap mata sehingga utang dengan bunga tak
masuk akal pun ditubruk, seperti dalam kasus penerbitan obligasi global senilai 3 miliar
dollar AS pada Februari 2009 di mana Indonesia dikenai yield jauh lebih tinggi dibandingkan
yang dikenakan pada sejumlah negara, seperti Filipina yang peringkat utangnya lebih
kurang sama.

Beberapa ekonom melihat semakin ketagihannya pemerintah terhadap utang untuk


menutup defisit dan berbagai pembiayaan lain. Termasuk untuk pembelian alat utama
sistem persenjataan (alutsista), pembiayaan stimulus fiskal, pembiayaan program BLT,
BOS, PNPM, reformasi birokrasi, reformasi perpajakan, memperkuat cadangan devisa,
atau sekadar sebagai instrumen pendalaman dan pembentukan benchmark pasar utang
dalam negeri.

Tidak jarang jumlah utang yang dibuat melebihi kebutuhan, seperti terlihat beberapa kali
pada kasus penerbitan SUN. Bahkan, dalam kasus pinjaman hibah luar negeri (PHLN),
sering kali utang bukan karena kebutuhan, tetapi dibuat dalam rangka kerja sama
pembangunan bilateral atau multilateral. Artinya, akan selalu ada alasan untuk membuat
utang, baik utang luar negeri maupun dalam negeri.

Kritik dari dalam

Para pengamat yang mengkritik kebijakan utang pemerintah sebenarnya tak sendirian.
Belakangan, sejumlah pihak dalam pemerintah, seperti Bappenas, Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK), dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga ikut-ikutan
mengungkapkan kekhawatiran soal buruknya pengelolaan utang yang dianggap merugikan
negara.

BI dalam kajian stabilitas keuangan 2008 juga pernah mengingatkan risiko dari
kecenderungan meningkatnya tekanan utang dengan terus meningkatnya stok utang luar
negeri. Yang mencemaskan, peningkatan juga terjadi pada utang jangka pendek.

Kondisi ini, menurut BI, bisa menjadi sumber potensi kerawanan yang dapat mengancam
ketahanan sektor keuangan karena utang luar negeri atau modal asing yang masuk banyak
ditempatkan pada SBI dan SUN yang jumlahnya cenderung terus meningkat. Tekanan
terhadap sektor keuangan bisa muncul jika modal asing yang ditempatkan di surat
berharga domestik itu tiba-tiba secara serentak dan mendadak mengalir keluar (sudden
reversal). Tekanan juga muncul karena besarnya pembayaran utang luar negeri.

Berbagai desakan untuk dilakukannya moratorium utang, baik luar negeri maupun dalam
negeri, menunjukkan masyarakat sudah lelah dengan utang. Namun, sejauh ini belum
terlihat adanya keinginan kuat dari pemerintah untuk mengerem utang.

Pernyataan pejabat bahwa perekonomian akan stagnan tanpa utang atau pernyataan untuk
tak alergi terhadap utang menyiratkan posisi utang yang bukan lagi sekadar pelengkap,
tetapi sudah menjadi kebutuhan. Itu sekaligus menunjukkan tak adanya kepercayaan diri
bahwa mereka mampu membawa perekonomian mandiri tanpa terus bergantung pada
utang.

Selama ini definisi pemerintah soal berkurangnya ketergantungan utang adalah rasio utang
terhadap PDB yang terus menurun dan digantikannya peran dominan utang luar negeri oleh
utang dalam negeri.

”Semakin menurunnya rasio utang terhadap PDB, meningkatnya rasio pajak, dan semakin
besarnya sumber pembiayaan
defisit dari dalam negeri menunjukkan pemerintah semakin tak bergantung pada utang dan
lebih banyak mengandalkan
pada kemampuan dalam negeri,” ujar Kepala Badan Kebijakan Fiskal Anggito Abimanyu.

Pemerintah, menurut Anggito, punya strategi pengelolaan utang domestik yang baik, mulai
dari penerbitan, pelunasan, pengaturan jatuh tempo, refinancing, buy back, hingga
peminimuman biaya dan risiko utang sehingga potensi bom waktu utang tak akan terjadi.

Dari sisi pengelolaan risiko, menurut Direktur Jenderal Pengelolaan Utang Depkeu Rahmat
Waluyanto, pemerintah mengutamakan pinjaman luar negeri yang memiliki persyaratan
lunak dan mengoptimalkan komposisi mata uang pinjaman (antara lain dengan mengurangi
konsentrasi pinjaman pada satu jenis mata uang). Selain itu, mengupayakan dilakukannya
lindung nilai terhadap nilai tukar serta mengelola jatuh tempo utang agar tak menumpuk
pada satu periode tertentu.

Tetapi bagi masyarakat, argumen ”utang masih manageable (terkendali)” atau ”setiap sen
utang digunakan untuk memperbaiki pertumbuhan dan kesejahteraan” sekarang ini tak lagi
cukup jika faktanya mereka masih terus tersandera di bawah garis kemiskinan dan mencari
pekerjaan tetap saja sulit.

Solusi

Sudah waktunya kita meninjau kembali paradigma kebijakan utang kita dan lebih selektif
dalam berutang. Menekan rasio utang terhadap PDB saja tak cukup. Harus ada
perubahan paradigma dan langkah kebijakan lebih radikal menyangkut utang.

Termasuk di antaranya, mengurangi stok utang yang ada secara nominal (usulan lebih
radikal bahkan menghendaki penghapusan utang) sehingga bisa mengurangi
kerentanan ekonomi terhadap guncangan krisis dan dana untuk membayar kembali utang
bisa dipakai guna memperbaiki kesejahteraan masyarakat.
Mengurangi ketergantungan pada utang bisa dilakukan dengan lebih banyak memobilisasi
sumber dana dalam negeri non-utang dan menekan kebocoran, terutama kebocoran di
APBN yang menurut KPK angkanya mencapai minimal 30 persen.

Pada satu titik nanti, seperti kata seorang ekonom, kita bisa mengalami kondisi seperti yang
pernah dialami Argentina dengan siklus utangnya. Jika itu terjadi, dampaknya tidak hanya
ke APBN. Kebijakan ekonomi kita juga akan selalu didikte pihak luar. Karena itu, tantangan
pemimpin ke depan adalah bagaimana mengurai benang kusut utang ini.

Oleh: Sri Hartati Samhadi


Sumber:
http://koran.kompas.com/read/xml/2009/07/03/05213771/perlu.keberanian.memutus.keterga
ntungan

Anda mungkin juga menyukai